Pembimbing :
Disusun Oleh :
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang
berjudul “HIV/AIDS + TB PARU + POST LIMFADENITIS TB“. Laporan kasus
ini disusun sebagai tugas mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Ilmu
Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar
di SMF Ilmu Penyakit Dalam, khususnya dr. Armon Rahimi., Sp.PD. KPTI atas
bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Dalam
ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas “Laporan Kasus” ini. Kami menyadari
bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus
ini dan untuk melatih kemampuan menulis makalah untuk selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman Judul..........................................................................................................
Kata Pengantar......................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
ii
1.2.11. Komplikasi........................................................................... 37
1.2.12. Pencegahan dan Edukasi...................................................... 38
1.3. Limfadenitis TB.................................................................................. 39
1.3.1. Anatomi Kelenjar Getah Bening.......................................... 39
1.3.2. Definisi................................................................................. 41
1.3.3. Etiologi................................................................................. 41
1.3.4. Epidemiologi........................................................................ 42
1.3.5. Patogenesis........................................................................... 42
1.3.6. Manifestasi Klinis................................................................. 44
1.3.7. Pemeriksaan Penunjang........................................................ 47
1.3.8. Diagnosis Banding............................................................... 52
1.3.9. Diagnosis Kerja.................................................................... 52
1.3.10. Penatalaksanaan.................................................................... 53
1.3.11. Prognosis.............................................................................. 55
1.3.12. Komplikasi........................................................................... 55
1.3.13. Pencegahan dan Edukasi...................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus), ditemukan dalam tubuh
terutama darah, cairan sperma, cairan vagina, Air Susu Ibu. HIV merupakan jenis
virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh, sehingga orang yang terkena virus
ini menjadi rentan terhadap beragam infeksi atau juga mudah terkena tumor.12
2.1.2 Etiologi
Virus HIV adalah suatu virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk
retrovirus dari famili lentivirus. Strukturnya terdiri dari selubung luar atau
envelope yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein
gp41. Kemudian terdapat lapisan kedua terdiri dari protein p17. Di tengahnya
terdapat inti virus yang dibentuk oleh protein p24, ditunjukkan dalam gambar 1. Di
dalam inti terdapat 2 buah rantai RNA dan ensim reverse transcriptase.13,14
2.1.3 Epidemiologi
4
Populasi terinfeksi HIV terbesar di dunia adalah di benua Afrika (25,7 juta
orang), kemudian di Asia Tenggara (3,8 juta), dan di Amerika (3,5 juta).
Sedangkan yang terendah ada di Pasifik Barat sebanyak 1,9 juta orang. Tingginya
populasi orang terinfeksi HIV di Asia Tenggara mengharuskan Indonesia untuk
lebih waspada terhadap penyebaran dan penularan virus ini.
Selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus. Berdasarkan data WHO
tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di regional Asia Pasifik. Untuk kasus
AIDS tertinggi selama sebelas tahun terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214 kasus.
Lima provinsi dengan jumlah kasus HIV terbanyak adalah Jawa Timur, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua, dimana pada tahun 2017 kasus HIV
terbanyak juga dimiliki oleh kelima provinsi tersebut. Sedangkan jumlah kasus
AIDS terbanyak adalah Jawa Tengah, Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan
Kepulauan Riau. Kasus AIDS di Jawa Tengah adalah sekitar 22% dari total kasus
di Indonesia. Tren kasus HIV dan AIDS tertinggi dari tahun 2017 sampai dengan
2019 masih sama, yaitu sebagian besar di pulau Jawa.
Kasus HIV dan AIDS pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Kasus HIV
tahun 2019 sebanyak 64,50% adalah laki-laki, sedangkan kasus AIDS sebesar
68,60% pengidapnya adalah laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil laporan HIV
berdasarkan jenis kelamin sejak tahun 2008-2019, dimana persentase penderita
laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan.1
2.1.4 Patogenesis
Virus masuk ke dalam tubuh melalui perantara darah, semen dan sekret
vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. Cara
seksual melalui heteroseksual maupun homoseksual sedangkan non seksual
melalui transfusi darah, pemakaian jarum suntik bersama atau secara vertikal dari
ibu positif HIV kepada bayinya baik saat hamil, melahirkan atau saat laktasi.14,15
Human Immunodeficiency Virus cenderung untuk menyerang jenis sel
tertentu, terutama sekali limfosit T4 (CD4) yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4 virus
juga dapat menginfeksi sel monosit, makrofag dan langerhans pada kulit, sel
dendritik folikuler pada kelenjar limfe, sel makrofag pada alveoli paru, sel retina,
sel serviks uteri, sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4
5
respon imun. Perhitungan sel CD4 biasanya masih sekitar 750-1000 / mL.
Konsentrasi virus HIV dalam plasma dan sekret genital ditemukan sangat
tinggi, namun test terhadap antibodi HIV sering ditemukan masih negatif.
Serokonversi terjadi pada fase ini dan antibodi virus mulai dapat dideteksi
kira-kira 3-6 bulan sesudah infeksi.15,18,19
Hampir semua kasus infeksi HIV mengalami gejala klinis tersebut
dan nampaknya perlu dipahami untuk menegakkan diagnosis dini dan
mengambil langkah-langkah selanjutnya. Pertanyaan “apakah bukan
AIDS” pada keadaan seperti itu, meningkatkan penemuan infeksi HIV
secara dini.
laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu terjadinya AIDS.
Apabila jumlah virus < 1000 kopi / mL darah, periode laten kemungkinan
akan > 10 tahun sebelum terjadi AIDS, apabila jumlahnya < 200 kopi / mL
darah maka infeksi HIV tidak mengarah menjadi AIDS. Pasien dengan set
point > 100.000 kopi / mL darah akan mengalami penurunan sel CD4 lebih
cepat dah berkembang menjadi AIDS < 10 tahun. Fase laten berlangsung
sekitar 3-13 tahun setelah terinfeksi HIV.20
2.1.6 Klasifikasi
Sistem klasifikasi stadium HIV berdasarkan WHO (terakhir direvisi tahun
2007) ditunjukkan dalam tabel 1, dapat digunakan di negara dengan sumber daya
terbatas yang tidak memiliki fasilitas memadai untuk melakukan penghitungan sel
CD4 atau metode diagnostik HIV lainnya. Sistem WHO mengklasifikasikan
stadium HIV hanya berdasarkan keadaan klinis yang bisa dikenali oleh klinisi,
tanpa membutuhkan pengalaman atau pelatihan khusus. Kondisi klinis
dikategorikan menjadi stadium 1-4 serta batasan orang dewasa dan remaja
didefinisikan berusia ≥ 15 tahun.19
Pasien dimasukkan ke dalam suatu stadium ketika mereka menunjukkan
10
minimal satu gejala yang termasuk ke dalam kriteria stadium tertentu. World
Health Organization menyatakan manifestasi klinis stadium 4 yang langsung dapat
didiagnosis sebagai AIDS adalah HIV wasting syndrome, pneumonia
pneumocystis, pneumonia bakteri berat atau secara radiologis dan rekuren, infeksi
herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorektal > 1 bulan), tuberkulosis
ekstraparu, sarkoma Kaposi, toksoplasmosis pada sistem saraf pusat, ensefalopati
HIV.20
Stadium Klinis Kondisi Klinis atau Gejala
Infeksi primer HIV Asimptomatis
Sindrom retrovirus akut
Infeksi stadium I Asimptomatis
Limfadenopati generalisata persisten
Infeksi stadium II Penurunan berat badan sedang yang tidak diketahui
sebabnya (<10% dari berat badan yang terukur)
Infeksi tractus respiratorius rekuren (sinusitis,
bronchitis, otitis media, faringitis)
Herpes Zoster
Cheilitis angular
Ulserasi oral rekuren
Erupsi pruritic popular
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur pada kuku jari ektremitas
Infeksi stadium III Penurunan berat badan yang berat (>10% berat badan
*Kondisi dimana yang terukur)
dugaan diagnosis Diare kronis tanpa diketahui penyebabnya selama >1
dibuat berdasarkan bulan
gejala klinis atau Kandidiasis oral
dengan investigasi Oral hairy leukoplakia
sederhana TB paru, didiagnosis selama 2 tahun terakhir
Infeksi bakteri berat (pneumonia, empyema,
piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis,
bakteremia)
Stomatitis, gingivitis / periodontitis ulseratif nekrosis
akut
Kondisi anemia yang tidak diketahui penyebabnya (<8
g/dl) dengan atau neutropenia (500/mm3) atau
trombositopeni (<50.000/mm3) selama >1 bulan
(kondisi dikonfirmasi melalui uji diagnostic)
Infeksi stadium IV HIV wasting syndrome
*Kondisi dimana Pneumonia pneumocystis
dugaan diagnosis Pneumonia bakteri berat atau secara radiologi dan
dibuat berdasarkan rekuren
gejala klinis atau Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau
dengan investigasi anorectal dalam durasi >1 bulan)
sederhana Kandidiasis esofageal
11
TB Ekstraparu
Sarkoma Kaposi
Toksoplasmosis pada sistem saraf pusat
Ensefalopati HIV
Kriptokokosis ekstrapulmoner, termasuk meningitis
Infeksi mycobacteria non-tuberculous progresif
Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
Kandidiasi pada trakea, bronkus atau paru
Kriptosporidiosis
Isosporiasis
Infeksi herpes simpleks visceral
Infeksi cytomegalovirus (rhinitis atau organ lain selain
hati, limpa dan kelenjar limfe)
Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis,
penicillosis)
Recurrents non typhoidal salmonella septicaemia
Limfoma (serebri atau non-Hodgkin sel B)
Karsinoma serviks invasive
Leishmaniasis visceral
Tabel 1. Klasifikasi stadium WHO untuk orang dewasa dan remaja terinfeksi HIV.
2. Kultur HIV
HIV dapat dikultur dengan cairan plasma, serum, peripheral blood
mononuclear cells, cairan serebrospinal, saliva, semen, lendir serviks, serta
ASI. Kultur HIV biasanya tumbuh dalam 21 hari. Pada saat ini kultur hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian, karena nilai diagnostiknya telah
tergantikan oleh pemeriksaan HIV-RNA yang lebih mudah, murah dan lebih
sensitif.21
3. HIV RNA
Jumlah HIV-RNA atau sering disebut juga viral load adalah
pemeriksaan yang menggunakan teknologi PCR untuk mengetahui jumlah HIV
dalam darah. Pemeriksaan HIV-RNA sangat berguna untuk mendiagnosis HIV
pada keadaan pemeriksaan serologis belum bisa memberikan hasil (misalnya
window period atau bayi yang lahir dari ibu HIV positif) atau pemeriksaan
serologis memberikan hasil intermediate. HIV-RNA dapat positif pada 11 hari
setelah terinfeksi HIV sehingga menurunkan masa jendela pada skrinning
donor darah. Selain untuk diagnostik HIV-RNA juga merupakan alat paling
penting dalam monitoring pengobatan ARV saat ini. Hasil negative semu dapat
ditemukan karena penggunaan plasma heparin, variasi genomik HIV,
kegagalan primer / probe atau jumlah virus yang kurang dari batas minimal
deteksi alat pemeriksaan. Sedangkan hasil positif semu dapat juga terjadi
terutama akibat kontaminasi bahan pemeriksaan. Hal positif semu ini dapat
dicegah dengan mensyaratkan PCR positif bila ditemukan 2 atau lebih produk
gen.21
4. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV secara
umum diklasifikasikan sebagai pemeriksaan penapisan (skrinning) dan
pemeriksaan konfirmasi. Metode yang paling banyak digunakan untuk
pemeriksaan penapisan adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA),
karena metode ini dianggap yang paling cocok digunakan untuk penapisan
spesimen dalam jumlah besar seperti donor darah. Metode ELISA mengalami
perkembangan dengan menggunakan antigen yang dilabel sebagai konjugat
sehingga hasil pemeriksaan sangat sensitif dan dapat mengurangi masa jendela,
pada ELISA generasi 4 dibuat pemeriksaan yang dapat mendeteksi baik
antibodi dan antigen HIV.21
13
Selain ELISA, metode lain untuk pemeriksaan serologi lain yang dapat
digunakan adalah pemeriksaan sederhana yang tidak membutuhkan alat seperti
aglutinasi, imunofiltrasi (flow through tests), imunokromatografi (lateral flow
tests), dan uji celup (dipstick). Hasil yang positif pada metode ini diindikasikan
dengan timbulnya bintik atau garis yang berwarna atau ditemukan pola
aglutinasi. Pemeriksaan pemeriksaan ini dapat dikerjakan kurang dari dari 20
menit, sehingga sering disebut uji cepat dan sederhana (simple rapid test).
Pemeriksaan dengan metode sederhana ini sangat sesuai digunakan pada
pelayanan pemeriksaan dan konseling serta pada laboratorium dengan fasilitas
yang terbatas dengan jumlah spesimen perhari yang tidak terlalu banyak.
Sampai saat ini, pemeriksaan konfirmasi yang paling sering digunakan
adalah pemeriksaan Western Blot (WB). Sayangnya, pemeriksaan ini
membutuhkan biaya yang besar dan seringkali memberikan hasil yang
meragukan. WHO dan UNAIDS merekomendasikan penggunaan kombinasi
ELISA dan atau uji cepat untuk pemeriksaan antibodi terhadap HIV
dibandingkan kombinasi ELISA dan WB.21
penurunan berat badan, demam, lesu, dan keringat malam. Timbulnya gejala
berbahaya. Gejala mungkin ada selama berminggu-minggu hingga berbulan-
bulan. Banyak pasien hanya mengalami batuk kronis dengan produksi sputum
purulen. Hemoptisis jarang terjadi pada infeksi MAC.
4. Kriptokokosis.
Kriptokokosis merupakan infeksi jamur utama yang mengancam jiwa pada
pasien dengan infeksi HIV berat dan juga dapat mempersulit transplantasi organ,
keganasan retikuloendotelial, pengobatan kortikosteroid, atau sarkoidosis.
Pasien terinfeksi HIV dengan Kriptokokosis paru dapat menunjukkan gejala
berupa demam, batuk, dispnea, sakit kepala dan penurunan berat badan
5. Severe Combined Immunodeficiencies (SCID)
Adalah gangguan medis yang dihasilkan dari cacat genetic pada imunitas seluler
dan humora. Cacat kekebalan tersebut menyebabkan infeksi bakteri, virus, dan
pathogen jamur yang dimulai selama masa bayi dan jika tidak diobati berakibat
fatal. Gangguan SCID harus dircurigai pada bayi / anak gagal untuk
berkembang, Infeksi saluran pernapasan atas dan bawah berulang yang tidak
merespons antibiotik yang sesuai, dan Infeksi kulit berulang dan penyembuhan
luka yang tertunda
2.1.10 Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu :
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat Anti Retroviral
(ARV)
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis,
toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan
hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.5
15
progresif
Herpes Virus Asiklovir, Valasiklovir, Langsung mulai ART
Famsiklovir,
Cytomegalo virus Gansiklovir, Foscarnet Obati dahulu jika obat tersedia;
jika tidak tersedia langsung mulai
ART
Isosporiasis Trimethoprim + Sulfamethoksasol Langsung mulai ART
Malaria Obati malaria terlebih dahulu;
ART dimulai setelah pengobatan
selesai
Salmonella Terapi Standar Langsung mulai ART
Infeksi piogenik Terapi Standar Langsung mulai ART
Anemia ringan <8gr/l Jika tidak ditemukan penyebab
anemia lainnya langsung ART;
hindari AZT
Reaksi obat keganasan Jangan mulai ART saat reaksi
akut
Sarkoma Kaposi Sitostatik sistemik / lokal Langsung mulai ART
radioterapi
Limfoma Non-Hodgkin Sitostatik regimen kombinasi Langsung mulai ART
CHOP
Tabel 6. Beberapa jenis infeksi oportunistik, obat yang dipakai dan waktu memulai ARV
2.1.11 Prognosis
Faktor-faktor tertentu berkorelasi dengan prognosis yang lebih buruk dari
kondisi terkait AIDS: ras Afrika-Amerika atau campuran, jumlah infeksi
oportunistik, status fungsional dan gizi yang buruk, anemia, penyalahgunaan zat
aktif, jumlah CD4+ yang rendah, dan viral load HIV yang tinggi.
Untuk pasien yang tidak menerima ART dengan jumlah CD4 <50,
kelangsungan hidup berkisar antara 12-27 bulan; mereka dengan jumlah CD4+ <20
memiliki kelangsungan hidup rata-rata 11 bulan.
22
adalah empat kali lipat dari pasien HIV yang cocok dengan MAC negatif.
- Enteritis kriptosporidial: kelangsungan hidup 5 tahun adalah 81%.
- Penyakit sitomegalovirus termasuk retinitis: kelangsungan hidup rata-rata
adalah 13-35 bulan.
- Ensefalitis toksoplasma: kelangsungan hidup 77-90% pada 12 bulan jika
menggunakan ART dengan sebagian besar kematian terjadi dalam 6 bulan.
- PML: kelangsungan hidup rata-rata tanpa cART adalah 4 bulan;
kelangsungan hidup 1 tahun secara keseluruhan adalah 50-63%. Prediktor
kelangsungan hidup lebih dari satu tahun termasuk kepatuhan cART dan
CD4+ > 100 saat diagnosis.30
-
2.1.12 Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. 31
b. Neurologik
1) Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi sosial.
2) Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau ensefalitis. Dengan efek:
sakit kepala, malaise, demam, paralise total/parsial.
3) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik, dan
maranik endokarditis.
4) Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV. 31
c. Gastrointertinal
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma,
dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia,
demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarkoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,
demam atritis.
24
3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal
yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri
rectal, gatal-gatal dan siare. 31
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus dan strongyloides dengan efek sesak nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan, gagal nafas. 31
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan Tuberkulosis dengan efek
nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. 31
f. Sensorik
1) Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
2) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri. 31
terapi topikal yang efektif mencegah infeksi HIV melalui hubungan seksual serta
pemberian ART pada ibu hamil yang terinfeksi HIV.9,27,28
2.2 TUBERKULOSIS
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah sebuah penyakit yang menyerang manusia
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Hal ini mempengaruhi terutama
paru-paru, membuat penyakit paru-paru menjadi presentasi paling umum. Sistem
organ lain yang sering terkena meliputi sistem pernapasan, sistem gastrointestinal
(GI), sistem limforetikuler, kulit, sistem saraf pusat, sistem musculoskeletal, sistem
reproduksi, dan hati. Dalam beberapa dekade, telah ada upaya global bersama untuk
memberantas tuberculosis.32
Tuberkulosis paru (TB) masih menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia, dengan sekitar sepertiga penduduk dunia terinfeksi. 10
Antara 10% dan 20% dari mereka yang terinfeksi akan berkembang menjadi TB
aktif, yang merupakan ancaman kesehatan yang serius. Pasien yang tersisa akan
memiliki TB laten, yang dapat berkembang menjadi infeksi aktif pada saat
imunosupresan terjadi. CDC melaporkan 9.588 kasus baru TB di Amerika Serikat
pada tahun 2013, penurunan sebesar 4,2% dibandingkan dengan tahun 2012 dan
jumlah kasus terendah yang tercatat di Amerika Serikat pada tahun 1953.33
2.2.2 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi TB paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena34:
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
paru34:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
26
2.2.3 Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Bakteri Mycobacterium tuberculosa yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam) karena basil TB mempunyai sel
lipoid. Basil TB sangat rentan dengan sinar matahari sehingga dalam beberapa
menit saja akan mati. Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit jika
terkena alkohol 70% dan lisol 50%. Basil TB memerlukan waktu 12-24 jam dalam
melakukan mitosis, hal ini memungkinkan pemberian obat secara intermiten (2-3
hari sekali).36
Anggota lain dari kelompok Mycobacterium tuberculosa adalah,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovis, dan Mycobacterium micoti.
Sebagian besar organisme mikobakteri lain diklasifikasikan sebagai organisme
mikobakteri non-TB atau atipikal.33
Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant selama beberapa tahun.
Sifat dormant ini berarti kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis
aktif kembali. Sifat lain kuman adalah bersifat aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa
kuman lebih menyenangi jaringan yang kaya oksigen, dalam hal ini tekanan bagian
apikal paru-paru lebih tinggi daripada jaringan lainnya sehingga bagian tersebut
merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis. Kuman dapat disebarkan dari
penderita TB paru BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama
yang kontak erat.35
TB paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernafasan. Basil
mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas.
(droplet infection) sampai alveoli, sehingga terjadi infeksi primer (ghon) yang dapat
menyebar ke kelenjar getah bening dan terbentuklah primer kompleks (ranke).
Keduanya dinamakan tuberculosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian
besar akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer adalah terjadinya
peradangan sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil
mikrobakterium, sedangkan tuberculosis post primer (reinfection) adalah
peradangan bagian paru oleh karena terjadi penularan ulang pada tubuh sehingga
28
2.2.4 Epidemiologi
Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab
morbiditas dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan. Setiap tahun
diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta
kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh
kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di dua puluh dua negara dengan beban TB
tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase semua
kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai >25%.35
Setiap tahun didapatkan 250.000 kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira
100.000 kematian karena TB. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor
satu diantara penyakit infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab
kematian pada semua umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi
saluran napas akut. Pasien TB di Indonesia terutama berusia antara 5-15 tahun,
merupakan kelompok usia produktif dan juga usia muda 15 – 44 tahun. Menurut
WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia 583.000 orang per
tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.36,37
Tahun 1989, WHO memperkirakan jumlah kasus baru TB 1,3 juta kasus
dan 450.000 kematian karena TB pada anak usia <15 tahun di dunia.38
Tahun 1994 diperkirakan insidensi global TB pada anak usia 0-14 tahun
akan mencapai 1 juta kasus di tahun 2000, setengah dari julah kasus tersebut
berada di Afrika. Berarti ada peningkatan 36% dari perkiraan tahun 1990. 15 Pada
tahun 1990, jumlah kematian karena TB di dunia diperkirakan hampir 3 juta dan
hampir 90% kematian tersebut terjadi di Negara berkembang. Pada tahun 2000
jumlah kematian diperkirakan 3,5 juta, kasus baru meningkat setiap tahun. Pada
1990 dilaporkan 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000 penduduk) menjadi 8,8 juta
kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 1995, 10,2 juta kasus (163
kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000, dan mencapai 11,9 juta kasus pada
tahun 2005.35
2.2.5 Patogenesis
29
Individu terinfeksi melalui droplet nuclei dari pasien TB paru ketika pasien
batuk, bersin, tertawa. Droplet nuclei ini mengandung basil TB dan ukurannya
kurang dari 5 mikron dan akan melayang-layang di udara. Droplet nuclei ini
mengandung basil TB.34
Saat Mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka
dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular. Biasanya
melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TB paru ini akan berusaha dihambat
melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme
pembentukan dinding itu membuat jaringan parut dan bakteri TB paru akan menjadi
dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai
tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.35
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
(neutrophil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limpospesifik-tuberkulosis
melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini
mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan
bronkopneumonia dan infeksi awal terjadi dalam 2-10 minggu seteah pemajanan.35
Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan gumpalan basil
yang masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa jaringan-jaringan fibrosa,
bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon dan menjadi nektrotik
membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami klasifikasi, membentuk
skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.34
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit
aktif karena gangguan atau respon yang inadekuat dari respon sistem imun.
Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam
kasus ini, tuberkel ghon memecah melepaskan bahan seperti keju dalam bronki.
Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit
lebih jauh. Tuberkel yang menyerah menyembuh membentuk jaringan parut. Paru
yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia lebih lanjut.35
paru).40
5. Asma bronkhiale, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran
pernapasan, sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan
bernapas. Tingkat keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan
paru dalam menyimpan oksigen. Makin sedikit oksigen yang tersimpan berarti
semakin buruk kondisi asma.41
2.2.9 Diagnosis Kerja
TB Paru
2.2.10 Penatalaksanaan
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
mencegah perkembangan resistensi obat. WHO telah menerapkan strategi DOTS
dimana terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat
mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. WHO juga telah
menetapkan paduan pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori
yang berbeda menurut definisi kasus TB nya.42
1. Kategori 1
Pasien TB paru dengan sputum BTA positif dan kasus baru. TB paru
bisa ada bersamaan dengan TB berat lainnya seperti TB milier, pleuritis
tuberculosis atau bilateral, tuberkulosis, peritonitis, TB usus, saluran kemih,
meningitis, dengan gangguan tuberkulosis. Bisa juga TB dengan sputum BTA
negatif tetapi kelainan parunya luas. Pengobatan pada fase awal (intensif)
paduannya terdiri dari 2 RHZE (S), setiap hari selama 2 bulan. Sputum BTA
yang awalnya positif, setelah 2 bulan terapi diharapkan jadi negatif dan terapi
TB diteruskan dengan fase lanjutan: 4 HR atau 4 H3R3 atau 6 HE. Apabila
sputum BTA masih tetap positif diakhir bulan ke-2 fase awal, maka fase awal
tersebut diperpanjang selama 4 minggu lagi. 42
2. Kategori 2
Kategori ini diberikan pada kasus kambuh atau gagal dengan sputum
BTA positif. Terapi fase awalnya 2 HRZES/1 HRZE, dimana HRZE diberikan
setiap hari selama 3 bulan sedangkan S diberikan hanya di 2 bulan pertama. Bila
sputum BTA menjadi negatif diakhir bulan ke-3, maka fase lanjutan bisa segera
dimulai. Tapi bila sputum BTA masih positif maka fase awal dengan HRZE
diteruskan lagi selama 1 bulan. Bila pada akhir bulan ke 4 sputum BTA masih
33
tetap positif, lakukan kultur ulang sputum BTA dan obat dilanjutkan dengan 5
HRE atau 5 H3R3. 42
3. Kategori 3
Disini terdapat TB paru dengan sputum BTA negatif, tetapi kelainan
parunya tidak luas. Dulunya terapi cukup dengan paduan 2 HRZ atau 2
H3R3Z3E3 dan kemudian diteruskan dengan fase lanjutan 2 HR atau 2 H3R3.
Dalam perkembangan ternyata paduan ini kurang baik karena masih berpeluang
untuk terjadinya kekambuhan sehingga paduannya dirubah menjadi sama
dengan kategori 1 yakni 2 bulan fase awal dan diteruskan dengan 4 bulan fase
lanjutan.42
4. Kategori 4
Disini terjadi TB kronik dimana sputum BTA tetap positif walaupun
sudah menjalani terapi lengkap selama 6 bulan. Pada kelompok ini mungkin
sudah terjadi resistensi multi obat (multi drugs resistant tuberculosis (MDR-
TB).42
Tetapi belakangan ini di beberapa Negara banyak ditemukan resistensi
terhadap lebih dari 1 OAT (multi drugs resistant tuberculosis) terutama pada
INH dan Rifampisin.43
Jenis obat yang dipakai sekarang:
Obat primer (OAT lini 1) yang selalu diberikan setiap pasien TB baru
atau yang kambuh yaitu INH, Rifampisin, Pirasinamid, Etambutol dan
Streptomisin. 43
Obat Sekunder (OAT lini 2) yang diberikan bila sudah terjadi resistensi
terhadap OAT lini 1 yaitu: PAS, kanamisin, tiasetazon, etionamid, sikloserinm
viomisin, kapreomisin, amikasin, ofloksasin, siprofloksasin, norfloksasin,
levofloksasin, klofazimin.42
Sebelum ditemukan obat Rifampisin metode terapi pada TB paru adalah
dengan sistem jangka panjang yakni: H + S + E atau PAS tiap hari dengan fase
awal selama 1-3 bulan dan kemudian dilanjutkan dengan H + E atau PAS
selama 12-18 bulan. Setelah Rifampisin ditemukan paduan obatnya: fase awal
34
dengan H + R + S atau E atau Z setiap hari selama 1-2 bulan dan diteruskan
dengan H + R + E atau S, 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama
pengobatan menjadi 6-9 bulan. Setelah mulai dengan program DOTS barulah
direkomendasikan oleh WHO atau IUALTD serta sejalan dengan program
pemberantasan TB oleh Dep-Kes RI diberikan paduan 2 HRZE di fase awal dan
4 HR atau 4 H3R3 di fase lanjut. Untuk TB kambuh 2 HRZES/1 HRZE/ 5 HRE.
Untuk TB paru milier dan TB ekstra paru berat, terapi tahap lanjutannya yang
semula 4 bulan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga total terapi menjadi 9
bulan.42
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirainamid,
dan Etambutol yang dikemas dalam benuk blister44
2.2.11 Prognosis
Sebagian besar pasien dengan diagnosis TB memiliki prognosis yang baik.
Terutama karena pengobatan yang diberikan efektif. Tanpa pengobatan, angka
kematian tuberkulosis lebih dari > 50%. Kelompok pasien berikut ini lebih rentan
terhadap prognosis buruk atau kematian setelah infeksi TB32:
1. Usia ekstrem, lanjut usia, bayi, dan anak kecil.
2. Keterlambatan dalam pengobatan.
3. Bukti radiologis penyebaran luas.
4. Gangguan pernapasan berat yang membutuhkan ventilasi mekanis.
5. Imunosupresan
6. Tuberkulosis Multdrug Resistance (MDR).
35
2.2.12 Komplikasi
TB paru apanila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi – komplikasi yang terjadi pada penderita TB paru dibedakan menjadi
dua, yaitu43:
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut.
Komplikasi – komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut
adalah46:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik.
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus.
c. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah.
e. Penyebaran infeksi ke orang lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya.
tidur.
8. Menjemur, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari.
9. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya
dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
10. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.
2.3 LIMFADENITIS TB
2.3.1 Anatomi Kelenjar Getah Bening (KGB)
Kelenjar getah bening terbungkus kapsul fibrosa yg berisi kumpulan sel
pembentuk pertahanan tubuh dan tempat penyaringan antigen dari pembuluh getah
bening yang melewatinya. Fungsinya adalah sebagai filter berbagai mikroorganisme
asing dan partikel hasil degradasi sela tau metabolisme.
37
Terdapat kurang lebih 600 KGB, namun ada daerah yang teraba normal pada orang
sehat, yaitu submandibular, axillary, dan inguinal. 50% terdapat di kepala & leher.
2.3.3 Etiologi
Limfadenitis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales.
Spesies yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen
penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium
tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosis complex adalah
M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M. africanum, M. microti, M. pinnipedii, M.
canettii. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan epidemiologi. 46
Basil TB adalah bakteri aerobic obligat berbentuk batang tipis lurus
berukuran 0,4 x 3 μm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan
filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria
termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan gram dan hanya
dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus yang sangat kuat mengikat zat warna
tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol,
39
2.3.4 Epidemiologi
Selain TB paru, lokasi yang paling sering adalah Kelenjar Getah Bening
(KGB), saluran urogenital, pleura, tulang dan sendi, meningen dan sistem saraf
pusat, peritoneum dan organ perut lainnya. Penderita TB ekstra paru di Amerika
Serikat dan Jerman dilaporkan masing-masing sebanyak 41% dan 50%.
Limfadenitis TB di India terbanyak pada usia 11-20 tahun, sedangkan di Amerika
Serikat sering pada usia 25-50 tahun. Perbandingan antara laki-laki dengan
perempuan adalah 1:1,3. Epidemiologi TB menurut data survei di India lebih besar
dari perkiraan, walaupun angka kejadian dan kematian TB menurun secara global.
Pertumbuhan TB akan meningkat apabila terdapat kemiskinan, kepadatan penduduk
dan penyakit kronis yang menyebabkan disabilitas. Demikian juga, pada orang
berdaya tahan tubuh rendah dan lanjut usia, rentan tertular penyakit TB. Jumlah
kasus baru di Indonesia setiap tahun bertambah 25% dan sekitar 140.000 kematian
disebabkan oleh TB.47
40
2.3.5 Patogenesis
Secara umum penyakit dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB
ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer
dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Basil juga dapat menginfeksi organ lain
selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang
sering diinfeksi oleh basil adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran kemih,
tulang, menigens, peritoneum, dan pericardium. 48
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil.
Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB
ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama,
basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar
secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil
TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, di
mana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang
saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang
yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3-4 minggu setelah ineksi akan
terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB
dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu focus
primer yang disebut focus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan
limfadenitis regional disebut dengan komplek Ghon. Terbentuknya focus Ghon
mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, focus Ghon berarti dalam tubuh
seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua,
focus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB
dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit. 48
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas seluler
akan mebatasi peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan
pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada Tb primer, basic TB pada
TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe
lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan
tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru. 48
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
41
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB
masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya akan di bawa ke kelenjar limfe di leher.
membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan
pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur.
Selain itu, juga penting untuk membedakan jenis penyebab infeksi apakah karena
mikobakterium tuberkulosis atau non-tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :
A. Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan
kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.
Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsiaspirasi.
Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basilmikobakterium
pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat
positif. 48
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur
positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat
digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB.
Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada
adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering,diikuti oleh
M.bovis.48
B. Tes Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
tuberkulin yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang
telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah
terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa
indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal,
edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah
suntikan.46
Prinsip dasar uji tuberculin adalah sebagai berikut:
Infeksi M.tuberculosis sel limfosit T berproliferasi, tersensitisasi
masuk ke aliran darah, bersirkulasi berbulan-bulan/ bertahun-tahun.
Proses sensitisasi terjadi dalam kelenjar getah bening regional (2-12 jam
setelah infeksi).
46
3. Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun, sehingga tubuh tidak
memberikan reaksi terhadap tuberculin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi
TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk,
keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili,
pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan
vaksin virus hidup.48,49
C. Uji Interferon
Pemeriksaan IGRA (interferon gamma release assay) didasarkan pada
adanya pelepasan sitokin inflamasi yang dihasilkan oleh sel T limfosit yang
sebelumnya telah tersensitisasi oleh antigen M. tuberculosis. Pada uji IFN-γ,
limfosit darah tepi distimulasi secara in-vitro dan kadar IFN-γ yang dihasilkan
oleh sel limfosit T yang telah tersensitisasi oleh antigen protein spesifik M.
tuberculosis yaitu early secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture
filtrate protein-10 (CFP-10). Hasil pemeriksaan ini belum dapat membedakan
infeksi saja atau ada penyakit TB.48
Pemeriksaan IGRA ini memiliki spesifitas lebih tinggi daripada uji
tuberkulin karena tidak ada reaksi silang dengan vaksinasi BCG dan infeksi
mikobakterium atipik. Ada 2 macam pemeriksaan IGRA, yaitu quantiferon
TB gold dan T-spot-TB. Quantiferon TB-gold mengukur jumlah IFN-γ dengan
ELISA yang dinyatakan dalam pg/ml atau IU/ml. T-spot-TB menghitung
jumlah IFN-γ secreting T-cell berupa titik-titik (spot foaming cells).
Pemeriksaan IGRA belum dibuktikan hasilnya pada anak-anak.48
D. Serologi
Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologi
antigen-antibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan
PPD, A60, 38kDa, lipoarabinomannan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari
darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL),
cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang
ada: PAP TB, mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain
masih belum bisa membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Tes serologis
ini memiliki sensitivitas 19-68% dan spesifitas 40-98%.48,49
E. Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
49
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area
nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah
ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langhans). Diagnosis
histopatologi dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel
epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang dapat ditemukan juga BTA.
Kendala pemeriksaan PA adalah sulitnya didapatkan spesimen yang
representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah
limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini
mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara
histopatologi sulit dibedakan dengan TB.48,50
2.3.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian,
yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah
dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen
obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru.51
A. Terapi Non Farmakologis
50
1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perludiawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan
Tahap Lanjutan 52
1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
2.3.11 Prognosis
Prognosis baik jika segera diobati dengan pengobatan yang tepat. Infeksi
dapat dikendalikan dalam tiga atau empat hari. Namun, dalam beberapa kasus
mungkin diperlukan waktu beberapa minggu atau bulan untuk pembengkakan
menghilang, panjang pemulihan tergantung pada penyebab infeksi. Pengobatan
yang tidak tuntas dapat menyebabkan resistensi septikemia.51
2.3.12 Komplikasi
a. Komplikasi Limfadenitis
Komplikasi yang terjadi pada limfadenitis dapat berupa:
1. Pembentukan abses.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu
infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka
akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang
berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut
dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang
mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut. Akibat
penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan
pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas
abses. Hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran
infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam, maka infeksi bisa
53
ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut
dan mendorong lidah ke atas dan ke belakang. Dengan demikian dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas secara potensial serta terjadi sepsis.
Gejalanya sangat cepat dan dapat menyebabkan trismus, disfagia, leher
membengkak secara bilateral berwarna kecoklatan. Dan pada perabaan akan
terasa keras. Yang paling berakibat fatal adalah Ludwig’s angina tersebut
dapat menyebabkan lidah terdorong ke atas dan belakang sehingga
menimbulkan sesak nafas dan asfiksia karena sumbatan jalan nafas yang
kemudian dapat menyebabkan kematian.
Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai
struktur neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan nervus
vagus. Penjalaran infeksi ke daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi
sarung karotis atau menyebabkan trombosis vena jugularis interna. Infeksi
yang meluas ke tulang dapat menimbulkan osteomielitis mandibula dan
vertebra servikal. Dapat juga terjadi obstruksi saluran nafas atas, mediastinitis,
dehidrasi dan sepsis.
c. Komplikasi Limfadenitis tuberkulosis
Menurut Depkes RI, komplikasi pada limfadenitis tuberkulosis adalah
sebagai berikut:
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkankematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya
jalan napas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
4. Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal
dan sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
d. Komplikasi Limfadenitis akibat virus
Limfadenitis bisa disebabkan oleh beberapa virus, diantaranya adalah:
- Infectious mononucleosis lymphadenitis
- Cytomegalovirus (CMV) lymphadenitis
- Herpes simplex virus lymphadenitis
- Varicella-herpes zoster lymphadenitis
55
- Vaccinia lymphadenitis
- Measles lymphadenitis
- Human Immunodeficiency virus (HIV) lymphadnitis, with and without
salivary gland invovlvement
- Human Immunodeficiency virus (HIV) lymphadnitis of salivary gland
invovlvement
Namun, yang sering ditemukan adalah komplikasi akibat virus HIV yang
menyebabkan obstruksi saluran nafas, abses dan sepsis.
e. Komplikasi Limfadenitis akibat bakteri lain
Bakteri penyebab limfadenitis adalah Streptokokus beta hemolitikus.
Grup A atau stafilokokus aureus, Bartonella henselae, mikrobakterium atipik
dan tuberkulosis dan toksoplasma. Namun selain berbagai bekteri ini juga
ditemukan beberapa bakteri lain, diantaranya:
1. Non-specific acterial lymphadenitis (common, non-specific species)
2. Cat-scratch lymphadenitis ( Afipia felis)
3. Bacillary angiomatosis of lymph nodes ( Bartonella henselae and B.
Quintana)
4. Lymphogranuloma venereum lymphadenitis (Chlamydia trachomatis)
5. Syphilitic lymphadenitis (Trapenosoma pallidum)
6. Lymphadenitis of Whipple disease
Bakteri bakteri tersebut bisa mengakibatkan obstruksi saluran nafas,
abses, serta sepsis
d. Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberikan desinfektan (air
sabun)
e. Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan.
f. Hindari udara dingin.
g. Usahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat
tidur.
h. Menjemur endr, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari.
i. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga
mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
j. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.
BAB III
LAPORAN KASUS
No RM : 357429
Ruangan : An-Nisa B3
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Muhammad Khadafi
Umur : 23 tahun
Status kawin : Belum Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Datuk Rubiah Lingk 29 Rengas Pulau Medan Marelan
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Batuk Berdarah
Telaah :
Seorang pasien datang ke IGD RS Umum Haji Medan dengan keluhan batuk
sejak 5 hari yang lalu, batuk bersifat hilang timbul. Batuk disertai dengan dahak
kental bercampur sedikit darah berwarna merah segar. Batuk berkurang jika os
meminum air putih, os merasa sering berkeringat pada malam hari.
Os juga mengeluhkan sesak dan nyeri dada sebelah kiri saat bernapas.
Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu dan bersifat hilang timbul. Sesak bertambah
berat sejak 1 hari yang lalu saat os tertidur pada malam hari sehingga os terbangun
dari tidurnya. Sesak tidak hilang pada posisi berbaring, sesak berkurang jika os duduk
dan membaik saat diberi obat.
Kemudian os mengeluhkan adanya demam yang disertai dengan mengigil
sejak 3 hari yang lalu, demam bersifat hilang timbul. Demam mereda saat os
mengkonsumsi obat. Mual dan muntah juga dialami os sejak 3 hari yang lalu. Muntah
berisi cairan hernih sebanyak 2x sehari.
Os mempunyai Riwayat TB kelenjar yang dialami sejak 1 tahun yang lalu dan
sudah menyelesaikan pengobatan TB selama 9 bulan. Namun pada saat os kontrol
kembali masih terdapat benjolan pada leher. Kemudian dilakukan pemeriksaan
kembali dan didapatkan hasil positif HIV. Tetapi obat HIV hanya dikonsumsi 1 bulan
(putus obat).
.
BAK : 5 kali/hari, berwarna kuning jernih dan tuntas
BAB : 1 kali/ hari, konsistensi lunak, berwarna kecoklatan
RPT : TB kelenjar
RPK : Asam Urat
RPO : Obat Anti TB, Antasida, Paracetamol
R. Alergi : Tidak ada
R. Kebiasaan : suka berganti pasangan seks tanpa menggunakan kondom dan tidak
patuh minum obat anjuran dokter.
57
58
ANAMNESA UMUM
14. PSIKIS
Gelisah : Ya
ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU : Limfadenitis TB
ANAMNESA INTOKSIKASI :
Tidak ada
ANAMNESA MAKANAN :
ANAMNESA FAMILY :
STATUS PRESENT :
KEADAAN UMUM
KEADAAN PENYAKIT :
Anemi : Ya
Ikterus : Tidak
Sianosis : Tidak
Dispnoe : Ya
Edema : Tidak
Eritema : Tidak
Turgor : Baik, CRT <2 detik
Gerakan aktif : Ya
Sikap Tidur paksa : Tidak
KEADAAN GIZI :
BB : 65 KG
TB : 172 CM
RBW = BB/TB-100x100 % = 90,2 % Kesan : Normoweight
IMT = kg/cm² = 39/(1,55)2 = 22,0 Kg/cm2 Kesan : Normoweight
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Rambut rontok (+),Wajah tampak pucat, konjungtiva anemis (+),
leukoplakia (+)
Leher : Inspeksi = adanya bekas TB Kelenjar di leher sebelah kiri.
Thorax : Inspeksi = Dalam Batas Normal, Palpasi = Fremitus suara meningkat (+/+),
Perkusi = Sonor memendek (+/+), Auskultasi (SP) = Bronkial (+/+) ST =
Ronchi basah (+/+)
Abdomen : Dalam batas normal
Ektremitas : Pada kulit tangan kanan dan kiri terlihat bekas luka yang menghitam.
60
PEMERIKSAAN LABORATORIUM :
DARAH
Darah Lengkap
Hemoglobin 9,2 g/dl
Eritrosit 5,01 Juta/Ul
Leukosit 9,00 /Ul
Hematokrit 28,7 %
Trombosit 280 /Ul
PDW 14,9 fL
RDW-CV 23,6
Index Eritrosit
MCV 57 fL
MCH 19 Pg
MCHC 32 g/dL
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 0 %
Basofil 0 %
N. Segmen 84 %
Limfosit 10 %
Monosit 6 %
LED - mm/jam
Fungsi Hati
AST (SGOT) 21,0 u/L
ALT (SGPT) 9,0 u/L
Albumin - g/Dl
Bilirubin total - mEg/L
Fungsi Ginjal
Ureum 16,4 mg/dL
Kreatinin 0,88 mg/Dl
Glukosa Darah - mg/Dl
IMUNOSEROLOGI
HIV REAKTIF REAKTIF
Swab Antigen Covid-19 NEGATIF NEGATIF
61
Kesimpulan : TB Paru
DIAGNOSA BANDING :
TERAPI :
PEMERIKSAAN ANJURAN :
- Darah lengkap
- Sputum BTA
- Foto Thorax
- Pemeriksaan Imunoserologi
- ELISA
- Kultur HIV
- Viral Load
63
BAB IV
DISKUSI
63
penderita tampak baik saja meskipun
sebenarnya terjadi replikasi virus
secara lambat di dalam tubuh. Virus
terutama terakumulasi dalam kelenjar
limfe dan jarang ditemukan dalam
plasma. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar limfe
menyeluruh (limfadeopati generalisata
persisten / LGP)
Fase Infeksi Kronis Simptomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5
tahun terkena infeksi HIV. Berbagai
gejala penyakit ringan atau lebih berat
timbul pada fase ini, tergantung pada
tingkat imunitas penderita. Di dalam
kelenjar limfe akan terus terjadi
replikasi virus diikuti kerusakan dan
kematian sel folikuler dan limfosit T4
sebagai target utama virus HIV. Fungsi
kelenjar limfa sebagai penangkap virus
sudah menurun bahkan hilang dan
terjadi peningkatan virion dalam
sirkulasi darah.
Klasifikasi Infeksi primer HIV Pada pasien termasuk dalam
Asimptomatis kriteria Infeksi stadium III
Sindrom retrovirus akut Penurunan berat badan yang
Infeksi stadium I berat
Asimptomatis Diare kronis selama >1 bulan
Limfadenopati generalisata Kandidiasis oral
persisten Oral hairy leukoplakia
Infeksi stadium II TB paru
Penurunan berat badan sedang Infeksi bakteri
Infeksi tractus respiratorius rekuren Stomatitis, gingivitis /
Herpes Zoster periodontitis ulseratif nekrosis
Cheilitis angular akut
Ulserasi oral rekuren Anemia, neutropenia,
Erupsi pruritic popular trombositopeni selama >1
Dermatitis seboroik bulan
Infeksi jamur pada kuku jari
ektremitas
Infeksi stadium III
Penurunan berat badan yang berat
Diare kronis selama >1 bulan
Kandidiasis oral
Oral hairy leukoplakia
TB paru
Infeksi bakteri
Stomatitis, gingivitis / periodontitis
64
ulseratif nekrosis akut
Anemia, neutropenia,
trombositopeni selama >1 bulan
Infeksi stadium IV
HIV wasting syndrome
Pneumonia pneumocystis
Pneumonia bakteri berat
Infeksi herpes simpleks kronik
Kandidiasis esofageal
TB Ekstraparu
Sarkoma Kaposi
Toksoplasmosis pada sistem saraf
pusat
Ensefalopati HIV
Kriptokokosis ekstrapulmoner,
termasuk meningitis
Infeksi mycobacteria non-
tuberculous progresif
Progressive multifocal
leukoencephalopathy (PML)
Kandidiasi pada trakea, bronkus
atau paru
Kriptosporidiosis
Isosporiasis
Infeksi herpes simpleks visceral
Infeksi cytomegalovirus
Mikosis diseminata
Recurrents non typhoidal
salmonella septicaemia
Limfoma
Karsinoma serviks invasive
Leishmaniasis viseral
Pemeriksaan Pemeriksaan Penunjang HIV: Pada pasien telah dilakukan
Penunjang - Pemeriksaan Antigen P24 pemeriksaan Antigen P24 dan
- Kultur HIV didapatkan hasil REAKTIF.
- Pemeriksaan jumlah HIV-RNA (Viral
Load)
- Pemeriksaan Antibody Serologi
(ELISA)
Diagnosis Banding 1. HIV/AIDS 1. HIV/AIDS
2. Malignant Imunoblastic Lymphoma 2. Malignant Imunoblastic
3. Mycobacterium Avium Complex Lymphoma
(MAC) 3. Mycobacterium Avium
4. Kriptokokus Complex (MAC)
5. Severe Combined 4. Kriptokokus
Imunodeficiencies (SCID) 5. Severe Combined
Imunodeficiencies (SCID)
Diagnosa Kerja HIV/AIDS HIV/AIDS Stadium III
65
Penatalaksanaan Penatalaksanaan HIV: Penatalaksanaan HIV:
Terapi Antiretroviral (ARV) Terapi Antiretroviral (ARV)
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Tenofovir 300 mg 1x1 + Lamivudine Tenofovir 300 mg 1x1 +
150 mg 2x1 (atau Emitricitabine) + Lamivudine 150 mg 2x1 (atau
Efavirenz 600 mg 1x1 (diberikan pada Emitricitabine) + Efavirenz 600
malam hari) mg 1x1 (diberikan pada malam
hari)
Prognosis Faktor-faktor tertentu berkorelasi Prognosis buruk, dikarenakan ada
dengan prognosis yang lebih buruk dari infeksi oportunistik berupa TB
kondisi terkait AIDS: ras Afrika- Paru, dan pasien putus minum obat
Amerika atau campuran, jumlah infeksi HIV
oportunistik, status fungsional dan gizi
yang buruk, anemia, penyalahgunaan
zat aktif, jumlah CD4+ yang rendah,
dan viral load HIV yang tinggi
Komplikasi 1. Oral lesi, seperti : kandidiasis, Leukoplakia
herpes simplek, sarcoma Kaposi,
HPV oral, Ginggivitis, Peridonitis,
HIV, Leukoplakia oral
2. Neurologik, seperti : Kompleks
demensia AIDS, Ensefalopati akut,
infark serebral kornea sifilis
meningovaskuler, neuropati
3. Gastrointestinal, seperti : diare,
hepatitis
4. Respirasi, seperti : pneumocystic
carinii, cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus
5. Dermatologik, seperti : herpes
simpleks dan zoster
6. Sensorik, seperti : kebutaan,
kehilangan pendengaran / otitis
eksternal akut dan otitis media.
Pencegahan dan Untuk menghindari penularan HIV, Untuk menghindari penularan
Eduksi dikenal konsep “ABCDE” sebagai HIV, dikenal konsep “ABCDE”
berikut: A (Abstinence) artinya absen sebagai berikut : A (Abstinence)
seks atau tidak melakukan hubungan artinya absen seks atau tidak
seks bagi yang belum menikah. B (Be melakukan hubungan seks bagi
Faithful) artinya bersikap saling setia yang belum menikah. B (Be
kepada satu pasangan seks (tidak Faithful) artinya bersikap saling
berganti-ganti pasangan). C (Condom) setia kepada satu pasangan seks
artinya cegah penularan HIV melalui (tidak berganti-ganti pasangan). C
hubungan seksual dengan (Condom) artinya cegah penularan
menggunakan kondom. D (Drug No) HIV melalui hubungan seksual
artinya dilarang menggunakan narkoba. dengan menggunakan kondom. D
E (Education) artinya pemberian (Drug No) artinya dilarang
edukasi dan informasi yang benar menggunakan narkoba. E
mengenai HIV, cara penularan, (Education) artinya pemberian
66
pencegahan dan pengobatannya. edukasi dan informasi yang benar
mengenai HIV, cara penularan,
pencegahan dan pengobatannya.
67
dan dewasa muda (5-15 tahun dan 15 – produktif dan dewasa muda : 23
44 tahun) tahun.
Manifestasi Klinis Batuk berdahak kronis Batuk berdahak bercampur
Demam darah segar
Berkeringat tanpa sebab pada Demam
malam hari Mengigil
Sesak napas Mual
Nyeri dada Muntah
Penurunan nafsu makan Berkeringat pada malam hari
Konjungtiva anemis Sesak napas
Berat badan menurun Nyeri dada
Penurunan nafsu makan
Konjungtiva anemis
Berat badan menurun
Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan Laboratorium:
1. LED ↑ Limfosit
Penunjang
2. Limfosit ↑ Pemeriksaan Sputum BTA (+)
Pemeriksaan Sputum BTA: Pemeriksaan Foto Thorax: terdapat
1. Sputum BTA (+) infiltrate dikedua lapang paru,
Pemeriksaan Foto Thorax: biasanya pada apex paru
1. Infiltrat pada lapang paru, biasanya
pada apeks paru.
2. Bayangan berawan (patchy) atau
berbercak (nodular).
3. Adanya kavitas, tunggal, atau
ganda.
4. Kelainan bilateral, terutama di
lapangan atas paru.
5. Adanya kalsifikasi.
Diagnosis Banding 1. TB Paru 1. TB Paru
2. Pneumonia 2. Pneumonia
3. Chronic Obstructive Pulmonary 3. Bronkitis Kronis
Disease (COPD) 4. Bronkopneumonia
4. Bronkhitis 5. Bronkiektasis
5. Asma Bronkial
68
2. Kategori 2 pada pasien kambuh, Etambutol 750mg
gagal pengobatan, pasien putus
pengobatan
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Prognosis Prognosis baik. Terutama karena Prognosis buruk. Terutama
pengobatan yang diberikan efektif. karena terdapat infeksi
Tanpa pengobatan, prognosis buruk HIV/AIDS.
angka kematian tuberkulosis lebih
dari > 50%.
69
BAB V
KESIMPULAN
70
71
DAFTAR PUSTAKA
13. Hessol, N. A., Gandhi, M., Greenblatt, R. M. Epidemiology and Natural History of HIV
Infection in Women. In: Anderson, J. R., eds. A Guide To The Clinical Care of Women
With HIV. 1rst ed. Rockville: Parklawn Building; 2005; 1: p. 1-35.
14. Merati, K.T.P. HIV sebagai Penyebab AIDS dalam Buku Disertasi Subtipe HIV-1 di
Beberapa Daerah di Indonesia dan Perannya sebagai Petunjuk Dinamika Epidemi HIV.
2008. P.14-16.
15. Duarsa, N. W. Infeksi HIV dan AIDS. Dalam: Daili, S. F., Makes, W. I. B., Zubier, F.,
editor. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009; 4: hal.
146-159.
16. Moir, S., Chun, T. W., Fauci, A. S. Immunology and Pathogenesis of Human
Immunodeficiency Virus Infection. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot,
P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008; 5(20) : 341-359.
17. Harrington, P. R., Swanstrom, R. The Biologi of HIV, SIV, and Other Lentiviruses. In:
Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L.,
Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York:
McGraw-Hill; 2008; 5(20) : 323-341.
18. Norris, S. HIV/AIDS – Past, Present and Future. Canada: Library of Parliament. 2011;
p. 1-5.
19. U.S. Department of Health and Human Services. Guide For HIV/AIDS Clinical Care.
2014.
20. Weinberg, J. L., Kovarik, C. L. The WHO Clinical Staging System for HIV/AIDS.
American Medical Association Journal of Ethics. 2010; 12(3): 202-206.
21. Nelwan, E.J., Wisaksana, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI.
InternaPublishing. 2015
22. Bennet NJ. HIV infection and AIDS differential diagnoses.
https://emedicine.medscape.com/article/211316-differential. [di sitasi tanggal 22
November 2021]. 2020
23. Burchett, S. K., Pizzo, P. A. HIV Infection in Infants, Children, and Adolescents.
Pediatrics in Review. 2003; 24: 186-193.
24. World Health Organization. Consolidated Gidelines On The Use of Antiretroviral
Drugs for Treating and Preventing HIV Infection: What’s New. 2015.
25. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
73
Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2011. p. 1-60.
26. Department of Health and Human Services USA. Guidelines for the Use of
Antiretroviral Agents in HIV-1-Infected Adults and Adolescents. 2015.
27. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Diseases Treatment
Guidelines. MMWR. 2015; 64(3): p.1-110.
28. Anonim. Pedoman Pengobatan Antiretroviral poli Voluntary Counselling and Testing
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar tahun 2012. Tidak dipublikasikan.
29. National AIDS Control Organization Government of India. Antiretroviral Therapy
Guidelines for HIV-Infected Adults and Adolescents. 2013.
30. Oppenheim, S. Fast Facts and Concepts #213 Prognosis in HIV and AIDS. Palliative
Care Network of Wisconsin. 2016
31. Susanto C., R., Made., A., M. Komplikasi HIV : Penyakit Kulit dan Kelamin.
Yogyakarta: Nuha Medika. 2013
32. Adigun, R. Tuberculosis. Statpearls [Internet]. Retrieved November 1, 2021, from
http://lm.nih.gov/books/NBK441916/?report=classic.(2021, July 25)
33. Singer-Leshinsky S. Pulmonary tuberculosis. Journal of the Amrican Academy of
Physician Assistants. 2016;29(2):20-5.
34. Karim, K., et al. Hubungan Manifestasi Klinis dan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks
dalam Mendiagnosis TB di RSU Kota Tangerang Selatan pada Tahun 2013. 2013
Departemen Kesehatan RI. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
tahun 2002-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2001.
35. Darliana, D. Manajemen Pasien Tuberkulosis Paru. Idea Nursing Journal, 2011, 2.1:27-
31
36. Departemen Kesehatan RI. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
tahun 2002-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2001.
37. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan
ke-8. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2002.
38. Kochi, A. The Global Tuberculosis Situation and the New Control Strategy of the
World Health Organization. Tubercle 1991;72:213 – 20.
39. Wunderink RG, Watever GW. 2014. Community-acquired pneumonia. Nengl J Med.
2014;370:534-51
40. Bassiri-Jahromi S, Doostkam A. Actinomyces and Nocardia infections in chronic
granulomatous disease. Journal of Global Infectious Diseases. 2011;3(4):348.
74
41. Niederman MS, Mandel LA, Anzueto A, Bass JB, Broughton WA, Campbell GD, Dean
N, File T, Fine MJ, Gross PA et al. VICTOR L. YU, M.D. Guidelines for the
Management of Adults with Community-acquired Pneumonia – Diagnosis, Assessment
of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit Care Med 2001;
163: 1730-1754
42. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI. 2005
43. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, Aru., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
VI. InternaPublishing. 2014
44. Wahyuningsih, Esther. Pola Klinik Tuberkulosis Paru di RSUP Dr. Kariadi Semarang
Periode Juli 2012-Agustus 2013. 2014. PhD Thesis. Faculty of Medicine Diponegoro
University.
45. Pusat Informasi Obat Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan. Antituberkulosis.
Jakarta: Badam POM RI; 2015
46. Dolin PJ, Raviglione MC, Kochi A. Global tuberculosis incidence and mortality during
1990 -2000. Bull World Health Organ 1994;72:213-20
47. Bayazit, A., dkk. Diagnosis Banding dan prognosis Limfadenitis TB : Mycobacterial
Serviks Limfadenitis, ORI. 2004. 66; hal: 275-280
48. Suryadi., D. Epidemiologi Limfadenitis TB : Analisis Gambaran morfologi
Limfadenitis Tuberculosis Menggunakan Metode Biopsi Aspirasi Jarum Halus dan
Polymerase Chain Reaction. Universitas Sumatera Utara : Majalah Patologi Indonesia.
2020. 1 Mei; 29 (2) hal: 96
49. Spelman, D. Tuberculous lymphadenitis. Available from: www.uptodate.com. [disitasi
tanggal 22 November 2021]
50. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenitis and malignancy. Am Fam Physician.
2012;66:2103-10.
51. Robbins KT, Clayman G, Levine PA, Medina J, Sessions R. Neck dissetion
clasification update. Revision proposed by the American Head and Neck Society and
the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. 2012;128:751-8.
52. Kumar, Vinary, Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. Limfadenitis Tuberkulosis.
Dalam : Buku Ajar Patologi Edisi Vol.2. Jakarta : ECG, 2011: 316-53.