Anda di halaman 1dari 80

Laporan Kasus

HIV/AIDS + TB PARU + POST LIMFADENITIS TB

Pembimbing :

dr. Armon Rahimi., Sp.PD-KPTI

Disusun Oleh :

Falhan Muhammad Fazdin (20360183)

Faizah Attamimi Nuha (20360184)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang
berjudul “HIV/AIDS + TB PARU + POST LIMFADENITIS TB“. Laporan kasus
ini disusun sebagai tugas mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Ilmu
Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar
di SMF Ilmu Penyakit Dalam, khususnya dr. Armon Rahimi., Sp.PD. KPTI atas
bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Dalam
ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas “Laporan Kasus” ini. Kami menyadari
bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus
ini dan untuk melatih kemampuan menulis makalah untuk selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, 22 November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................
Kata Pengantar......................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3


1.1. HIV/AIDS............................................................................................ 3
1.1.1. Definisi................................................................................. 3
1.1.2. Etiologi................................................................................. 3
1.1.3. Epidemiologi........................................................................ 3
1.1.4. Patogenesis........................................................................... 4
1.1.5. Manifestasi Klinis................................................................. 5
1.1.6. Klasifikasi............................................................................. 9
1.1.7. Pemeriksaan Penunjang........................................................ 13
1.1.8. Diagnosis Banding............................................................... 15
1.1.9. Diagnosa Kerja..................................................................... 17
1.1.10. Penatalaksanaan.................................................................... 17
1.1.11. Prognosis.............................................................................. 24
1.1.12. Komplikasi........................................................................... 26
1.1.13. Pencegahan dan Edukasi...................................................... 27
1.2. TB Paru................................................................................................ 28
1.2.1. Definisi................................................................................. 28
1.2.2. Klasifikasi............................................................................. 28
1.2.3. Epidemiologi........................................................................ 30
1.2.4. Patogenesis........................................................................... 31
1.2.5. Manifestasi Klinis................................................................. 32
1.2.6. Pemeriksaan Penunjang........................................................ 32
1.2.7. Diagnosis Banding............................................................... 34
1.2.8. Diagnosis Kerja.................................................................... 35
1.2.9. Penatalaksanaan.................................................................... 35
1.2.10. Prognosis.............................................................................. 37

ii
1.2.11. Komplikasi........................................................................... 37
1.2.12. Pencegahan dan Edukasi...................................................... 38
1.3. Limfadenitis TB.................................................................................. 39
1.3.1. Anatomi Kelenjar Getah Bening.......................................... 39
1.3.2. Definisi................................................................................. 41
1.3.3. Etiologi................................................................................. 41
1.3.4. Epidemiologi........................................................................ 42
1.3.5. Patogenesis........................................................................... 42
1.3.6. Manifestasi Klinis................................................................. 44
1.3.7. Pemeriksaan Penunjang........................................................ 47
1.3.8. Diagnosis Banding............................................................... 52
1.3.9. Diagnosis Kerja.................................................................... 52
1.3.10. Penatalaksanaan.................................................................... 53
1.3.11. Prognosis.............................................................................. 55
1.3.12. Komplikasi........................................................................... 55
1.3.13. Pencegahan dan Edukasi...................................................... 58

BAB III LAPORAN KASUS................................................................................. 60


BAB IV DISKUSI................................................................................................... 67
BAB V KESIMPULAN......................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang


menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndfrome adalah sekumpulan
gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
oleh HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah
terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik) yang sering berakibat fatal.1
Virus tersebut dapat ditransmisikan dengan dua cara, yaitu vertikal dan
horizontal. Cara vertikal adalah cara penularan dari ibu ke anak ketika dalam
kandungan, proses kelahiran, atau menyusui. Cara horizontal adalah cara penularan
dari orang dewasa ke orang dewasa lainnya melalui aktivitas seksual, tranfusi darah,
dan penggunaan jarum yang terkontaminasi secara bersamaan seperti pada pembuatan
tato, tindik, dan narkoba jarum suntik.2,3
Diseluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV yang
meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah infeksi baru
HIV pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000
anak berusia <15 tahun. Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri
dari 1,3 juta dewasa dan 190.000 anak berusia <15 tahun.4
HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis kesehatan, krisis pembangunan
negara, krisis ekonomi, Pendidikan dan juga kemanusiaan. Dengan kata lain,
HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Pengidap HIV memerlukan pengobatan
dengan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh
agar tidak masuk kedalam stadium AIDS, sedangkan pengidap AIDS memerlukan
pengobatan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai
komplikasinya.4,5
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi paling sering menyerang
jaringan paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis
(TB) paru ini dapat menyerang semua usia dengan kondisi klinis yang berbeda-beda
atau tanpa dengan gejala sama sekali hingga manifestasi berat. Tuberkulosis (TB)
adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Sampai sekarang ini
belum ada satu negara pun di dunia yang bebas dari tuberkulosis (TB).6

1
2

Infeksi TB mengakibatkan penurunan asupan dan malabsorpsi nutrient serta


perubahan metabolisme tubuh sehingga terjadi proses penurunan massa otot dan
lemak (wasting) sebagai manifestasi malnutrisi energi protein. Malnutrisi pada infeksi
TB memperberat perjalanan penyakit TB dan mempengaruhi prognosis pengobatan
dan tingkat kematian.7
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000 lebih
dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB bertanggung jawab
terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun, sebagian besar terjadi di
negara berkembang. World Health Organization memperkirakan bahwa TB
merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak
dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat
malaria dan AIDS. Pada wanita kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian
karena kehamilan, persalinan, dan nifas. Menurut perkiraan antara tahun 2000–2020
kematian karena TB meningkat sampai 35 juta orang. Setiap hari ditemukan 23.000
kasus TB aktif dan TB menyebabkan hampir 5000 kematian. Total insidens TB
selama 10 tahun, dari tahun 1990- 1999 diperkirakan 88,2 juta dan 8 juta di antaranya
berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat
TB 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV.8,9
Tuberkulosis (TB) tentunya perlu mendapat perhatian dan penanganan yang
tepat, mengingat penyakit ini masih menjadi permasalahan kesehatan utama di
Indonesia. Untuk itu, diagnosis yang tepat, pemberian terapi OAT yang efektif,
perawatan yang baik, serta usaha preventif yang bermakna terhadap penyakit ini perlu
dilakukan agar berkurangnya morbiditas dan mortalitas pada tuberkulosis.
Infeksi TB merupakan salah satu infeksi oportunistis pada penyakit
HIV/AIDS. Sekitar 49 % pasien dengan HIV/AIDS ditemukan dengan kondisi
koinfeksi TB. Pada pasien HIV/AIDS dengan sistem imunitas yang menurun, adanya
infeksi TB laten dapat dengan mudah berkembang menjadi TB aktif. Risiko pasien
HIV/AIDS menderita TB adalah sebesar 10% per tahun, sedangkan pada
non-HIV/AIDS risiko untuk menderita TB hanya sebesar 10% seumur hidupnya.
WHO menyebutkan bahwa prevalensi HIV/AIDS dengan koinfeksi TB pada tahun
2013 adalah sebesar 7,5%. Angka kematian akibat infeksi TB pada penderita
HIV/AIDS lebih tinggi, TB merupakan penyebab kematian tersering (30-50%) pada
penderita HIV/AIDS. 10,11
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Definisi
AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala
penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus), ditemukan dalam tubuh
terutama darah, cairan sperma, cairan vagina, Air Susu Ibu. HIV merupakan jenis
virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh, sehingga orang yang terkena virus
ini menjadi rentan terhadap beragam infeksi atau juga mudah terkena tumor.12

2.1.2 Etiologi
Virus HIV adalah suatu virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk
retrovirus dari famili lentivirus. Strukturnya terdiri dari selubung luar atau
envelope yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein
gp41. Kemudian terdapat lapisan kedua terdiri dari protein p17. Di tengahnya
terdapat inti virus yang dibentuk oleh protein p24, ditunjukkan dalam gambar 1. Di
dalam inti terdapat 2 buah rantai RNA dan ensim reverse transcriptase.13,14

Gambar 1 Struktur HIV

2.1.3 Epidemiologi
4

Populasi terinfeksi HIV terbesar di dunia adalah di benua Afrika (25,7 juta
orang), kemudian di Asia Tenggara (3,8 juta), dan di Amerika (3,5 juta).
Sedangkan yang terendah ada di Pasifik Barat sebanyak 1,9 juta orang. Tingginya
populasi orang terinfeksi HIV di Asia Tenggara mengharuskan Indonesia untuk
lebih waspada terhadap penyebaran dan penularan virus ini.
Selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus. Berdasarkan data WHO
tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di regional Asia Pasifik. Untuk kasus
AIDS tertinggi selama sebelas tahun terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214 kasus.
Lima provinsi dengan jumlah kasus HIV terbanyak adalah Jawa Timur, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua, dimana pada tahun 2017 kasus HIV
terbanyak juga dimiliki oleh kelima provinsi tersebut. Sedangkan jumlah kasus
AIDS terbanyak adalah Jawa Tengah, Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan
Kepulauan Riau. Kasus AIDS di Jawa Tengah adalah sekitar 22% dari total kasus
di Indonesia. Tren kasus HIV dan AIDS tertinggi dari tahun 2017 sampai dengan
2019 masih sama, yaitu sebagian besar di pulau Jawa.
Kasus HIV dan AIDS pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Kasus HIV
tahun 2019 sebanyak 64,50% adalah laki-laki, sedangkan kasus AIDS sebesar
68,60% pengidapnya adalah laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil laporan HIV
berdasarkan jenis kelamin sejak tahun 2008-2019, dimana persentase penderita
laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan.1

2.1.4 Patogenesis
Virus masuk ke dalam tubuh melalui perantara darah, semen dan sekret
vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. Cara
seksual melalui heteroseksual maupun homoseksual sedangkan non seksual
melalui transfusi darah, pemakaian jarum suntik bersama atau secara vertikal dari
ibu positif HIV kepada bayinya baik saat hamil, melahirkan atau saat laktasi.14,15
Human Immunodeficiency Virus cenderung untuk menyerang jenis sel
tertentu, terutama sekali limfosit T4 (CD4) yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4 virus
juga dapat menginfeksi sel monosit, makrofag dan langerhans pada kulit, sel
dendritik folikuler pada kelenjar limfe, sel makrofag pada alveoli paru, sel retina,
sel serviks uteri, sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4
5

selanjutnya mengadakan replikasi sehingga akhirnya menjadi banyak dan akhirnya


menghancurkan sel limfosit itu sendiri.15,16
Human Immunodeficiency Virus tergolong retrovirus yang mempunyai materi
generik RNA. Bilamana virus masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka
RNA virus diubah menjadi Deoxyribonucleic acid (DNA) oleh ensim reverse
transcryptase yang dimiliki oleh HIV, DNA pro-virus tersebut selanjutnya
diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk
membentuk gen virus.17
Proses infeksi dimulai dengan pengikatan (attachment and binding) gp120
dengan molekul reseptor pada pemukaan sel target (kemokin CCR5 / CXCR4 pada
CD4). Selanjutnya inti virus masuk ke dalam sel dan terjadi fusi membran sel
dengan envelope virus. RNA virus mengalami transkripsi balik menjadi DNA oleh
ensim RTase, disebut complimentary DNA (DNA untai tunggal), berlanjut menjadi
DNA untai ganda (double stranded DNA / dsDNA) kemudian dsDNA dibawa ke
inti sel. Di inti akan terjadi integrasi dsDNA virus dengan kromosom DNA sel,
dimediasi ensim integrase.14
DNA integrasi akan mencetak mRNA dengan bantuan ensim polymerase.
Selanjutnya mRNA akan ditranslasi menjadi komponen virus baru di dalam
sitoplasma sel yang terinfeksi virus. Komponen-komponen virus akan
ditransportasi ke membran plasma dan disinilah akan terjadi perakitan menjadi
virus HIV baru yang masih immature, budding dan selanjutnya mengalami
proteolisis oleh protease menjadi virus HIV matur.14
Human Immunodeficiency Virus juga mempunyai sejumlah gen yang dapat
mengatur replikasi maupun pertumbuhan virus yang baru. Salah satu gen tersebut
ialah tat yang dapat mempercepat replikasi virus sedemikian hebatnya sehingga
terjadi penghancuran limfosit T4 secara besar-besaran yang akhirnya menyebabkan
sistem kekebalan tubuh menjadi lumpuh. Kelumpuhan sistem kekebalan tubuh ini
mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan keganasan yang
merupakan gejala-gejala klinis AIDS.15

2.1.5 Manifestasi Klinis


6

Infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan


spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium
awal sampai gejala yang berat pada stadium lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan
gejala AIDS rata-rata timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama.13
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya infeksi HIV menjadi AIDS
belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang-ulang dan
pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain memperngaruhi perkembangan kearah
AIDS. Menurunnya jumlah hitungan CD4 dibawah 200 sel / mL menujukkan
perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang memburuk juga ditunjukkan
oleh peningkatan B2 mikro globulin, p24 (antibodi terhadap protein core) dan juga
peningkatan IgA.15
Untuk lebih memberikan pemahaman tentang gambaran dan perjalanan klinis
infeksi HIV berikut ini akan dikemukakan beberapa klasifikasi atau tahap-tahap
infeksi, yang akan bermanfaat bagi kepentingan klinis. Selain itu, juga diketahui
adanya periode masa jendela atau ‘window period’ dimana pemeriksaan tes
antibodi terhadap HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada
dalam darah pasien yang terinfeksi HIV. Hal ini terjadi karena antibodi yang
terbentuk belum cukup kadarnya untuk dapat terdeteksi pemeriksaan laboratorium.
Periode masa jendela ini sangat penting karena pada periode ini pasien sudah
berpotensi menularkan HIV pada orang lain, dapat berlangsung sampai 6 bulan
sebelum terjadi serokonversi positif.15,18

2.1.5.1 Fase Infeksi Akut


Gejala infeksi akut biasanya timbul sesudah masa inkubasi selama
1-3 bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza (flu like
syndrome) berupa demam, artralgia, malaise, anoreksia, gejala kulit
(bercak merah, urtikaria), gejala saraf (sakit kepala, nyeri retrobulber,
radikulopati, gangguan kognitif serta afektif) dan gangguan
gastrointestinal (nausea, vomitus, kandidiasis orofaringitis, diare). Gejala
tersebut diatas, merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya virus dan
berlangsung 1-2 minggu.13
Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Akan terjadi penurunan sel limfosit CD4 yang signifikan dalam 2-
8 minggu pertama kemudian terjadi kenaikan kembali karena mulai terjadi
7

respon imun. Perhitungan sel CD4 biasanya masih sekitar 750-1000 / mL.
Konsentrasi virus HIV dalam plasma dan sekret genital ditemukan sangat
tinggi, namun test terhadap antibodi HIV sering ditemukan masih negatif.
Serokonversi terjadi pada fase ini dan antibodi virus mulai dapat dideteksi
kira-kira 3-6 bulan sesudah infeksi.15,18,19
Hampir semua kasus infeksi HIV mengalami gejala klinis tersebut
dan nampaknya perlu dipahami untuk menegakkan diagnosis dini dan
mengambil langkah-langkah selanjutnya. Pertanyaan “apakah bukan
AIDS” pada keadaan seperti itu, meningkatkan penemuan infeksi HIV
secara dini.

2.1.5.2 Fase Infeksi Kronis Asimptomatik (Laten)


Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian,
umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja meskipun
sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Setelah
terjadi infeksi primer akan timbul respon imun spesifik tubuh terhadap
virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T memberikan perlawanan
sehingga sebagian besar virus hilang dari peredaran sistemik. Akan terjadi
peningkatan antibodi sebagai respon imun humoral. Setiap hari akan
dihasilkan virus HIV baru yang dengan cepat dihancurkan sistem imun
tubuh (dalam 5-6 jam), namun demikian sebagian virus masih menetap
dalam tubuh dan bereplikasi.14
Virus terutama terakumulasi dalam kelenjar limfe dan jarang
ditemukan dalam plasma. Beberapa penderita mengalami pembengkakan
kelenjar limfe menyeluruh (limfadeopati generalisata persisten / LGP),
meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostik dan tidak berpengaruh
bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel
CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi
biasanya masih pada hitungan 500 sel / mL. Pada fase ini secara sporadis
muncul penyakit-penyakit autoimun misalnya lain idiopathic
thrombocytopenia purpura (ITP). Juga sindrom Guillain-Barre akut,
poliomielitis idiopatik dapat muncul.15,20
Jumlah virus, setelah mencapai jumlah tertinggi pada awal fase
infeksi akut akan mencapai suatu jumlah tertentu (set point) selama fase
8

laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu terjadinya AIDS.
Apabila jumlah virus < 1000 kopi / mL darah, periode laten kemungkinan
akan > 10 tahun sebelum terjadi AIDS, apabila jumlahnya < 200 kopi / mL
darah maka infeksi HIV tidak mengarah menjadi AIDS. Pasien dengan set
point > 100.000 kopi / mL darah akan mengalami penurunan sel CD4 lebih
cepat dah berkembang menjadi AIDS < 10 tahun. Fase laten berlangsung
sekitar 3-13 tahun setelah terinfeksi HIV.20

2.1.5.3 Fase Infeksi Kronis Simptomatik


Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV.
Berbagai gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini,
tergantung pada tingkat imunitas penderita. Di dalam kelenjar limfe akan
terus terjadi replikasi virus diikuti kerusakan dan kematian sel dendritik
folikuler dan limfosit T4 sebagai target utama virus HIV. Fungsi kelenjar
limfa sebagai penangkap virus sudah menurun bahkan hilang dan terjadi
peningkatan virion dalam sirkulasi darah.20
A. Penurunan Imunitas Sedang CD4 200-500 (Sub-fase A)
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit yang lebih ringan
misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks, namun
dapat sembuh spontan atau hanya dengan pengobatan biasa. Penyakit
kulit seperti dermatitis seboroik, veruka vulgaris, moluskum
kontangiosum atau kandidiasis oral sering timbul. Keganasan, AIDS
Related Complex (ARC) dan keadaan yang disebut AIDS juga dapat
timbul pada fase B.
Keadaan yang disebut AIDS (CDC, revisi 1993) dapat terjadi
pada sub-fase ini: misalkan bila sudah ditentukan sarkoma kaposi,
limfoma non-Hodgkin dan lainnya. AIDS Related Complex adalah
keadaan yang ditandai oleh paling sedikit dua gejala dari gejala-gejala
berikut:15
- Demam yang berlangsung > 3 bulan
- Penurunan berat badan > 10%
- Diare
- Limfadenopati berlangsung > 3 bulan
- Kelelahan dan keringat malam
9

dengan ditambah paling sedikit 2 kelainan laboratorium berikut:


- CD4 < 400 / mL
- Ratio CD4 / CD8 < 1.0
- Leukotrombositopenia dan anemia
- Peningkatan serum imunoglobulin
- Penurunan blastogenesis sel limfosit
- Tes kulit anergi

B. Penurunan Imunitas Berat : CD4 < 200 (Sub-fase B)


Selanjutnya jumlah virion terus meningkat dengan cepat
sedangkan respon imun semakin tertekan sehingga pasien semakin
rentan terhadap berbagai macam infeksi yang disebabkan oleh virus,
jamur, bakteri bahkan protozoa. Akan terjadi peningkatan jumlah
virion berlebihan dalam sirkulasi (viremia terjadi untuk kedua kalinya)
dan boleh dikatakan tubuh sudah dalam keadaan kehilangan
kekebalannya. Jumlah sel T CD4 < 200 sel / mL.20
Pada sub-fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering
mengancam jiwa penderita seperti pneumocystitis carinii (PCP),
toksoplasma, cryptococcosis, tuberkulosis (TB) paru, Cytomegalovirus
/ CMV dan lainnya, menandakan sudah berkembang menjadi AIDS.
Keganasan juga sering timbul pada sub-fase ini meskipun sering pada
fase yang lebih awal.

2.1.6 Klasifikasi
Sistem klasifikasi stadium HIV berdasarkan WHO (terakhir direvisi tahun
2007) ditunjukkan dalam tabel 1, dapat digunakan di negara dengan sumber daya
terbatas yang tidak memiliki fasilitas memadai untuk melakukan penghitungan sel
CD4 atau metode diagnostik HIV lainnya. Sistem WHO mengklasifikasikan
stadium HIV hanya berdasarkan keadaan klinis yang bisa dikenali oleh klinisi,
tanpa membutuhkan pengalaman atau pelatihan khusus. Kondisi klinis
dikategorikan menjadi stadium 1-4 serta batasan orang dewasa dan remaja
didefinisikan berusia ≥ 15 tahun.19
Pasien dimasukkan ke dalam suatu stadium ketika mereka menunjukkan
10

minimal satu gejala yang termasuk ke dalam kriteria stadium tertentu. World
Health Organization menyatakan manifestasi klinis stadium 4 yang langsung dapat
didiagnosis sebagai AIDS adalah HIV wasting syndrome, pneumonia
pneumocystis, pneumonia bakteri berat atau secara radiologis dan rekuren, infeksi
herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorektal > 1 bulan), tuberkulosis
ekstraparu, sarkoma Kaposi, toksoplasmosis pada sistem saraf pusat, ensefalopati
HIV.20
Stadium Klinis Kondisi Klinis atau Gejala
Infeksi primer HIV  Asimptomatis
 Sindrom retrovirus akut
Infeksi stadium I  Asimptomatis
 Limfadenopati generalisata persisten
Infeksi stadium II  Penurunan berat badan sedang yang tidak diketahui
sebabnya (<10% dari berat badan yang terukur)
 Infeksi tractus respiratorius rekuren (sinusitis,
bronchitis, otitis media, faringitis)
 Herpes Zoster
 Cheilitis angular
 Ulserasi oral rekuren
 Erupsi pruritic popular
 Dermatitis seboroik
 Infeksi jamur pada kuku jari ektremitas
Infeksi stadium III  Penurunan berat badan yang berat (>10% berat badan
*Kondisi dimana yang terukur)
dugaan diagnosis  Diare kronis tanpa diketahui penyebabnya selama >1
dibuat berdasarkan bulan
gejala klinis atau  Kandidiasis oral
dengan investigasi  Oral hairy leukoplakia
sederhana  TB paru, didiagnosis selama 2 tahun terakhir
 Infeksi bakteri berat (pneumonia, empyema,
piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis,
bakteremia)
 Stomatitis, gingivitis / periodontitis ulseratif nekrosis
akut
 Kondisi anemia yang tidak diketahui penyebabnya (<8
g/dl) dengan atau neutropenia (500/mm3) atau
trombositopeni (<50.000/mm3) selama >1 bulan
(kondisi dikonfirmasi melalui uji diagnostic)
Infeksi stadium IV  HIV wasting syndrome
*Kondisi dimana  Pneumonia pneumocystis
dugaan diagnosis  Pneumonia bakteri berat atau secara radiologi dan
dibuat berdasarkan rekuren
gejala klinis atau  Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau
dengan investigasi anorectal dalam durasi >1 bulan)
sederhana  Kandidiasis esofageal
11

 TB Ekstraparu
 Sarkoma Kaposi
 Toksoplasmosis pada sistem saraf pusat
 Ensefalopati HIV
 Kriptokokosis ekstrapulmoner, termasuk meningitis
 Infeksi mycobacteria non-tuberculous progresif
 Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
 Kandidiasi pada trakea, bronkus atau paru
 Kriptosporidiosis
 Isosporiasis
 Infeksi herpes simpleks visceral
 Infeksi cytomegalovirus (rhinitis atau organ lain selain
hati, limpa dan kelenjar limfe)
 Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis,
penicillosis)
 Recurrents non typhoidal salmonella septicaemia
 Limfoma (serebri atau non-Hodgkin sel B)
 Karsinoma serviks invasive
 Leishmaniasis visceral
Tabel 1. Klasifikasi stadium WHO untuk orang dewasa dan remaja terinfeksi HIV.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Antigen P24
Salah satu cara pemeriksaan langsung terhadap virus HIV untuk
mendiagnosis HIV adalah pemeriksaan antigen p24 yang ditemukan pada
serum, plasma, dan cairan sererbrospinal. Kadarnya meningkat saat awal
infeksi dan beberapa saat sebelum penderita memasuki stadium AIDS. Oleh
karena itu pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai alat monitoring terapi
ARV. Sensitivitas pemeriksaan ini mencapai 99% dan spesifitasnya lebih tinggi
hingga 99,9%. Pada penderita yang baru terinfeksi, antigen p24 dapat positif
hingga 45 hari setelah infeksi, sehingga pemeriksaan antigen p24 hanya
dianjurkan sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita risiko tinggi tertular
HIV dengan hasil pemeriksaan serologis negatif, dan tidak dianjurkan sebagai
pemeriksaan awal yang berdiri sendiri. Pemeriksaan antigen p24 juga dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada bayi yang baru lahir dari ibu
HIV positif. Sensitivitasnya bervariasi sesuai umur dan stabil pada bayi
berumur lebih dari 1 bulan. 21
12

2. Kultur HIV
HIV dapat dikultur dengan cairan plasma, serum, peripheral blood
mononuclear cells, cairan serebrospinal, saliva, semen, lendir serviks, serta
ASI. Kultur HIV biasanya tumbuh dalam 21 hari. Pada saat ini kultur hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian, karena nilai diagnostiknya telah
tergantikan oleh pemeriksaan HIV-RNA yang lebih mudah, murah dan lebih
sensitif.21
3. HIV RNA
Jumlah HIV-RNA atau sering disebut juga viral load adalah
pemeriksaan yang menggunakan teknologi PCR untuk mengetahui jumlah HIV
dalam darah. Pemeriksaan HIV-RNA sangat berguna untuk mendiagnosis HIV
pada keadaan pemeriksaan serologis belum bisa memberikan hasil (misalnya
window period atau bayi yang lahir dari ibu HIV positif) atau pemeriksaan
serologis memberikan hasil intermediate. HIV-RNA dapat positif pada 11 hari
setelah terinfeksi HIV sehingga menurunkan masa jendela pada skrinning
donor darah. Selain untuk diagnostik HIV-RNA juga merupakan alat paling
penting dalam monitoring pengobatan ARV saat ini. Hasil negative semu dapat
ditemukan karena penggunaan plasma heparin, variasi genomik HIV,
kegagalan primer / probe atau jumlah virus yang kurang dari batas minimal
deteksi alat pemeriksaan. Sedangkan hasil positif semu dapat juga terjadi
terutama akibat kontaminasi bahan pemeriksaan. Hal positif semu ini dapat
dicegah dengan mensyaratkan PCR positif bila ditemukan 2 atau lebih produk
gen.21
4. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV secara
umum diklasifikasikan sebagai pemeriksaan penapisan (skrinning) dan
pemeriksaan konfirmasi. Metode yang paling banyak digunakan untuk
pemeriksaan penapisan adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA),
karena metode ini dianggap yang paling cocok digunakan untuk penapisan
spesimen dalam jumlah besar seperti donor darah. Metode ELISA mengalami
perkembangan dengan menggunakan antigen yang dilabel sebagai konjugat
sehingga hasil pemeriksaan sangat sensitif dan dapat mengurangi masa jendela,
pada ELISA generasi 4 dibuat pemeriksaan yang dapat mendeteksi baik
antibodi dan antigen HIV.21
13

Selain ELISA, metode lain untuk pemeriksaan serologi lain yang dapat
digunakan adalah pemeriksaan sederhana yang tidak membutuhkan alat seperti
aglutinasi, imunofiltrasi (flow through tests), imunokromatografi (lateral flow
tests), dan uji celup (dipstick). Hasil yang positif pada metode ini diindikasikan
dengan timbulnya bintik atau garis yang berwarna atau ditemukan pola
aglutinasi. Pemeriksaan pemeriksaan ini dapat dikerjakan kurang dari dari 20
menit, sehingga sering disebut uji cepat dan sederhana (simple rapid test).
Pemeriksaan dengan metode sederhana ini sangat sesuai digunakan pada
pelayanan pemeriksaan dan konseling serta pada laboratorium dengan fasilitas
yang terbatas dengan jumlah spesimen perhari yang tidak terlalu banyak.
Sampai saat ini, pemeriksaan konfirmasi yang paling sering digunakan
adalah pemeriksaan Western Blot (WB). Sayangnya, pemeriksaan ini
membutuhkan biaya yang besar dan seringkali memberikan hasil yang
meragukan. WHO dan UNAIDS merekomendasikan penggunaan kombinasi
ELISA dan atau uji cepat untuk pemeriksaan antibodi terhadap HIV
dibandingkan kombinasi ELISA dan WB.21

2.1.8 Diagnosis Banding


Diagnosa banding HIV/AIDS sebagai berikut: 22
1. HIV/AIDS.
merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus).
2. Malignant Imunoblastic Lymphoma
Limfoma imunoblastik (IBL), juga dikenal sebagai limfoma histiositik difus,
adalah kelainan ganas sel B. Gejala berupa keringat malam yang banyak,
demam biasanya ringan, dan pasien mungkin melaporkan penurunan berat
badan yang tidak disengaja lebih dari 10% dalam 6 bulan. Gejala lain mungkin
termasuk kelelahan (anemia) dan defisit neurologis (keterlibatan sistem saraf
pusat).
3. Mycobacterium Avium Complex (MAC)
MAC terutama merupakan patogen paru yang mempengaruhi individu yang
kekebalannya terganggu (misalnya, dari AIDS, leukemia sel berbulu,
kemoterapi imunosupresif). bermanifestasi sebagai batuk, produksi sputum,
14

penurunan berat badan, demam, lesu, dan keringat malam. Timbulnya gejala
berbahaya. Gejala mungkin ada selama berminggu-minggu hingga berbulan-
bulan. Banyak pasien hanya mengalami batuk kronis dengan produksi sputum
purulen. Hemoptisis jarang terjadi pada infeksi MAC.
4. Kriptokokosis.
Kriptokokosis merupakan infeksi jamur utama yang mengancam jiwa pada
pasien dengan infeksi HIV berat dan juga dapat mempersulit transplantasi organ,
keganasan retikuloendotelial, pengobatan kortikosteroid, atau sarkoidosis.
Pasien terinfeksi HIV dengan Kriptokokosis paru dapat menunjukkan gejala
berupa demam, batuk, dispnea, sakit kepala dan penurunan berat badan
5. Severe Combined Immunodeficiencies (SCID)
Adalah gangguan medis yang dihasilkan dari cacat genetic pada imunitas seluler
dan humora. Cacat kekebalan tersebut menyebabkan infeksi bakteri, virus, dan
pathogen jamur yang dimulai selama masa bayi dan jika tidak diobati berakibat
fatal. Gangguan SCID harus dircurigai pada bayi / anak gagal untuk
berkembang, Infeksi saluran pernapasan atas dan bawah berulang yang tidak
merespons antibiotik yang sesuai, dan Infeksi kulit berulang dan penyembuhan
luka yang tertunda

2.1.9 Diagnosa Kerja


HIV/AIDS

2.1.10 Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri atas beberapa jenis, yaitu :
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat Anti Retroviral
(ARV)
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberculosis, hepatitis,
toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan
hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.5
15

2.1.10.1 Terapi Antiretroviral


Terapi antiretroviral selama fase akut dapat secara signifikan
menurunkan penularan infeksi terhadap orang lain, meningkatkan marker
infeksi, meringankan gejala penyakit penyakit, menurunkan titer virus,
mengurangi reservoir virus, menekan replikasi virus dan mempertahankan
fungsi imunitas.19
Psinsip dari terapi antiretroviral adalah pemberian obat yang
bekerja mencegah replikasi virus. Yang pertama adalah inhibitor ensim
reverse transcriptase, suatu ensim yang bekerja mengubah RNA HIV
menjadi DNA. Ensim reverse transcriptase ini dapat diblok oleh agen
analog nukleosida (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor / NRTI)
contohnya zidovudine (ZDV, atau disebut juga sebagai azidothymidine /
AZT), didanosine (ddI), stavudine (d4T), lamivudine (3TC), zalcitabine
(ddC), abacavir (ABV) emtricitabine (FTC) dan tenofovir disoproxil
fumarate (TDF).23
Selain itu ensim reverse transcriptase ini juga dapat diblok oleh
agen analog non nukleosida (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor / NNRTI) contohnya nevirapine (NVP), efavirenz (EFV) atau
delavirdine (DLV). Selain itu juga terdapat inhibitor ensim protease yang
penting dalam mengolah protein HIV contohnya saquinavir, nelfinavir,
ritonavir (RTV), indinavir, amprenavir dan lopinavir (LPV).23
Banyak ahli menggunakan terapi kombinasi misalnya: triple
(kombinasi ZDV 600 mg / hari, ddC 2,5 mg / hari. Dan saquinavir 1.800
mg / hari), double (kombinasi ddC + ZDV atau kombinasi ddC +
saquinavir). Terapi kombinasi terbukti memberikan hasil lebih baik dan
mengurangi timbulnya resistensi virus terhadap obat-obatan
antiretroviral.15
Sekarang ini prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan
tiga jenis obat yang ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis
terapeutik dalam darah, dikenal dengan istilah Highly Active
Antiretroviral Therapy (HAART) dan seringkali disingkat menjadi
Antiretroviral Therapy (ART). Panduan yang ditetapkan Departemen
Kesehatan (depkes) Indonesia untuk lini pertama ARV adalah 2 NRTI + 1
16

NNRTI, dengan panduan ART pada tabel 3.23


Zidovudine + Lamivudine +
AZT + 3TC + NVP ATAU
Nevirapine
Zidovudine + Lamivudine +
AZT + 3TC + EFP ATAU
Efavirenz
Tenofovir + Lamivudine
TDF + 3TC (atau FTC)
(atau Emtrictabine) + ATAU
+ NVP
Nevirapine
Tenofovir + Lamivudine
TDF + 3TC (atau FTC)
(atau Emitricitabine) +
+ EFV
Efavirenz
Tabel 3. Rekomendasi Panduan Lini Pertama Untuk Orang Dewasa
Yang Belum Pernah Mendapat Terapi ARV (Depkes)

Centers for Disease Control menyarankan pemberian antriretroviral


pada keadaan asimptomatik bila CD4 < 300 sel / mL dan CD4 < 500 sel /
mL pada simptomatik. Dosis zidovudine adalah 500-600 mg / hari dengan
cara diminum 100 mg setiap 4 jam saat pasien terjaga. Regimen 250-300
mg sementara tidak tersedia di Indonesia, bila tersedia dapat diberikan
setiap 12 jam. Dosis lamivudine adalah 300 mg sehari, diminum 150 mg
setiap 12 jam. Emtricitabine merupakan turunan dari lamivudine, dosis
diberikan 200 mg setiap 24 jam dan lebih dianjurkan bila tersedia.
Didanosine belum ada rekomendasi pemberiannya sebagai terapi
lini pertama, namun diberikan bila penderita tidak toleran terhadap ZDV,
atau sebagai pengganti ZDV dimana ZDV sudah amat lama dipakai, atau
bila pengobatan dengan ZDV tidak memberikan hasil. Diberikan dosis
100 mg setiap 12 jam untuk BB < 60 kg dan 125 mg setiap 12 jam untuk
BB > 60 kg. Dideoxycytidine (ddC, atau dikenal juga sebagai zalcitabine)
sering diberikan sebagai kombinasi dengan zidovudine, tetapi belum
cukup banyak pengalaman untuk pemakaian tersebut. Dosis 0,03 mg /
kgBB diberikan setiap 4 jam.15,23
Nevirapine awalnya diberikan 200 mg setiap 24 jam selama 14 hari,
kemudian dosis ditingkatkan menjadi 200 mg setiap 12 jam. Bila tidak
ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg setiap 12
jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Sedangkan efavirenz diberikan 600
mg setiap 24 jam. Dalam kondisi pasien tidak dianjurkan menggunakan
NNRTI contohnya kondisi ko-infeksi TB / HIV, ibu hamil dan hepatitis,
triple NRTI dapat diberikan. Penggunaannya dibatasi hanya 3 bulan lalu
17

dikembalikan ke lini pertama karena supresi virologisnya kurang kuat.


Berbagai obat antiretroviral saat ini sedang dikembangkan namun masih
dalam taraf penelitian.15,23
World Health Organization menekankan pemakaian obat kombinasi
dosis tetap yang diminum satu kali dalam sehari dan diskontinuitas
stavudine (d4T) sebagai terapi lini pertama karena menyebabkan
toksisitas metabolik. Sedangkan dosis efavirenz dikurangi sehingga
menurunkan biaya dan meningkatkan toleransi obat. Pada tabel 4
disebutkan obat ARV yang direkomendasikan WHO sebagai terapi lini
kedua dan ketiga untuk semua kelompok usia.24
Popuation 1st Line Regimen 2nd Line Regimens 3rd Line Regimens
Adults 2 NRTIs + EFV 2 NRTIs + ATV/r DRV/r1 + DTG (or
or LPV/r RAL) ± 1-2 NRTIs
2 NRTIs + DRV/r
2 NRTIs + DTG 2 NRTIs + ATV/r DRV/r + 2 NRTIs ±
or LPV/r NNRTI
2 NRTIs + DRV/r Optimize Regimen
Using Genotype
Profile
Pregnant / 2 NRTIs + EFV 2 NRTIs + ATV/r DRV/r + DTG (or
breastfeeding or LPV/r RAL)
women 2 NRTIs + DRV/r
Children 2 NRTIs + LPV/r If less than 3 year : DTG4 + 2NRTIs
2 NTRIs + RAL2 DRV/r3 + 2 NRTIs
DRV/r3 + DTG4 ± 1 –
2 NRTIs
2 NRTIs + EFV If older than 3
years : 2 NRTIs +
EFV or RAL
2 NRTIs + ATV/r5
or LPV/r
Tabel 4. Rekomendasi Regimen ARV Lini Pertama, Kedua, dan Ketiga
(WHO, 2015). ATV/r = Atazanavir / ritonavir (low dose), LPV/r =
Lopinavir / ritonavir (low dose), DRV/r = Darunavir / ritonavir (low
dose), DTG = dolutegravir, RAL = raltegravir, EFV = Efavirenz.

Keputusan untuk mengubah terapi dan pemilihan regimen dilakukan


dengan hati-hati, pada prinsipnya dilakukan perubahan total semua obat
dari regimen yang sebelumnya dipakai untuk memperoleh keuntungan
maksimal dan mencegah terjadinya resistensi. Terapi lini kedua harus
memakai protease inhibitor diperkuat oleh ritonavir ditambah 2 NRTI.
Pemilihan zidovudine / tenofovir tergantung apa yang digunakan
sebelumnya. Sedangkan lini ketiga diberikan pada pasien yang mengalami
kegagalan terapi lini kedua, berupa obat ARV baru dengan risiko minimal
18

terjadi resistensi silang dengan regimen terapi yang pernah dipakai


sebelumnya.23,24
Pada dasarnya pemeriksaan laboratorium bukan persyaratan mutlak
untuk menginisiasi terapi ARV namun pemeriksaan laboratorium atas
indikasi gejala yang ada sangat diajurkan untuk memantau keamanan dan
toksisitas pada orang yang hidup dengan HIV / AIDS (ODHA) yang
menerima terapi ARV. Viral load merupakan metode yang paling ideal
untuk memantau keberhasilan terapi. Rekomendasi terbaru mengusulkan
tes viral load dilakukan 6 bulan dan 12 bulan setelah dimulainya terapi
ART dan selanjutnya setiap 12 bulan.24,25
2.1.10.2 Terapi Antiretroviral pada populasi khusus
Terdapat beberapa kelompok dan keadaan khusus yang memerlukan
perhatian khusus ketika akan memulai ART, antara lain pasien usia tua,
perempuan hamil, kelompok pemakai obat terlarang menggunakan jarum
suntik dan pengguna metadon, keadaan ko-infeksi dengan TB serta
hepatitis B dan C. Pada kelompok pasien usia tua semakin penting untuk
dimulai pemberian ART sedini mungkin karena memiliki risiko lebih
tinggi mengalami komplikasi AIDS yang berat dan memiliki respon
imunologis yang menurun.25,26
Pasien HIV / AIDS ko-infeksi TB yang belum pernah mendapat
terapi ARV, mulai terapi ARV berapapun jumlah CD4. Pemberian terapi
ARV diketahui dapat menurunkan laju TB sampai 90% dan menurunkan
rekurensi TB sebesar 50%. Tenofovir dianjurkan menggantikan stavudine,
sebagai lini pertama. Bila menggunakan triple NRTI, regimen yang
dianjurkan yaitu zidovudine + lamivudine + tenofovir disoproxil
fumarate.25
Pasien HIV / AIDS ko-infeksi hepatitis B / C yang belum pernah
mendapat terapi ARV, mulai terapi ARV berapapun jumlah CD4. Infeksi
hepatitis B dan C tidak mempengaruhi progresifitas penyakit HIV namun
infeksi HIV akan mempercepat progresifitas penyakit hepatitis dan
terjadinya end stage liver disease. Perlu dipantau ketat risiko
hepatotoksisits yang berhubungan dengan interaksi obat. Terapi ARV
untuk ibu hamil HIV positif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke
anak, ditunjukkan dalam tabel .25
19

1 Ko-infeksi HIV / TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV


*Gunakan NVP / Triple NRTI bila
EFV tidak dapat digunakan
2 Ko-infeksi HIV / Hepatitis TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP
B/C *Diperlukan penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas anti-HBV.
Pertimbangkan pemeriksaan HbsAg
terutama bila TDF merupakan paduan
lini pertama.
3 Wanita dengan indikasi  AZT + 3TC + NVP atau
terapi ARV dan  TDF + 3TC (FTC) + NVP
kemungkinan hamil / *Hindari EFV pada trimester pertama
sedang hamil  AZT + 3TC + EFV atau
 TDF + 3TC(FTC) + EFV
4 Wanita sedang dalam  Lanjutkan paduan (ganti dengan
terapi ARV dan kemudian NVP atau golongan protease
hamil inhibitor jika sedang menggunakan
EFV pada trimester pertama.
 Lanjutkan dengan ARV yang sama,
selama dan sesudah persalinan
5 Wanita hamil dengan ARV mulai pada minggu ke-14
jumlah CD4 > 350 sel/mL kehamilan
atau dalam WHO stadium *panduan sesuai dengan butir 3
klinis I
6 Wanita hamil dengan Segera mulai terapi ARV
jumlah CD4 ≤ 350 sel /
mL ATAU dalam WHO
stadium klinis II, III, IV
7 Wanita hamil dengan TB  Obat anti tuberkulosis yang sesuai
aktif tetap diberikan.
 Paduan ARV untuk ibu, bila
pengobatan mulai trisemester II dan
III :
AZT (TDF) + 3TC + EFV
8 Wanita hamil dalam masa  Tawarkan tes dalam masa
persalinan dan tidak persalinan; atau tes setelah
diketahui status HIV persalinan
 Jika hasil tes reaktif maka dapat
diberikan paduan seperti butir 3
9 Wanita datang pada masa Paduan seperti butir 3
persalinan dan belum
mendapat terapi ARV
Tabel 5. Rekomendasi Terapi ARV pada Populasi Khusus.25. AZT =
Azidothymidine (zidovudine), TDF = Tenofovir disoproxil fumarate, 3TC
= lamivudine, FTC = emtricitabine, EFV = efavirenz.
20

2.1.10.3 Penatalaksanaan Stadium Lanjut


Terlepas dari tersedianya terapi antiretroviral, banyak kasus infeksi
HIV baru terdeteksi pada stadium lanjut. Pada stadium ini, tingkat
imunitas penderita sudah sangat menurun dan banyak komplikasi dapat
terjadi, umumnya berupa infeksi oportunistik yang mengancam jiwa
penderita. Bila sekali muncul infeksi maka jarang bersifat tunggal tetapi
beberapa macam infeksi terjadi bersamaaan. Keadaan ini memerlukan
pengobatan yang rumit dan penanganan sebaiknya dilakukan oleh sebuah
tim.15,27
Pemberian zidovudine terutama tetap banyak memberi manfaat. Pada
keadaan yang berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat
menembus ke susunan saraf pusat (SSP). Dosis dan pemberian belum ada
kesepakatan, tetapi sebagai dosis awal pada penderita dengan berat 70 kg,
diberikan ZDV 1000 mg dalam 4-5 kali pemberian. Infeksi oportunistik
biasanya harus diobati terlebih dahulu sebelum memulai ART. Berikut
beberapa kondisi infeksi oportunistik dan keganasan, penanganannya serta
waktu memulai ART, pada tabel 6. 28, 29

Infeksi Oportunistik Obat yang diberikan Waktu memulai ART


Demam + infeksi aktif yang Terapi Standar Diagnosis dan obati dahulu; baru
belum terdiagnosis mulai ART
Diare akut Terapi Standar Diagnosis dan obati dahulu; ART
dimulai setelah diare terkontrol
Pneumocystis carinii Trimethoprim + Sulfamethoksasol Obat PCP dahulu; ART dimulai
plus Dapson setelah pengobatan selesai
Pneumonia bakteri Terapi standar Obati pneumonia dahulu; ART
dimulai setelah pengobatan selesai
Toksoplasmosis (Toxoplasma Pyrimethamin plus Sulfadizain Obati toxoplamosis dahulu; ART
gondii) dimulai 6 minggu setelah
pengobatan dan kondisi pasien
baik
Kandidiasis esofagus Flukonazol / Amfoterisin B iv Obati kandidiasis terlebih dahulu;
ART dimulai setelah pasien dapat
menelan
Infeksi jamur invasive : Amfoterisin B Obati infeksi dahulu; ART
Cryptococcus neoformans, dimulai setelah kondisi baik /
Histoplasmosis, Coccidiomycosis pengobatan selesai
Mycobacterium tuberculosis Triple drug minimal 9 bulan. Bila Obati TB dahulu; ART dimulai
double drug (tanpa isoniazid / dalam 2 minggu
rifampisin) pengobatan minimal
18 bulan
Mycobacterium avium complex Klaritromisin, Azitromisin Obati infeksi terlebih dahulu;
ART dimulai dalam 2 minggu
Multifokal leukoensefalopati Asiklovir, Sitarabin Langsung mulai ART
21

progresif
Herpes Virus Asiklovir, Valasiklovir, Langsung mulai ART
Famsiklovir,
Cytomegalo virus Gansiklovir, Foscarnet Obati dahulu jika obat tersedia;
jika tidak tersedia langsung mulai
ART
Isosporiasis Trimethoprim + Sulfamethoksasol Langsung mulai ART
Malaria Obati malaria terlebih dahulu;
ART dimulai setelah pengobatan
selesai
Salmonella Terapi Standar Langsung mulai ART
Infeksi piogenik Terapi Standar Langsung mulai ART
Anemia ringan <8gr/l Jika tidak ditemukan penyebab
anemia lainnya langsung ART;
hindari AZT
Reaksi obat keganasan Jangan mulai ART saat reaksi
akut
Sarkoma Kaposi Sitostatik sistemik / lokal Langsung mulai ART
radioterapi
Limfoma Non-Hodgkin Sitostatik regimen kombinasi Langsung mulai ART
CHOP
Tabel 6. Beberapa jenis infeksi oportunistik, obat yang dipakai dan waktu memulai ARV

2.1.10.4 Perawatan Fase Terminal


Sampai saat ini dinyatakan bahwa infeksi HIV dan AIDS adalah
penyakit yang belum dapat disembuhkan, oleh karena itu penderita yang
kita rawat akhirnya akan sampai pada fase terminal sebelum datangnya
kematian. Fase terminal didefinisikan sebagai periode dimana terjadi
penurunan vitalitas, nafsu makan dan kesadaran yang terlihat dari hari ke
hari dan tidak diketahui kapan kematian akan terjadi. Pada fase terminal
dimana penyakit sudah tidak teratasi, pengobatan yang diberikan pada fase
terminal hanya bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa
nyaman, bebas dari rasa mual, sesak, mengatasi infeksi yang ada dan
mengurangi rasa cemas.15,29

2.1.11 Prognosis
Faktor-faktor tertentu berkorelasi dengan prognosis yang lebih buruk dari
kondisi terkait AIDS: ras Afrika-Amerika atau campuran, jumlah infeksi
oportunistik, status fungsional dan gizi yang buruk, anemia, penyalahgunaan zat
aktif, jumlah CD4+ yang rendah, dan viral load HIV yang tinggi.
Untuk pasien yang tidak menerima ART dengan jumlah CD4 <50,
kelangsungan hidup berkisar antara 12-27 bulan; mereka dengan jumlah CD4+ <20
memiliki kelangsungan hidup rata-rata 11 bulan.
22

Banyak pasien meninggal bukan karena HIV/AIDS. Dalam satu penelitian


berbasis rumah sakit besar, 78% kematian tidak terkait AIDS. Yang mengejutkan,
kematian ini lebih terkait dengan penggunaan combined Anti Retroviral Therapy
(cART), jumlah CD4+ yang lebih tinggi, dan viral load HIV yang ditekan.
Kriteria kelayakan rumah sakit meliputi: tidak adanya terapi cART, penurunan
status kinerja (Skala Kinerja Paliatif <50%), jumlah CD4+ <25 sel/mcL, dan viral
load >100.000 kopi/mL ditambah limfoma SSP, AIDS wasting syndrome (>
penurunan berat badan 10% yang tidak disebabkan oleh kondisi lain);
Mycobacterium Avium Complex (MAC); Progressive Multifocal
Leukoencephalopaty (PML); limfoma sistemik; sarkoma Kaposi visceral, gagal
ginjal tanpa dialisis, infeksi kriptosporidium, atau toksoplasmosis.
Beberapa ahli telah menggambarkan "efek Lazarus" di mana pasien AIDS
tampaknya akan segera sekarat, hanya untuk mengalami pemulihan medis yang
dramatis dengan (kembali) institusi terapi cART.
Karena bidang pengobatan HIV berkembang pesat, kolaborasi erat dengan
spesialis HIV yang merawat direkomendasikan mengenai prognosis dan pilihan
pengobatan.
Infeksi oportunistik dan Kondisi Terkait HIV Non-ganas. Tidak hanya insiden
infeksi oportunistik menurun secara dramatis sejak awal 1990-an, tetapi
kelangsungan hidup 5 tahun setelah infeksi oportunistik terdefinisi AIDS sekarang
adalah 65%. Di bawah ini adalah data prognostik untuk infeksi oportunistik dan
kondisi terkait HIV yang paling umum dalam insiden menurun selama 2000-2015 :
- Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP): insiden kematian 9,7-11,6%.
Indikator prognostik yang buruk meliputi: usia> 50, gagal napas, masuk
ICU, anemia, albumin rendah, diagnosis HIV baru. Setelah pengobatan
PCP berhasil, kelangsungan hidup satu tahun adalah 94% dan kelangsungan
hidup 5 tahun adalah 73%.
- AIDS Wasting Syndrome: kematian 5 tahun adalah 23%.
- Meningitis kriptokokus: mortalitas 90 hari adalah 10-19%. Kematian 1
tahun adalah 16-26%. Peningkatan usia, tekanan intrakranial >25 cm, kultur
CSF positif setelah 2 minggu terapi, kriptokoksemia, dan tidak adanya
cART merupakan faktor risiko kematian.
- Demensia terkait HIV: kelangsungan hidup 1 tahun adalah sekitar 65%.
- Infeksi MAC diseminata: kelangsungan hidup rata-rata 10 bulan; kematian
23

adalah empat kali lipat dari pasien HIV yang cocok dengan MAC negatif.
- Enteritis kriptosporidial: kelangsungan hidup 5 tahun adalah 81%.
- Penyakit sitomegalovirus termasuk retinitis: kelangsungan hidup rata-rata
adalah 13-35 bulan.
- Ensefalitis toksoplasma: kelangsungan hidup 77-90% pada 12 bulan jika
menggunakan ART dengan sebagian besar kematian terjadi dalam 6 bulan.
- PML: kelangsungan hidup rata-rata tanpa cART adalah 4 bulan;
kelangsungan hidup 1 tahun secara keseluruhan adalah 50-63%. Prediktor
kelangsungan hidup lebih dari satu tahun termasuk kepatuhan cART dan
CD4+ > 100 saat diagnosis.30
-
2.1.12 Komplikasi
a. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. 31
b. Neurologik
1) Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi sosial.
2) Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau ensefalitis. Dengan efek:
sakit kepala, malaise, demam, paralise total/parsial.
3) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik, dan
maranik endokarditis.
4) Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV. 31
c. Gastrointertinal
1) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma,
dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia,
demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
2) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarkoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,
demam atritis.
24

3) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal
yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri
rectal, gatal-gatal dan siare. 31
d. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus dan strongyloides dengan efek sesak nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan, gagal nafas. 31
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan Tuberkulosis dengan efek
nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis. 31
f. Sensorik
1) Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
2) Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri. 31

2.1.13 Pencegahan dan Edukasi


Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep “ABCDE” sebagai
berikut, A (Abstinence) artinya absen seks atau tidak melakukan hubungan seks
bagi yang belum menikah. B (Be Faithful) artinya bersikap saling setia kepada satu
pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan). C (Condom) artinya cegah
penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom. D (Drug
No) artinya dilarang menggunakan narkoba. E (Education) artinya pemberian
edukasi dan informasi yang benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan
pengobatannya.1
Edukasi diberikan pemahaman mengenai bagaimana HIV ditransmisikan
merupakan komponen penting dalam mencegah infeksi HIV dan menekan
penyebarannya. Sasaran pencegahan antara lain kontak perorangan melalui
hubungan seksual, penularan melalui darah, penularan melalui jarum suntik yang
terkontaminasi dan penularan perinatal. Mayoritas infeksi baru kasus HIV
ditransmisikan melalui hubungan seksual..2,8
Strategi pencegahan penyebaran HIV berupa pemeriksaan skrining serta
konseling HIV, pemakaian kondom perempuan dan laki-laki saat berhubungan
seksual, sirkumsisi pada laki-laki, mikrobisida dalam bentuk gel dan krim sebagai
25

terapi topikal yang efektif mencegah infeksi HIV melalui hubungan seksual serta
pemberian ART pada ibu hamil yang terinfeksi HIV.9,27,28

2.2 TUBERKULOSIS
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah sebuah penyakit yang menyerang manusia
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Hal ini mempengaruhi terutama
paru-paru, membuat penyakit paru-paru menjadi presentasi paling umum. Sistem
organ lain yang sering terkena meliputi sistem pernapasan, sistem gastrointestinal
(GI), sistem limforetikuler, kulit, sistem saraf pusat, sistem musculoskeletal, sistem
reproduksi, dan hati. Dalam beberapa dekade, telah ada upaya global bersama untuk
memberantas tuberculosis.32
Tuberkulosis paru (TB) masih menjadi penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia, dengan sekitar sepertiga penduduk dunia terinfeksi. 10
Antara 10% dan 20% dari mereka yang terinfeksi akan berkembang menjadi TB
aktif, yang merupakan ancaman kesehatan yang serius. Pasien yang tersisa akan
memiliki TB laten, yang dapat berkembang menjadi infeksi aktif pada saat
imunosupresan terjadi. CDC melaporkan 9.588 kasus baru TB di Amerika Serikat
pada tahun 2013, penurunan sebesar 4,2% dibandingkan dengan tahun 2012 dan
jumlah kasus terendah yang tercatat di Amerika Serikat pada tahun 1953.33

2.2.2 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi TB paru yaitu menurut Depkes (2007) yaitu:
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena34:
a. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
paru34:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
26

 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.


 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberculosis
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kriteria diagnostic TB paru BTA negative harus meliputi:
 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu34:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
c. Kasus setelah putus berobat (dafult)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok
ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.
27

2.2.3 Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Bakteri Mycobacterium tuberculosa yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam) karena basil TB mempunyai sel
lipoid. Basil TB sangat rentan dengan sinar matahari sehingga dalam beberapa
menit saja akan mati. Basil TB juga akan terbunuh dalam beberapa menit jika
terkena alkohol 70% dan lisol 50%. Basil TB memerlukan waktu 12-24 jam dalam
melakukan mitosis, hal ini memungkinkan pemberian obat secara intermiten (2-3
hari sekali).36
Anggota lain dari kelompok Mycobacterium tuberculosa adalah,
Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovis, dan Mycobacterium micoti.
Sebagian besar organisme mikobakteri lain diklasifikasikan sebagai organisme
mikobakteri non-TB atau atipikal.33
Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant selama beberapa tahun.
Sifat dormant ini berarti kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberculosis
aktif kembali. Sifat lain kuman adalah bersifat aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa
kuman lebih menyenangi jaringan yang kaya oksigen, dalam hal ini tekanan bagian
apikal paru-paru lebih tinggi daripada jaringan lainnya sehingga bagian tersebut
merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis. Kuman dapat disebarkan dari
penderita TB paru BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama
yang kontak erat.35
TB paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernafasan. Basil
mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas.
(droplet infection) sampai alveoli, sehingga terjadi infeksi primer (ghon) yang dapat
menyebar ke kelenjar getah bening dan terbentuklah primer kompleks (ranke).
Keduanya dinamakan tuberculosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian
besar akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer adalah terjadinya
peradangan sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil
mikrobakterium, sedangkan tuberculosis post primer (reinfection) adalah
peradangan bagian paru oleh karena terjadi penularan ulang pada tubuh sehingga
28

terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.35

2.2.4 Epidemiologi
Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab
morbiditas dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan. Setiap tahun
diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta
kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh
kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di dua puluh dua negara dengan beban TB
tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase semua
kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai >25%.35
Setiap tahun didapatkan 250.000 kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira
100.000 kematian karena TB. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor
satu diantara penyakit infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab
kematian pada semua umur setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi
saluran napas akut. Pasien TB di Indonesia terutama berusia antara 5-15 tahun,
merupakan kelompok usia produktif dan juga usia muda 15 – 44 tahun. Menurut
WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia 583.000 orang per
tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.36,37
Tahun 1989, WHO memperkirakan jumlah kasus baru TB 1,3 juta kasus
dan 450.000 kematian karena TB pada anak usia <15 tahun di dunia.38
Tahun 1994 diperkirakan insidensi global TB pada anak usia 0-14 tahun
akan mencapai 1 juta kasus di tahun 2000, setengah dari julah kasus tersebut
berada di Afrika. Berarti ada peningkatan 36% dari perkiraan tahun 1990. 15 Pada
tahun 1990, jumlah kematian karena TB di dunia diperkirakan hampir 3 juta dan
hampir 90% kematian tersebut terjadi di Negara berkembang. Pada tahun 2000
jumlah kematian diperkirakan 3,5 juta, kasus baru meningkat setiap tahun. Pada
1990 dilaporkan 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000 penduduk) menjadi 8,8 juta
kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 1995, 10,2 juta kasus (163
kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000, dan mencapai 11,9 juta kasus pada
tahun 2005.35

2.2.5 Patogenesis
29

Individu terinfeksi melalui droplet nuclei dari pasien TB paru ketika pasien
batuk, bersin, tertawa. Droplet nuclei ini mengandung basil TB dan ukurannya
kurang dari 5 mikron dan akan melayang-layang di udara. Droplet nuclei ini
mengandung basil TB.34
Saat Mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka
dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular. Biasanya
melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TB paru ini akan berusaha dihambat
melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme
pembentukan dinding itu membuat jaringan parut dan bakteri TB paru akan menjadi
dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai
tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.35
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
(neutrophil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limpospesifik-tuberkulosis
melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini
mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan
bronkopneumonia dan infeksi awal terjadi dalam 2-10 minggu seteah pemajanan.35
Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan gumpalan basil
yang masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa jaringan-jaringan fibrosa,
bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon dan menjadi nektrotik
membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami klasifikasi, membentuk
skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif.34
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit
aktif karena gangguan atau respon yang inadekuat dari respon sistem imun.
Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam
kasus ini, tuberkel ghon memecah melepaskan bahan seperti keju dalam bronki.
Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit
lebih jauh. Tuberkel yang menyerah menyembuh membentuk jaringan parut. Paru
yang terinfeksi menjadi lebih membengkak, menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia lebih lanjut.35

2.2.6 Manifestasi Klinis


Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti
batuk berdahak kronis, demam, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak
napas, nyeri dada dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan
30

produktivitas penderita bahkan kematian. Pasien TB paru juga sering dijumpai


konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, badan kurus atau berat
badan menurun.35

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Untuk menegakkan diagnosis TB paru perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan
laboratorium.35
1. Pemeriksaan Klinis dibagi atas pemeriksaan manifestasi klinis dan
pemeriksaan fisik:
a. Pemeriksaan Manifestasi Klinis35
Manifestasi klinis TB paru dibagi menjadi dua golongan yaitu:
manifestasi klinis respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak napas, dan
nyeri dada. Golongan yang kedua adalah manifestasi klinis sistemik seperti
demam, keringat malam, anoreksia, malaise, berat badan menurun serta nafsu
makan menurun.
b. Pemeriksaan Fisik35
Pada pemeriksaan fisik sangat tergantung pada luas lesi dan kelainan
tuberculosis paru yang terinfeksi. Pada permulaan penyakit sulit didapatkan
kelainan pada pemeriksaan fisik. Suara atau bising napas abnormal dapat
berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis) 35
3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB
yaitu34:
a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah.
b. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular).
c. Adanya kavitas, tunggal, atau ganda.
d. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
e. Adanya kalsifikasi.
f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
g. Bayangan milier.
4. Pemeriksaan Sputum BTA34
31

Pemeriksaan mikroskopik ini dapat melihat adanya basil tahan asam,


dimana dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per mil sputum untuk
mendapatkan kepositifan. Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan
Zielh Nielsen dan pewarnaan Kinyoun Gabbet.
5. Peroksidase anti peroksidase (PAP) 34
Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen
imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil
TB.
6. Tes Mantoux/Tuberkulin34
Sampai saat ini, tes kulit tuberkulin adalah satu-satunya tes untuk
mendeteksi infeksi laten TB yang menggunakan campuran antigen dari
Mycobacterium tuberculosis.
7. Teknik Polymerase Chain Reaction34
Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai
tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada mikroorganisme dalam
specimen. Selain itu teknik PCR ini juga dapat mendeteksi adanya resistensi.
8. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC) 34
9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) 34

2.2.8 Diagnosis Banding


1. TBC Paru, adalah sebuah penyakit yang menyerang manusia disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Hal ini mempengaruhi terutama paru-paru,
membuat penyakit paru-paru menjadi presentasi paling umum.
2. Pneumonia, adalah suatu peradangan parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat.38
3. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), adalah suatu penyumbatan
menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema atau
bronkitis kronis. COPD lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat
fatal. COPD juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada
faktor yang dirurunkan.40
4. Bronkhitis, adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-
32

paru).40
5. Asma bronkhiale, adalah penyakit yang ditandai dengan penyempitan saluran
pernapasan, sehingga pasien yang mengalami keluhan sesak napas/kesulitan
bernapas. Tingkat keparahan asma ditentukan dengan mengukur kemampuan
paru dalam menyimpan oksigen. Makin sedikit oksigen yang tersimpan berarti
semakin buruk kondisi asma.41
2.2.9 Diagnosis Kerja
TB Paru

2.2.10 Penatalaksanaan
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
mencegah perkembangan resistensi obat. WHO telah menerapkan strategi DOTS
dimana terdapat petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat
mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. WHO juga telah
menetapkan paduan pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori
yang berbeda menurut definisi kasus TB nya.42
1. Kategori 1
Pasien TB paru dengan sputum BTA positif dan kasus baru. TB paru
bisa ada bersamaan dengan TB berat lainnya seperti TB milier, pleuritis
tuberculosis atau bilateral, tuberkulosis, peritonitis, TB usus, saluran kemih,
meningitis, dengan gangguan tuberkulosis. Bisa juga TB dengan sputum BTA
negatif tetapi kelainan parunya luas. Pengobatan pada fase awal (intensif)
paduannya terdiri dari 2 RHZE (S), setiap hari selama 2 bulan. Sputum BTA
yang awalnya positif, setelah 2 bulan terapi diharapkan jadi negatif dan terapi
TB diteruskan dengan fase lanjutan: 4 HR atau 4 H3R3 atau 6 HE. Apabila
sputum BTA masih tetap positif diakhir bulan ke-2 fase awal, maka fase awal
tersebut diperpanjang selama 4 minggu lagi. 42
2. Kategori 2
Kategori ini diberikan pada kasus kambuh atau gagal dengan sputum
BTA positif. Terapi fase awalnya 2 HRZES/1 HRZE, dimana HRZE diberikan
setiap hari selama 3 bulan sedangkan S diberikan hanya di 2 bulan pertama. Bila
sputum BTA menjadi negatif diakhir bulan ke-3, maka fase lanjutan bisa segera
dimulai. Tapi bila sputum BTA masih positif maka fase awal dengan HRZE
diteruskan lagi selama 1 bulan. Bila pada akhir bulan ke 4 sputum BTA masih
33

tetap positif, lakukan kultur ulang sputum BTA dan obat dilanjutkan dengan 5
HRE atau 5 H3R3. 42

3. Kategori 3
Disini terdapat TB paru dengan sputum BTA negatif, tetapi kelainan
parunya tidak luas. Dulunya terapi cukup dengan paduan 2 HRZ atau 2
H3R3Z3E3 dan kemudian diteruskan dengan fase lanjutan 2 HR atau 2 H3R3.
Dalam perkembangan ternyata paduan ini kurang baik karena masih berpeluang
untuk terjadinya kekambuhan sehingga paduannya dirubah menjadi sama
dengan kategori 1 yakni 2 bulan fase awal dan diteruskan dengan 4 bulan fase
lanjutan.42
4. Kategori 4
Disini terjadi TB kronik dimana sputum BTA tetap positif walaupun
sudah menjalani terapi lengkap selama 6 bulan. Pada kelompok ini mungkin
sudah terjadi resistensi multi obat (multi drugs resistant tuberculosis (MDR-
TB).42
Tetapi belakangan ini di beberapa Negara banyak ditemukan resistensi
terhadap lebih dari 1 OAT (multi drugs resistant tuberculosis) terutama pada
INH dan Rifampisin.43
Jenis obat yang dipakai sekarang:
Obat primer (OAT lini 1) yang selalu diberikan setiap pasien TB baru
atau yang kambuh yaitu INH, Rifampisin, Pirasinamid, Etambutol dan
Streptomisin. 43
Obat Sekunder (OAT lini 2) yang diberikan bila sudah terjadi resistensi
terhadap OAT lini 1 yaitu: PAS, kanamisin, tiasetazon, etionamid, sikloserinm
viomisin, kapreomisin, amikasin, ofloksasin, siprofloksasin, norfloksasin,
levofloksasin, klofazimin.42
Sebelum ditemukan obat Rifampisin metode terapi pada TB paru adalah
dengan sistem jangka panjang yakni: H + S + E atau PAS tiap hari dengan fase
awal selama 1-3 bulan dan kemudian dilanjutkan dengan H + E atau PAS
selama 12-18 bulan. Setelah Rifampisin ditemukan paduan obatnya: fase awal
34

dengan H + R + S atau E atau Z setiap hari selama 1-2 bulan dan diteruskan
dengan H + R + E atau S, 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama
pengobatan menjadi 6-9 bulan. Setelah mulai dengan program DOTS barulah
direkomendasikan oleh WHO atau IUALTD serta sejalan dengan program
pemberantasan TB oleh Dep-Kes RI diberikan paduan 2 HRZE di fase awal dan
4 HR atau 4 H3R3 di fase lanjut. Untuk TB kambuh 2 HRZES/1 HRZE/ 5 HRE.
Untuk TB paru milier dan TB ekstra paru berat, terapi tahap lanjutannya yang
semula 4 bulan diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga total terapi menjadi 9
bulan.42

Kategori 1 2HRZE / 4(HR)3


Tahap Lama Dosis per hari/kali Jumlah
Pengobatan pengobatan Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@ @ 450mg @ 250mg @ 250mg obat
300mg
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
Tabel 7. Dosis Paduan OAT-Kombipak kategori 144

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirainamid,
dan Etambutol yang dikemas dalam benuk blister44

2.2.11 Prognosis
Sebagian besar pasien dengan diagnosis TB memiliki prognosis yang baik.
Terutama karena pengobatan yang diberikan efektif. Tanpa pengobatan, angka
kematian tuberkulosis lebih dari > 50%. Kelompok pasien berikut ini lebih rentan
terhadap prognosis buruk atau kematian setelah infeksi TB32:
1. Usia ekstrem, lanjut usia, bayi, dan anak kecil.
2. Keterlambatan dalam pengobatan.
3. Bukti radiologis penyebaran luas.
4. Gangguan pernapasan berat yang membutuhkan ventilasi mekanis.
5. Imunosupresan
6. Tuberkulosis Multdrug Resistance (MDR).
35

2.2.12 Komplikasi
TB paru apanila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi – komplikasi yang terjadi pada penderita TB paru dibedakan menjadi
dua, yaitu43:
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut.
Komplikasi – komplikasi yang sering terjadi pada penderita stadium lanjut
adalah46:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok
hipovolemik.
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus.
c. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah.
e. Penyebaran infeksi ke orang lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya.

2.2.13 Pencegahan dan Edukasi


Ada beberapa tips untuk membantu menjaga dan pencegahan penyakit TB
kepada teman dan keluarga dari infeksi kuman44:
1. Tinggal di rumah. Jangan pergi kerja atau sekolah atau tidur di kamar dengan
orang lain selama beberapa minggu pertama pengobatan untuk TB aktif.
2. Ventilasi ruangan. Kuman TB menyebar lebih mudah dalam ruangan tertutup
kecil dimana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan masih kurang, buka
jendela dan gunakan kipas untuk meniup udara dalam ruangan ke luar.
3. Tutup mulut dengan menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup
mulut kapan saja ini merupakan langkah pencegahan TB secara efektif. Jangan
lupa untuk membuang masker secara teratur.
4. Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberikan desinfektan (air
sabun)
5. Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan.
6. Hindari udara dingin.
7. Usahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat
36

tidur.
8. Menjemur, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari.
9. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga mencucinya
dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
10. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.

2.3 LIMFADENITIS TB
2.3.1 Anatomi Kelenjar Getah Bening (KGB)
Kelenjar getah bening terbungkus kapsul fibrosa yg berisi kumpulan sel
pembentuk pertahanan tubuh dan tempat penyaringan antigen dari pembuluh getah
bening yang melewatinya. Fungsinya adalah sebagai filter berbagai mikroorganisme
asing dan partikel hasil degradasi sela tau metabolisme.
37

Gambar 2 Kelenjar Getah Bening (KGB)

Terdapat kurang lebih 600 KGB, namun ada daerah yang teraba normal pada orang
sehat, yaitu submandibular, axillary, dan inguinal. 50% terdapat di kepala & leher.

Gambar 3. Kelenjar Getah Bening Pada Regio Colli

Gambar 4. Kelenjar Getah bening Pada Axilla


38

Gambar 5. Kelenjar Getah Bening Pada Inguinal


2.3.2 Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening,
sedangkan limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe
atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan
terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada
kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi. Istilah scrofula
diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Infeksi M.
tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberculosis ke kulit dari
struktur dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak dengan M. tuberculosis
yang disebut dengan scrofuloderma.31

2.3.3 Etiologi
Limfadenitis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales.
Spesies yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen
penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium
tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosis complex adalah
M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M. africanum, M. microti, M. pinnipedii, M.
canettii. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan epidemiologi. 46
Basil TB adalah bakteri aerobic obligat berbentuk batang tipis lurus
berukuran 0,4 x 3 μm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan
filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria
termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan gram dan hanya
dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus yang sangat kuat mengikat zat warna
tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol,
39

sehingga dijuluki bakteri tahan asam. M. tuberculosis mudah mengikat pewarna


Ziehl-Neelsen atau karbol fuchsin. 46
Dinding bakteri Mycobacteria kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil yang membuat kompleks dengan asam mikolat
dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab
pada sifat tahan asam bakteri Mycobacteria. 46

Gambar 6. Mycobacterium Tuberculosis pada Pewarnaan Ziehl-Neelsen

2.3.4 Epidemiologi
Selain TB paru, lokasi yang paling sering adalah Kelenjar Getah Bening
(KGB), saluran urogenital, pleura, tulang dan sendi, meningen dan sistem saraf
pusat, peritoneum dan organ perut lainnya. Penderita TB ekstra paru di Amerika
Serikat dan Jerman dilaporkan masing-masing sebanyak 41% dan 50%.
Limfadenitis TB di India terbanyak pada usia 11-20 tahun, sedangkan di Amerika
Serikat sering pada usia 25-50 tahun. Perbandingan antara laki-laki dengan
perempuan adalah 1:1,3. Epidemiologi TB menurut data survei di India lebih besar
dari perkiraan, walaupun angka kejadian dan kematian TB menurun secara global.
Pertumbuhan TB akan meningkat apabila terdapat kemiskinan, kepadatan penduduk
dan penyakit kronis yang menyebabkan disabilitas. Demikian juga, pada orang
berdaya tahan tubuh rendah dan lanjut usia, rentan tertular penyakit TB. Jumlah
kasus baru di Indonesia setiap tahun bertambah 25% dan sekitar 140.000 kematian
disebabkan oleh TB.47
40

2.3.5 Patogenesis
Secara umum penyakit dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner dan TB
ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner primer
dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Basil juga dapat menginfeksi organ lain
selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang
sering diinfeksi oleh basil adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran kemih,
tulang, menigens, peritoneum, dan pericardium. 48
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil.
Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB
ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama,
basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar
secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil
TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, di
mana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang
saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang
yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3-4 minggu setelah ineksi akan
terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB
dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu focus
primer yang disebut focus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan
limfadenitis regional disebut dengan komplek Ghon. Terbentuknya focus Ghon
mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, focus Ghon berarti dalam tubuh
seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua,
focus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB
dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit. 48
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya imunitas seluler
akan mebatasi peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan
pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada Tb primer, basic TB pada
TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe
lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan
tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru. 48
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
41

menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB
masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh
makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya akan di bawa ke kelenjar limfe di leher.

Gambar 7. Patofisiologi Limfadenitis TB

2.3.6 Manifestasi Klinis


Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit
sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening
yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher
terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 2/3 pasien.
Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding
dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang endemis.
Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa
bulan. 48
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesenterikus, portal hepatikus, dan kelenjar inguinalis. 48
Lokasi limfadenitis meliputi:
1. Limfadenitis daerah kepala dan leher
Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian besar anak, tetapi
ditemukan juga pada 56% orang dewasa. Penyebab utama limfadenopati servikal
adalah infeksi; pada anak, umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna.
Pada infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis,
limfadenitis Kikuchi, dan penyakit Kawasaki, limfadenitis dapat berlangsung
selama beberapa bulan. Limfadenitis supraklavikula kemungkinan besar (54%-
42

85%) disebabkan oleh keganasan. 49


Kelenjar getah bening servikal yang mengalami inflamasi dalam beberapa
hari, kemudian berfluktuasi (terutama pada anak-anak) khas untuk limfadenitis
akibat infeksi stafilokokus dan streptokokus. Kelenjar getah bening servikal yang
berfluktuasi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda
inflamasi atau nyeri yang signifikan merupakan petunjuk infeksi mikobakterium,
mikobakterium atipikal atau Bartonella henselae (penyebab cat scratch disease).
Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia lanjut dan
perokok menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring,
nasofaring, laring, tiroid, dan esofagus). Limfadenitis servikal merupakan
manifestasi limfadenitis tuberkulosa yang paling sering (63-77% kasus), disebut
skrofula. Kelainan ini dapat juga disebabkan oleh mikobakterium
nontuberkulosa.48
2. Limfadenitis epitroklear
Terabanya kelenjar getah bening epitroklear selalu patologis.
Penyebabnya meliputi infeksi di lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis,
tularemia, dan sifilis sekunder. 48
3. Limfadenitis aksila
Sebagian besar limfadenitis aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas pada
ekstremitas atas. Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke kelenjar
getah bening aksila anterior dan sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya
tumor primer. Limfoma jarang bermanifestasi sejak awal atau, kalaupun
bermanifestasi, hanya di kelenjar getah bening aksila. Limfadenitis antekubital
atau epitroklear dapat disebabkan oleh limfoma atau melanoma di ekstremitas,
yang bermetastasis ke kelenjar getah bening ipsilateral. 47
4. Limfadenitis supraklavikula
Limfadenitis supraklavikula mempunyai keterkaitan erat dengan
keganasan. Pada penelitian, keganasan ditemukan pada 34% dan 50% penderita.
Risiko paling tinggi ditemukan pada penderita di atas usia 40 tahun.1
Limfadenitis supraklavikula kanan berhubungan dengan keganasan di
mediastinum, paru, atau esofagus. Limfadenitis supraklavikula kiri (nodus
Virchow) berhubungan dengan keganasan abdominal (lambung, kandung
empedu, pancreas, testis, ovarium, prostat). 47
5. Limfadenitis inguinal
43

Limfadenitis inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada orang


normal, terutama yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenitis reaktif yang jinak
dan infeksi merupakan penyebab tersering limfadenitis inguinal. Limfadenitis
inguinal jarang disebabkan oleh keganasan. Karsinoma sel skuamosa pada penis
dan vulva, limfoma, serta melanoma dapat disertai limfadenitis inguinal.
Limfadenitis inguinal ditemukan pada 58% penderita karsinoma penis atau
uretra.46
6. Limfadenitis generalisata
Limfadenitis generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius,
penyakit autoimun, dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenitis lokalisata.
Penyebab jinak pada anak adalah infeksi adenovirus. Limfadenitis generalisata
dapat disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau penyebaran kanker padat stadium
lanjut. Limfadenitis generalisata pada penderita AIDS dapat terjadi karena tahap
awal infeksi HIV, tuberculosis, kriptokokosis, sitomegalovirus, toksoplasmosis,
dan sarkoma Kaposi. Lokasi kelenjar getah bening daerah leher dapat dibagi
menjadi 6 level. Pembagian ini berguna untuk memperkirakan sumber keganasan
primer yang mungkin bermetastasis ke kelenjar getah bening tersebut dan
tindakan diseksi leher.50
Menurut Sharma (2009), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-
positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh
kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis. 50
Pembekakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,
tunggal maupun multiple, di mana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan
berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling
sering berlokasi di region servikalis posterior dan yang lebih jarang di region
supraklavikular.48
Keterlibatan ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% HIV-
positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan, limfadenopati intratorakalis dan
intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan. 50
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala
sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat
malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik.48
Menurut Jones dan Campbell dalam Mohapatra (2009) limfadenopati
perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
44

1. Stadium 1, pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret


2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali, terjadi infeksi sekunder
bakteri, pembesaran kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV.
Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi
sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan
fistula terjadi pada 10% dari limfadentis TB servikalis.48
Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit yang disebabkan
oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh
paparan langsung terhadap basil TB.48
Limfadenitis mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang
terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk
disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheooesophageal.
Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat
menyebabkan obstruksi duktus torasikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun
chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar
limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah
dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal.48
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran > 2 cm biasanya
disebabkan oleh M. tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M. tuberculosis.4

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis limfadenitis TB seperti
pemeriksaan mikrobiologi, tes tuberkulin, pemeriksaan sitologi, dan pemeriksaan
radiologis. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut penting untuk membantu dalam
45

membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan
pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur.
Selain itu, juga penting untuk membedakan jenis penyebab infeksi apakah karena
mikobakterium tuberkulosis atau non-tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB :
A. Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan
kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.
Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsiaspirasi.
Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basilmikobakterium
pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat
positif. 48
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur
positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat
digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB.
Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada
adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering,diikuti oleh
M.bovis.48
B. Tes Tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
tuberkulin yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang
telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah
terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa
indurasi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal,
edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah
suntikan.46
Prinsip dasar uji tuberculin adalah sebagai berikut:
 Infeksi M.tuberculosis  sel limfosit T berproliferasi, tersensitisasi 
masuk ke aliran darah, bersirkulasi berbulan-bulan/ bertahun-tahun.
 Proses sensitisasi terjadi dalam kelenjar getah bening regional (2-12 jam
setelah infeksi).
46

 Injeksi tuberkulin pada kulit  menstimulasi sel limfosit  respons


hipersensitivitas tipe lambat (delayed-type hypersensitivity/ DTH) yang
memerlukan waktu berjam-jam.
 Reaktivitas kulit: vasodilatasi, edema, infiltrasi sel-sel limfosit, basofil,
monosit dan netrofil ke lokasi suntikan.
 Antigen-spesific limfosit T akan berproliferasi dan melepaskan limfokin,
yg akan mengundang akumulasi sel-sel lain ke lokasi suntikan  terjadi
indurasi yg mencerminkan aktivitas DTH.
Uji tuberculin memiliki sensitivitas dan spesifisitas > 90%. Tuberkulin yang
tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens
Serum Institute Denmark, dan PPD (purified protein derivative) dari Biofarma.46
Uji tuberculin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT
23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi
yang timbul, bukan hiperemi atau eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi
untuk menentukan tepi indurasi, transversal indurasi diukur dengan alat pengukur
transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama
sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif.
Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika
ditemukan vesikel hingga bula.46,47

Gambar 8. Cara penyuntikan dan pembacaan hasil tes tuberculin


47

Secara umum, hasil uji tuberculin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm


dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar
disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi
Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi M. atipik. BCG merupakan infeksi TB
buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan, sehingga kemampuannya dalam
menyebabkan reaksi tuberculin menjadi positif, tidak sekuat infeksi alamiah.
Interpretasi dari uji tuberculin dapat dilihat pada gambar 9 berikut.

Gambar 9. Intepretasi Tes Tuberculin


Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi mikobakterium atipik
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut:
1. Tidak ada infeksi TB
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
48

3. Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun, sehingga tubuh tidak
memberikan reaksi terhadap tuberculin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi
TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk,
keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili,
pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan
vaksin virus hidup.48,49
C. Uji Interferon
Pemeriksaan IGRA (interferon gamma release assay) didasarkan pada
adanya pelepasan sitokin inflamasi yang dihasilkan oleh sel T limfosit yang
sebelumnya telah tersensitisasi oleh antigen M. tuberculosis. Pada uji IFN-γ,
limfosit darah tepi distimulasi secara in-vitro dan kadar IFN-γ yang dihasilkan
oleh sel limfosit T yang telah tersensitisasi oleh antigen protein spesifik M.
tuberculosis yaitu early secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture
filtrate protein-10 (CFP-10). Hasil pemeriksaan ini belum dapat membedakan
infeksi saja atau ada penyakit TB.48
Pemeriksaan IGRA ini memiliki spesifitas lebih tinggi daripada uji
tuberkulin karena tidak ada reaksi silang dengan vaksinasi BCG dan infeksi
mikobakterium atipik. Ada 2 macam pemeriksaan IGRA, yaitu quantiferon
TB gold dan T-spot-TB. Quantiferon TB-gold mengukur jumlah IFN-γ dengan
ELISA yang dinyatakan dalam pg/ml atau IU/ml. T-spot-TB menghitung
jumlah IFN-γ secreting T-cell berupa titik-titik (spot foaming cells).
Pemeriksaan IGRA belum dibuktikan hasilnya pada anak-anak.48
D. Serologi
Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologi
antigen-antibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan
PPD, A60, 38kDa, lipoarabinomannan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari
darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL),
cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang
ada: PAP TB, mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain
masih belum bisa membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Tes serologis
ini memiliki sensitivitas 19-68% dan spesifitas 40-98%.48,49
E. Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
49

ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area
nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah
ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langhans). Diagnosis
histopatologi dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel
epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang dapat ditemukan juga BTA.
Kendala pemeriksaan PA adalah sulitnya didapatkan spesimen yang
representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah
limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini
mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara
histopatologi sulit dibedakan dengan TB.48,50

2.3.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding limfadenitis berdasarkan adanya benjolan yaitu:
1. Limfadenitis TB, merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening
yang disebabkan oleh basil tuberculosis
2. Gondongan : merupakan kelenjar parotitis akibat infeksi virus, sudut bawah
dapat menghilang karena bengkak
3. Kista duktus tiroglosus : berada digaris tengah dan bergerak dengan menelan
4. Kista demoroid : benjolan digaris tengah dapat padat atau berisi cairan
5. Hemangioma : kelainan pembuluh darah jadi timbul benjolan berisi jalinan
pembuluh darah, berwarna merah atau kebiruan

2.3.9 Diagnosis Kerja


Post Limfadenitis TB

2.3.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian,
yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah
dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen
obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru.51
A. Terapi Non Farmakologis
50

Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur pembedahan


yang dapat dilakukan adalah dengan:
a. Biopsi eksisional : Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypical
mycobacteria
b. Aspirasi
c. Insisi dan drainase
Indikasi pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang
tuberculosis sudah terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa.
Adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik ke daerah
radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu sarang
infeksi diberbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus
dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi
medis. Selain itu tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit,
misalnya pada tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan
empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau
perforasi, dan osteitis atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat. 51
B. Terapi Farmakologis
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan
limfadenitis TB ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kategori I. Regimen obat yang digunakan adalah
2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, dan Etambutol. 51
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam rangka memperoleh efektifitas
pengobatan TB adalah: 52
1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dengan jumlah
dan dosis yang tepat sesuai dengankategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
52
Tahap Intensif
51

1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perludiawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan

Tahap Lanjutan 52
1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Regimen pengobatan yang digunakan adalah:


1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
dancEtambutol diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan
dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Rifampisin dan Isoniazid diberikan tiga
kali dalam seminggu selama 4 bulan.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA positif
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasein Tb ekstra paru
2. Kategori 2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3)
Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
Etambutol,dan Streptomisin. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan
dengan diikuti pengobatan dengan regimen yang sama, tanpa disertai
Streptomisin selama satu bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan
terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol selama 5 bulan diberikan 3
kali seminggu. Obat ini diberikan untuk :
- Pasien kambuh
- Paien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
52

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk


Streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan
- Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus
- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml (1 ml = 250 mg) 52

Kategori Anak (2HRZ / 4HR)


Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. 52

2.3.11 Prognosis
Prognosis baik jika segera diobati dengan pengobatan yang tepat. Infeksi
dapat dikendalikan dalam tiga atau empat hari. Namun, dalam beberapa kasus
mungkin diperlukan waktu beberapa minggu atau bulan untuk pembengkakan
menghilang, panjang pemulihan tergantung pada penyebab infeksi. Pengobatan
yang tidak tuntas dapat menyebabkan resistensi septikemia.51

2.3.12 Komplikasi
a. Komplikasi Limfadenitis
Komplikasi yang terjadi pada limfadenitis dapat berupa:
1. Pembentukan abses.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu
infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka
akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang
berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut
dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang
mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut. Akibat
penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan
pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas
abses. Hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran
infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam, maka infeksi bisa
53

menyebar didalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung


kepada lokasi abses. 51
2. Selulitis (infeksi kuit)
Selulitis adalah suatu penyebaran infeksi bakteri ke dalam kulit dan
jaringan dibawah kulit. Infeksi dapat segera menyebar dan dapat masuk ke
dalam pembuluh getah bening dan aliran darah. Jika hal ini terjadi, infeksi bisa
menyebar ke seluruh tubuh.

3. Sepsis (septikemia atau keracunan darah)


Sepsis adalah kondisi medis serius dimana terjadi peradangan pada
seluruh tubuh akibat infeksi yang berpotensi berbahaya atau mengancam
nyawa.
4. Fistula (terlihat dalam limfadenitis yang disebabkan oleh TBC)
Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah
bening, padat / keras, multiple dan dapat berkonglomerasi satu sama lain,
melunaknya kelenjar seperti abses tetapi tidak nyeri. Apabila abses ini pecah
ke kulit, lukanya sulit sembuh oleh karena keluar secara terus menerus
sehingga seperti fistula. Fistula merupakan hubungan abnormal yang
berkembang antara dua bagian tubuh yang terpisah satu sama lain, fistula
adalah penyakit yang erat hubungannya dengan immune system atau daya
tahan tubuh individu.
b. Komplikasi abses submandibula
Komplikasi yang sering terjadi adalah Ludwig’s angina. Ludwig’s
angina adalah infeksi berat yang melibatkan dasar mulut, ruang submental,
dan ruang submandibula. Penyebab dari Ludwig’s angina ini pun bisa karena
infeksi lokal dari mulut, karies gigi, terutama gigi molar dan premolar, trauma
ekstraksi gigi, tonsilitis,faring, dan kelenjar limfe submandibula. Dapat juga
disebabkan oleh kuman aerob maupun anaerob yaitu Bacteroides
melaninogenesis, Eubacterium Peptostreptococus dan yang jarang adalah
kuman Fusobacterium.
Ludwig’s angina merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari
bagian superior ruang suprahioid. Ruang potensial ini berada antara otot-otot
yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan otot milohioideus. Peradangan
54

ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut
dan mendorong lidah ke atas dan ke belakang. Dengan demikian dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas secara potensial serta terjadi sepsis.
Gejalanya sangat cepat dan dapat menyebabkan trismus, disfagia, leher
membengkak secara bilateral berwarna kecoklatan. Dan pada perabaan akan
terasa keras. Yang paling berakibat fatal adalah Ludwig’s angina tersebut
dapat menyebabkan lidah terdorong ke atas dan belakang sehingga
menimbulkan sesak nafas dan asfiksia karena sumbatan jalan nafas yang
kemudian dapat menyebabkan kematian.
Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai
struktur neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan nervus
vagus. Penjalaran infeksi ke daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi
sarung karotis atau menyebabkan trombosis vena jugularis interna. Infeksi
yang meluas ke tulang dapat menimbulkan osteomielitis mandibula dan
vertebra servikal. Dapat juga terjadi obstruksi saluran nafas atas, mediastinitis,
dehidrasi dan sepsis.
c. Komplikasi Limfadenitis tuberkulosis
Menurut Depkes RI, komplikasi pada limfadenitis tuberkulosis adalah
sebagai berikut:
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkankematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya
jalan napas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
4. Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal
dan sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
d. Komplikasi Limfadenitis akibat virus
Limfadenitis bisa disebabkan oleh beberapa virus, diantaranya adalah:
- Infectious mononucleosis lymphadenitis
- Cytomegalovirus (CMV) lymphadenitis
- Herpes simplex virus lymphadenitis
- Varicella-herpes zoster lymphadenitis
55

- Vaccinia lymphadenitis
- Measles lymphadenitis
- Human Immunodeficiency virus (HIV) lymphadnitis, with and without
salivary gland invovlvement
- Human Immunodeficiency virus (HIV) lymphadnitis of salivary gland
invovlvement
Namun, yang sering ditemukan adalah komplikasi akibat virus HIV yang
menyebabkan obstruksi saluran nafas, abses dan sepsis.
e. Komplikasi Limfadenitis akibat bakteri lain
Bakteri penyebab limfadenitis adalah Streptokokus beta hemolitikus.
Grup A atau stafilokokus aureus, Bartonella henselae, mikrobakterium atipik
dan tuberkulosis dan toksoplasma. Namun selain berbagai bekteri ini juga
ditemukan beberapa bakteri lain, diantaranya:
1. Non-specific acterial lymphadenitis (common, non-specific species)
2. Cat-scratch lymphadenitis ( Afipia felis)
3. Bacillary angiomatosis of lymph nodes ( Bartonella henselae and B.
Quintana)
4. Lymphogranuloma venereum lymphadenitis (Chlamydia trachomatis)
5. Syphilitic lymphadenitis (Trapenosoma pallidum)
6. Lymphadenitis of Whipple disease
Bakteri bakteri tersebut bisa mengakibatkan obstruksi saluran nafas,
abses, serta sepsis

2.3.13 Pencegahan dan Edukasi


Ada beberapa tips untuk membantu menjaga dan pencegahan penyakit TB
kepada teman dan keluarga dari infeksi kuman23:
a. Tinggal di rumah. Jangan pergi kerja atau sekolah atau tidur di kamar dengan
orang lain selama beberapa minggu pertama pengobatan untuk TB aktif.
b. Ventilasi ruangan. Kuman TB menyebar lebih mudah dalam ruangan tertutup
kecil dimana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan masih kurang, buka
jendela dan gunakan kipas untuk meniup udara dalam ruangan ke luar.
c. Tutup mulut dengan menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup
mulut kapan saja ini merupakan pencegahan TB secara efektif. Jangan lupa
untuk membuang masker secara teratur.
56

d. Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberikan desinfektan (air
sabun)
e. Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan.
f. Hindari udara dingin.
g. Usahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat
tidur.
h. Menjemur endr, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari.
i. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga
mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
j. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.
BAB III
LAPORAN KASUS

No RM : 357429
Ruangan : An-Nisa B3

ANAMNESA PRIBADI
Nama : Muhammad Khadafi
Umur : 23 tahun
Status kawin : Belum Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Datuk Rubiah Lingk 29 Rengas Pulau Medan Marelan

ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Batuk Berdarah
Telaah :
Seorang pasien datang ke IGD RS Umum Haji Medan dengan keluhan batuk
sejak 5 hari yang lalu, batuk bersifat hilang timbul. Batuk disertai dengan dahak
kental bercampur sedikit darah berwarna merah segar. Batuk berkurang jika os
meminum air putih, os merasa sering berkeringat pada malam hari.
Os juga mengeluhkan sesak dan nyeri dada sebelah kiri saat bernapas.
Keluhan dirasakan sejak 3 hari yang lalu dan bersifat hilang timbul. Sesak bertambah
berat sejak 1 hari yang lalu saat os tertidur pada malam hari sehingga os terbangun
dari tidurnya. Sesak tidak hilang pada posisi berbaring, sesak berkurang jika os duduk
dan membaik saat diberi obat.
Kemudian os mengeluhkan adanya demam yang disertai dengan mengigil
sejak 3 hari yang lalu, demam bersifat hilang timbul. Demam mereda saat os
mengkonsumsi obat. Mual dan muntah juga dialami os sejak 3 hari yang lalu. Muntah
berisi cairan hernih sebanyak 2x sehari.
Os mempunyai Riwayat TB kelenjar yang dialami sejak 1 tahun yang lalu dan
sudah menyelesaikan pengobatan TB selama 9 bulan. Namun pada saat os kontrol
kembali masih terdapat benjolan pada leher. Kemudian dilakukan pemeriksaan
kembali dan didapatkan hasil positif HIV. Tetapi obat HIV hanya dikonsumsi 1 bulan
(putus obat).

.
BAK : 5 kali/hari, berwarna kuning jernih dan tuntas
BAB : 1 kali/ hari, konsistensi lunak, berwarna kecoklatan
RPT : TB kelenjar
RPK : Asam Urat
RPO : Obat Anti TB, Antasida, Paracetamol
R. Alergi : Tidak ada
R. Kebiasaan : suka berganti pasangan seks tanpa menggunakan kondom dan tidak
patuh minum obat anjuran dokter.

57
58

ANAMNESA UMUM

 Badan Merasa Kurang Enak :Ya 4. TRACTUS DIGESTIVUS


 Merasa Capek / Lemas :Ya A. LAMBUNG

 Merasa Kurang Sehat :Ya  Muntah : Ya, 2x/hari, cair, sisa

 Nafsu makan :Menurun makanan

 Tidur :Terganggu  Mual-mual : Ya

 Berat Badan :Menurun B. USUS


 Defekasi : Ya, 1x/hari, lunak,
 Demam : Ya
kuning kecoklatan
C. HATI DAN SALURAN EMPEDU
ANAMNESA ORGAN
 Dalam batas normal
1. COR
 Dyspnea d’effort : Ya 5. GINJAL DAN SALURAN KENCING
 Dyspnea d’repos : Ya  Miksi (freq,warna,sebelum/sesudah
miksi, mengedan) : 5x/ hari, kuning
2. SIRKULASI PERIFER jernih, tuntas
 Dalam batas normal 6. SENDI
 Sakit : Ya, saat demam
3. TRACTUS RESPIRATORUS
 Batuk : Ya 7. TULANG
 Berdahak : Ya  Dalam batas normal
 Haemaptoe : Ya
 Sakit dada saat bernapas : Ya 8. OTOT
 Sesak napas : Ya  Dalam batas normal
 Fremitus suara : meningkat dikedua
lapang paru 9. DARAH
 Suara Perkusi : Sonor memendek  Muka tampak pucat
dikedua lapang paru  Konjungtiva anemis (+)
 Suara Pernapasan : Bronchial dikedua
lapang paru 10. ENDOKRIN
 Suara Tambahan : Ronchi basah  Dalam batas normal
dikedua lapang paru
11. FUNGSI GENITALIA
 Dalam batas normal
59

12. SUSUNAN SYARAF


 Dalam batas normal 15. KEADAAN SOSIAL
13. PANCA INDRA  Pekerjaan : Mahasiswa
 Dalam batas normal  Hygiene : Baik

14. PSIKIS
 Gelisah : Ya
ANAMNESA PENYAKIT TERDAHULU : Limfadenitis TB

ANAMNESA PEMAKAIAN OBAT :

Antasida, Obat TB kelenjar selama 9 bulan dan Obat HIV 1 bulan

ANAMNESA PENYAKIT VENERIS : TidakAda

 Bengkak kelenjar regional : Tidak


 Luka-luka dikemaluan : Tidak
 Pyuria : Tidak
 Bisul-bisul : Tidak

ANAMNESA INTOKSIKASI :

Tidak ada

ANAMNESA MAKANAN :

 Nasi : Ya Freq : 3x/hari


 Ikan : Ya
 Sayuran : Ya
 Daging : Ya

ANAMNESA FAMILY :

 Penyakit-penyakit Family : Asam Urat


 Penyakit seperti orang sakit : Tidak ada
 Anak-anak 0, Hidup 0, Mati 0
59

STATUS PRESENT :

KEADAAN UMUM

 Sensorium : Compos mentis


 Tekanan Darah : 110/69 mmHg
 Temperatur : 37,1 ° C
 Pernafasan : 28 x/menit, Reg, Tipe pernafasan (Thoraxal Abdominal)
 Nadi : 128 x/menit, Equal , Teg / Vol (Sedang)

KEADAAN PENYAKIT :

 Anemi : Ya
 Ikterus : Tidak
 Sianosis : Tidak
 Dispnoe : Ya
 Edema : Tidak
 Eritema : Tidak
 Turgor : Baik, CRT <2 detik
 Gerakan aktif : Ya
 Sikap Tidur paksa : Tidak

KEADAAN GIZI :

BB : 65 KG
TB : 172 CM
RBW = BB/TB-100x100 % = 90,2 % Kesan : Normoweight
IMT = kg/cm² = 39/(1,55)2 = 22,0 Kg/cm2 Kesan : Normoweight

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Rambut rontok (+),Wajah tampak pucat, konjungtiva anemis (+),
leukoplakia (+)
Leher : Inspeksi = adanya bekas TB Kelenjar di leher sebelah kiri.
Thorax : Inspeksi = Dalam Batas Normal, Palpasi = Fremitus suara meningkat (+/+),
Perkusi = Sonor memendek (+/+), Auskultasi (SP) = Bronkial (+/+) ST =
Ronchi basah (+/+)
Abdomen : Dalam batas normal
Ektremitas : Pada kulit tangan kanan dan kiri terlihat bekas luka yang menghitam.
60

PEMERIKSAAN LABORATORIUM :

DARAH
Darah Lengkap
Hemoglobin 9,2 g/dl
Eritrosit 5,01 Juta/Ul
Leukosit 9,00 /Ul
Hematokrit 28,7 %
Trombosit 280 /Ul
PDW 14,9 fL
RDW-CV 23,6
Index Eritrosit
MCV 57 fL
MCH 19 Pg
MCHC 32 g/dL
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 0 %
Basofil 0 %
N. Segmen 84 %
Limfosit 10 %
Monosit 6 %
LED - mm/jam
Fungsi Hati
AST (SGOT) 21,0 u/L
ALT (SGPT) 9,0 u/L
Albumin - g/Dl
Bilirubin total - mEg/L
Fungsi Ginjal
Ureum 16,4 mg/dL
Kreatinin 0,88 mg/Dl
Glukosa Darah - mg/Dl
IMUNOSEROLOGI
HIV REAKTIF REAKTIF
Swab Antigen Covid-19 NEGATIF NEGATIF
61

PEMERIKSAAN FOTO THORAX


Hasil Pemeriksaan :

- Paru : Tampak infiltrat pada lapang kedua paru.

Kesimpulan : TB Paru

DIAGNOSA BANDING :

1. HIV/AIDS Stadium 3 + TB Paru + Post Limfadenitis TB


2. HIV/AIDS Stadium 2 + Pneumonia + Post Limfadenitis TB
3. HIV/AIDS Stadium 4 + Bronkitis Kronis + Post Limfadenitis TB
4. HIV/AIDS Stadium 3 + Bronkopneumonia + Post Limfadenitis TB
5. HIV/AIDS Stadium 2 + Bronkiektasis + Post limfadenitis TB

DIAGNOSA SEMENTARA : HIV Stadium 3 + TB Paru + Post Limfadenitis TB

TERAPI :

 Aktivitas : Tirah Baring


 Diet : MB
Diet TKTP (Tinggi Karbohidrat Tinggi Protein)
- BB = 65 kg, TB = 172 cm, Umur = 23 tahun.
- RBW = BB/TB-100 x 100 % = 90 %
- BBI = 90% x (TB-100) x 1 kg
= 90% x (172-100) x 1 kg
= 64,8 kg
- Jenis Kelamin = BBI x 30 kalori = 65 x 30 kalori = 1950 kalori/hari
- Umur = 1950 x (-10 %) = -195 kalori
- Aktivitas Fisik (Istirahat) = 1950 x (+10%) = 195 kalori
- Stress Metabolik = 1950 x (+30%) = 585 kalori
- Total kebutuhan perhari = 1950 – 195 + 195 + 585 = 2535 kalori / hari
- Distribusi Makanan
Karbohidrat = 60% x 2535 = 1521 kalori
Lemak = 20% x 2535 = 507 kalori
Protein = 20% x 1930,5 = 507 kalori
- 3 Porsi makanan besar
62

Pagi (20%) = 2535 x 20% = 507 kalori


Siang (30%) = 2535 x 30% = 761 kalori
Sore (25%) = 2535 x 25% = 633,75 kalori
- Porsi snack
10% = 2535 x 10 % = 254 kalori
254 / 2 = 127 kalori Snack 1
= 127 kalori Snack 2
Medikamentosa :
1. IVFD RL 20 gtt/i
2. Inj Ceftriaxone 1gr/12 jam
3. Inj Ranitidin 25mg /12 jam
4. Inj Ketorolac 1 amp /8 jam
5. Sucralfat Syr 3 x 1 cth
6. Salbutamol 3 x 2 mg
7. Tenofokir 300 mg 1 x 1
8. Lamivudine 150 mg 2 x 1
9. Evavirenz 600 mg 1 x 1
10. Rifampisin 300mg
11. INH 300mg/1 hari
12. Etambutol 750mg
13. Pirazinamid 2x500mg
14. Paracetamol 3x500mg
15. Vit B6 2x1

PEMERIKSAAN ANJURAN :
- Darah lengkap
- Sputum BTA
- Foto Thorax
- Pemeriksaan Imunoserologi
- ELISA
- Kultur HIV
- Viral Load
63
BAB IV
DISKUSI

HIV Teori Kasus

Definisi AIDS (Aquired Immunodeficiency Pada pasien virus HIV ditularkan


Syndrome) merupakan kumpulan gejala melalui hubungan seksual
penyakit yang timbul akibat (ditemukan pada cairan sperma/
menurunnya sistem kekebalan tubuh cairan vagina)
yang disebabkan oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus),
ditemukan dalam tubuh terutama darah,
cairan sperma, cairan vagina, Air Susu
Ibu.
Etiologi Virus HIV adalah suatu virus Virus HIV adalah suatu virus
ribonucleic acid (RNA) yang termasuk ribonucleic acid (RNA) yang
retrovirus dari famili lentivirus. termasuk retrovirus dari famili
lentivirus.
Epidemiologi Kasus HIV dan AIDS pada laki-laki Kasus HIV tahun 2019 sebanyak
lebih tinggi dari perempuan. Kasus 64,50% adalah laki-laki,
HIV tahun 2019 sebanyak 64,50% sedangkan kasus AIDS sebesar
adalah laki-laki, sedangkan kasus AIDS 68,60% pengidapnya adalah laki-
sebesar 68,60% pengidapnya adalah laki.
laki-laki.
Manifestasi Klinis Fase Infeksi Akut  Batuk berdahak bercampur
Gejala infeksi akut biasanya timbul darah segar
sesudah masa inkubasi selama 1-3  Demam
bulan. Gejala yang timbul umumnya  Mengigil
seperti influenza (flu like syndrome)  Mual
berupa demam, artralgia, malaise,  Muntah
anoreksia), gejala kulit (bercak merah,  Berkeringat pada malam hari
urtikaria), gejala saraf (sakit kepala,
 Sesak napas
nyeri, tuberkulosis, radikulopati,
 Nyeri dada
gangguan kognitif serta afektif) dan
gangguan gastrointestinal (nausea,  Penurunan nafsu makan
vomitus, kandidiasis orofaringitis,  Konjungtiva anemis
diare). Gejala tersebut diatas,  Berat badan menurun
merupakan reaksi tubuh terhadap
masuknya virus dan berlangsung 1-2
minggu
Fase Infeksi Kronis Asimptomatik
(Laten)
Setelah infeksi akut berlalu maka
selama bertahun-tahun kemudian,
umumnya sekitar 5 tahun, keadaan

63
penderita tampak baik saja meskipun
sebenarnya terjadi replikasi virus
secara lambat di dalam tubuh. Virus
terutama terakumulasi dalam kelenjar
limfe dan jarang ditemukan dalam
plasma. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar limfe
menyeluruh (limfadeopati generalisata
persisten / LGP)
Fase Infeksi Kronis Simptomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5
tahun terkena infeksi HIV. Berbagai
gejala penyakit ringan atau lebih berat
timbul pada fase ini, tergantung pada
tingkat imunitas penderita. Di dalam
kelenjar limfe akan terus terjadi
replikasi virus diikuti kerusakan dan
kematian sel folikuler dan limfosit T4
sebagai target utama virus HIV. Fungsi
kelenjar limfa sebagai penangkap virus
sudah menurun bahkan hilang dan
terjadi peningkatan virion dalam
sirkulasi darah.
Klasifikasi Infeksi primer HIV Pada pasien termasuk dalam
 Asimptomatis kriteria Infeksi stadium III
 Sindrom retrovirus akut  Penurunan berat badan yang
Infeksi stadium I berat
 Asimptomatis  Diare kronis selama >1 bulan
 Limfadenopati generalisata  Kandidiasis oral
persisten  Oral hairy leukoplakia
Infeksi stadium II  TB paru
 Penurunan berat badan sedang  Infeksi bakteri
 Infeksi tractus respiratorius rekuren  Stomatitis, gingivitis /
 Herpes Zoster periodontitis ulseratif nekrosis
 Cheilitis angular akut
 Ulserasi oral rekuren  Anemia, neutropenia,
 Erupsi pruritic popular trombositopeni selama >1
 Dermatitis seboroik bulan
 Infeksi jamur pada kuku jari
ektremitas
Infeksi stadium III
 Penurunan berat badan yang berat
 Diare kronis selama >1 bulan
 Kandidiasis oral
 Oral hairy leukoplakia
 TB paru
 Infeksi bakteri
 Stomatitis, gingivitis / periodontitis

64
ulseratif nekrosis akut
 Anemia, neutropenia,
trombositopeni selama >1 bulan
 Infeksi stadium IV
 HIV wasting syndrome
 Pneumonia pneumocystis
 Pneumonia bakteri berat
 Infeksi herpes simpleks kronik
 Kandidiasis esofageal
 TB Ekstraparu
 Sarkoma Kaposi
 Toksoplasmosis pada sistem saraf
pusat
 Ensefalopati HIV
 Kriptokokosis ekstrapulmoner,
termasuk meningitis
 Infeksi mycobacteria non-
tuberculous progresif
 Progressive multifocal
leukoencephalopathy (PML)
 Kandidiasi pada trakea, bronkus
atau paru
 Kriptosporidiosis
 Isosporiasis
 Infeksi herpes simpleks visceral
 Infeksi cytomegalovirus
 Mikosis diseminata
 Recurrents non typhoidal
salmonella septicaemia
 Limfoma
 Karsinoma serviks invasive
 Leishmaniasis viseral
Pemeriksaan Pemeriksaan Penunjang HIV: Pada pasien telah dilakukan
Penunjang - Pemeriksaan Antigen P24 pemeriksaan Antigen P24 dan
- Kultur HIV didapatkan hasil REAKTIF.
- Pemeriksaan jumlah HIV-RNA (Viral
Load)
- Pemeriksaan Antibody Serologi
(ELISA)
Diagnosis Banding 1. HIV/AIDS 1. HIV/AIDS
2. Malignant Imunoblastic Lymphoma 2. Malignant Imunoblastic
3. Mycobacterium Avium Complex Lymphoma
(MAC) 3. Mycobacterium Avium
4. Kriptokokus Complex (MAC)
5. Severe Combined 4. Kriptokokus
Imunodeficiencies (SCID) 5. Severe Combined
Imunodeficiencies (SCID)
Diagnosa Kerja HIV/AIDS HIV/AIDS Stadium III

65
Penatalaksanaan Penatalaksanaan HIV: Penatalaksanaan HIV:
Terapi Antiretroviral (ARV) Terapi Antiretroviral (ARV)
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Tenofovir 300 mg 1x1 + Lamivudine Tenofovir 300 mg 1x1 +
150 mg 2x1 (atau Emitricitabine) + Lamivudine 150 mg 2x1 (atau
Efavirenz 600 mg 1x1 (diberikan pada Emitricitabine) + Efavirenz 600
malam hari) mg 1x1 (diberikan pada malam
hari)
Prognosis Faktor-faktor tertentu berkorelasi Prognosis buruk, dikarenakan ada
dengan prognosis yang lebih buruk dari infeksi oportunistik berupa TB
kondisi terkait AIDS: ras Afrika- Paru, dan pasien putus minum obat
Amerika atau campuran, jumlah infeksi HIV
oportunistik, status fungsional dan gizi
yang buruk, anemia, penyalahgunaan
zat aktif, jumlah CD4+ yang rendah,
dan viral load HIV yang tinggi
Komplikasi 1. Oral lesi, seperti : kandidiasis,  Leukoplakia
herpes simplek, sarcoma Kaposi,
HPV oral, Ginggivitis, Peridonitis,
HIV, Leukoplakia oral
2. Neurologik, seperti : Kompleks
demensia AIDS, Ensefalopati akut,
infark serebral kornea sifilis
meningovaskuler, neuropati
3. Gastrointestinal, seperti : diare,
hepatitis
4. Respirasi, seperti : pneumocystic
carinii, cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus
5. Dermatologik, seperti : herpes
simpleks dan zoster
6. Sensorik, seperti : kebutaan,
kehilangan pendengaran / otitis
eksternal akut dan otitis media.
Pencegahan dan Untuk menghindari penularan HIV, Untuk menghindari penularan
Eduksi dikenal konsep “ABCDE” sebagai HIV, dikenal konsep “ABCDE”
berikut: A (Abstinence) artinya absen sebagai berikut : A (Abstinence)
seks atau tidak melakukan hubungan artinya absen seks atau tidak
seks bagi yang belum menikah. B (Be melakukan hubungan seks bagi
Faithful) artinya bersikap saling setia yang belum menikah. B (Be
kepada satu pasangan seks (tidak Faithful) artinya bersikap saling
berganti-ganti pasangan). C (Condom) setia kepada satu pasangan seks
artinya cegah penularan HIV melalui (tidak berganti-ganti pasangan). C
hubungan seksual dengan (Condom) artinya cegah penularan
menggunakan kondom. D (Drug No) HIV melalui hubungan seksual
artinya dilarang menggunakan narkoba. dengan menggunakan kondom. D
E (Education) artinya pemberian (Drug No) artinya dilarang
edukasi dan informasi yang benar menggunakan narkoba. E
mengenai HIV, cara penularan, (Education) artinya pemberian

66
pencegahan dan pengobatannya. edukasi dan informasi yang benar
mengenai HIV, cara penularan,
pencegahan dan pengobatannya.

TB Paru Teori Kasus

Definisi Tuberkulosis (TB) adalah sebuah Organ yang terkena:


penyakit yang menyerang manusia - Sistem Pernapasan
disebabkan oleh Mycobacterium - Sistem limforetikuler
tuberculosis. Organ-organ yang terkena
adalah:
6. Sistem pernapasan
7. Sistem gastrointestinal
8. Sistem limforetikuler
9. Kulit
10. Sistem saraf pusat
11. Sistem musculoskeletal
12. Sistem reproduksi
13. Hati

Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan organ tubuh Klasifikasi berdasarkan organ


yang terkena: tubuh yang terkena:
a. TB Paru a. TB Paru
b. TB ekstra paru b. TB ekstra paru
Klasifikasi berdasarkan hasil Klasifikasi berdasarkan hasil
pemeriksaan dahak mikroskopis: pemeriksaan dahak mikroskopis:
a. TB Paru BTA (+) TB Paru BTA (+)
b. TB Paru BTA (-)
Klasifikasi berdasarkan riwayat Klasifikasi berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya: pengobatan sebelumnya:
a. Kasus baru a. Kasus baru
b. Kasus kambuh
c. Kasus setelah putus berobat
Etiologi  Kontak erat dengan pasien TB paru  Pasien TB menyerang usia
aktif produktif dan dewasa muda (5-
 Individu Imunnosupresif 15 tahun dan 15 – 44 tahun)
 Menggunakan obat-obatan IV dan  Individu yang tinggal di daerah
alkoholik perumahan yang kumuh atau
 Pasien TB menyerang usia produktif sub stardar
dan dewasa muda (5-15 tahun dan
15 – 44 tahun)
 Gangguan medis sebelumnya
(diabetes, gagal ginjal kronis,
silikosis, dan penyimpanan gizi).
 Individu yang tinggal di daerah
perumahan yang kumuh atau sub
stardar
Epidemiologi Pasien TB menyerang usia produktif Pada kasus pasien berusia

67
dan dewasa muda (5-15 tahun dan 15 – produktif dan dewasa muda : 23
44 tahun) tahun.
Manifestasi Klinis  Batuk berdahak kronis  Batuk berdahak bercampur
 Demam darah segar
 Berkeringat tanpa sebab pada  Demam
malam hari  Mengigil
 Sesak napas  Mual
 Nyeri dada  Muntah
 Penurunan nafsu makan  Berkeringat pada malam hari
 Konjungtiva anemis  Sesak napas
 Berat badan menurun  Nyeri dada
 Penurunan nafsu makan
 Konjungtiva anemis
 Berat badan menurun
Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium: Pemeriksaan Laboratorium:
1. LED ↑ Limfosit
Penunjang
2. Limfosit ↑ Pemeriksaan Sputum BTA (+)
Pemeriksaan Sputum BTA: Pemeriksaan Foto Thorax: terdapat
1. Sputum BTA (+) infiltrate dikedua lapang paru,
Pemeriksaan Foto Thorax: biasanya pada apex paru
1. Infiltrat pada lapang paru, biasanya
pada apeks paru.
2. Bayangan berawan (patchy) atau
berbercak (nodular).
3. Adanya kavitas, tunggal, atau
ganda.
4. Kelainan bilateral, terutama di
lapangan atas paru.
5. Adanya kalsifikasi.
Diagnosis Banding 1. TB Paru 1. TB Paru
2. Pneumonia 2. Pneumonia
3. Chronic Obstructive Pulmonary 3. Bronkitis Kronis
Disease (COPD) 4. Bronkopneumonia
4. Bronkhitis 5. Bronkiektasis
5. Asma Bronkial

Diagnosis Kerja TB paru TB Paru


Penatalaksanaan 1. Kategori 1 pada kasus baru, sputum 1. Kategori 1 pada kasus baru,
BTA (+), sputum BTA (-) tetapi sputum BTA (+), sputum BTA
gambaran toraks (+), TB ekstra paru (-) tetapi gambaran toraks (+),
2 HRZE / 4 HR 3 TB ekstra paru
Pada pasien dengan BB : 39kg 2 HRZE / 4 HR 3
maka diberikan OAT Pada pasien dengan BB : 39kg
Rifampisin 300mg maka diberikan OAT
INH 300mg/1 hari Rifampisin 300mg
Pirazinamid 2x500mg INH 300mg/1 hari
Etambutol 750mg Pirazinamid 2x500mg

68
2. Kategori 2 pada pasien kambuh, Etambutol 750mg
gagal pengobatan, pasien putus
pengobatan
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Prognosis  Prognosis baik. Terutama karena  Prognosis buruk. Terutama
pengobatan yang diberikan efektif. karena terdapat infeksi
 Tanpa pengobatan, prognosis buruk HIV/AIDS.
angka kematian tuberkulosis lebih
dari > 50%.

Komplikasi 1. Komplikasi dini:  Pada kasus ini tidak ada


a. Pleuritis terjadinya komplikasi
b. Efusi pleura
c. Empyema
d. Laryngitis
2. Komplikasi stadium lanjut:
a. Hemoptisis massif
b. Kolaps lobus akibat sumbatan
duktus
c. Bronkiektasis
d. Pneumotoraks spontan
e. Penyebaran infeksi ke orang lain
seperti: otak, tulang, sendi, ginjal,
dan lainnya.
Pencegahan dan 1. Tinggal dirumah. Jangan pergi kerja 1. Tinggal dirumah. Jangan pergi
Edukasi atau sekolah atau tidur di kamar kerja atau sekolah atau tidur di
dengan orang lain selama beberapa kamar dengan orang lain
minggu pertama pengobatan untuk selama beberapa minggu
TB aktif pertama pengobatan untuk TB
2. Ventilasi ruangan. Buka jendela dan aktif
gunakan kipas untuk meniup udara 2. Ventilasi ruangan. Buka
dalam ruangan ke luar jendela dan gunakan kipas
3. Tutup mulut dengan menggunakan untuk meniup udara dalam
masker. ruangan ke luar, tutup mulut
4. Imunisasi BCG dengan menggunakan masker,
5. Usahakan sinar matahari dan udara Imunisasi BCG
segar masuk 3. Usahakan sinar matahari dan
6. Makanan harus tinggi karbohidrat udara segar masuk
dan tinggi protein 4. Makanan harus tinggi
karbohidrat dan tinggi protein

69
BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus HIV/AIDS + TB Paru + Post Limfadenitis TB, diagnosa


ditegakkan secara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Manisfestasi
klinis dijumpai, batuk disertai dahak kental bercampur darah segar, sesak dan nyeri dada saat
bernapas, demam, mengigil, berkeringat pada malam hari, penurunan berat badan, mual,
muntah, dan badan terasa lemas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan Mata anemis (+),
Leukoplakia (+), Leher = Adanya bekas benjolan di sebelah kiri, Thorak : Inspeksi = Dalam
Batas Normal, Palpasi = Fremitus suara meningkat pada lapang kedua paru, Perkusi = Sonor
memendek pada lapang kedua paru, Auskultasi (SP) = Bronkial pada lapang kedua paru
dengan ST = Ronchi basah dilapang kedua paru, Abdomen : Dalam Batas Normal,
Ekstremitas : Inpeksi = pada kulit tangan kanan dan kiri terlihat bekas luka garukan yang
menghitam. Pada pemeriksaan Tes Imunologi HIV didapatkan hasil REAKTIF. Dari
pemeriksaan foto thorax ditemukan adanya infiltrat pada lapang kedua paru. Dan, pada kasus
terdapat riwayat penyakit terdahulu menderita TB Kelenjar (limfadenitis TB) dengan
pengobatan tuntas.

70
71

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin HIV/AIDS.


https://pusdatin.kemkes.go.id › infodatin-2020-HIV [sitasi tanggal 19 November 2021]
2020.
2. Kudesia, G. & Wreghitt. Clinical and Diagnostic Virology. Cambridge: Cambridge
University Press. 2009
3. Mohammadi, M., Talei, G., Sheikhian, A., Ebrahimzade, F., Pournia, Y., Ghasemi, E.,
& Boroun, H. Survey of both Hepatitis B Virus (HBsAg) and Hepatitis C Virus (HCV-
Ab) coinfection among HIV positive patients. 2009. Virol J., 6, 202.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin HIV/AIDS.
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/
infodatin-aids.pdf [sitasi tanggal 19 November 2021] 2014.
5. Djoerban, Z., Djauzi, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI.
InternaPublishing. 2015
6. Syukra A, Sriani, Y. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat. [e-book] Deepublish.
https://www.google.com/search?tbo=p&tbm=bks&q=isbn:6022808081 [sitasi 29
oktober 2021]. 2015
7. Kementrian Kesehatan. TBC Masalah Kesehatan Dunia. Jakarta. Kemenkes RI.
http://www.depkes.go.id/article/view/1444/tbcmasalah-kesehatan-dunia.html [sitasi
tanggal 29 oktober 2021]. 2011
8. Papathakis P, Piwoz,.editors. Nutrition and Tuberculosis A Review of the Literature
and Considerations for TB Control Programs. Chapters 3, Malnutrition, Immunity, and
TB. Washington: United States Agency For International Development, 2008. P11-7
9. World Health Organization (WHO). Guidance for national tuberculosis Programme on
the management of tuberculosis in children. WHO/HTM/2006.371
10. Direktorat Jenderal PP dan PL Kementrian Kesehatan RI. Petunjuk teknis tata laksana
klinis ko-infeksi TB-HIV. Jakarta (Indonesia); 2012.h.135.
11. World Health Organization. Global tuberculosis report 2013. Switzerland; 2013.
12. SUSILAWATI, Tuti; SOFRO, Muchlis; SARI, Ana. FAKTOR RISIKO YANG
MEMPENGARUHI KEJADIAN HIV/AIDS DI MAGELANG. Prosiding" Standar
Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) Edisi 1 Terkait Rekam Medis" Yogyakarta Tahun
2018, 2020.
72

13. Hessol, N. A., Gandhi, M., Greenblatt, R. M. Epidemiology and Natural History of HIV
Infection in Women. In: Anderson, J. R., eds. A Guide To The Clinical Care of Women
With HIV. 1rst ed. Rockville: Parklawn Building; 2005; 1: p. 1-35.
14. Merati, K.T.P. HIV sebagai Penyebab AIDS dalam Buku Disertasi Subtipe HIV-1 di
Beberapa Daerah di Indonesia dan Perannya sebagai Petunjuk Dinamika Epidemi HIV.
2008. P.14-16.
15. Duarsa, N. W. Infeksi HIV dan AIDS. Dalam: Daili, S. F., Makes, W. I. B., Zubier, F.,
editor. Infeksi Menular Seksual. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009; 4: hal.
146-159.
16. Moir, S., Chun, T. W., Fauci, A. S. Immunology and Pathogenesis of Human
Immunodeficiency Virus Infection. In: Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot,
P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted
Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008; 5(20) : 341-359.
17. Harrington, P. R., Swanstrom, R. The Biologi of HIV, SIV, and Other Lentiviruses. In:
Holmes, K.K., Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L.,
Cohen, M.S., Watts, D.H., eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York:
McGraw-Hill; 2008; 5(20) : 323-341.
18. Norris, S. HIV/AIDS – Past, Present and Future. Canada: Library of Parliament. 2011;
p. 1-5.
19. U.S. Department of Health and Human Services. Guide For HIV/AIDS Clinical Care.
2014.
20. Weinberg, J. L., Kovarik, C. L. The WHO Clinical Staging System for HIV/AIDS.
American Medical Association Journal of Ethics. 2010; 12(3): 202-206.
21. Nelwan, E.J., Wisaksana, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI.
InternaPublishing. 2015
22. Bennet NJ. HIV infection and AIDS differential diagnoses.
https://emedicine.medscape.com/article/211316-differential. [di sitasi tanggal 22
November 2021]. 2020
23. Burchett, S. K., Pizzo, P. A. HIV Infection in Infants, Children, and Adolescents.
Pediatrics in Review. 2003; 24: 186-193.
24. World Health Organization. Consolidated Gidelines On The Use of Antiretroviral
Drugs for Treating and Preventing HIV Infection: What’s New. 2015.
25. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
73

Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2011. p. 1-60.
26. Department of Health and Human Services USA. Guidelines for the Use of
Antiretroviral Agents in HIV-1-Infected Adults and Adolescents. 2015.
27. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Diseases Treatment
Guidelines. MMWR. 2015; 64(3): p.1-110.
28. Anonim. Pedoman Pengobatan Antiretroviral poli Voluntary Counselling and Testing
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar tahun 2012. Tidak dipublikasikan.
29. National AIDS Control Organization Government of India. Antiretroviral Therapy
Guidelines for HIV-Infected Adults and Adolescents. 2013.
30. Oppenheim, S. Fast Facts and Concepts #213 Prognosis in HIV and AIDS. Palliative
Care Network of Wisconsin. 2016
31. Susanto C., R., Made., A., M. Komplikasi HIV : Penyakit Kulit dan Kelamin.
Yogyakarta: Nuha Medika. 2013
32. Adigun, R. Tuberculosis. Statpearls [Internet]. Retrieved November 1, 2021, from
http://lm.nih.gov/books/NBK441916/?report=classic.(2021, July 25)
33. Singer-Leshinsky S. Pulmonary tuberculosis. Journal of the Amrican Academy of
Physician Assistants. 2016;29(2):20-5.
34. Karim, K., et al. Hubungan Manifestasi Klinis dan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks
dalam Mendiagnosis TB di RSU Kota Tangerang Selatan pada Tahun 2013. 2013
Departemen Kesehatan RI. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
tahun 2002-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2001.
35. Darliana, D. Manajemen Pasien Tuberkulosis Paru. Idea Nursing Journal, 2011, 2.1:27-
31
36. Departemen Kesehatan RI. Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
tahun 2002-2006. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2001.
37. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan
ke-8. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2002.
38. Kochi, A. The Global Tuberculosis Situation and the New Control Strategy of the
World Health Organization. Tubercle 1991;72:213 – 20.
39. Wunderink RG, Watever GW. 2014. Community-acquired pneumonia. Nengl J Med.
2014;370:534-51
40. Bassiri-Jahromi S, Doostkam A. Actinomyces and Nocardia infections in chronic
granulomatous disease. Journal of Global Infectious Diseases. 2011;3(4):348.
74

41. Niederman MS, Mandel LA, Anzueto A, Bass JB, Broughton WA, Campbell GD, Dean
N, File T, Fine MJ, Gross PA et al. VICTOR L. YU, M.D. Guidelines for the
Management of Adults with Community-acquired Pneumonia – Diagnosis, Assessment
of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit Care Med 2001;
163: 1730-1754
42. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI. 2005
43. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, Aru., et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
VI. InternaPublishing. 2014
44. Wahyuningsih, Esther. Pola Klinik Tuberkulosis Paru di RSUP Dr. Kariadi Semarang
Periode Juli 2012-Agustus 2013. 2014. PhD Thesis. Faculty of Medicine Diponegoro
University.
45. Pusat Informasi Obat Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan. Antituberkulosis.
Jakarta: Badam POM RI; 2015
46. Dolin PJ, Raviglione MC, Kochi A. Global tuberculosis incidence and mortality during
1990 -2000. Bull World Health Organ 1994;72:213-20
47. Bayazit, A., dkk. Diagnosis Banding dan prognosis Limfadenitis TB : Mycobacterial
Serviks Limfadenitis, ORI. 2004. 66; hal: 275-280
48. Suryadi., D. Epidemiologi Limfadenitis TB : Analisis Gambaran morfologi
Limfadenitis Tuberculosis Menggunakan Metode Biopsi Aspirasi Jarum Halus dan
Polymerase Chain Reaction. Universitas Sumatera Utara : Majalah Patologi Indonesia.
2020. 1 Mei; 29 (2) hal: 96
49. Spelman, D. Tuberculous lymphadenitis. Available from: www.uptodate.com. [disitasi
tanggal 22 November 2021]
50. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenitis and malignancy. Am Fam Physician.
2012;66:2103-10.
51. Robbins KT, Clayman G, Levine PA, Medina J, Sessions R. Neck dissetion
clasification update. Revision proposed by the American Head and Neck Society and
the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. 2012;128:751-8.
52. Kumar, Vinary, Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. Limfadenitis Tuberkulosis.
Dalam : Buku Ajar Patologi Edisi Vol.2. Jakarta : ECG, 2011: 316-53.

Anda mungkin juga menyukai