Disusun oleh:
dr. Isna Nisrina Hardani
Pendamping:
dr. Wiwit Puji Arini
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyusun laporan evaluasi program ini dengan
baik dan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat
kelulusan Program Internsip Dokter Indonesia.
Selama penyusunan laporan ini, banyak pihak yang telah mendukung dan
memberikan bimbingan sehingga penyusunan laporan ini dapat terlaksana dengan
baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. drg. Yayat Cahyati selaku Kepala Puskesmas Serang Kota yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu di Puskesmas
Serang Kota.
2. dr. Wiwit Puji Arini selaku pendamping Program Internsip Dokter Indonesia
yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama berada
di Puskesmas Serang Kota.
3. Staf Puskesmas Serang Kota dan semua pihak yang telah membantu penulis
dalam penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar laporan
ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bagi program
pelayanan kesehatan tuberkulosis (TB) di Puskesmas Serang Kota.
i
DAFTAR ISI
ii
3.5 Pengumpulan Data ................................................................................ 13
iii
5.7 Metode Evaluasi .................................................................................... 25
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
tahun 2017 jumlah kasus TB sebesar 254 per 100.000 penduduk atau 2540 per 1
juta penduduk.2 Angka tersebut menunjukkan capaian yang masih jauh menuju
target. Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi upaya dan peran serta berbagai
pihak untuk mewujudkan target penanggulangan TB nasional tersebut.
Berdasarkan sumber data Dinas Kesehatan Provinsi Banten, kasus TB di
Banten pada tahun 2017 menduduki posisi ke-8 dari seluruh provinsi di Indonesia,
yaitu sebanyak 16.608 kasus.5 Hal tersebut menggambarkan posisi Banten
memberikan pengaruh signifikan terhadap kondisi kasus TB secara nasional.
Sedangkan jika dilihat dari capaian kinerja penemuan kasus TB di
Kabupaten/Kota Provinsi Banten pada tahun 2017, beban TB ini baru dicapai 42%
yakni dari perkiraan kasus TB 40.277, hanya ditemukan 17.108 kasus.5 Hal ini
menggambarkan perlunya optimalisasi upaya untuk memperluas jangkauan
penemuan kasus pada sasaran potensial.
Hasil kegiatan penemuan penderita TB di Puskesmas Serang Kota tahun
2020 menunjukkan jumlah kumulatif suspek TB sebanyak 223 kasus, dengan 54
kasus BTA positif baru, 8 kasus kambuh, 13 kasus BTA negatif dengan rontgen
positif, 1 kasus TB ekstraparu, dan 1 kasus TB pada anak. Menurut data di
Puskesmas Serang Kota, capaian standar pelayanan minimal (SPM) pada
pelayanan kesehatan orang dengan tuberkulosis (TB) pada tahun 2020 mengalami
penurunan signifikan menjadi 25% dari angka 81% pada tahun 2019.6 Oleh karena
itu, diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengevaluasi program pelayanan
kesehatan orang dengan TB di Puskesmas Serang Kota agar cakupan pelayanan
TB dapat mencapai target di masa mendatang.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengevaluasi program pelayanan kesehatan orang dengan tuberkulosis
(TB) di Puskesmas Serang Kota tahun 2020.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui faktor-faktor penyebab rendahnya cakupan pelayanan
kesehatan TB di Puskesmas Serang Kota.
2
2. Mencari alternatif pemecahan masalah yang menyebabkan rendahnya
cakupan pelayanan kesehatan TB di Puskesmas Serang Kota.
3. Menentukan prioritas pemecahan masalah yang menyebabkan rendahnya
cakupan pelayanan kesehatan TB di Puskesmas Serang Kota.
4. Menyusun rencana kegiatan pemecahan masalah terpilih.
1.3 Manfaat
1. Dapat memberikan landasan pengetahuan terkait faktor-faktor penyebab
rendahnya cakupan pelayanan kesehatan TB di Puskesmas Serang Kota.
2. Dapat mengimplementasikan solusi pemecahan masalah sesuai
usulan/rekomendasi sehingga cakupan pelayanan TB di Puskesmas Serang
Kota diharapkan dapat mencapai target di masa mendatang.
3. Dapat meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit TB dan peran serta
Puskesmas dalam upaya pengendaliannya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2. Infeksi
Paru merupakan tempat masuk (port d’entrée) lebih dari 95% kasus
infeksi TB. Kuman TB dalam percik renik akan terhirup dan dapat mencapai
alveolus.7 Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi 6-14 minggu setelah infeksi. Lesi
umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut
(dorman) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung dari daya tahan tubuh
manusia. Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi.4
3. Sakit TB
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari
konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia
seseorang yang terinfeksi, dan tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang
dengan daya tahan tubuh yang rendah seperti adanya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB).
Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10% diantaranya akan menjadi sakit TB.
Namun pada seseorang dengan HIV positif berisiko 20-37 kali untuk sakit TB
dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.4
4. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian karena TB diantaranya akibat dari keterlambatan
diagnosis, pengobatan tidak adekuat, dan adanya kondisi kesehatan awal yang
buruk atau penyakit penyerta. Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya
meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif. Begitu pula
pada ODHA, 25% kematian disebabkan oleh TB.4
2.1.3 Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.4
1. Anamnesis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
5
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari 1 bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk seringkali bukan
merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2
minggu atau lebih. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan
pada orang dengan faktor risiko, seperti kontak erat dengan pasien TB, tinggal di
daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang
bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru.4
2. Pemeriksaan laboratorium bakteriologi
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menentukan potensi penularan, dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP). Dahak
Sewaktu (S) ditampung di fasyankes. Dahak Pagi (P) ditampung pada pagi hari
segera setelah bangun tidur dan dapat dilakukan di rumah pasien atau di
bangsal rawat inap apabila pasien menjalani rawat inap.4
b. Pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan TCM dengan metode Xpert MTB/RIF merupakan sarana
untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi
hasil pengobatan.4
c. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-
Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk
identifikasi M. tuberculosis.4
3. Pemeriksaan penunjang lainnya
a. Pemeriksaan foto toraks
b. Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu
6
2.1.4 Definisi Kasus dan Klasifikasi Pasien TB
Definisi kasus TB terdiri dari dua, yaitu:
1. Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis
Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung,
tes cepat molekuler (TCM) TB, atau biakan.4
2. Pasien TB terdiagnosis secara klinis
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara
bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan
diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Pasien yang termasuk dalam
kelompok ini di antaranya adalah pasien TB paru BTA negatif dengan hasil
pemeriksaan foto toraks mendukung TB, pasien TB paru BTA negatif dengan
tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan antibiotik non OAT dan memiliki
faktor risiko TB, serta pasien TB anak yang terdiagnosis dengan sistem
skoring.4
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi di atas, pasien TB juga
dapat diklasifikasikan sebagai berikut.4
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit
a. TB paru, adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Pasien
yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstraparu,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. TB ekstraparu, adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, seperti
pleura, kelenjar limfe, abdomen, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
a. Pasien baru TB, adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (<28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB, adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
7
1) Pasien kambuh, adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal, adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up),
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow-up.
4) Lain-lain, adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
a. Mono resisten (TB MR), Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap
salah satu jenis OAT lini pertama saja.
b. Poli resisten (TB PR), Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap lebih
dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan.
c. Multi drug resisten (TB MDR), Mycobacterium tuberculosis resisten
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau
tanpa diikuti resisten OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive drug resisten (TB XDR), adalah TB MDR yang sekaligus juga
resisten terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin,
dan Amikasin).
e. Resisten Rifampisin (TB RR), Mycobacterium tuberculosis resisten
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi menggunakan metode genotip (TCM) atau metode fenotip
(konvensional).
4. Klasifikasi berdasarkan status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV), adalah pasien
TB dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan
ART, atau hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
8
b. Pasien TB dengan HIV negatif, adalah pasien TB dengan hasil tes HIV
negatif sebelumnya atau hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui, adalah pasien TB tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
2.1.5 Tatalaksana
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB.4
1. Tahapan pengobatan TB
a. Tahap awal. Pengobatan diberikan setiap hari selama 2 bulan. Paduan
pengobatan pada tahap ini dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan
jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien. Pada umumnya dengan
pengobatan teratur dan tanpa penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
b. Tahap lanjutan. Pengobatan pada tahap ini bertujuan membunuh sisa-sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh.
2. Jenis OAT
a. OAT lini pertama, terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid
(Z), Streptomisin (S), dan Etambutol (E).
b. OAT lini kedua, terdiri dari golongan fluorokuinolon, seperti
Levofloksasin (Lfx), Moksifloksasin (Mfx), Gatifloksasin (Gfx), serta
OAT suntik lini kedua, seperti Kanamisin (Km), Amikasin (Am),
Kapreomisin (Cm).
3. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a. Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, yaitu pasien TB paru
terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien
TB ekstraparu.
b. Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
9
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang), yaitu pasien kambuh, pasien gagal pada
pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien yang
diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
c. Kategori anak: 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
Paduan OAT kategori 1 dan 2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi
2 dan 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien dan dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten
(diberikan 3 kali per minggu).
10
memiliki tanggung jawab besar terhadap masalah kesehatan di masyarakat, salah
satunya dalam hal penanganan TB.
Langkah pertama penanganan TB adalah dengan penemuan kasus.
Penemuan kasus TB di puskesmas dapat dilakukan secara aktif dan pasif.
Penemuan kasus TB secara aktif dilakukan melalui investigasi dan pemeriksaan
kasus kontak, skrining secara massal terutama pada kelompok rentan dan berisiko
(seperti tempat penampungan pengungsi dan daerah kumuh), serta skrining di
tempat khusus (seperti lapas/rutan, tempat kerja, asrama, pondok pesantren,
sekolah, panti jompo). Skrining dapat dibantu oleh kader dari posyandu, pos TB
desa, tokoh masyarakat, ataupun tokoh agama. Penemuan kasus TB secara pasif
dilakukan melalui pemeriksaan pasien yang mengalami gejala-gejala TB yang
datang ke puskesmas. Setelah penemuan kasus, selanjutnya diperlukan
penanganan kasus TB yang dilakukan melalui kegiatan tata laksana kasus untuk
memutus rantai penularan. Tata laksana kasus terdiri atas pengobatan dan
penanganan efek samping, pengawasan kepatuhan menelan obat, pemantauan
kemajuan pengobatan dan hasil pengobatan, serta pelacakan kasus mangkir. Tata
laksana kasus dilaksanakan sesuai dengan pedoman nasional pelayanan
kedokteran tuberkulosis.4
Puskesmas juga berperan dalam pemberian kekebalan dan pemberian obat
pencegahan sebagai upaya penanggulangan TB. Pemberian kekebalan dilakukan
melalui imunisasi BCG terhadap bayi yang bermanfaat untuk mengurangi risiko
keparahan TB. Pemberian obat pencegahan (profilaksis) TB ditujukan pada anak
usia di bawah 5 tahun yang kontak erat dengan pasien TB aktif, orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosis TB, serta populasi tertentu
lainnya.4
Peran lain puskesmas dalam kegiatan penanggulangan TB adalah berupa
promosi kesehatan, yaitu berbagai upaya yang dilakukan terhadap masyarakat
sehingga mereka mau dan mampu untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan
mereka sendiri. Promosi kesehatan diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan
yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan penularan, pengobatan, pola
11
hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku
sasaran program TB.
Puskesmas berperan dalam kegiatan surveilans TB sebagai salah satu
kegiatan untuk memperoleh data epidemiologi yang diperlukan dalam sistem
informasi program penanggulangan TB. Data diperoleh dari sistem pencatatan-
pelaporan TB. Pencatatan TB menggunakan formulir baku secara manual
didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB
menggunakan sistem informasi elektronik. Puskesmas akan mengkompilasi
laporan kasus TB dari semua FKTP (klinik dan dokter praktik mandiri) di wilayah
kerjanya dan melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
12
BAB III
METODE
13
tahun 2020. Data yang sudah terkumpul dianalisis secara deskriptif dan disajikan
dalam bentuk uraian singkat sesuai dengan variabel penelitian.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
14
2. Sumur Pecung 10.434 10.373 20.807
1. Puskesmas 1
2. Puskesmas Pembantu 1
3. Poskesdes 1
4. Mobil Ambulans/Pusling 2
5. Rumah Bersalin 3
15
8. Tenaga Kesehatan Lingkungan 1 PNS
9. Ahli Teknologi Laboratorium Medik 2 PNS
10. Tenaga Gizi 1 PNS
11. Tenaga Kefarmasian 1 PNS
12. Rekam Medis 1 PNS
13. Terapis Gigi dan Mulut 1 PNS
14. Tenaga Promosi Kesehatan 1 THL
15. Fisioterapi 1 PNS
16. Tenaga Lainnya 6 PNS/THL
Jumlah 34
16
C. Fasilitas di gedung C terdiri dari:
- UGD
- Ruang nifas
- Ruang bersalin
- Ruang KIA/KB
- Ruang imunisasi
- Ruang pemeriksaan IVA
- Ruang konseling PKPR
- Ruang promkes
- Pojok ASI
- Ruang rawat inap
D. Gedung TFC (Therapeutic Feeding Center)
B. UKM Pengembangan
1. Pelayanan kesehatan gigi masyarakat
2. Pelayanan kestrad komplementer
3. Pelayanan kesehatan kerja dan olahraga
4. Pelayanan kesehatan jiwa
5. Pelayanan kesehatan lansia
17
7. Pelayanan rawat inap
8. Pelayanan kefarmasian
9. Pelayanan laboratorium
18
Risiko Terinfeksi HIV
19
Berdasarkan hasil skoring USG di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
masalah yang menjadi prioritas utama adalah pelayanan kesehatan orang dengan
tuberkulosis (TB).
INPUT
Man Planning LINGKUNGAN
Kurangnya petugas Actuating - Kondisi pandemi COVID-19
Eksekusi program
Puskesmas dalam pelayanan - Jarak Puskesmas cukup jauh dari
Perencanaan intervensi langsung
TB salah satu wilayah kerjanya
jadwal program ke masyarakat
Money penyuluhan TB belum optimal di
Tidak ada masalah belum optimal masa pandemi
Method
Kurangnya program OUTPUT
sosialisasi mengenai Rendahnya
pentingnya deteksi dini pelayanan
suspek TB PROSES kesehatan orang
Material dengan TB
Tidak ada masalah
Market
- Kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang TB Tidak ada masalah Pelaporan pasien
- Kurangnya kesadaran TB dari faskes lain
masyarakat untuk berobat di wilayah kerja
- Stigma negatif masyarakat Puskesmas belum
terhadap penderita TB optimal
- Pasien dengan tingkat
sosioekonomi menengah ke Controlling &
bawah terkendala akses
Organizing
Evaluating
untuk pergi ke Puskesmas
20
perlu ditentukan prioritas penyebab masalah. Penentuan prioritas penyebab
masalah ini dilakukan dengan menggunakan kriteria matriks ITR (Importance,
Technical Feasibility, Resources Availability). Metode ini dilakukan dengan cara
memberikan penilaian dari skala 1-5 pada setiap faktor penyebab, lalu masing-
masing kriteria dikalikan. Faktor yang memiliki total nilai tertinggi merupakan
prioritas penyebab masalah.
21
tinggi di masyarakat, atau merasa takut untuk datang ke Puskesmas karena kondisi
pandemi COVID-19 yang belum mereda.
22
4.2.6 Prioritas Alternatif Pemecahan Masalah
Dalam menentukan prioritas dari solusi pemecahan masalah, pendekatan
yang dilakukan adalah dengan menggunakan matriks MxIxV/C. Metode ini terdiri
dari komponen:
1. Magnitude, dilihat dari seberapa besar alternatif solusi mampu untuk
memecahkan masalah. Diberi nilai 1-5 dimana semakin besar solusi dapat
menyelesaikan masalah maka nilai mendekati angka 5.
2. Importance, dilihat dari seberapa permanen solusi tersebut dapat
memecahkan masalah. Diberi nilai 1-5 dimana semakin permanen solusi
dalam menyelesaikan masalah maka nilai mendekati angka 5.
3. Vulnerability, dilihat dari seberapa cepat solusi tersebut dapat
menyelesaikan masalah. Diberi nilai 1-5 dimana semakin cepat solusi
dapat menyelesaikan masalah maka nilai mendekati angka 5.
4. Cost yaitu besar biaya solusi. Diberi nilai 1-5 dimana semakin kecil biaya
yang dikeluarkan maka nilai mendekati angka 1.
Tiga komponen pertama dikalikan, lalu dibagi dengan komponen cost.
Solusi dengan skor tertinggi merupakan pemecahan masalah terpilih.
MxIxV
No. Alternatif Pemecahan Masalah M I V C C
1. Membuat leaflet edukasi pentingnya
4 3 4 3 16
deteksi dini bagi suspek TB
2. Membuat penyuluhan di dalam
gedung menggunakan slide presentasi 3 2 2 2 6
dan video edukasi
3. Membuat pelatihan kader untuk
sosialisasi pentingnya deteksi dini 5 4 3 5 12
bagi suspek TB kepada masyarakat
23
deteksi dini bagi suspek TB. Solusi ini kemudian akan disusun sebagai
rekomendasi intervensi program pelayanan TB di Puskesmas Serang Kota.
BAB V
PROPOSAL
5.3 Tujuan
5.3.1 Tujuan Umum
Suspek TB bersedia memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.
5.3.2 Tujuan Khusus
1. Suspek TB bersedia dilakukan pengumpulan dahak untuk deteksi dini.
2. Suspek TB dilakukan tindakan preventif, promotif, dan kuratif sesuai hasil
pemeriksaan.
24
Kegiatan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
1. Menyusun materi edukasi yang akan disampaikan dalam media leaflet.
2. Membuat desain leaflet yang menarik dan komunikatif.
3. Mencetak hasil desain ke dalam bentuk kertas leaflet yang berbahan cukup
tebal dan tidak mudah sobek.
4. Membagikan kertas leaflet kepada pasien terkonfirmasi TB yang datang
berobat ke Puskesmas untuk disampaikan kepada kontak erat/keluarganya
sambil menyampaikan penjelasan singkat materi edukasi dalam leaflet.
5. Menetapkan indikator keberhasilan, monitoring, dan evaluasi.
25
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil evaluasi program pelayanan kesehatan orang dengan
tuberkulosis (TB) di Puskesmas Serang Kota tahun 2020, didapatkan bahwa
rendahnya capaian pelayanan TB disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu
penyebab yang paling utama adalah kurangnya program sosialisasi mengenai
pentingnya deteksi dini bagi orang terduga TB (suspek). Dari beberapa alternatif
pemecahan masalah yang ada, dipilih solusi berupa pembuatan leaflet sebagai
media edukasi mengenai pentingnya deteksi dini yang akan dibagikan kepada
pasien baru terkonfirmasi TB yang selanjutnya disampaikan kepada kontak
erat/keluarganya sebagai suspek TB. Solusi ini telah disusun sebagai rekomendasi
intervensi program pelayanan TB di Puskesmas Serang Kota.
6.2 Saran
1. Bagi tenaga kesehatan, terutama pemegang program pelayanan TB di
Puskesmas Serang Kota diharapkan dapat meningkatkan kegiatan
sosialisasi atau penyuluhan mengenai deteksi dini TB, baik di dalam
maupun di luar gedung melalui metode-metode yang inovatif dan aplikatif
dengan segala keterbatasan yang dihadapi pada masa pandemi COVID-19
ini.
2. Bagi kader, perangkat desa, dan tokoh masyarakat diharapkan dapat
mengambil peran aktif untuk memberikan sosialisasi, dukungan, dan
26
penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya deteksi dini TB serta
mendukung masyarakat dalam melawan stigma negatif terhadap penderita
TB.
3. Bagi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Serang Kota diharapkan
dapat lebih kooperatif dalam pelaksanaan program deteksi dini TB,
terutama terhadap suspek yang dianjurkan datang memeriksakan diri ke
fasilitas kesehatan. Masyarakat juga diharapkan mampu meningkatkan
kesadaran dan tingkat pengetahuan mengenai masalah penyakit TB.
DAFTAR PUSTAKA
27
28