Anda di halaman 1dari 28

Mini Project

GAMBARAN ANGKA KEJADIAN GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES

DI PUSKESMAS PAPAKELAN

BULAN AGUSTUS - OKTOBER 2020

Oleh :

dr. Soleman Wado

Pendamping :

dr.Fithriah Fathmah Said

Wahana :

Puskesmas Papakelan

Minahasa, Sulawesi Utara

Periode:

4 Agustus 2020 – 3 November 2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

MINI PROJECT
GAMBARAN ANGKA KEJADIAN GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES

DI PUSKESMAS PAPAKELAN

BULAN AGUSTUS - OKTOBER 2020

Laporan Mini Project ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas Internsip di Puskemas

Manado, September 2020


Pendamping Internsip Peserta Internship,

(dr.Fithriah Fathmah Said) (dr. Soleman Wado)

Mengetahui;
Kepala Puskesmas Papakelan

(dr. Krety Debora Welong, M. Kes. )

2
  KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan mini proyek yang berjudul “Gambaran
Angka Kejadian Gigitan Hewan Penular Rabies di Puskesmas Papakelan Bulan Agustus-
Oktober 2020”. Penulis menyadari bahwa keberhasilan laporan ini tidak terlepas dari
bantuan, dukungan, doa dan kerjasama yang baik berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Krety Debora Welong, M. Kes, selaku Kepala Puskesmas Papakelan.
2. dr.Fithriah Fathmah Said, selaku dokter pendamping peneliti selama menjalankan PIDI
di wahana Puskesmas
3. Ibu Serli selaku penaggung jawab program penanganan rabies di Puskesmas Papakelan
atas bantuannya dalam pengumpulan data.
4. Rekan seperjuangan peserta PIDI Tondano, khususnya kak Echa. Terima kasih untuk
dukungan dan bantuannya selama menjalankan PIDI di Puskesmas Papakelan.
5. Seluruh staf pegawai Puskesmas Papakelan, yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah banyak membantu Penulis dalam menyelesaikan mini proyek dan membuat
pelaksanaan PIDI di Puskesmas sangat menyenangkan.
Semoga segala bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
balasan pahala, keberkahan, rahmat, kebaikan dan kesehatan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa mini proyek ini masih jauh dari kesempurnaan, terdapat
banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga mini proyek ini dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi berkah bagi penulis maupun
pembacanya.

Papakelan, Oktober 2020

Penulis

ii

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………… i


KATA PENGANTAR …………………………………………………… ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... iii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………... iv
DAFTAR DIAGRAM …………………………………………………..... iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………...... 1
1. 1 . Latar Belakang …………………………………………........ 1
1. 2 . Rumusan Masalah …………………………………………… 2
1. 3 . Tujuan Penelitian ……………………………………………. 2
1. 4 . Manfaat Penelitian …………………………………………… 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 3
2. 1 Pengertian Rabies……………………………………..…… 3
2. 2 Etiologi Penyakit Rabies……………………………..…… 3
2. 3 Patogenesis Rabies……………… ……………………..... .4
2. 4 Gejala dan Tanda Penyakit Rabies pada Manusia…............ 5
2. 5 Diagnosis Rabies…….......................................................... 5
2. 6 Penatalaksanaan Rabies....................................................... 6
2. 7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masa Inkubasi Rabies...9
BAB III METODOLOGI PENELITIAN …………………………………. 11
3.1 Desain Penelitian …………………………………………… 11
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………. 11
3.3 Kriteria Subyek Penelitian …………………………………. 11
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian ……………………………. 11
3.5 Variabel Penelitian …………………………………………. 11
3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian ………………….. 11
3.7 Metode Pengumpulan Data ………………………………… 13
3.8 Pengolahan dan Analisa Data ……………………………. 13
BAB IV HASIL PENELITIAN ………………………………...…………. 14
4.1 Profil Komunitas Umum …………………………………. 14
4.2 Data Geografi………………………………………………….14
4.3 Data Populasi Masyarakat…………………………………….15
4.4 Hasil Penelitian ……………………………………………. 15
BAB V PEMBAHASAN …………………………………………...……. 19
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………. 22
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….…………. 23

4
iii
DAFTAR TABEL

Tabel 4.4.1 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan wilayah kerja ... 15

Tabel 4.4.2 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan umur ................ 16

Tabel 4.4.3 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis kelamin .....16

Tabel 4.4.4 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis hewan… .17

Tabel 4.4.5 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan lokasi luka… …17
Tabel 4.4.6 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan pemberian VAR.18

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.4.1 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan wilayah kerja .15

Diagram 4.4.2 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan umur.............. 16

Diagram 4.4.3 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis kelamin .16

Diagram 4.4.4 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis hewan…17
Diagram 4.4.5 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan lokasi luka…..18
Diagram 4.4.6 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan pemberian
VAR…………………………………………………………………………………………..1
8

5
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia

yang berakibat fatal. Di Indonesia penyakit ini dikenal dengan istilah penyakit anjing

gila.1Penyakit Rabies merupakan penyakit Zoonosis yang sangat berbahaya dan ditakuti

karena bila telah menyerang manusia atau hewan akan selalu berakhir dengan kematian.2

Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO) tentang Rabies, penyakit

ini tersebar di semua benua, kecuali di Antartica. Lebih dari 55.000 orang meninggal

karena rabies setiap tahunnya, dan 95% kematian terjadi di benua Asia dan Afrika.

Diketahui anjing merupakan sumber dari sebagian besar kematian kasus Rabies pada

manusia, dan mengancam lebih dari 3 milyar orang di Asia dan Afrika. Asia Tenggara

menjadi salah satu kawasan endemik rabies.3

Di Indonesia, sebanyak 25 dari 34 provinsi tertular rabies. Provinsi bebas rabies

antara lain Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Jawa Tengah,

DIY, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Tahun 2015 terdapat 80.403 kasus GHPR (gigitan

hewan penderita rabies), paling banyak di provinsi Bali yaitu 42.630 kasus, diikuti NTT

7.386 kasus . Sedangkan untuk kematian akibat rabies (Lyssa) terdapat 118 kasus, terjadi

paling banyak di Sulawesi Utara sebanyak 28 kasus dan di Bali sebanyak 15 kasus.4

Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara tahun 2012, terdapat 2.923 GHPR

(gigitan hewan penderita rabies) dengan angka kematian akibat rabies (Lyssa) 35

kasus..5,6 Minahasa yang merupakan bagian dari provinsi Sulawesi Utara memiliki

populasi anjing yang relatif banyak.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui gambaran angka

kejadian gigitan hewan penular rabies di Puskesmas Papakelan Minahasa.

1.2 Rumusan Masalah

6
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran

angka kejadian gigitan hewan penular rabies di Puskesmas Papakelan Minahasa.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui

gambaran angka kejadian gigitan hewan penular rabies di Puskesmas Papakelan

Minahasa.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Peneliti

Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai

gambaran angka kejadian gigitan hewan penular rabies di Puskesmas Papakelan, dan

sebagai tugas dalam melaksanakan program dokter internsip.

1.4.2 Bagi Puskesmas Papakelan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Puskesmas Papakelan dalam

mengetahui gambaran angka kejadian gigitan hewan penular rabies di wilayah kerja

Puskesmas Papakelan.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

mengenai gambaran angka kejadian gigitan hewan penular rabies di Puskesmas

Papakelan.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Rabies

Rabies atau dikenal juga dengan penyakit anjing gila merupakan penyakit zoonosa

(penyakit hewan yang dapat menular ke manusia), bersifat akut, menyerang susunan saraf

pusat dan disebabkan oleh virus rabies (famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus). 12 Hewan

penular virus rabies antara lain anjing, kucing, kera, kelelawar, musang, dan serigala.9,13,14 Di

Indonesia, umumnya hewan penular virus rabies adalah anjing (98%), kucing, dan kera. 10,13

Penularan rabies pada manusia sebagian besar berasal dari air liur hewan yang masuk melalui

gigitan, jilatan pada kulit yang lecet, ataupun mukosa / selaput lendir (mata, mulut, hidung,

anus, genital).10

2.2 Etiologi Penyakit Rabies

Virus rabies berbentuk seperti peluru berukuran panjang 180x75 nanometer dengan

komposisi RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal, lipid, karbohidrat dan protein. Virus ini

terdiri dari RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh kapsid. RNA dan kapsid disebut

“Ribonucleocapsid”. Di luar Ribonucleocapsid terdapat kapsomer dan di sebelah luar

kapsomer sendiri terdapat “Envelope” yang mengandung lipid yang berduri (spikes).19

Gambar 2.2 Virus Rabies

Kiri: tampilan memanjang virus rabies, kanan: tampilan penampang struktur virus

2.2.1. Sifat fisik virus rabies19

a. Virus akan mati dengan pemanasan pada suhu 60°C selama 5 menit

b. Cepat mati dengan penyinaran sinar ultra violet

8
c. Cepat mati diluar jaringan hidup

d. Dapat bertahan selama berbulan-bulan pada suhu - 4°C

2.2.2. Sifat kimia virus rabies:19

a. Dapat diinaktifkan dengan β-propiolakton, phenon, halidol azirin dan zat pelarut

lemak

b. Tahan hidup (beberapa minggu) di dalam glycerine pekat pada suhu kamar

2.3 Patogenesis Rabies19

Gambar 2.1 Patogenesis rabies

Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan atau

gigitan hewan yang terjangkit rabies. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui

mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi

kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus rabies masuk

melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan

didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa

menunjukkan perubahan - perubahan fungsinya.19

Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1

tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan

jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah

luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka dan leher 30 hari,

gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai, kaki, jari kaki 60 hari, gigitan

di badan rata-rata 45 hari. Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah

wajah, menengah pada gigitan daerah lengan dan tangan, paling rendah bila gigitan ditungkai

dan kaki. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam

9
semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan

batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke

arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan

demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang

biak dalam jaringan, seperti kelenjar liur (saliva), kelenjar mata (lakrimalis) ginjal, dan

sebagainya.10,14,16

2.4 Gejala Dan Tanda Penyakit Rabies Pada Manusia

2.4.1 Stadium Prodromal

Gejala awal berupa demam, sakit kepala, malaise, kehilangan nafsu makan, mual,

nyeri tenggorokan. Gejala ini merupakan gejala yang spesifik dari orang terinfeksi virus

rabies yang muncul 1-2 bulan setelah digigit hewan penular rabies.19

2.4.2 Stadium Sensoris

Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan di daerah bekas luka gigitan

dan secara bertahap terus berkembang menyebar ke anggota badan yang lain, kemudian

disusul dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensorik.19

2.4.3 Stadium Eksitasi

Pada stadium ini penderita merasa gelisa, sakit kepala yang berat, dan keadaan yang

khas adalah adanya macam-macam fobia, yang sangat sering diantaranya adalah hidrofobia

(perasaan takut terhadap air), akibat terjadinya spasme otot untuk menelan.19

2.4.4 Stadium Paralisis

Bila stadium eksitasi telah dilalui, maka penderita akan mengalami gejala

inkontinensia urine, paralisis ascendens, koma lalu meninggal karena kelumpuhan otot-otot

pernafasan.19

2.5 Diagnosis Rabies

Diagnosis antemortem meliputi deteksi antigen (direct fluorescent antibody/ DFA,

ELISA), deteksi antibodi spesifik virus (rapid fluorescent focus inhibition test/ RFFIT,

fluorescent antibody virus neutralization test/ FAVN, ELISA), isolasi Lyssavirus (kultur sel),

10
dan deteksi protein virus/ RNA (PCR, histopatologi). 15,16
PCR dilakukan pada sampel air liur,

cairan serebrospinal, sekret pernapasan, air mata, biopsi kulit. Isolasi virus sangat ideal tetapi

butuh waktu lama.14

Pemeriksaan cairan serebrospinal pada ensefalomielitis menunjukkan pleositosis

dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat, dan glukosa umumnya normal.

Pemeriksaan imaging seperti MRI dapat menilai ensefalitis.12,15

Diagnosis pasti postmortem ditegakkan dengan adanya badan inklusi (Negri) di

jaringan otak pasien, meskipun hasil positif dijumpai pada kurang dari 80% kasus.16

2.6 Penatalaksanaan Rabies

2.6.1 Pengendalian

Tujuan pengendalian rabies di Indonesia sesuai deklarasi ASEAN tahun 2012

meliputi: Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020, mencegah kematian dan

menurunkan pajanan rabies, serta mempertahankan daerah bebas rabies berkelanjutan.10

a. Vaksinasi Pra-Paparan (pre-exposure prophylaxis)

Vaksin rabies terbuat dari virus rabies inaktif dan tidak menyebabkan rabies. 13 Jenis

vaksin meliputi human diploid cell vaccine (IM dosis 1 mL), purified chick embryo cell

vaccine (IM dosis 1 mL), dan purified vero cell vaccine (IM dosis 0,5 mL). 14 CDC dan WHO

merekomendasikan pemberian vaksin pra-pajanan pada orang yang secara kontinu bagi yang

sering atau berisiko tinggi terpajan virus rabies, seperti: pekerja laboratorium, dokter hewan,

pekerja kontak hewan penular, wisatawan, penjelajah gua, penduduk daerah endemik, dll.13,15

Tabel 1. Vaksinasi pra-paparan menurut rekomendasi WHO6,8


Rute Pemberian Hari injeksi Jumlah Kunjungan
IM (1 vial) 3 dosis (1-1-1 pada hari 0,7,21, atau 28 3
ID (0,1mL) 3 dosis (1-1-1 pada hari 0,7,21, atau 28 3

Jadwal vaksinasi pra-pajanan adalah 3 dosis intramuskuler/intradermal (Tabel 1). 14,15

Injeksi dilakukan secara IM pada orang dewasa dan anak ≥ 2 tahun di otot deltoid, sedangkan

anak <2 tahun dilakukan di paha anterolateral. 12 Injeksi ID bertujuan menghemat biaya dan

ketersediaan vaksin, diberikan di deltoid, paha lateral, atau supraskapula.12,14,16 Vaksin harus

diberikan secara IM pada individu imunosupresi.12,14

11
Kombinasi vaksinasi pra-pajanan diikuti booster pasca-pajanan terbukti efektif. 14

Pekerja yang terpajan virus rabies secara kontinu dan sering, direkomendasikan untuk

memeriksa antibodi berkala tiap 6 bulan dan bila titer < 0,5 IU/mL perlu booster dosis

tunggal secara IM/ID. Dokter hewan atau petugas kesehatan yang tidak terpajan secara

kontinu dianjurkan untuk memeriksa antibodi berkala tiap 2 tahun.12

Gambar 2.3 Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan tersangka/rabies

Belum ada obat untuk menyembuhkan rabies. Angka kematian sebesar 100% pada

orang yang tidak divaksin. Pasien dengan klinis rabies perlu dirawat di rumah sakit dengan

terapi simptomatik khusus yang gelap dan tenang.14,15,18

Penyakit rabies dapat dicegah melalui manajemen pasca-pajanan hewan

tersangka/rabies, meliputi: penanganan luka yang tepat, pemberian imunisasi pasif (serum/

imunoglobulin), dan imunisasi aktif/ vaksinasi pasca-pajanan. 14,17Tidak ada kontraindikasi

untuk terapi pasca- pajanan, termasuk ibu hamil/menyusui, bayi, dan

immunocompromised.12,14 Pemberian vaksin anti-rabies (VAR) atau serum anti-rabies (SAR)

ditentukan menurut tipe luka gigitan.18

Penanganan Luka gigitan / jilatan segera dicuci dengan air mengalir dan

sabun/deterjen minimal 15 menit, dilanjutkan pemberian antiseptik (povidon iodine, alkohol

70%, dll).10,1415

12
Penjahitan luka dihindari sebisa mungkin. Bila tidak mungkin (misalnya luka lebar,

dalam, perdarahan aktif), dilakukan jahitan situasi.18 Bila akan diberi SAR, penjahitan harus

ditunda beberapa jam (>2 jam), sehingga antibodi dapat terinfiltrasi ke jaringan dengan

baik.15

Virus rabies umumnya menetap di sekitar luka selama 2 minggu sebelum mencapai

ujung serabut saraf posterior dan virus mudah mati dengan sabun/deterjen. 18Penanganan luka

saja terbukti dapat mengurangi risiko rabies pada penelitian hewan.15

Imunisasi Pasif

RIG (rabies immunoglobulin) atau SAR menetralkan langsung virus pada luka,

memberi perlindungan selama 7-10 hari sebelum antibodi yang diinduksi vaksinasi muncul.

Pemberian tidak diperlukan jika vaksinasi telah diberikan >7 hari sebelumnya. Indikasi
14

SAR adalah pada luka risiko tinggi, meliputi: luka multipel, luka di area banyak persarafan

(muka, kepala, leher, ujung jari tangan, ujung jari kaki), dan kontak air liur di mukosa/selaput

lendir.18

Ada dua jenis SAR yaitu dari serum manusia dan kuda, keduanya direkomendasikan

oleh WHO. Dosis dihitung sesuai berat badan. SAR diinfiltrasi ke dalam dan di sekitar luka,

lalu sisanya diinjeksi secara IM pada ekstremitas yang terluka (deltoid atau anterolateral

paha).15 Sebelum pemberian sebaiknya dilakukan skin test karena terkadang menimbulkan

reaksi anafilaktik. Injeksi harus dilakukan pada area yang jauh dari area injeksi vaksin,

karena dapat menekan produksi antibodi. Pada luka berat dan multipel (biasa pada anak-

anak), dilakukan pengenceran dengan normal salin (2-3 kali), sehingga dapat menginfiltrasi

seluruh luka. SAR dapat diberikan sekali atau hingga hari ketujuh setelah vaksinasi. Setelah

hari ketujuh vaksinasi, SAR tidak diindikasikan lagi karena antibodi yang diinduksi vaksin

dianggap telah ada.15 Sayangnya, SAR tidak selalu tersedia di beberapa negara.14

Imunisasi Aktif

Vaksinasi pasca-pajanan (post-exposure prophylaxis) diberikan dengan tujuan

menginduksi munculnya antibodi penetral rabies.15 Indikasi pemberian VAR adalah adanya

kontak air liur hewan tersangka/ rabies pada luka risiko tinggi, dan bila hewan penggigit tidak

dapat diobservasi. Pemberian dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama observasi

13
14 hari atau dari hasil pemeriksaan laboratorium negatif. 18 VAR diberikan secara IM di

deltoid atau paha anterolateral, tidak diberikan di otot gluteal karena produksi antibodi

rendah.12,14 Efek samping vaksin meliputi reaksi lokal penyuntikan (35-45%), reaksi sistemik

ringan seperti nyeri kepala, pusing, demam, mual, nyeri perut (5-15%).

Pada gigitan berulang (pre-exposure) dalam <3 bulan setelah profilaksis, VAR tidak

perlu diberikan lagi karena antibodi masih cukup untuk melindungi tubuh. Bila gigitan

berulang terjadi >3 bulan sampai 1 tahun, VAR diberikan 1 kali dan bila >1 tahun, harus

diberi VAR lengkap.12

2.7 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Masa Inkubasi Rabies17

2.7.1 Umur

Sampai saat ini diketahui bahwa manusia pada semua umur dapat terserang penyakit

rabies. Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian umur sebagai

berikut :

a. Menurut tingkat kedewasaan

0 – 14 tahun : bayi dan anak – anak

15 – 49 tahun : orang muda dan dewasa

50 tahun keatas : orang tua

b. Interval 5 tahun

< 1 tahun, 1 – 4 tahun, 5 – 9 tahun, 10 – 14 tahun dan sebagainya.

2.7.2 Jenis Kelamin

Semua jenis kelamin dapat terserang rabies. Sampai saat ini data yang ada

menunjukan bahwa kasus rabies pada jenis kelamin laki – laki lebih banyak dari pada kasus

rabies pada perempuan. Belum dapat dibuktikan apakah laki – laki lebih sensitif terhadap

rabies.

2.7.3 Kategori Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) dibagi menjadi dua yaitu :17

a. Luka Resiko Rendah

Termasuk kategori luka resiko rendah adalah jilatan pada kulit luka, luka garukan atau

lecet, luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki.

b. Luka Resiko Tinggi

14
 Jilatan pada selaput mukosa yang utuh, seperti selaput lendir (konjungtiva) mata,

selaput lendir mulut, anus dan selaput lendir alat genitalia eksterna.

 Jilatan pada luka di atas daerah bahu (leher, muka dan kepala).

 Luka gigitan di atas daerah bahu (leher, muka dan kepala).

 Luka gigitan pada jari tangan dan jari kaki (daerah yang banyak persarafan)

 Luka gigitan pada genitalia

 Luka gigitan yang lebar dan dalam

 Jumlah luka banyak (multiple)

15
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui Gambaran

Angka Kejadian Gigitan Hewan Penular Rabies di Puskesmas Papakelan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Papakelan selama bulan Agustus-Oktober 2020.

3.3 Kriteria Subjek Penelitian

Seluruh pasien yang digigit hewan penular rabies yang berobat di Puskesmas Papakelan.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian

3.4.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan subjek yang ingin diketahui dalam

penelitian. Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka

populasi target adalah penderita yang digigit hewan penular rabies di wilayah kerja

Puskesmas Papakelan. Populasi terjangkau adalah semua penderita yang digigit hewan

penular rabies yang berobat di Puskesmas Papakelan 10 Agustus-19 Oktober 2020.

3.4.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita yang digigit

hewan penular rabies dan berobat di Puskesmas Papakelan yang telah memenuhi

kriteria subjek penelitian yang sebelumnya telah ditetapkan oleh peneliti. Metode

16
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling

yaitu sampel diseleksi sesuai kriteria yang telah ditentukan peneliti.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini adalah wilayah kerja, usia, jenis kelamin, jenis hewan, lokasi

luka gigitan,

3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian


No Variabel Definisi Operasional Kriteria Objektif Skala Ukur
1 Wilayah Kerja Kelurahan-kelurahan di Katinggolan, Kendis, Nominal
kecamatan Tondano Timur
Kiniar, Liningaan,

Luaan, Makalonsouw,

Papakelan,

Ranowangko, Taler,

Toulour, Wengkol

2 Usia Lama hidup pasien 1. 0 - 14 tahun Rasio


berdasarkan data kelahiran 2. 15 – 49 tahun
pada KTP atau tanda 3. >50 tahun
pengenal lainnya.

3 Jenis kelamin Identitas responden 1. Laki-laki Nominal


berdasarkan data keanggotaan 2. Perempuan
dari instansi terkait

4 Jenis Hewan Hewan penular rabies di 1. Anjing Nominal


Indonesia 2. Kucing
3. Kera

Lokasi Daerah lokasi luka di tubuh 1. Jari tangan, Jari Nominal


5 Luka gigitan penderita yang digigit hewan Kaki, Muka
penular rabies 2. Tangan, Kaki
1. Dekat dengan 1.

17
Saraf (Luka resiko
tinggi): di jari
tangan, jari kaki,
muka
3. Jauh dengan saraf
( luka resiko rendah)

6 Pemberian VAR 1. Ya Nominal


2. Tidak

3.7 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan menggunakan data sekunder dari buku catatan /

register penderita serta keterangan dari petugas Puskesmas Papakelan.

3.8 Pengolahan dan Analisa Data

3.8.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel Office 2010 dan

Microsoft word 2010.

3.8.2 Penyajian data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi.

3.8.3 Analisa Data

Analisis data yang didapat menggunakan analisis univariat yang dilakukan dengan

mendeskripsikan setiap variabel dalam penelitian dengan gambaran distribusi frekuensi.

18
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Profil Komunitas Umum

Puskesmas Papakelan merupakan salah satu UPT Dinas Kesehatan Kota

Minahasa yang berkewajiban meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah

kecamatan Tondano Timur yang merupakan wilayah kerjanya.

Puskesmas Teling Atas memiliki visi “Terwujudnya masyarakat Kecamatan


Tondano Timur yang mandiri untuk hidup sehat Tahun 2020”. Kecamatan Tondano
Timur Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai
melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan
dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan
yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan setinggi-
tingginya.
4.2 Data Geografis

Puskesmas Papakelan mencakup kelurahan yang termasuk dalam wilayah

kecamatan Tondano Timur dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Tondano Utara

Sebelah Selatan : Kecamatan Tondano Selatan

Sebelah Barat : Kecamatan Tondano Barat

Sebelah Timur : Kecamatan Eris

Puskesmas Papakelan kecamatan Tondano Timur mempunyai 11 wilayah kerja

yang terdiri dari; Kelurahan Katinggolan, Kelurahan Kendis, Kelurahan Kiniar,

Kelurahan Liningaan, Kelurahan Luaan, Kelurahan Makalonsouw, Kelurahan

Papakelan, Kelurahan Ranowangko, Kelurahan Taler, Kelurahan Toulour, Kelurahan

Wengkol.

Adapun luas kecamatan Tondano Timur 35,43 km2 dengan transport antara kelurahan

dapat dicapai melalui jalan darat.

4.3 Data Popolasi Masyarakat

4.3.1 Kependudukan

19
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Papakelan pada akhir tahun 2019

berjumlah 14.245 jiwa dengan jumlah rumah tangga 4.347.

4.4 HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan Oktober 2020 di Puskesmas

Papakelan, pengambilan data dilakukan dengan mengambil data sekunder dari buku

catatan petugas untuk pasien yang datang dengan luka gigitan hewan penular rabies di

Puskesmas Papakelan pada bulan Agustus-Oktober 2020 berdasarkan wilayah kerja,

umur, jenis kelamin, jenis hewan, lokasi gigitan dan pemberian VAR.

4.4.1 Wilayah Kerja

Wilayah Kerja Frekuensi Presentase


Papakelan 7 77.8%
Kendis 1 11.1%
Taler 1 11.1%
Total 9 100%
Tabel 4.4.1 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan wilayah kerja

Wilayah Kerja
11.10%
Papakelan
11.10%
Kendis
Taler

77.80%

Diagram 4.4.1 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan wilayah kerja

Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bulan Agustus -
Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 9 kasus dengan distribusi
wilayah kerja terbanyak di Papakelan 7 kasus (77,8%), diikuti oleh Kendis 1 kasus (11.1%),
dan Taler 1 kasus (11.1%).
4.4.2 Umur
Umur Frekuensi Presentase
0 – 14 tahun 3 33.3%
15 – 49 tahun 1 11.1%
Lebih dari 50 tahun 5 55,6%
Total 9 100%

20
Tabel 4.4.2 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan umur

Umur
33.30%
0 – 14 tahun
15 – 49 tahun
55.60% Lebih dari 50 tahun

11.10%

Diagram 4.4.2 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan umur

Yang terbanyak adalah umur lebih dari 50 tahun 5 kasus (55,6%), kemudian umur 0-
4 tahun 3 kasus (33,3%), dan yang paling sedikit adalah umur 15-49 tahun dengan 1 kasus
(11,1%).

4.4.3 Jenis Kelamin


Jenis Kelamin Frekuensi Presentase
Laki-Laki 5 55,6%
Perempuan 4 44,4%
Total 9 100%
Tabel 4.4.3 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Laki-Laki
Perempuan
44.40%
55.60%

Diagram 4.4.3 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis kelamin
Dari hasil penelitian diperoleh pada tahun 2017 yang paling banyak digigit hewan penular
rabies adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu 5 kasus dengan presentase 55,6%. Dan untuk
perempuan 4 kasus (44,4%).

4.4.4 Hewan
Hewan Frekuensi Presentase
Anjing 9 100%

21
Kucing - 0%
Kera - 0%
Total 40 100%
Tabel 4.4.4 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis hewan

Hewan

Anjing
Kucing
Kera

100.00%

Diagram 4.4.4 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis hewan

Dari hasil penelitian diperoleh gigitan hewan penular rabies adalah berasal dari hewan
anjing yaitu 9 kasus (100%), kucing dan kera tidak ditemukan.

4.4.5 Lokasi Luka


Lokasi Luka Frekuensi Presentase

Luka Resiko Tinggi (Jari tangan, Jari kaki, 1 11,1%


Muka)
Luka Resiko Rendah (Tangan, kaki) 8 88,9%

Total 9 100%
Tabel 4.4.5 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan lokasi luka

Lokasi Luka
11.10%
Luka Resiko Tinggi (Jari tangan,
Jari kaki, Muka)
Luka Resiko Rendah (Tangan,
kaki)

88.90%

22
Diagram 4.4.5 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan lokasi luka

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi
lokasi luka terbanyak di bagian tangan dan kaki, dengan luka resiko rendah yaitu 8 kasus
(88,9%). Sedangkan untuk luka resiko tinggi (di jari tangan, jari kaki dan muka hanya 1 kasus
dengan presentase 11,1%.
4.4.6 Pemberian VAR

VAR Frekuensi Presentase


Ya 5 55,6%
Tidak 4 44,4%
Total 9 100%
Tabel 4.4.6 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan pemberian VAR

Pemberian VAR

YA
TIDAK
44%
56%

Diagram 4.4.6 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan pemberian VAR

Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bulan Agustus-
Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 9 kasus dengan diberikan
VAR 5 kasus, dan 4 kasus tidak diberikan VAR.

23
BAB V

PEMBAHASAN

Berdasrkan hasil penelitian yang dilakukan di bulan Oktober 2020 yang meneliti

tentang gambaran gigitan hewan penular rabies di Puskesmas Papakelan pada bulan

Agustus-Oktober 2020 berdasarkan wilayah kerja, umur, jenis kelamin, jenis hewan, lokasi

gigitan dan pemberian VAR.

Berdasarkan wilayah kerja Puskesmas Papakelan, menunjukkan bahwa pada bulan

Agustus-Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 9 kasus dengan

distribusi wilayah kerja terbanyak di Papakelan 7 kasus (77,8%), diikuti oleh Kendis 1 kasus

(11,1%), dan Taler 1 kasus (11,1%). Yang terbanyak di wilayah Papakelan, hal ini

kemungkinan disebabkan oleh mobilisasi anjing yang cukup tinggi di wilayah tersebut,

karena memiliki jumlah penduduk terbanyak dan banyak yang memelihara hewan anjing.

selain itu pemeliharaan anjing yang sering diliarkan oleh pemiliknya.

Berdasarkan umur, didapatkan bahwa yang terbanyak adalah umur lebih dari 50 tahun
5 kasus (55,6%), kemudian umur 0-4 tahun 3 kasus (33,3%), dan yang paling sedikit adalah
umur 15-49 tahun dengan 1 kasus (11,1%). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Gadekar tahun 2011 yang menyebutkan bahwa kasus tertinggi gigitan
anjing rabies pada kelompok umur 0-9 tahun. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau
WHO 2012, menyebutkan bahwa anak-anak memiliki risiko yang tinggi pada rabies. 60-70
persen korban rabies adalah anak-anak. Anak-anak lebih sering menghabiskan waktu di luar
rumah, kecenderungan anak yang sering bermain di luar rumah menjadi salah satu faktor
risiko terjadinya gigitan anjing. Selain itu usia 0-9 tahun merupakan usia dimana anak mulai
mengalami perkembangan dan aktif untuk bergerak. Anak-anak cenderung lebih senang
untuk bermain dan berinteraksi dengan hewan peliharaan seperti anjing sehingga sangat
rentan untuk mendapat gigitan anjing baik anjing peliharaan maupun anjing liar. Pada
penelitian ini terbanyak umur diatas 50 tahun, hal ini dapat disebabkan karena semua
kelompok umur dapat memiliki risiko tergigit hewan pembawa rabies.
Berdasarkan jenis kelamin, yang paling banyak digigit hewan penular rabies adalah

berjenis kelamin laki-laki yaitu 5 kasus dengan presentase 55,6%. Dan untuk perempuan 4

kasus (44.4%).

24
Berdasarkan hewan penular rabies, yang paling banyak adalah berasal dari hewan

anjing yaitu 9 kasus (100%), sedangakan kucing dan kera tidak ditemukan. Di Indonesia,

umumnya hewan penular virus rabies adalah anjing (98%), kucing, dan kera. Berdasarkan

pemetaan sebaran kasus gigitan anjing rabies dengan melihat populasi anjing kasus gigitan

anjing rabies umumnya terjadi pada daerah dengan tingkat populasi anjing yang tinggi. Jenis

kontak berupa serangan pada tahun 2009 terjadi pada daerah dengan tingkat populasi anjing

sangat tinggi.

Berdasarkan distribusi lokasi luka, terbanyak di bagian tangan dan kaki, dengan luka

resiko rendah yaitu 8 kasus (88,9%). Sedangkan untuk luka resiko tinggi (di jari tangan, jari

kaki dan muka hanya 1 kasus dengan presentase 11,1%. Masa inkubasi virus rabies akan

sangat tergantung dengan jarak lokasi gigitan atau luka dengan sistem saraf pusat. Semakin

dekat letak gigitan atau luka dengan sistem saraf pusat maka semakin singkat masa

inkubasinya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jeane di Ambon tahun 2012

yang dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kasus gigitan anjing yang paling banyak

terjadi pada daerah kaki. Daerah kaki atau anggota tubuh bagian bawah merupakan daerah

yang paling mudah di jangkau oleh anjing dari pada anggota tubuh lainnya. Depkes RI (2008)

juga menunjukkan bahwa 78% kasus gigitan terjadi pada daerah kaki. Dari pemetaan sebaran

korban gigitan anjing berdasarkan letak luka dengan perbandingan populasi anjing, terlihat

bahwa luka akibat anjing pada daerah kaki terjadi pada daerah dengan kepadatan populasi

anjing yang rendah hingga daerah dengan kepadatan populasi anjing yang tinggi demikian

juga dengan letak luka pada daerah bagian tubuh, hal berbeda terjadi pada letak luka di

daerah wajah, dimana korban berada pada daerah dengan kepadatan populasi anjing yang

tinggi. Tingginya populasi anjing, tidak termasuk anjing liar yang tidak dapat di data

memungkinkan populasi anjing rabies meningkat, sifat anjing rabies yang liar berakibat pada

jenis kontak yang dilakukan. Secara garis besar sifatliar dapat berakibat pada serangan yang

dilakukan oleh anjing sehingga letak gigitan atau luka pada daerah wajah akan mungkin

untuk terjadi.

25
Berdasarkan pemberian VAR, Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan

bahwa pada bulan Agustus-Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 9

kasus dengan diberikan VAR 5 kasus, dan 4 kasus tidak diberikan VAR. Indikasi pemberian

VAR adalah adanya kontak air liur hewan tersangka/ rabies pada luka risiko tinggi, dan bila

hewan penggigit tidak dapat diobservasi. Pemberian dihentikan bila hewan penggigit tetap

sehat selama observasi 14 hari atau dari hasil pemeriksaan laboratorium negatif.

26
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Berdasarkan wilayah kerja Puskesmas Papakelan, menunjukkan bahwa pada bulan
Agustus-Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies terbanyak Papakelan
(77,8%), diikuti oleh Kendis (11,1%), dan Taler (11,1%).
2. Berdasarkan umur, data yang didapatkan terbanyak adalah umur lebih dari 50 tahun
yaitu dengan presentase 55,6%, kemudian umur 0-14 tahun (33,3%), dan yang paling
sedikit adalah umur 15-49 tahun (11,1%)
3. Berdasarkan jenis kelamin, yang paling banyak digigit hewan penular rabies adalah

berjenis kelamin laki-laki yaitu 55,6 % dan perempuan (44,4%).

4. Berdasarkan hewan penular rabies, seluruhnya berasal dari hewan anjing 100%,
sedangakan kucing dan kera tidak ditemukan.
5. Berdasarkan distribusi lokasi luka, terbanyak di bagian tangan dan kaki, dengan luka
resiko rendah yaitu 8 kasus (88,9%).
6. Berdasarkan pemberian VAR, Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada bulan Agustus-Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies
sebanyak 9 kasus dengan diberikan VAR 5 kasus, dan 4 kasus tidak diberikan VAR

6.2 Saran
1. Bagi Puskesmas
a. Melakukan edukasi atau konseling kepada pasien dan keluarga terutama pada
penduduk yang memiliki hewan anjing dan kucing di rumah .
b. Petugas kesehatan diharapkan segera memberikan penanganan pada pasien yang
terkena gigitan hewan yang dapat menyebabkan rabies
c. Bagi petugas puskesmas memberikan pengarahan dan motivasi untuk selalu
waspada akan bahaya penyakit rabies.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Dapat menjadi patokan bagi penelitian selanjutnya dengan sampel lebih banyak
dan periode waktu yang lebih Panjang.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta;Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009 .
2. Arnold C. Turang. Kenali dan Kendalikan Rabies. 20 Juli 2012 [cited 2018 Februari 15].
Available URL. http://sulut.litbang.deptan.go.id/ind/index. php?
option=com_content&view=article&id=249 &Itemid=48
3. World Health Organisation Media Center. Rabies. 2012 Sept [cited 2018 Februari 16].
Available from : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs0 99/en/index.html
4. Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Dirjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit . 2016
5. BUKU SAKU PROFIL KESEHATAN PROVINSI SULAWESI UTARA TAHUN
2012http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/24
_Profil_Kes.Prov.SulawesiUtara_2012.pdf
6. Dinas Kesehatan Prov. Sulawesi Utara.
https://dinkes.sulutprov.go.id/wp-content/uploads/2016/11/Buku-Profil-Kesehatan-Sulut-
2015.pdf
7. Hampson K, Coudeville L, Lembo T, Sambo M, Kieffer A, Attlan M, et al. Estimating the
global burden of endemic canine rabies. PLoS Negl Trop Dis. 2015;9(4):0003709.
8. Association of Southeast Asian Nations. Rabies elimination strategy [Internet]. 2013 [cited
2018 Februari 24]. Available from: http://vncdc.gov.vn/files/article_
attachment/2015/3/endorsed-ares-final.pdf
9. Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan indonesia tahun 2014 [Internet]. 2014 [cited
2018 Februari 24]. Available from: http://www.depkes.go.id/resources/
download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf
10. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis rabies [Internet]. 2014 [cited 2018 Februari
24]. Available from: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/
infodatin/infodatin-rabies.pdf
11. Putra AA, Hampson K,Girardi J, Hiby E, Knobel D, Mardiana IW, et al. Response to a rabies
epidemic, bali, indonesia, 2008-2011. Emerg Infect Dis. 2013;19(4):648-51.
12. World Health Organization. WHO expert consultation on rabies: Second report [Internet].
2013 [cited 2018 Februari 24]. Available from: http://apps.who.int/iris/
bitstream/10665/85346/1/9789240690943_eng.pdf
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Vaksin rabies [Internet]. 2014 [cited 2018 Februari 24].
Available from: http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2014/08/IVO-Rabies.pdf
14. Warrell MJ, WarrellDA. Rabies: The clinical features, management and prevention of the
classic zoonosis. Clin Med (Lond.) 2015;15(1):78-81.
15. Wu1 HH, You KH, Lo HY. Diagnosis, management, and prevention of rabies. Taiwan EB.
2013;29:23-32.
16. Tanzil K. Penyakit rabies dan penatalaksanaannya. E-journal Widya Kesehatan dan
Lingkungan 2014;1(1):61-7.
17. Bali Animal Welfare Association. Controlling and eradicating rabies in bali [Internet]. 2015
[cited 2018 Februari 24]. Available from: http://bawabali.com/our-programs/ rabies-response-
control/
18. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan program penanggulangan rabies di
Indonesia [Internet]. 2011 [cited 2018 Februari 24]. Available from: http://
perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/1638
19. Novie A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masa Inkubasi Rabies di Provinsi Bali (2008-
2011). Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Depok.
Universitas Indonesia. 2012.

28

Anda mungkin juga menyukai