DI PUSKESMAS PAPAKELAN
Oleh :
Pendamping :
Wahana :
Puskesmas Papakelan
Periode:
1
LEMBAR PENGESAHAN
MINI PROJECT
GAMBARAN ANGKA KEJADIAN GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES
DI PUSKESMAS PAPAKELAN
Laporan Mini Project ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas Internsip di Puskemas
Mengetahui;
Kepala Puskesmas Papakelan
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan mini proyek yang berjudul “Gambaran
Angka Kejadian Gigitan Hewan Penular Rabies di Puskesmas Papakelan Bulan Agustus-
Oktober 2020”. Penulis menyadari bahwa keberhasilan laporan ini tidak terlepas dari
bantuan, dukungan, doa dan kerjasama yang baik berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Krety Debora Welong, M. Kes, selaku Kepala Puskesmas Papakelan.
2. dr.Fithriah Fathmah Said, selaku dokter pendamping peneliti selama menjalankan PIDI
di wahana Puskesmas
3. Ibu Serli selaku penaggung jawab program penanganan rabies di Puskesmas Papakelan
atas bantuannya dalam pengumpulan data.
4. Rekan seperjuangan peserta PIDI Tondano, khususnya kak Echa. Terima kasih untuk
dukungan dan bantuannya selama menjalankan PIDI di Puskesmas Papakelan.
5. Seluruh staf pegawai Puskesmas Papakelan, yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah banyak membantu Penulis dalam menyelesaikan mini proyek dan membuat
pelaksanaan PIDI di Puskesmas sangat menyenangkan.
Semoga segala bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
balasan pahala, keberkahan, rahmat, kebaikan dan kesehatan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa mini proyek ini masih jauh dari kesempurnaan, terdapat
banyak kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga mini proyek ini dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi berkah bagi penulis maupun
pembacanya.
Penulis
ii
3
DAFTAR ISI
4
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.4.1 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan wilayah kerja ... 15
Tabel 4.4.2 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan umur ................ 16
Tabel 4.4.3 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis kelamin .....16
Tabel 4.4.4 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis hewan… .17
Tabel 4.4.5 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan lokasi luka… …17
Tabel 4.4.6 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan pemberian VAR.18
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 4.4.1 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan wilayah kerja .15
Diagram 4.4.2 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan umur.............. 16
Diagram 4.4.3 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis kelamin .16
Diagram 4.4.4 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis hewan…17
Diagram 4.4.5 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan lokasi luka…..18
Diagram 4.4.6 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan pemberian
VAR…………………………………………………………………………………………..1
8
5
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia
yang berakibat fatal. Di Indonesia penyakit ini dikenal dengan istilah penyakit anjing
gila.1Penyakit Rabies merupakan penyakit Zoonosis yang sangat berbahaya dan ditakuti
karena bila telah menyerang manusia atau hewan akan selalu berakhir dengan kematian.2
ini tersebar di semua benua, kecuali di Antartica. Lebih dari 55.000 orang meninggal
karena rabies setiap tahunnya, dan 95% kematian terjadi di benua Asia dan Afrika.
Diketahui anjing merupakan sumber dari sebagian besar kematian kasus Rabies pada
manusia, dan mengancam lebih dari 3 milyar orang di Asia dan Afrika. Asia Tenggara
antara lain Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Jawa Tengah,
DIY, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Tahun 2015 terdapat 80.403 kasus GHPR (gigitan
hewan penderita rabies), paling banyak di provinsi Bali yaitu 42.630 kasus, diikuti NTT
7.386 kasus . Sedangkan untuk kematian akibat rabies (Lyssa) terdapat 118 kasus, terjadi
paling banyak di Sulawesi Utara sebanyak 28 kasus dan di Bali sebanyak 15 kasus.4
Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara tahun 2012, terdapat 2.923 GHPR
(gigitan hewan penderita rabies) dengan angka kematian akibat rabies (Lyssa) 35
kasus..5,6 Minahasa yang merupakan bagian dari provinsi Sulawesi Utara memiliki
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengetahui gambaran angka
6
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui
Minahasa.
gambaran angka kejadian gigitan hewan penular rabies di Puskesmas Papakelan, dan
mengetahui gambaran angka kejadian gigitan hewan penular rabies di wilayah kerja
Puskesmas Papakelan.
Papakelan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rabies atau dikenal juga dengan penyakit anjing gila merupakan penyakit zoonosa
(penyakit hewan yang dapat menular ke manusia), bersifat akut, menyerang susunan saraf
pusat dan disebabkan oleh virus rabies (famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus). 12 Hewan
penular virus rabies antara lain anjing, kucing, kera, kelelawar, musang, dan serigala.9,13,14 Di
Indonesia, umumnya hewan penular virus rabies adalah anjing (98%), kucing, dan kera. 10,13
Penularan rabies pada manusia sebagian besar berasal dari air liur hewan yang masuk melalui
gigitan, jilatan pada kulit yang lecet, ataupun mukosa / selaput lendir (mata, mulut, hidung,
anus, genital).10
Virus rabies berbentuk seperti peluru berukuran panjang 180x75 nanometer dengan
komposisi RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal, lipid, karbohidrat dan protein. Virus ini
terdiri dari RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh kapsid. RNA dan kapsid disebut
kapsomer sendiri terdapat “Envelope” yang mengandung lipid yang berduri (spikes).19
Kiri: tampilan memanjang virus rabies, kanan: tampilan penampang struktur virus
a. Virus akan mati dengan pemanasan pada suhu 60°C selama 5 menit
8
c. Cepat mati diluar jaringan hidup
a. Dapat diinaktifkan dengan β-propiolakton, phenon, halidol azirin dan zat pelarut
lemak
b. Tahan hidup (beberapa minggu) di dalam glycerine pekat pada suhu kamar
Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan atau
gigitan hewan yang terjangkit rabies. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui
mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi
kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus rabies masuk
melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan
Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1
tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan
jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah
luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka dan leher 30 hari,
gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai, kaki, jari kaki 60 hari, gigitan
di badan rata-rata 45 hari. Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah
wajah, menengah pada gigitan daerah lengan dan tangan, paling rendah bila gigitan ditungkai
dan kaki. Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam
9
semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan
batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudian ke
arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Dengan
demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan didalam tubuh, dan berkembang
biak dalam jaringan, seperti kelenjar liur (saliva), kelenjar mata (lakrimalis) ginjal, dan
sebagainya.10,14,16
Gejala awal berupa demam, sakit kepala, malaise, kehilangan nafsu makan, mual,
nyeri tenggorokan. Gejala ini merupakan gejala yang spesifik dari orang terinfeksi virus
rabies yang muncul 1-2 bulan setelah digigit hewan penular rabies.19
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan di daerah bekas luka gigitan
dan secara bertahap terus berkembang menyebar ke anggota badan yang lain, kemudian
disusul dengan gejala cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensorik.19
Pada stadium ini penderita merasa gelisa, sakit kepala yang berat, dan keadaan yang
khas adalah adanya macam-macam fobia, yang sangat sering diantaranya adalah hidrofobia
(perasaan takut terhadap air), akibat terjadinya spasme otot untuk menelan.19
Bila stadium eksitasi telah dilalui, maka penderita akan mengalami gejala
inkontinensia urine, paralisis ascendens, koma lalu meninggal karena kelumpuhan otot-otot
pernafasan.19
ELISA), deteksi antibodi spesifik virus (rapid fluorescent focus inhibition test/ RFFIT,
fluorescent antibody virus neutralization test/ FAVN, ELISA), isolasi Lyssavirus (kultur sel),
10
dan deteksi protein virus/ RNA (PCR, histopatologi). 15,16
PCR dilakukan pada sampel air liur,
cairan serebrospinal, sekret pernapasan, air mata, biopsi kulit. Isolasi virus sangat ideal tetapi
dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat, dan glukosa umumnya normal.
jaringan otak pasien, meskipun hasil positif dijumpai pada kurang dari 80% kasus.16
2.6.1 Pengendalian
meliputi: Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020, mencegah kematian dan
Vaksin rabies terbuat dari virus rabies inaktif dan tidak menyebabkan rabies. 13 Jenis
vaksin meliputi human diploid cell vaccine (IM dosis 1 mL), purified chick embryo cell
vaccine (IM dosis 1 mL), dan purified vero cell vaccine (IM dosis 0,5 mL). 14 CDC dan WHO
merekomendasikan pemberian vaksin pra-pajanan pada orang yang secara kontinu bagi yang
sering atau berisiko tinggi terpajan virus rabies, seperti: pekerja laboratorium, dokter hewan,
pekerja kontak hewan penular, wisatawan, penjelajah gua, penduduk daerah endemik, dll.13,15
Injeksi dilakukan secara IM pada orang dewasa dan anak ≥ 2 tahun di otot deltoid, sedangkan
anak <2 tahun dilakukan di paha anterolateral. 12 Injeksi ID bertujuan menghemat biaya dan
ketersediaan vaksin, diberikan di deltoid, paha lateral, atau supraskapula.12,14,16 Vaksin harus
11
Kombinasi vaksinasi pra-pajanan diikuti booster pasca-pajanan terbukti efektif. 14
Pekerja yang terpajan virus rabies secara kontinu dan sering, direkomendasikan untuk
memeriksa antibodi berkala tiap 6 bulan dan bila titer < 0,5 IU/mL perlu booster dosis
tunggal secara IM/ID. Dokter hewan atau petugas kesehatan yang tidak terpajan secara
Belum ada obat untuk menyembuhkan rabies. Angka kematian sebesar 100% pada
orang yang tidak divaksin. Pasien dengan klinis rabies perlu dirawat di rumah sakit dengan
tersangka/rabies, meliputi: penanganan luka yang tepat, pemberian imunisasi pasif (serum/
Penanganan Luka gigitan / jilatan segera dicuci dengan air mengalir dan
70%, dll).10,1415
12
Penjahitan luka dihindari sebisa mungkin. Bila tidak mungkin (misalnya luka lebar,
dalam, perdarahan aktif), dilakukan jahitan situasi.18 Bila akan diberi SAR, penjahitan harus
ditunda beberapa jam (>2 jam), sehingga antibodi dapat terinfiltrasi ke jaringan dengan
baik.15
Virus rabies umumnya menetap di sekitar luka selama 2 minggu sebelum mencapai
ujung serabut saraf posterior dan virus mudah mati dengan sabun/deterjen. 18Penanganan luka
Imunisasi Pasif
RIG (rabies immunoglobulin) atau SAR menetralkan langsung virus pada luka,
memberi perlindungan selama 7-10 hari sebelum antibodi yang diinduksi vaksinasi muncul.
Pemberian tidak diperlukan jika vaksinasi telah diberikan >7 hari sebelumnya. Indikasi
14
SAR adalah pada luka risiko tinggi, meliputi: luka multipel, luka di area banyak persarafan
(muka, kepala, leher, ujung jari tangan, ujung jari kaki), dan kontak air liur di mukosa/selaput
lendir.18
Ada dua jenis SAR yaitu dari serum manusia dan kuda, keduanya direkomendasikan
oleh WHO. Dosis dihitung sesuai berat badan. SAR diinfiltrasi ke dalam dan di sekitar luka,
lalu sisanya diinjeksi secara IM pada ekstremitas yang terluka (deltoid atau anterolateral
paha).15 Sebelum pemberian sebaiknya dilakukan skin test karena terkadang menimbulkan
reaksi anafilaktik. Injeksi harus dilakukan pada area yang jauh dari area injeksi vaksin,
karena dapat menekan produksi antibodi. Pada luka berat dan multipel (biasa pada anak-
anak), dilakukan pengenceran dengan normal salin (2-3 kali), sehingga dapat menginfiltrasi
seluruh luka. SAR dapat diberikan sekali atau hingga hari ketujuh setelah vaksinasi. Setelah
hari ketujuh vaksinasi, SAR tidak diindikasikan lagi karena antibodi yang diinduksi vaksin
dianggap telah ada.15 Sayangnya, SAR tidak selalu tersedia di beberapa negara.14
Imunisasi Aktif
menginduksi munculnya antibodi penetral rabies.15 Indikasi pemberian VAR adalah adanya
kontak air liur hewan tersangka/ rabies pada luka risiko tinggi, dan bila hewan penggigit tidak
dapat diobservasi. Pemberian dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama observasi
13
14 hari atau dari hasil pemeriksaan laboratorium negatif. 18 VAR diberikan secara IM di
deltoid atau paha anterolateral, tidak diberikan di otot gluteal karena produksi antibodi
rendah.12,14 Efek samping vaksin meliputi reaksi lokal penyuntikan (35-45%), reaksi sistemik
ringan seperti nyeri kepala, pusing, demam, mual, nyeri perut (5-15%).
Pada gigitan berulang (pre-exposure) dalam <3 bulan setelah profilaksis, VAR tidak
perlu diberikan lagi karena antibodi masih cukup untuk melindungi tubuh. Bila gigitan
berulang terjadi >3 bulan sampai 1 tahun, VAR diberikan 1 kali dan bila >1 tahun, harus
2.7.1 Umur
Sampai saat ini diketahui bahwa manusia pada semua umur dapat terserang penyakit
rabies. Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian umur sebagai
berikut :
b. Interval 5 tahun
Semua jenis kelamin dapat terserang rabies. Sampai saat ini data yang ada
menunjukan bahwa kasus rabies pada jenis kelamin laki – laki lebih banyak dari pada kasus
rabies pada perempuan. Belum dapat dibuktikan apakah laki – laki lebih sensitif terhadap
rabies.
2.7.3 Kategori Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) dibagi menjadi dua yaitu :17
Termasuk kategori luka resiko rendah adalah jilatan pada kulit luka, luka garukan atau
14
Jilatan pada selaput mukosa yang utuh, seperti selaput lendir (konjungtiva) mata,
selaput lendir mulut, anus dan selaput lendir alat genitalia eksterna.
Jilatan pada luka di atas daerah bahu (leher, muka dan kepala).
Luka gigitan pada jari tangan dan jari kaki (daerah yang banyak persarafan)
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Desain penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui Gambaran
Seluruh pasien yang digigit hewan penular rabies yang berobat di Puskesmas Papakelan.
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan subjek yang ingin diketahui dalam
populasi target adalah penderita yang digigit hewan penular rabies di wilayah kerja
Puskesmas Papakelan. Populasi terjangkau adalah semua penderita yang digigit hewan
Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita yang digigit
hewan penular rabies dan berobat di Puskesmas Papakelan yang telah memenuhi
kriteria subjek penelitian yang sebelumnya telah ditetapkan oleh peneliti. Metode
16
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling
Variabel pada penelitian ini adalah wilayah kerja, usia, jenis kelamin, jenis hewan, lokasi
luka gigitan,
Luaan, Makalonsouw,
Papakelan,
Ranowangko, Taler,
Toulour, Wengkol
17
Saraf (Luka resiko
tinggi): di jari
tangan, jari kaki,
muka
3. Jauh dengan saraf
( luka resiko rendah)
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel Office 2010 dan
Analisis data yang didapat menggunakan analisis univariat yang dilakukan dengan
18
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Wengkol.
Adapun luas kecamatan Tondano Timur 35,43 km2 dengan transport antara kelurahan
4.3.1 Kependudukan
19
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Papakelan pada akhir tahun 2019
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan Oktober 2020 di Puskesmas
Papakelan, pengambilan data dilakukan dengan mengambil data sekunder dari buku
catatan petugas untuk pasien yang datang dengan luka gigitan hewan penular rabies di
umur, jenis kelamin, jenis hewan, lokasi gigitan dan pemberian VAR.
Wilayah Kerja
11.10%
Papakelan
11.10%
Kendis
Taler
77.80%
Diagram 4.4.1 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan wilayah kerja
Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bulan Agustus -
Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 9 kasus dengan distribusi
wilayah kerja terbanyak di Papakelan 7 kasus (77,8%), diikuti oleh Kendis 1 kasus (11.1%),
dan Taler 1 kasus (11.1%).
4.4.2 Umur
Umur Frekuensi Presentase
0 – 14 tahun 3 33.3%
15 – 49 tahun 1 11.1%
Lebih dari 50 tahun 5 55,6%
Total 9 100%
20
Tabel 4.4.2 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan umur
Umur
33.30%
0 – 14 tahun
15 – 49 tahun
55.60% Lebih dari 50 tahun
11.10%
Diagram 4.4.2 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan umur
Yang terbanyak adalah umur lebih dari 50 tahun 5 kasus (55,6%), kemudian umur 0-
4 tahun 3 kasus (33,3%), dan yang paling sedikit adalah umur 15-49 tahun dengan 1 kasus
(11,1%).
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
44.40%
55.60%
Diagram 4.4.3 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis kelamin
Dari hasil penelitian diperoleh pada tahun 2017 yang paling banyak digigit hewan penular
rabies adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu 5 kasus dengan presentase 55,6%. Dan untuk
perempuan 4 kasus (44,4%).
4.4.4 Hewan
Hewan Frekuensi Presentase
Anjing 9 100%
21
Kucing - 0%
Kera - 0%
Total 40 100%
Tabel 4.4.4 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis hewan
Hewan
Anjing
Kucing
Kera
100.00%
Diagram 4.4.4 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan jenis hewan
Dari hasil penelitian diperoleh gigitan hewan penular rabies adalah berasal dari hewan
anjing yaitu 9 kasus (100%), kucing dan kera tidak ditemukan.
Total 9 100%
Tabel 4.4.5 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan lokasi luka
Lokasi Luka
11.10%
Luka Resiko Tinggi (Jari tangan,
Jari kaki, Muka)
Luka Resiko Rendah (Tangan,
kaki)
88.90%
22
Diagram 4.4.5 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan lokasi luka
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi
lokasi luka terbanyak di bagian tangan dan kaki, dengan luka resiko rendah yaitu 8 kasus
(88,9%). Sedangkan untuk luka resiko tinggi (di jari tangan, jari kaki dan muka hanya 1 kasus
dengan presentase 11,1%.
4.4.6 Pemberian VAR
Pemberian VAR
YA
TIDAK
44%
56%
Diagram 4.4.6 Distribusi kejadian gigitan hewan penular rabies berdasarkan pemberian VAR
Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada bulan Agustus-
Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 9 kasus dengan diberikan
VAR 5 kasus, dan 4 kasus tidak diberikan VAR.
23
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasrkan hasil penelitian yang dilakukan di bulan Oktober 2020 yang meneliti
tentang gambaran gigitan hewan penular rabies di Puskesmas Papakelan pada bulan
Agustus-Oktober 2020 berdasarkan wilayah kerja, umur, jenis kelamin, jenis hewan, lokasi
Agustus-Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 9 kasus dengan
distribusi wilayah kerja terbanyak di Papakelan 7 kasus (77,8%), diikuti oleh Kendis 1 kasus
(11,1%), dan Taler 1 kasus (11,1%). Yang terbanyak di wilayah Papakelan, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh mobilisasi anjing yang cukup tinggi di wilayah tersebut,
karena memiliki jumlah penduduk terbanyak dan banyak yang memelihara hewan anjing.
Berdasarkan umur, didapatkan bahwa yang terbanyak adalah umur lebih dari 50 tahun
5 kasus (55,6%), kemudian umur 0-4 tahun 3 kasus (33,3%), dan yang paling sedikit adalah
umur 15-49 tahun dengan 1 kasus (11,1%). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Gadekar tahun 2011 yang menyebutkan bahwa kasus tertinggi gigitan
anjing rabies pada kelompok umur 0-9 tahun. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia atau
WHO 2012, menyebutkan bahwa anak-anak memiliki risiko yang tinggi pada rabies. 60-70
persen korban rabies adalah anak-anak. Anak-anak lebih sering menghabiskan waktu di luar
rumah, kecenderungan anak yang sering bermain di luar rumah menjadi salah satu faktor
risiko terjadinya gigitan anjing. Selain itu usia 0-9 tahun merupakan usia dimana anak mulai
mengalami perkembangan dan aktif untuk bergerak. Anak-anak cenderung lebih senang
untuk bermain dan berinteraksi dengan hewan peliharaan seperti anjing sehingga sangat
rentan untuk mendapat gigitan anjing baik anjing peliharaan maupun anjing liar. Pada
penelitian ini terbanyak umur diatas 50 tahun, hal ini dapat disebabkan karena semua
kelompok umur dapat memiliki risiko tergigit hewan pembawa rabies.
Berdasarkan jenis kelamin, yang paling banyak digigit hewan penular rabies adalah
berjenis kelamin laki-laki yaitu 5 kasus dengan presentase 55,6%. Dan untuk perempuan 4
kasus (44.4%).
24
Berdasarkan hewan penular rabies, yang paling banyak adalah berasal dari hewan
anjing yaitu 9 kasus (100%), sedangakan kucing dan kera tidak ditemukan. Di Indonesia,
umumnya hewan penular virus rabies adalah anjing (98%), kucing, dan kera. Berdasarkan
pemetaan sebaran kasus gigitan anjing rabies dengan melihat populasi anjing kasus gigitan
anjing rabies umumnya terjadi pada daerah dengan tingkat populasi anjing yang tinggi. Jenis
kontak berupa serangan pada tahun 2009 terjadi pada daerah dengan tingkat populasi anjing
sangat tinggi.
Berdasarkan distribusi lokasi luka, terbanyak di bagian tangan dan kaki, dengan luka
resiko rendah yaitu 8 kasus (88,9%). Sedangkan untuk luka resiko tinggi (di jari tangan, jari
kaki dan muka hanya 1 kasus dengan presentase 11,1%. Masa inkubasi virus rabies akan
sangat tergantung dengan jarak lokasi gigitan atau luka dengan sistem saraf pusat. Semakin
dekat letak gigitan atau luka dengan sistem saraf pusat maka semakin singkat masa
inkubasinya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jeane di Ambon tahun 2012
yang dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kasus gigitan anjing yang paling banyak
terjadi pada daerah kaki. Daerah kaki atau anggota tubuh bagian bawah merupakan daerah
yang paling mudah di jangkau oleh anjing dari pada anggota tubuh lainnya. Depkes RI (2008)
juga menunjukkan bahwa 78% kasus gigitan terjadi pada daerah kaki. Dari pemetaan sebaran
korban gigitan anjing berdasarkan letak luka dengan perbandingan populasi anjing, terlihat
bahwa luka akibat anjing pada daerah kaki terjadi pada daerah dengan kepadatan populasi
anjing yang rendah hingga daerah dengan kepadatan populasi anjing yang tinggi demikian
juga dengan letak luka pada daerah bagian tubuh, hal berbeda terjadi pada letak luka di
daerah wajah, dimana korban berada pada daerah dengan kepadatan populasi anjing yang
tinggi. Tingginya populasi anjing, tidak termasuk anjing liar yang tidak dapat di data
memungkinkan populasi anjing rabies meningkat, sifat anjing rabies yang liar berakibat pada
jenis kontak yang dilakukan. Secara garis besar sifatliar dapat berakibat pada serangan yang
dilakukan oleh anjing sehingga letak gigitan atau luka pada daerah wajah akan mungkin
untuk terjadi.
25
Berdasarkan pemberian VAR, Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada bulan Agustus-Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 9
kasus dengan diberikan VAR 5 kasus, dan 4 kasus tidak diberikan VAR. Indikasi pemberian
VAR adalah adanya kontak air liur hewan tersangka/ rabies pada luka risiko tinggi, dan bila
hewan penggigit tidak dapat diobservasi. Pemberian dihentikan bila hewan penggigit tetap
sehat selama observasi 14 hari atau dari hasil pemeriksaan laboratorium negatif.
26
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Berdasarkan wilayah kerja Puskesmas Papakelan, menunjukkan bahwa pada bulan
Agustus-Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies terbanyak Papakelan
(77,8%), diikuti oleh Kendis (11,1%), dan Taler (11,1%).
2. Berdasarkan umur, data yang didapatkan terbanyak adalah umur lebih dari 50 tahun
yaitu dengan presentase 55,6%, kemudian umur 0-14 tahun (33,3%), dan yang paling
sedikit adalah umur 15-49 tahun (11,1%)
3. Berdasarkan jenis kelamin, yang paling banyak digigit hewan penular rabies adalah
4. Berdasarkan hewan penular rabies, seluruhnya berasal dari hewan anjing 100%,
sedangakan kucing dan kera tidak ditemukan.
5. Berdasarkan distribusi lokasi luka, terbanyak di bagian tangan dan kaki, dengan luka
resiko rendah yaitu 8 kasus (88,9%).
6. Berdasarkan pemberian VAR, Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada bulan Agustus-Oktober 2020 total kasus gigitan hewan penular rabies
sebanyak 9 kasus dengan diberikan VAR 5 kasus, dan 4 kasus tidak diberikan VAR
6.2 Saran
1. Bagi Puskesmas
a. Melakukan edukasi atau konseling kepada pasien dan keluarga terutama pada
penduduk yang memiliki hewan anjing dan kucing di rumah .
b. Petugas kesehatan diharapkan segera memberikan penanganan pada pasien yang
terkena gigitan hewan yang dapat menyebabkan rabies
c. Bagi petugas puskesmas memberikan pengarahan dan motivasi untuk selalu
waspada akan bahaya penyakit rabies.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Dapat menjadi patokan bagi penelitian selanjutnya dengan sampel lebih banyak
dan periode waktu yang lebih Panjang.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta;Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009 .
2. Arnold C. Turang. Kenali dan Kendalikan Rabies. 20 Juli 2012 [cited 2018 Februari 15].
Available URL. http://sulut.litbang.deptan.go.id/ind/index. php?
option=com_content&view=article&id=249 &Itemid=48
3. World Health Organisation Media Center. Rabies. 2012 Sept [cited 2018 Februari 16].
Available from : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs0 99/en/index.html
4. Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Dirjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit . 2016
5. BUKU SAKU PROFIL KESEHATAN PROVINSI SULAWESI UTARA TAHUN
2012http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/24
_Profil_Kes.Prov.SulawesiUtara_2012.pdf
6. Dinas Kesehatan Prov. Sulawesi Utara.
https://dinkes.sulutprov.go.id/wp-content/uploads/2016/11/Buku-Profil-Kesehatan-Sulut-
2015.pdf
7. Hampson K, Coudeville L, Lembo T, Sambo M, Kieffer A, Attlan M, et al. Estimating the
global burden of endemic canine rabies. PLoS Negl Trop Dis. 2015;9(4):0003709.
8. Association of Southeast Asian Nations. Rabies elimination strategy [Internet]. 2013 [cited
2018 Februari 24]. Available from: http://vncdc.gov.vn/files/article_
attachment/2015/3/endorsed-ares-final.pdf
9. Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan indonesia tahun 2014 [Internet]. 2014 [cited
2018 Februari 24]. Available from: http://www.depkes.go.id/resources/
download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf
10. Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis rabies [Internet]. 2014 [cited 2018 Februari
24]. Available from: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/
infodatin/infodatin-rabies.pdf
11. Putra AA, Hampson K,Girardi J, Hiby E, Knobel D, Mardiana IW, et al. Response to a rabies
epidemic, bali, indonesia, 2008-2011. Emerg Infect Dis. 2013;19(4):648-51.
12. World Health Organization. WHO expert consultation on rabies: Second report [Internet].
2013 [cited 2018 Februari 24]. Available from: http://apps.who.int/iris/
bitstream/10665/85346/1/9789240690943_eng.pdf
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Vaksin rabies [Internet]. 2014 [cited 2018 Februari 24].
Available from: http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2014/08/IVO-Rabies.pdf
14. Warrell MJ, WarrellDA. Rabies: The clinical features, management and prevention of the
classic zoonosis. Clin Med (Lond.) 2015;15(1):78-81.
15. Wu1 HH, You KH, Lo HY. Diagnosis, management, and prevention of rabies. Taiwan EB.
2013;29:23-32.
16. Tanzil K. Penyakit rabies dan penatalaksanaannya. E-journal Widya Kesehatan dan
Lingkungan 2014;1(1):61-7.
17. Bali Animal Welfare Association. Controlling and eradicating rabies in bali [Internet]. 2015
[cited 2018 Februari 24]. Available from: http://bawabali.com/our-programs/ rabies-response-
control/
18. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan program penanggulangan rabies di
Indonesia [Internet]. 2011 [cited 2018 Februari 24]. Available from: http://
perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/1638
19. Novie A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masa Inkubasi Rabies di Provinsi Bali (2008-
2011). Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Depok.
Universitas Indonesia. 2012.
28