Anda di halaman 1dari 10

F6.

Upaya pengobatan dasar hipertensi pada home visite di Kelurahan Papakelan


LATAR BEKAKANG
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem
kardiovaskular dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan
diastolik diatas 90 mmHg, yang mana patofisiologinya adalah multi faktor, sehingga tidak
bisa diterangkan hanya dengan satu mekanisme tunggal. Sebagaimana diketahui hipertensi
adalah penyebab kematian nomor satu di dunia, disusul merokok lalu dislipidemia. Hipertensi
mengambil porsi sekitar 60% dari seluruh kematian di dunia.. Hipertensi dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang penyebabnya
tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit
endokrin, penyakit jantung, dan gangguan anak ginjal. Hipertensi seringkali tidak
menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus-menerus tinggi dalam jangka waktu
lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, hipertensi perlu dideteksi dini yaitu
dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala. Hipertensi merupakan masalah yang
kompleks jadi perlu pendekatan yang lebih komprehensif dan intensif guna mencapai
pengendalian tekanan darah yang optimal. Hal ini berarti diperlukan berbagai upaya untuk
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi obat untuk mencapai target tekanan darah
yang diinginkan. Sedikitnya 50% pasien yang diresepkan obat antihipertensi tidak meminum
obat sesuai yang direkomendasikan

PERMASALAHAN
Tingginya angka hipertensi dan komplikasi yang ditimbulkan
Kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengobatan rutin
PERENCANAAN
Penatalaksanan
 Peningkatan tekanan darah dapat dikontrol dengan perubahan gaya hidup.
 Pemberian obat anti hipertensi merupakan pengobatan jangka panjang. Kontrol
pengobatan dilakukan setiap 2 minggu atau 1 bulan untuk mengoptimalkan hasil
pengobatan.
1. Hipertensi tanpa compelling indication
 Hipertensi stage-1 dapat diberikan diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, furosemid
2x20-80 mg/hari), atau pemberian penghambat ACE (captopril 2x25-100 mg/hari
atau enalapril 1-2 x 2,5-40 mg/hari), penyekat reseptor beta (atenolol
25-100mg/hari dosis tunggal), penghambat kalsium (diltiazem extended release
1x180-420 mg/hari, amlodipin 1x2,5-10 mg/hari, atau nifedipin long acting 30-60
mg/hari) atau kombinasi.
 Hipertensi stage-2. Bila target terapi tidak tercapai setelah observasi selama 2
minggu, dapat diberikan kombinasi 2 obat, biasanya golongan diuretik, tiazid dan
penghambat ACE atau antagonis reseptor AII (losartan 1-2 x 25-100 mg/hari) atau
penyekat reseptor beta atau penghambat kalsium.
 Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada tidaknya kontraindikasi dari masing-
masing antihipertensi diatas.Sebaiknya pilih obat hipertensi yang diminum sekali
sehari atau maksimum 2 kali sehari. 2. Hipertensi compelling indication (lihat
tabel) Bila target tidak tercapai maka dilakukan optimalisasi dosis atau
ditambahkan obat lain sampai target tekanan darah tercapai(kondisi untuk
merujuk ke Spesialis).
 Konseling &Edukasi Edukasi individu dan keluarga tentang pola hidup sehat untuk
mencegah dan mengontrol hipertensi seperti:
 Gizi seimbang dan pembatasan gula, garam dan lemak (Dietary Approaches To Stop
Hypertension).
 Mempertahankan berat badan dan lingkar pinggang ideal.
 Gaya hidup aktif/olah raga teratur.
 Stop merokok.
 Membatasi konsumsi alkohol (bagi yang minum).
Edukasi tentang cara minum obat di rumah, perbedaan antara obat-obatan yang harus
diminum untuk jangkapanjang (misalnya untuk mengontrol tekanan darah) dan
pemakaian jangka pendek untuk menghilangkan gejala (misalnya untuk mengatasi
mengi), cara kerja tiap-tiap obat, dosis yang digunakan untuk tiap obat dan berapa kali
minum sehari. Penjelasan penting lainnya adalah tentang pentingnya menjaga
kecukupan pasokan obatobatan dan minum obat teratur seperti yang disarankan
meskipun tak ada gejala. Individu dan keluarga perlu diinformasikan juga agar
melakukan pengukuran kadar gula darah, tekanan darah dan periksa urin secara
teratur. Pemeriksaan komplikasi hipertensi dilakukan setiap 6 bulan atau minimal 1
tahun sekali.

PELASKSANAAN
- Pengobatan hipertensi dilakukan sesuai dengan pedoman praktik klinis serta melihat
kondisi pasien. Pemberian edukasi mengenai pola makan, aktivitas fisik, dan
pentingnya minum obat secara rutin. Dilakukan kunjungan rumah pada pasien yang
tidak dapat menuju Puskesmas, pasien merupakan penderita hipertensi yang telah
memiliki obat kronis

MONITORING
- Monitoring alat yang digunakan untuk memdiagnosis hipertenssi
- Ketersediaan obat antihipertensi
- Mendata dan mengevaluasi masyarakat yang menderita hipertensi dan mengedukasi
Upaya pengobatan dasar diare
LATAR BEKAKANG
Diare merupakan salah satu penyakit dengan insidensi tinggi di dunia dan dilaporkan terdapat
hampir 1,7 milyar kasus setiap tahunnya. Penyakit ini sering menyebabkan kematian pada
anak usia di bawah lima tahun (balita).
Dalam satu tahun sekitar 760.000 anak usia balita meninggal karena penyakit ini (World
Health Organization (WHO), 2013b). Didapatkan 99% dari seluruh kematian pada anak
balita terjadi di negara berkembang. Sekitar ¾ dari kematian anak terjadi di dua wilayah
WHO, yaitu Afrika dan Asia Tenggara. Kematian balita lebih sering terjadi di daerah
pedesaan, kelompok ekonomi dan pendidikan rendah. Sebanyak ¾ kematian anak umumnya
disebabkan penyakit yang dapat dicegah, seperti kondisi neonatal, pneumonia, diare, malaria,
dan measles .
PERMASALAHAN
Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia
karena memiliki insidensi dan mortalitas yang tinggi. Diperkirakan 20-50 kejadian diare per
100 penduduk setiap tahunnya. Kematian terutama disebabkan karena penderita mengalami
dehidrasi berat. 70-80% penderita adalah mereka yang berusia balita. Menurut data
Departemen Kesehatan, diare merupakan penyakit kedua di Indonesia yang dapat
menyebabkan kematian anak usia balita setelah radang paru atau pneumonia .
PERENCANAAN
Penatalaksanaan Pada umumnya diare akut bersifat ringan dan sembuh cepat dengan
sendirinya melalui rehidrasi dan obat antidiare, sehingga jarang diperlukan evaluasi lebih
lanjut. Terapi dapat diberikan dengan:
 Memberikan cairan dan diet adekuat
a. Pasien tidak dipuasakan dan diberikan cairan yang adekuat untuk rehidrasi.
b. Hindari susu sapi karena terdapat defisiensi laktase transien.
c. Hindari juga minuman yang mengandung alkohol atau kafein, karena dapat
meningkatkan motilitas dan sekresi usus.
d. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya yang tidak mengandung gas, dan mudah
dicerna.
 Pasien diare yang belum dehidrasi dapat diberikan obat antidiare untuk mengurangi
gejala dan antimikroba untuk terapi definitif. Pemberian terapi antimikroba empirik
diindikasikan pada pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, traveller’s
diarrhea, dan imunosupresi. Antimikroba: pada GE akibat infeksi diberikan antibiotik
atau antiparasit, atau anti jamur tergantung penyebabnya. Obat antidiare, antara lain:
- Turunan opioid: loperamide, difenoksilat atropine, tinktur opium. Obat ini sebaiknya
tidak diberikan pada pasien dengan disentri yang disertai demam, dan penggunaannya
harus dihentikan apabila diare semakin berat walaupun diberikan terapi.
- Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien immunocompromised, seperti HIV, karena
dapat meningkatkan risiko terjadinya bismuth encephalopathy.
- Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/ hari atau smectite 3x 1 sachet
diberikan tiap BAB encer sampai diare stop.
- Obat anti sekretorik atau anti enkefalinase: Hidrasec 3x 1/ hari
Antimikroba, antara lain:
 Golongan kuinolon yaitu ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 5-7 hari, atau
 Trimetroprim/Sulfamethoxazole 160/800 2x 1 tablet/hari.
 Apabila diare diduga disebabkan oleh Giardia, metronidazole dapat digunakan
dengan dosis 3x500 mg/ hari selama 7 hari.
 Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi disesuaikan dengan etiologi. Terapi
probiotik dapat mempercepat penyembuhan diare akut.
 Apabila terjadi dehidrasi, setelah ditentukan derajat dehidrasinya, pasien ditangani
dengan langkah sebagai berikut:
1. Menentukan jenis cairan yang akan digunakan Pada diare akut awal yang ringan,
tersedia cairan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2.5
g Natrium bikarbonat dan 1.5 KCl setiap liter. Cairan ini diberikan secara oral atau
lewat selang nasogastrik. Cairan lain adalah cairan ringer laktat dan NaCl 0,9% yang
diberikan secara intravena.
2. Menentukan jumlah cairan yang akan diberikan Prinsip dalam menentukan jumlah
cairan inisial yang dibutuhkan
3. Menentukan jadwal pemberian cairan:
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah total kebutuhan cairan menurut
BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai
rehidrasi optimal secepat mungkin.
b. Satu jam berikutnya/ jam ke-3 (tahap ke-2) pemberian diberikan berdasarkan
kehilangan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila tidak ada
syok atau skor daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral.
c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui
tinja dan insensible water loss.

Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare akut apabila ditemukan:
1. Diare memburuk atau menetap setelah 7 hari, feses harus dianalisa lebh lanjut.
2. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, disentri, demam ≥ 38.5⁰ C, nyeri
abdomen yang berat pada pasien usia di atas 50 tahun
3. Pasien usia lanjut
4. Muntah yang persisten
5. Perubahan status mental seperti lethargi, apatis, irritable.
6. Terjadinya outbreak pada komunitas
7. Pada pasien yang immunocompromised.

Konseling & Edukasi Pada kondisi yang ringan, diberikan edukasi kepada keluarga
untuk membantu asupan cairan. Edukasi juga diberikan untuk mencegah terjadinya
GE dan mencegah penularannya.

Kriteria Rujukan
1. Tanda dehidrasi berat
2. Terjadi penurunan kesadaran
3. Nyeri perut yang signifikan
4. Pasien tidak dapat minum oralit
5. Tidak ada infus set serta cairan infus di fasilitas pelayanan

Sarana Prasarana
1. Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin, feses dan WIDAL
2. Obat-obatan
3. Infus set dan cairan

PELASKSANAAN
- Penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan pedoman yang ada dilakukan pada saat
poliklinik setiap hari kerja .

MONITORING
- Memonitoring jumlah kasus diare
- Memonitoring terapi diare yang diberikan apakah sudah sesuai
- Memonitoring sarana dan prasarana untuk menunjang diagnosis
- Memonitoring ketersediaan obat – obatan, infus set dan cairan

Upaya Pengobaan Dasar Dermatofitosis di Poliklinik Puskesmas Papakelan

Latar belakang

Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau
stratum korneum pada lapisan epidermis di kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh
golongan jamur dermatofita. Nama lain dari dermatofitosis adalah tinea.
Indonesia merupakan area yang baik untuk pertumbuhan jamur. Insidensi penyakit
jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93% -
27,6%, namun tidak dapat digeneralisasi dalam populasi umum. Sistem kekebalan tubuh
setiap orang menentukan hasil paparan dari infeksi jamur. Pada orang dewasa, kulit kaki yang
retak akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi tinea. Prevalensi tinea pedis disebutkan
sekitar 10%, yang biasanya disebabkan oleh alas kaki yang tertutup. Sementara itu pada
penghuni lansia di institusi perawatan jangka panjang di Jepang, prevalensi tinea pedis adalah
20 – 30%.3 Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-harinya
banyak bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki
yang selalu atau sering basah. Penderita tinea pedis biasanya orang dewasa. Penyakit ini tidak
begitu sering dilihat di poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di berbagai kota besar di
Indonesia.

Permasalahan
Banyaknya angka infeksi jamur pada kulit di Puskesmas Papakelan,
Ketidaktahuan pasien akan gejala dan penanganan yang tepat pada penyakit tinea

Perencanaan
Infeksi jamur pada kulit dapat berbeda penyebutan tergantung lokasi infeksinya,
seperti tinea korporis, tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tinea pedis et manum, dan tinea
unguium
1. Antifungal topikal
Digunakan untuk pengobatan penyakit jamur yang terlokalisir. Efek sampingnya
minimal dan biasanya berupa dermatitis kontak alergi. Antifungal topikal seperti klotrimazol,
mikonazol, atau terbinafin, yang diberikan hingga lesi hilang dan dilanjutkan 1-2 minggu
kemudian untuk mencegah rekurensi
2. Antifungal sistemik
Untuk penyakit yang tersebar luas dan resisten terhadap terapi topikal, dapat diberikan
pengobatan sistemik berupa;
- Griseofulvin : 0,5 – 1 g untuk orang dewasa, 0,25 – 0,5 g/ hari atau 10 – 25
mg/kgBB/hari untuk anak-anak
- Ketokonazole : 200 mg/ hari selama 10 hari – 2 minggu
- Itrakonazole : 2 x 100-200mg/hari selama 3 hari
- Terbinafin : 62,5 – 250 mg/ hari selama 2 – 3 minggu
PELASKSANAAN
- Penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan pedoman yang ada dilakukan pada saat
poliklinik setiap hari kerja .

MONITORING
- Memonitoring jumlah kasus tinea
- Memonitoring terapi tinea yang diberikan apakah sudah sesuai
- Memonitoring sarana dan prasarana untuk menunjang diagnosis
- Memonitoring ketersediaan obat – obatan; antifungal dan antihistamin

Penyuntikan SAR dan VAR pada Pasien gigitan Anjing

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia

yang berakibat fatal. Di Indonesia penyakit ini dikenal dengan istilah penyakit anjing

gila.1Penyakit Rabies merupakan penyakit Zoonosis yang sangat berbahaya dan ditakuti

karena bila telah menyerang manusia atau hewan akan selalu berakhir dengan kematian.2

Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO) tentang Rabies, penyakit

ini tersebar di semua benua, kecuali di Antartica. Lebih dari 55.000 orang meninggal

karena rabies setiap tahunnya, dan 95% kematian terjadi di benua Asia dan Afrika.

Diketahui anjing merupakan sumber dari sebagian besar kematian kasus Rabies pada

manusia, dan mengancam lebih dari 3 milyar orang di Asia dan Afrika. Asia Tenggara

menjadi salah satu kawasan endemik rabies.3

Di Indonesia, sebanyak 25 dari 34 provinsi tertular rabies. Provinsi bebas rabies

antara lain Papua, Papua Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Jawa Tengah,

DIY, Jawa Timur, dan DKI Jakarta. Tahun 2015 terdapat 80.403 kasus GHPR (gigitan

hewan penderita rabies), paling banyak di provinsi Bali yaitu 42.630 kasus, diikuti NTT
7.386 kasus . Sedangkan untuk kematian akibat rabies (Lyssa) terdapat 118 kasus, terjadi

paling banyak di Sulawesi Utara sebanyak 28 kasus dan di Bali sebanyak 15 kasus.4

Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Utara tahun 2012, terdapat 2.923 GHPR

(gigitan hewan penderita rabies) dengan angka kematian akibat rabies (Lyssa) 35

kasus..5,6 Minahasa yang merupakan bagian dari provinsi Sulawesi Utara memiliki

populasi anjing yang relatif banyak.

Prmasalahan
1. Banyaknya angka gigitan anjing di wilayah kerja Puskesmas Papakelan
2. Banyaknya populasi anjing yang dibiarkan bebas di jalan kampung

Perencanaan
Penyakit rabies dapat dicegah melalui manajemen pasca-pajanan hewan

tersangka/rabies, meliputi: penanganan luka yang tepat, pemberian imunisasi pasif (serum/

imunoglobulin), dan imunisasi aktif/ vaksinasi pasca-pajanan. Tidak ada kontraindikasi untuk

terapi pasca- pajanan, termasuk ibu hamil/menyusui, bayi, dan immunocompromised.

Pemberian vaksin anti-rabies (VAR) atau serum anti-rabies (SAR) ditentukan menurut tipe

luka gigitan.

Penanganan Luka gigitan / jilatan segera dicuci dengan air mengalir dan

sabun/deterjen minimal 15 menit, dilanjutkan pemberian antiseptik (povidon iodine, alkohol

70%, dll).

Penjahitan luka dihindari sebisa mungkin. Bila tidak mungkin (misalnya luka lebar,

dalam, perdarahan aktif), dilakukan jahitan situasi. Bila akan diberi SAR, penjahitan harus

ditunda beberapa jam (>2 jam), sehingga antibodi dapat terinfiltrasi ke jaringan dengan baik.

Virus rabies umumnya menetap di sekitar luka selama 2 minggu sebelum mencapai

ujung serabut saraf posterior dan virus mudah mati dengan sabun/deterjen. Penanganan luka

saja terbukti dapat mengurangi risiko rabies pada penelitian hewan.


Imunisasi Pasif

RIG (rabies immunoglobulin) atau SAR menetralkan langsung virus pada luka,

memberi perlindungan selama 7-10 hari sebelum antibodi yang diinduksi vaksinasi muncul.

Pemberian tidak diperlukan jika vaksinasi telah diberikan >7 hari sebelumnya. Indikasi SAR

adalah pada luka risiko tinggi, meliputi: luka multipel, luka di area banyak persarafan (muka,

kepala, leher, ujung jari tangan, ujung jari kaki), dan kontak air liur di mukosa/selaput lendir.

Ada dua jenis SAR yaitu dari serum manusia dan kuda, keduanya direkomendasikan

oleh WHO. Dosis dihitung sesuai berat badan. SAR diinfiltrasi ke dalam dan di sekitar luka,

lalu sisanya diinjeksi secara IM pada ekstremitas yang terluka (deltoid atau anterolateral

paha). Sebelum pemberian sebaiknya dilakukan skin test karena terkadang menimbulkan

reaksi anafilaktik. Injeksi harus dilakukan pada area yang jauh dari area injeksi vaksin,

karena dapat menekan produksi antibodi. Pada luka berat dan multipel (biasa pada anak-

anak), dilakukan pengenceran dengan normal salin (2-3 kali), sehingga dapat menginfiltrasi

seluruh luka. SAR dapat diberikan sekali atau hingga hari ketujuh setelah vaksinasi. Setelah

hari ketujuh vaksinasi, SAR tidak diindikasikan lagi karena antibodi yang diinduksi vaksin

dianggap telah ada. Sayangnya, SAR tidak selalu tersedia di beberapa negara.

Imunisasi Aktif

Vaksinasi pasca-pajanan (post-exposure prophylaxis) diberikan dengan tujuan

menginduksi munculnya antibodi penetral rabies. Indikasi pemberian VAR adalah adanya

kontak air liur hewan tersangka/ rabies pada luka risiko tinggi, dan bila hewan penggigit tidak

dapat diobservasi. Pemberian dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama observasi

14 hari atau dari hasil pemeriksaan laboratorium negatif. VAR diberikan secara IM di deltoid

atau paha anterolateral, tidak diberikan di otot gluteal karena produksi antibodi rendah. Efek

samping vaksin meliputi reaksi lokal penyuntikan (35-45%), reaksi sistemik ringan seperti

nyeri kepala, pusing, demam, mual, nyeri perut (5-15%).


Pada gigitan berulang (pre-exposure) dalam <3 bulan setelah profilaksis, VAR tidak

perlu diberikan lagi karena antibodi masih cukup untuk melindungi tubuh. Bila gigitan

berulang terjadi >3 bulan sampai 1 tahun, VAR diberikan 1 kali dan bila >1 tahun, harus

diberi VAR lengkap.

Pelaksanaan
1. Dilakukan penyuntikan pada seorang anak umur 10 tahun yang terkena gigitan anjing
pada kelopak mata kiri. Diberikan SAR pada luka dan sisanya pada deltoid, dan VAR
pada deltoid.
2. Penatalaksanaan dilakukan sesuai dengan pedoman yang ada dilakukan pada saat
poliklinik setiap hari kerja .

Monitoring
1. Monitoring jadwal suntikan 0-14-21 hari dengan dosis yang tepat
2. Monitoring kesehatan anjing yang menggigit
3. Monitoring kesediaan vaksin rabies di Puskesmas Papakelan

Anda mungkin juga menyukai