Disusun Oleh :
Disusun Oleh :
Nur Izzati Humaira 1813020050
Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium Tuberculosis yang dapat menyebar melalui drople yang telah
terinfeksi basil TB. Penyakit menular Tuberkulosis sampai sekarang masih menjadi
masalah kesehatan yang utama dan merupakan masalah kesehatan global sebagai
penyebab utama kematian pada jutaan orang setiap tahun di seluruh dunia setelah
Human Immunodeviciency Virus (HIV). Sebagian besar kuman tuberkulosis (TB)
menyerang paru, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya (WHO, 2016).
World Health Organization (WHO) tahun 2016 menyatakan bahwa TB masih
menjadi topik utama dalam masalah kesehatan di dunia. Hal ini ditunjukkan dengan
TB menjadi salah satu penyakit menular 10 terbanyak di dunia. Pada tahun 2015 total
jumlah kasus TB di dunia 10,4 juta kasus TB baru termasuk 1,2 juta (11%) di antara
orang yang mengidap HIV positif dengan 56% laki-laki dan 34% wanita serta 10%
anak-anak. Dihitung dari segi persentase dapat dinilai bahwa jumlah kasus TB
sebesar 90% pada orang dewasa dan 10% pada anak-anak. Kasus TB mengalami
peningkatan dari tahun 2014 yang diperkirakan 2 juta orang meninggal di seluruh
dunia karena penyakit tuberkulosis paru dari total 9,6 juta kasus (WHO, 2015).
Menurut WHO dalam Global Tuberculosis Report tahun 2017, sebaran kasus
TB pada tahun 2016 banyak terjadi di wilayah Asia Tenggara (45%), Afrika (25%),
Timur Mediternia (7%), Eropa (3%), dan yang terakhir adalah di wilayah Amerika
(3%). Laporan dari WHO juga menyatakan bahwa terdapat 30 negara di dunia yang
mempunyai status angka TB tertinggi didunia yang menyumbang 87% dari semua
perkiraan kasus insiden diseluruh dunia. Berdasarkan tingkat insidensinya terdapat
tujuh negara yang menonjol memiliki kasus insiden TB tertinggi pada tahun 2016
yaitu India, Indonesia, China, Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan. Global
Tuberculosis Report tahun 2017 juga menyatakan bahwa dari 10,4 juta kasus hanya
6,1 juta yang diobati dan 49% yang berhasil diobati, 95% kematian akibat TB terjadi
di negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2017).
The Global Plan to End TB (2016-2020) menyatakan bahwa untuk
keberhasilan pengobatan TB di dunia dengan target 90% treatment success untuk
semua yang terdiagnosis TB melalui pelayanan pengobatan yang terjangkau. Namun,
sampai pada tahun 2015 belum ada negara yang mencapai target dari cakupan
pengobatan dan keberhasilan pengobatan TB, gap terbesar di beberapa negara adalah
di cakupan pengobatan (WHO, 2017).
Seseorang yang terinfeksi TB paru akan menimbulkan berbagai dampak di
kehidupannya, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Secara fisik, seseorang yang
telah terinfeksi TB paru akan sering batuk, sesak nafas, nyeri dada, berat badan dan
nafsu makan menurun, serta berkeringat di malam hari. Semua hal itu tentunya akan
mengakibatkan seseorang tersebut menjadi lemah. Secara mental, seseorang yang
telah terinfeksi TB paru umumnya akan merasakan berbagai ketakutan di dalam
dirinya, seperti ketakutan akan kematian, pengobatan, efek samping dalam
melakukan pengobatan, kehilangan pekerjaan, kemungkinan menularkan penyakit ke
orang lain, serta ketakutan akan ditolak dan didiskriminasi oleh orang-orang yang ada
di sekitarnya (Rohman, 2012).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui permasalahan penjaringan kasus TB, menganalisis, dan mencari
pemecahan
masalahnya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui permasalahan penjaringan kasus TB.
b. Menganalisis kelemahan, kekuatan, peluang, dan ancaman yang dimiliki
Puskesmas Rawalo dalam kasus TB.
c. Mencari pemecahan masalah melalui berbagai strategi yang dapat
diterapkan di Puskesmas Rawalo.
d. Mengetahui keberhasilan pengobatan TB Paru di wilayah Puskesmas
Rawalo
A. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Meningkatkan ilmu pengetahuan dalam deteksi kasus TB.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi Puskesmas
Sebagai salah satu pertimbangan pemecahan masalah kader mengenai
TB.
b. Manfaat bagi Mahasiswa
Mengetahui permasalahan kader mengenai TB khususnya di Puskesmas
Rawalo, sebagai gambaran secara global permasalahan kasus TB.
BAB II
PROFIL PUSKESMAS
A. VISI PUSKESMAS
B. MISI PUSKESMAS
Untuk mewujudkan VISI tersebut, maka ditetapkan MISI yang diharapkan
mampu mempercepat cita-cita tersebut. Adapun MISI yang dimaksud adalah :
1. Meningkatkan Profesionalisme Sumber Daya Manusia
2. Meningkatkan Kinerja dan Mutu Kelayanan Kesehatan
3. Meningkatkan Kerjasama Lintas Program dan Lintas Sektoral
4. Menyediakan Sarana dan Prasarana yang Memadai
5. Mendorong Kemandirian Masyarakat Untuk Hidup Sehat
6. Meningkatkan Tertib Administrasi dan Keuangan
C. Gambaran Umum Kecamatan Rawalo
Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan hal yang sangat penting dalam
memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan
kesehatan dasar secara cepat dan tepat maka diharapkan sebagian besar masalah
yang ada di masyarakat dapat diatasi.
1. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4
Masa kehamilan adalah masa penting yang harus dipantau secara rutin.
Tumbuh kembang janin serta gangguan kesakitan pada ibu selama kehamilan
diharapkan dapat terus dipantau. Deteksi dini terhadap kelainan pada janin
maupun kesakitan pada ibu dapat dilakukan dengan pemeriksaan rutin
dilakukan oleh ibu hamil.
Sejumlah 818 ibu hamil yang ada di Kecamatan Rawalo, 771 orang
diantaranya telah mendapat pelayanan antenatal K4, atau sebesar 94,3%
Menandakan cakupan ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal
minimal 4 kali (K4) sudah melampaui target IIS 2019 sebesar 80%. Namun
belum mencapai target pencapaian standar pelayanan minimal bidang
kesehatann Kabupaten Banyumas Tahun 2018 sebesar 100%.
Sedangkan pada tahun 2018 terdapat 833 ibu hamil, 803 orang diantaranya
telah mendapatkan pelayanan K4 (96,6%) dan tahun 2017, dari 925 ibu hamil,
848 orang mendapat pelayanan K4 (91,8%).
3. Pertolongan Oleh Tenaga Kesehatan
Komplikasi dan kematian pada ibu maternal serta bayi baru lahir sangat
ditentukan dari penolongan persalinan terutama bidan yang mempunyai
kompetensi. Pertolongan persalinan yang tidak dilakukan oleh nakes di
fasilitas kesehatan akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi maupun
kematian pada ibu bersalin maupun bayi.
Dari 818 ibu hamil yang melakukan persalinan, sebanyak 735 orang (94,1%)
ditolong oleh tenaga kesehatan/melakukan persalinan difasilitasi kesehatan.
Untuk tahun 2018 dari 774 ibu hamil yang melakukan persalinan sebanyak
789 orang (101,9%), dari jumlah tersebut memang melampaui target karena
sebagian ibu bersalin berasal dari luar wilayah Kecamatan Rawalo, sedangkan
tahun 2017, dari 801 ibu bersalin, seluruhnya (100%) ditolong oleh tenaga
kesehatan.
4. Ibu Nifas
Cakupan pelayanan ibu nifas di tahun 2019 mencapai 94,1%. Standar
pelayanan minimal bidang kesehatan Kabupaten Banyumas tahun 2019
menargetkan 100%. Sedangkan cakupan tahun 2018 mencapai 101,9%, hal ini
dikarenakan adanya kunjungan sejumlah ibu nifas dari luar wilayah ke
Puskesmas Rawalo, dan cakupan tahun 2017 hanya mencapai 91,8%.
5. Imunisasi Pada Ibu Hamil
Pada tahun 2019 dari 818 ibu hamil di wilayah Kecamatan Rawalo, terdapat
328 orang (40,1%) telah mendapatkan imunisasi Td4, 559 orang (68,3%)
medapatkan imunisasi Td5, dan sebanyak 887 orang (108,4%) telah
mendapatkan Td2+.
Sedangkan pada tahun 2018 Dari 883 ibu hamil, 296 orang (35,5) telah
mendapat imunisasi TT-4, 529 orang (63,5%) mendapat imunisasi TT-5,
untuk imunisasi TT2+ sudah jadi satu dengan DPT3. Pada tahun 2017, 36,9%
mendapatkan TT-4; 64,4% mendapatkan imunisasi TT-5; dan 139%
mendapatkan imunisasi TT2+.
4. Imunisasi Pada Wanita Usia Subur Yang Tidak Hamil
Wanita usia subur sebaiknya diimunisasi. Hal ini selain untuk pencegahan
penyakit pada sang ibu, juga pencegahan penyakit pada anak yang dilahirkan.
Pemberian imunisasi dilakukan sejak wanita berusia 19 tahun hingga masa
menoupouse (15-39 tahun). Hal itu karena, masa tersebut adalah masa usia
perempuan melahirkan. Namun seringkali, perempuan umumnya tidak
memiliki catatan imunisasi yang lengkap sejak kecil.
Pada tahun 2019 sebanyak 438 wanita usia subur di wilayah Kecamatan
Rawalo telah melakukan imunisasi Td3. Untuk Desa yang terbanyak
melakukan imunisasi pada wanita usia subur yaitu pada Desa Tambaknegara
sebanyak 71 orang, dan Desa Pesawahan 25 orang merupakan jumlah orang
yang paling sedikit melakukan imunisasi.
5. Cakupan Kunjungan Neonatus
Cakupan kunjungan neonatus dengan komplikasi yang ditangani selama
tahun 2019 sebanyak 735, dengan kunjungan nonatl 1 kali 735 (100%), dan
kunjungan neonatal 3 kali sebanyak 721 (98,1%). Sedangkan pada tahun
2018 sebanyak 129 orang (108,6), dari perkiraan neonatus risiko
tinggi/komplikasi sebanyak 119 orang dan penanganan neonatus dengan
komplikasi di tahun 2017 mencapai 97,2%.
6. Cakupan Pemberian Vitamin A
Pemberian kapsul vitamin A merupakan upaya perbaikan gizi masyarakat,
khususnya pada bayi dan balita serta ibu nifas. Pemberian vitamin A ini
sangat bermanfaat untuk menambah daya tahan tubuh, mencegah dari
berbagai penyakit, meningkatkan kecedasan anak dan lain sebagainnya.
Dari total 1.134 bayi umur 6-11 bulan, seluruhnya (100%) mendapat kapsul
vitamin A.
Untuk balita dengan rentang umur 6-59 bulan, seluruh 4.433 orang (100%)
mendapat kapsul vitamin A. Sedangkan untuk anak balita dengan rentang
umur 12-59 bulan, seluruh 3.299 orang (100%) mendapat kapsul vitamin A
sebanyak 2 kali yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Target IIS 2019
untuk balita 12-59 bulan mendapat kapsul vitamin A sebesar 100%.
Cakupan pemberian vitamin A pada tahun 2018 dan 2017, untuk bayi dan
balita 100% untuk ibu nifas juga 100%.
6. Pelayanan Keluarga Berencana
Program KB merupakan bagian dari pelayan kesehatan (Upaya Kesehatan
Wajib Puskesmas) yang dilaksanakan untuk pengendalian jumlah penduduk,
penurunan AKI dan AKB dan peningkatan kesejahteran masyarakat.
Pasangan usia produktif memiliki peranan penting dalam meningkatkan
jumlah penduduk. Wanita usia subur (WUS) berusia antara 15-49 tahun.
Untuk mengatur jarak kehamilan pada WUS dilakukan menggunakan alat
kontrasepsi.
Sepanjang tahun 2019, tercatat ada 8.032 peserta KB aktif (83,1) dari total
9.667 pasangan usia subur. Sebagai perbandingan, pencapaian tahun 2018,
tercatat ada 7.647 peserta KB aktif (82,3) dari total 9.287 pasangan usia
subur, dan tahun 2017 sebesar 80,3 % dan tahun 2016 sebesar 75,9%.
7. Penanganan Komplikasi Kebidanan dan Neonatal
Jumlah ibu hamil di Kecamatan Rawalo sebanyak yaitu 818, untuk perkiraan
ibu hamil dengan komplikasi kebidanan 164, sedangkan untuk penanganan
komplikasi kebidanan yaitu sebesar 440 (268,9%). Adapun angka jumlah lahir
hidup bayi laki-laki dan perempuan 735 dengan perkiraan neonatal komplikasi
110, untuk nilai penanganan komplikasi neonatal 45 (40,8%).
8. Angka Kematian Neonatal
Angka Kematian Neonatal adalah kematian yang terjadi sebelum bayi
berumur satu bulan atau 28 hari, per 1000 kelahiran hidup pada satu tahun
tertentu. Dari jumlah kematian neonatal, bayi, dan balita di Kecamatan
Rawalo terdapat 3 neonatal diantaranya yaitu balita 1 laki-laki dari Desa
Tambaknegara, 1 balita perempuan dari Desa Rawalo, dan 1 bayi perempuan
dari Desa Tipar.
9. Imunisasi Bayi
Kegitan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi untuk bayi umur 0-1
tahun (BCG, DPT, Polio, campak HB), imunisasi untuk wanita usia subur/ibu
hamil (TT) dan imunisasi untuk anak sekolah SD (kelas 1 yaitu DT; kelas 2-3
yaitu TT).
Sepanjang tahun 2019 terdapat 700 bayi (surviving infant). Cakupan imunisasi
bayi untuk DPT-HB-Hib3 sebanyak 764 bayi (109,1%). Cakupan Polio 4*
sejumlah 764 bayi (104,1%). Cakupan campak 789 bayi (112,4%).
Cakupan imunisasi dasar lengkap sebesar 790 (112,9%). Sepanjang tahun
2018 terdapat 846 bayi. Cakupan imunisasi bayi untuk DPT-HB3/DPT-HB-
Hib3 sebanyak 798 bayi (94%). Cakupan polio 4* sejumlah 798 bayi (94%).
Cakupan campak 828 bayi (98%). Cakupan imunisasi dasar lengkap sebesar
828 (98%).
Dari 799 kelahiran hidupp, cakupan BCG sejumlah 798 bayi (99,87%);
sedangkan cakupan Hb < 7 hari sebanyak 786 bayi (98,37%). Sedangkan
untuk tahun 2017, cakupan imunisasi bayi untuk DPT- H3/DPT-HB-Hib3
93,6%. Cakupan Polio 4* 93,7%. Cakupan campak 91,5%. Imunisasi Dasar
Lengkap 91,5%. Cakupan BCG 99,87%. Cakupan Hb < 7 hari 98,37%.
Angka keberhasilan
Pengobatan TB
-Kurangnya
-SDM
personal
Terbatas -keadaan Obat TB Puskesmas
hygine,
-Tingkat ekonomi tersedia di evaluasi
ddukungan
pengetahuan rendah puskesmas Pemeriksaan program
keluarga,
rendah TB dilakukan pengobatan
dan
kepatuhan TB
mengambil
obat
B. Epidemiologi
WHO menerbitkan data TB global termasuk kasus baru dan kambuh
berdasarkan usia. Dalam laporannya tahun 2018, WHO memperkirakan bahwa dari
sekitar 10 juta kasus insiden TB pada tahun 2017, sekitar 1 juta (10 persen) terjadi
pada anak-anak <15 tahun; jumlah anak laki-laki dan perempuan yang sama
terpengaruh. Pada tahun 2018, WHO memperkirakan ada 234.000 kematian akibat
TB pada anak-anak <15 tahun (40.000 terjadi pada anak-anak yang terinfeksi HIV.
Kematian ini mewakili 15 persen dari semua kematian TB (yang lebih tinggi dari
perkiraan proporsi kasus pada anak-anak), menunjukkan tingkat kematian yang lebih
tinggi pada kelompok usia ini (Adams, 2018).
C.Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis (sangat jarang disebabkan
oleh Mycobacterium avium). Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert
Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa
minggu dalam keadaan kering, tetapi bila dalam cairan akan mati pada suhu 60°C
dalam waktu 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis menyebabkan nekrosis
jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor
penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Kuman ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman
TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa
jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Herchline, 2007).
Basil tuberculosis tidak membentuk toksin (baik endotoksin maupun
eksotoksin). Penularan Mycobacterium tuberculosis biasanya melalui udara, sehingga
sebagian besar fokus primer tuberculosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara,
penularan dapat peroral misalnya minum susu yang mengandung basil tuberculosis,
biasanya Mycobacterium bovis. Dapat juga melalui luka atau lecet di kulit (Herchline,
2007).
D.Faktor Resiko
Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya tuberkulosis primer:
1. Faktor Infeksi
Penularan tuberkulosis primer dapat melalui 4 cara, yaitu:
- Batuk orang dewasa
Saat orang dewasa batuk atau bersin, sejumlah tetesan cairan (ludah)
tersembur ke udara. Bila orang tersebut menderita tuberkulosis paru, maka
tetesan tersebut mengandung kuman. Jika disekitar orang tersebut terdapat
orang dewasa atau anak-anak yang pada saat itu kekebalan tubuhnya menurun
maka dengan mudah akan terinfeksi atau tertular.
- Makanan atau susu
Anak- anak bisa terinfeksi tuberkulosis dari susu atau makanan, dan infeksi
bisa terjadi mulai pada mulut atau usus. Susu dapat mengandung tuberkulosis
dari sapi (bovine TB), bila sapi di daerah tersebut menderita tuberkulosis dan
susu tidak direbus sebelum diminum. Bila hal ini terjadi, infeksi primer terjadi
pada usus, atau terkadang pada amandel.
- Melalui kulit
Kulit yang utuh ternyata tahan terhadap tuberkulosis yang jatuh diatas
permukaannya. Namun, bila terdapat luka atau goresan baru, tuberkulosis
dapat masuk dan menyebabkan infeksi yang serupa dengan yang ditemukan
pada paru.
- Keturunan dari ibu
Apabila seorang ibu yang sedang hamil menderita tuberkulosis maka sudah
pasti anaknya positif menderita tuberkulosis.
2. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang tidak sehat, gelap dan lembab akan mendukung
perkembangbiakan basil Mycobacterium Tuberkulosis. Seperti diketahui basil
tuberkulosis merupakan BTA (Basil Tahan Asam) yang dapat berkembangbiak
apabila ada di ruangan yang gelap dan lembab, akan mati jika terkena sinar
matahari secara langsung. Jadi kebersihan lingkungan perlu diperhatikan.
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi berkaitan dengan ketersediaan pangan yang kaya zat gizi.
Ekonomi juga menjadi faktor pendukung yang mempengaruhi penyebab
penularan tuberkulosis primer. Seorang ibu dengan perekonomian rendah maka
untuk mencukupi makanan bergizi untuk tumbuh kembang anak susah, sehingga
mereka hanya memberi makanan apa saja tanpa mengetahui nilai gizinya.
Padahal kita tahu bahwa dengan mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi akan
bermanfaat bagi tumbuh kembang anak dan meningkatkan kekebalan tubuh anak
terhadap penyakit.
4. Pelayanan Kesehatan
Adanya penyakit tuberkulosis primer yang semakin tinggi prevalensi di
Indonesia maka pelayanan kesehatan yang harus ditingkatkan oleh pemerintah,
melihat penderita penyakit tersebut adalah anak-anak yang masih dalam masa
pertumbuhan membutuhkan perawatan intensive. Apabila tingkat pelayanan
kesehatan tidak optimal maka akan mempengaruhi penyembuhan tuberkulosis
primer dan bila tingkat pelayanan kesehatan bekerja secara optimal maka laju
peningkatan penyakit tuberkulosis primer dapat ditekan seminimal mungkin. Hal
ini tidak lepas pula dari peran pemerintah dan masyarakat dalam menanggapi
segala macam penyakit agar tidak terjadi angka kematian anak yang tinggi
(Herchline, 2007).
E. Patofisiologi
Penularan tuberkulosis primer terjadi karena batuk atau percikan ludah yang
mengandung basil Mycobacterium Tuuberkulosis bertebaran di udara, kemudian
terhirup oleh anak yang pada saat itu sistem imunitas dalam tubuhnya menurun
sehingga mudah terinfeksi. Basil tersebut berkembangbiak perlahan-lahan dalam paru
sehingga menyebabkan kelainan paru. Basil ini bila menetap di jaringan paru, ia akan
tumbuh dan berkembangbiak dalam sitoplasma makrofag. Basil juga dapat terbawa
masuk ke organ tubuh lain yang nantinya bisa menyebabkan tuberculosis hati, ginjal,
jantung, kulit dan lain-lain (Rahajoe, 2007).
Bersamaan dengan itu, sebagian kuman akan dibawa melalui cairan getah
bening ke kelenjar getah bening yang terdekat disamping bronkus. Dari kedua tempat
tersebut, kuman akan menimbulkan reaksi tubuh, dan sel-sel kekebalan tubuh akan
berkumpul. Dalam waktu 4 hingga 8 minggu akan muncul daerah kecil di tengah-
tengah proses tersebut dimana terdapat jaringan tubuh yang mati (perkijuan) yang
dikelilingi sel-sel kekebalan tubuh yang makin membesar. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada paru dan kelenjar getah bening ini dikenal sebagai tuberkulosis primer.
Basil Mycobacterium Tuberculosis ini dapat bertahan selama 1-2 jam pada suasana
lembab dan gelap, sebaliknya akan mati jika terkena sinar matahari. Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Rahajoe,
2007).
Gambar 2. Patofisiologi TB
F.Manifestasi Klinis
Gejala penyakit TBC paru dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
1. Gejala sistemik/umum
- Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
- Penurunan nafsu makan dan berat badan.
- Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
- Perasaan malaise, lemah.
2. Gejala khusus
- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi",
suara nafas melemah yang disertai sesak.
- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
- Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
- Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi
kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50%
anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji
tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan
penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi
berdasarkan pemeriksaan serologi/darah (WHO, 2009).
G.Diagnosa
1. Anamnesis
- Berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau
gagal tumbuh
- Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu
- Batuk kronik >3 minggu, dengan atau tanpa wheeze
- Riwayat kontak dengan pasien tb paru dewasa.
2. Pemeriksaan fisik
- Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal
- Pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi, lutut, falang
- Uji tuberculin. Biasanya positif pada anak dengan TB paru, tetapi bias
negative pada anak dengan TB milier atau juga menderita HIV/AIDS, gizi
buruk atau beru menderita campak
- Pengukuran berat badan menurut umur atau lebih baik pengukuran berat
menurut panjang/tinggi badan (WHO, 2009)
3. Pemeriksaan penunjang
- Uji Tuberkulin
Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu
yang terinfeksi dengan basil tuberculosis membuat uji tuberculin sangat
dibutuhkan.Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam
menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji multi punksi tidak seakurat uji
Mantoux karena dosis antigen tuberculin yang dimasukkan ke dalam kulit
tidak dapat di control.Uji tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil
bila diketahui adanya konvensi dari negatif. Pada anak dibawah umur 5 tahun
dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif
meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan radiologis.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara mono
dengan salep, dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara
mantoux dengan menyuntikan intrakutan dan multiple puncture metode
dengan 4 – 6 jarum berdasarkan cara Heat andTine. Uji kulit Mantoux adalah
injeksi intradermal 0.1 mL yang mengandung 5 unit tuberculin ( UT ) derivate
protein yang dimurnikan ( PPD ) yang distabilkan dengan Tween 80. Sampai
sekarang cara Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling dapat
dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukkan dapat
diketahui banyaknya.
Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas:
1. Eritema karena vasodilatasi perifer
2. Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan antibody
3. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Pembacaan uji tuberculin dilakukan 48 – 72 jam. Setelah penyuntikan
diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Kadang-kadang
penderita akan mulai berindurasi lebih dari 72 jam sesudah perlakuan uji, ini
adalah hasil positif. Faktor – factor yang terkait hospes, termasuk umur yang
amat muda, malnutrisi, immunosupresi karena penyakit atau obat – obat,
infeksi virus, vaksin virus hidup, dan tuberculosis yang berat, dapat menekan
reaksi uji kulit pada anak yang terinfeksi dengan M.tuberculosis. Terapi
kortikosteroid dapat menurunkan reaksi erhadap tuberculin, dengan pengaruh
yang sangat bervariasi
Interpretasi hasil test Mantoux:
1. Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif
Arti klinis adalah sedang atau pernah terinfeksi dengan kuman
Mycobacterium tuberculosis.
2. Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan
Arti klinis adalah kesalahan teknik atau memang ada infeksi dengan
Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu diulang dengan konsentrasi
yang sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10 mm atau lebih berarti infeksi
dengan Mycobacterium tuberculosis. Kalau tetap 6 – 9 mm berarti cross
reaction atau BCG, kalau tetap 6 – 9 mm tetapi ada tanda – tanda lain
daritubeculosis yang jelas maka harus dianggap sebagai mungkin sering
kali infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
3. Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif.
Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
Reaksi positif palsu terhadap tuberculin dapat disebabkan oleh sensitisi
silang terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis. Reaksi silang ini
biasanya sementara selama beberapa bulan sampai beberapa tahundan
menghasilkan indurasi kurang dari 10 – 12 mm. Vaksinasi sebelumnya (BCG)
juga dapat menimbulkan reaksi terhadap uji kulit tuberculin. Sekitar setengah
dari bayi yang mendapat vaksin BCG tidak pernah menimbulkan uji kulit
tuberculin reaktif, dan reaktivitas akan berkurang 2 – 3 tahun kemudian pada
penderitayang pada mulanya memiliki uji kulit positif (Alattas, 2007)
- Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan
biaya lebih dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam beberapa hal
pemeriksaan radiologis memberikan beberapa keuntungan seperti tuberkulosis
pada anak – anak dan tuberculosis millier. Pada kedua hal tersebut diagnosa
dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologi dada, sedangkan pemeriksaan
sputum hampir selalu negatif. Pada anak dengan uji tuberkulin positif
dilakukan pemeriksaan radiologis. Gambaran radiologis paru yang biasanya
dijumpai pada tuberkulosis paru:
1. Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.
2. Pembesaran kelenjar paratrakeal.
3. Penyebaran milier.
4. Penyebaran bronkogen
5. Atelektasis
6. Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis pun saja tidak dapat digunakan untuk membuat
diagnosis tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya (Alatas, 2007).
- Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-
kadang meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai ( aktif ) akan
didapatkan sedikit leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit masih
normal. Laju Endap Darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali normal dan laju endap darah mulai turun kearah
normal lagi.
2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang sudah diberikan, tetapi kadang – kadang tidak mudah untuk
menemukan sputum terutama penderita yang tidak batuk atau pada anak –
anak. Padapemeriksaan sputum kurang begitu berhasil karena pada
umumnya sputum langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan fasilitas
laboratorium berteknologi yang cukup baik, yang berarti membutuhkan
biaya yang banyak Adapun bahan – bahan yang digunakan untuk
pemeriksaan bakteriologi adalah :
1. Bilasan lambung
2. Sekret bronkus
3. Sputum
4. Cairan pleura
5. Liquor cerebrospinalis
6. Cairan asites
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang – kurang nya
ditemukan tiga batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor
>6 (sama atau lebih dari 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat
pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang dari 6 tetapi
secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi
lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan dll (Alatas,
2007).
H. Diagnosis Banding
1. Pneumonia
2. Abses paru
3. Kanker paru
4. Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi.
I.Pencegahan
1.Vaksinasi BCG
Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil
tuberkulosis yang virulen. Imunitas timbul 6 – 8 minggu setelah pemberian
BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga masih mungkin
terjadi super infeksi meskipun biasanya tidak progresif dan menimbulkan
komplikasi yang berat.
2.Kemoprofilaksis
a. Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi
(uji tuberkulin negatif) tetapi kontak dengan penderita TB aktif.
Obat yang digunakan adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 2 –
3 bulan.
b. Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji
tuberkulin positif tanpa gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi
memiliki faktor resiko menjadi TB aktif, obat yang digunakan
adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 6 –12 bulan (Rahajoe,
2007).
J.Penatalaksanaan
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup
adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik
untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata
walaupun gambaran radiologic tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT
tetap dihentikan.
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/ intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan
dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada
anak dapat diberikan setiap hari, baik pada intensif maupun tahap lanjutan.
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan
dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan.
Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z), sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin dan isoniazid.
Nama Dosis (mg/kgBB/hari) Dosis maksimal
(mg/hari)
Paduan OAT disediakan dalam bentuk kombinasi dosis tetap = KDT. Tablet
KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu :
- Tablet RHZ yang merupakan kombinasi dari R (Rifampisin), H (Isoniazid),
dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
- Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut.
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
B. Saran
1. Mahasiswa lebih menggali permasalahan yang ada di Puskesmas Rawalo
2. Bahasan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan berikutnya dalam
melaksanakan evaluasi program TB khususnya di Puskesmas Rawalo.
3. Memberikan edukasi kepada pasien TB untuk mengambil obat tepat waktu
dalam pengambilan OAT ke Puskesmas Rawalo.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman, Arvin, et al. 2008. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku
2, EGC 2008, hal 1028 – 1042.
WHO Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,
Jakrta : WHO Indonesia; 2009;113-118
Alatas, Dr. Husein et al. 2007 lmu Kesehatan Anak, edisi ke 7, buku 2, Jakarta;
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2007, hal 573 – 761