Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KEGIATAN

LAPORAN F1. UPAYA PROMOSI KESEHATAN

Topik : Penyuluhan Tuberkulosis

Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus sebagai bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia di Puskesmas Cebongan
Kota Salatiga

Disusun Oleh:
dr. Taqiudin Miftakhurrohman

Periode April 2019 – Juli 2019


Internsip Dokter Indonesia Kota Salatiga
Periode November 2018 - November 2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM)


Laporan F1. UPAYA PROMOSI KESEHATAN

Topik:
PENYULUHAN PENYAKIT TUBERKULOSIS

Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter internsip sekaligus sebagai
bagian dari persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia di Puskesmas
Cebongan Kota Salatiga

Telah diperiksa dan disetujui pada tanggal Mei 2019

Mengetahui,
Dokter Internship, Dokter Pendamping

dr. Taqiudin Miftakhurrohman dr. Galuh Ajeng Hendrasti


NIP. 19821014 201001 2 017

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN


Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehatan yang dapat
menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) (Aditama, 2002).
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat TB di seluruh dunia (Depkes RI, 2006).
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah
India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian
sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000
penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2012).
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 1990
dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases (IUATLD) yang dikenal
sebagai strategi Directly observed Treatment Short-course (DOTS) secara ekonomis paling
efektif (cost-efective), strategi ini juga berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut
strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat
atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya
semua kuman dapat dibunuh
.
B. PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI
Dalam upaya promosi kesehatan, yaitu dengan melakukan intervensi berupa
memberikan pemahaman kepada santri Pondok Pesantren mengenai penyakit Tuberkulosis
(TBC) dikarenakan memiliki faktor risiko untuk mengalami penyakit tersebut. Pelaksanaan
kegiatan direncanakan dalam bentuk penyuluhan. Sasaran peserta adalah santri Pondok
Pesantren An-Nida, Salatiga yang termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Cebongan.
Penyuluhan dilakukan dengan memberikan pengarahan tentang penyebab, gejala,
penularan, dan pencegahan penyakit Tuberkulosis. Setelah penyuluhan direncanakanakan
dilakukan diskusi terbuka antara peserta dan pemateri dan post test untuk mengevaluasi
pemahaman peserta.

2
C. PELAKSANAAN
Penyuluhan dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan dari Puskesmas Cebongan yang
dilaksanakan di Ruang Aula Pondok Pesantren An-Nida pada tanggal 29 April 2019.
Penyuluhan mengenai tuberkulosis dilaksanakan pada pukul 18.00 WIB dan berakhir pada
pukul 19.30 WIB. Pada penyuluhan ini disampaikan materi tentang tuberkulosis, meliputi :
1. Pengertian penyakit Tuberkulosis
2. Penyebab penyakit Tuberkulosis
3. Gejala penyakit Tuberkulosis
4. Penularan penyakit Tuberkulosis
5. Pencegahan dan penanganan penyakit Tuberkulosis

D. MONITORING DAN EVALUASI


1. Kegiatan : Penyuluhan di Ruang Aula Pondok Pesantren An-Nida pada tanggal 29 April
2019.
2. Sasaran : Santri pondok pesantren An-Nida Salatiga
3. Monitoring :
Penyuluhan mengenai tuberculosis diikuti oleh santri pondok pesantren An-Nida,
Salatiga. Acara berjalan dengan baik dan lancar. Para peserta menyimak dengan baik
penjelasan tentang tuberkulosis, dan berperan aktif pada sesi diskusi tanya jawab
dilakukan setelah penyuluhan.
4. Evaluasi :
Sebagian besar peserta sudah dapat memahami mengenai pengertian, penyebab,
diagnosis klinis, penularan, serta pencegahan dan penanganan untuk tuberkulosis

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TUBERKULOSIS
1. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis dikenal orang awam dengan sebutan TBC,
, paru-paru basah, flek paru dll. Bakteri TB paling sering menyerang paru-paru tetapi
juga dapat menyerang organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening tulang, otak,
kulit dll. TB bukan penyakit keturunan atau guna-guna (Kemenkes RI, 2011).
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda sugestif TB (WHO pada
tahun 2013 merevisi istilah “suspek TB” menjadi “presumtif / terduga TB”). Gejala
umum TB adalah batuk produktif lebih dari dua minggu yang disertai gejala
pernapasan seperti sesak napas, nyeri dada, batuk darah dan / atau gejala tambahan
seperti menurunnya nafsu makan, menurun berat badan, keringat malam dan mudah
lelah (Kemenkes RI, 2013).
Definisi kasus TB adalah sebagai berikut:
a. Kasus TB definitif adalah kasus dengan salah satu dari spesimen biologis
positif dengan pemeriksaan mikroskopis apusan dahak, biakan atau diagnostik
cepat yang telah disetujui oleh WHO (seperti Xpert MTB/RIF). (Pada revisi
guideline WHO tahun 2013 definisi kasus TB definitif ini direvisi menjadi
kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis).
b. Kasus TB diagnosis klinis adalah kasus TB yang tidak dapat memenuhi
kriteria konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan maksimal tetapi
ditegakkan diagnosis TB aktif oleh klinisi yang memutuskan untuk
memberikan pengobatan TB berdasarkan foto toraks abnormal, histologi
sugestif dan kasus ekstraparu. Kasus yang ditegakkan diagnosis secara klinis
ini bila kemudian didapatkan hasil bakteriologis positif (sebelum dan setelah
pengobatan) harus diklasifikasikan kembali sebagai kasus TB dengan
konfirmasi bakteriologis (Kemenkes RI, 2013).

2. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru


Berikut ini beberapa faktor risiko menderita TB paru yakni:
a. Jenis Kelamin
4
Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir tidak ada
perbedaan di antara anak laki-laki dan perempuan sampai pada umur pubertas.
b. Status Gizi
Telah terbukti bahwa malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga
akan menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit termasuk TB. Faktor ini
sangat berperan pada negara-negara miskin dan tidak mengira usia
c. Sosioekonomi
Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari kalangan
sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan pemukiman yang terlampau
padat sangat potensial dalam penyebaran penyakit TB.
d. Pendidikan
Rendahnya pendidikan seseorang penderita TB dapat mempengaruhi seseorang
untuk mencari pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa penelitian yang
menyimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai pendidikan rendah akan
berpeluang untuk mengalami ketidaksembuhan 5,5 kali lebih besar berbanding
dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
e. Faktor-faktor lain
Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan faktor yang penting dapat
menurunkan daya tahan tubuh. (Danusantoso, H, 2012).

Gambar 2.1. Faktor Risiko Kejadian TB

5
3. Cara Penularan Tuberkulosis Paru
Penderita tuberkulosis yang menular adalah penderita dengan basil tuberkulosis
di dalam dahaknya dan bila mengadakan ekspirasi paksa berupa batu-batuk, bersin,
ketawa, akan menghembuskan keluar percikan-percikan dahak halus (droplet nuclei),
yang berukuran kutang dari 5 mikron dan akan melayang-layang di udara. Droplet
nuclei ini mengandung basil tuberkulosis. Bakteri dalam droplet nuclei akan segera
dikeluarkan oleh gerakan cilia selaput lendir saat masuk trakea dan bronkus. Namun,
jika berhasil masuk sampai ke dalam alveolus ataupun menempel pada mukosa
bronkeolus, droplet nuclei akan menetap dan basilnya akan mendapat kesempatan
untuk berkembang biak setempat.
Beberapa faktor yang dapat memengaruhi transmisi ini. Pertama-tama ialah
jumlah basil dan virulensinya. Dapatlah dimengerti bahwa makin banyak basil di dalam
dahak seorang penderita, makin besarlah bahaya penularan. Dengan demikian, para
penderita dengan dahak yang sudah positif pada pemeriksaan dengan mikroskop akan
jauh lebih berbahaya dari mereka yang baru positif pada perbenihannya, yang jumlah
basilnya di dalam dahak jauh lebih sedikit.Cara batuk memegang peranan penting.
Kalau batuk ditahan, hanya akan dikeluarkan sedikit basil, apalagi kalau pada saat batuk
penderita menutup mulut dengan kertas tissue.
Faktor lain ialah cahaya matahari dan ventilasi. Karena basil tuberkulosis tidak
tahan cahaya matahari, kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil.
Sementara itu dengan adanya pertukaran udara melalui ventilasi dari dalam rumah
dengan udara segar dari luar, dapat juga mengurangi bahaya penularan bagi penghuni-
penghuni lain yang serumah. (Danusantoso, H, 2012).

4. Diagnosis Tuberkulosis Paru


a. Anamnesis Tuberkulosis Paru
Keluhan seorang penderita tuberkulosis sangat bervariasi, mulai dari sama
sekali tak ada keluhan sampai dengan keluhan-keluhan yang serba lengkap. Pada
umumnya keluhan-keluhan ini dapat dibagi menjadi (Danusantoso, H., 2012).
1) Keluhan utama
- Batuk dengan atau tanpa dahak.
- Batuk darah.
- Sesak napas.
- Nyeri dada.
6
2) Keluhan tambahan
- Panas badan
- Keringat malam
- Berat badan menurun
- Cepat lelah
Keluhan-keluhan tersebut dapat berdiri sendiri atau didapatkan bersama-sama.
Makin banyak keluhan-keluhan ini didapatkan, makin besar kemungkinan tuberkulosis.
Departmen Kesehatan, dalam pemberantasan tuberkulosis di Indonesia, menentukan
anamnesis ‘resmi’ lima keluhan utama tuberkulosis, yaitu batuk-batuk lama (lebih dari
2 minggu), batuk darah, sesak, panas badan, dan nyeri dada (Danusantoso, H., 2012).

b. Pemeriksaan Fisik Tuberkulosis Paru


- Inspeksi : Konjungtiva mata pucat., Badan tampak kurus dan lemah.
- Palpasi : Suhu badan demam (subfebris).
- Perkusi : Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan suara
redup, Bila terdapat kavitas yang cukup besar, akan memberikan suara yang
hipersonor atau timpani.
- Auskultasi: Terdapat suara napas bronkial bila dicurigai adanya infiltrat. Akan
didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring,
Tetapi bila infiltrat diliputi oleh penebalan pleura, maka suara napasnya menjadi
vesikuler melemah, dan Akan memberikan suara amforik bila terdapat kavitas
yang cukup besar (Danusantoso, H., 2012).
c. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit satu
spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi TB
atau bukti klinis sesuai TB. (Kemenkes RI, 2013).
WHO merekomendasi pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan / atau
isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan:
- Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan pada
pasien dengan riwayat gagal terapi
- Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang
tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat.
- Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.
7
- Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.
(Kemenkes RI, 2013).
WHO juga merekomendasi uji resistensi obat selama pengobatan
berlangsung pada situasi berikut ini:
Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif pada akhir
fase intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA pada bulan berikutnya.
Jika hasil apusan BTA tersebut masih positif maka biakan M. tuberculosis dan uji
resistensi obat atau pemeriksaan Xpert MTB/RIF harus dilakukan (Kemenkes RI,
2013).

Gambar 2.3. Algoritma Diagnosis TB

8
Metode konvensional uji resistensi obat
WHO mendukung penggunaan metode biakan media cair dan identifikasi M.
tuberculosis cara cepat dibandingkan media padat saja. Metode cair lebih sensitif
mendeteksi mikobakterium dan meningkatkan penemuan kasus sebesar 10%
dibandingkan media padat di samping lebih cepat memperoleh hasil sekitar 10 hari
dibandingkan 28-42 hari dengan media padat (Kemenkes RI, 2013).

Metode cepat uji resistensi obat (uji diagnostik molekular cepat)


Xpert assay dapat mengidentifikasi M. tuberculosis dan mendeteksi resisten
rifampisin dari dahak yang diperoleh dalam beberapa jam. Akan tetapi konfirmasi
TB resisten obat dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan sebagai
baku emas (gold standard). Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan
kebutuhan metode biakan dan uji resistensi obat konvensional yang penting untuk
menegakkan diagnosis definitif TB pada pasien dengan apusan BTA negatif dan uji
resistensi obat untuk menentukan kepekaan OAT lainnya selain rifampisin
(Kemenkes, 2013).

5. Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru


Adapun tujuan pengobatan tuberkulosis paru adalah :
- Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas.
- Mencegah kematian karena penyakit tuberkulosis aktif atau efek lanjutannya.
- Mencegah kekambuhan.
- Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain.
- Mencegah terjadinya resistensi obat (Kemenkes, 2013).
Obat antituberkulosis (OAT) harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua
obat bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Dasar pemberian obat ganda
adalah karena selalu ditemukan kuman yang sejak semula resisten terhadap salah satu
obat pada populasi kuman yang sensitif.
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: isoniazid (H), rifampisin (R),
pirazinamid (Z), streptomisin (S), dan etambutol (E).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip – prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis teapt sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (Fixed Dose Combination-
9
FDC) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien
menelan obta, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Tabel 2.1 Pengelompokan OAT Golongan dan Jenis Obat


Golongan dan Jenis Obat
Golongan -1 Obat Lini Isoniazid (H) Pyrazinamide (Z)
Pertama Ethambutol (E) Rifampicin (R)
Streptomycin (S)
Golongan -2/ obat suntik/ Kanamycin (Km) Amikacin (Am)
suntikan lini kedua Capreomycin (Cm)
Golongan -3/ Golongan Ofloxacin (Ofx) Moxifloxacin
Floroquinolone Levolfloxacin
(Lfx)
Golongan -4/ Obat Ethionamide (Eto) Para amino salsilat
bakteriostatik lini kedua Prothionamide (PAS)
(Pto) Terizidone (Trd)
Cycloserine (Cs)
Golongan -5/ Obat yang Clofazimine (Cfz) Thiocetazone (Thz)
belum terbukti efikasinya Linezolid (Lzd) Clarithromycin (Clr)
dan tidak Amoxilin – Imipenem (lpm)
direkomendasikan oleh Clavulanate (Amx-
WHO Clv)
Sumber: K, Kendall, 2013.

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjut.
1) Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resisten obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

10
2) Tahap lanjut
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
b. Pada tahap lanjutan pasien untuk kekambuhan untuk membunuh kuman persisten
sehingga

Paduan OAT yang digunakan


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah:
1) Kategori 1: 2 (HRZE) / 4 (HR)3.
2) Kategori 2: 2 (HRZE)S/(HRZE) /5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini,
disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
3) Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri
dari AT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide,
sikloserin, dan PAS, serta OAT lini -1, yaitu pirazinamid dan etambutol.

Tabel 2.2 Efek Samping Obat

Sumber: Depkes RI, 2006

11
Tabel 2.3 Jenis dan Dosis Obat
Dosis yang digunakan Dosis (mg)/BB (kg)
Dosis Harian Intermiten Dosis
(mg/kg (mg/kg/ (mg/kgBB Maks
Obat BB/hari) BB/hari) /Hari) (mg) <40 40-60 >60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 - 750 1000 1500
E 15-20 15 30 - 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB
Sumber: K, Kendall, 2013.

Tabel 2.4 Dosis Obat Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap Kategori I


Berat Badan Tahap Intensif setiap Tahap Lanjutan 3 kali seminggu
hari selama 56 hari selama 16 minggu RH (150/150)
RHZE
(150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber: K, Kendall, 2013.

Tabel 2.5 Dosis Obat Antituberkulosis Kombipak Kategori II


Dosis per hari / kali
Tahap Lama
Pengob pengo Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
atan batan Isoniazid Rifampisi Pirazinam Etambu hari/kal
@300 mg n @450 id @500 tol i
mg mg @250 menela
mg n obat
Intensif 2 1 1 3 3 56
bulan
Lanjuta 4 2 1 - - 48
n bulan
Sumber: K, Kendall, 2013.

12
Tabel 2.6 Dosis Obat Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap Kategori II
Tahap Intensif setiap hari Tahap Lanjutan
RHZE (150/75/400/275) + S 3 kali seminggu
Berat badan RH (150/150) +
E (400)
Selama 65 hari Selama 28 hari Selama 20
minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2
500 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 3 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 3
750 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4
1000 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
71 kg 5 tab 4KDT + 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5
1000 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
Sumber: K, Kendall, 2013.

Tabel 2.7 Dosis Obat Antituberkulosis Kombipak Kategori II


Kaple Tablet
Tablet Jumlah
t Pirazi Etambutol Stre
Tahap Lama Isoniazi hari/ka
Rifam Nami Table pto
Pengob Pengo d Tablet li
Pisin d t misi
atan batan @300 @250 menela
@400 @500 @40 n
mg mg n obat
Mg mg 0mg
Tahap 2 1 1 3 3 - 0,75 56
Intensif bulan gr
(dosis
harian) 1 1 1 3 3 - - 28
bulan
Tahap
Lanjuta
n 4 2 1 - 1 2 - 60
(dosis bulan
3x
seminn
gu)
Sumber: K, Kendall, 2013

13
Menilai respons pengobatan pada pasien TB kasus baru
Pemeriksaan dahak tambahan (pada akhir bulan ketiga fase intensif sisipan)
diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA positif pada akhir fase
intensif. Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan
pada pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA masih positif pada akhir bulan
ketiga. Tujuan utamanya adalah mendeteksi kuman resisten obat tanpa harus menunggu
bulan kelima untuk mendapatkan terapi yang tepat.
Pada daerah yang tidak memiliki kapasitas laboratorium untuk biakan dan uji
resistensi obat maka pemantauan tambahan dengan apusan dahak BTA positif pada bulan
ketiga adalah pemeriksaan apusan dahak BTA pada satu bulan sebelum akhir pengobatan
dan pada akhir pengobatan (bulan keenam). Bila hasil apusan dahak BTA positif pada
bulan kelima atau pada akhir pengobatan berarti pengobatan gagal dan Kartu Berobat TB
ditutup dengan hasil “gagal” dan Kartu Berobat TB yang baru dibuka dengan tipe pasien
“pengobatan setelah gagal.” Bila seorang pasien didapatkan TB dengan strain resisten
obat maka pengobatan dinyatakan gagal kapanpun waktunya.
Pada pasien dengan apusan dahak BTA negatif (atau tidak dilakukan) pada awal
pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan kedua pengobatan maka tidak diperlukan
lagi pemantauan dahak lebih lanjut. Pemantauan dilakukan secara klinis dan berat badan
merupakan indikator yang sangat berguna.

Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat pengobatan
sebelumnya
Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya bila spesimen yang
diperoleh pada akhir fase intensif (bulan ketiga) adalah BTA positif maka biakan dahak
dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan. Bila apusan dahak BTA positif pada akhir
fase intensif maka sebaiknya dilakukan kembali apusan dahak BTA pada akhir bulan
kelima dan akhir pengobatan (bulan kedelapan). Bila hasil apusan dahak bulan kelima
tetap positif maka pegobatan dinyatakan gagal. Bila laboratorium yang tersedia sudah
memiliki kapasitas yang cukup maka biakan dahak dan uji resistensi obat dilakukan pada
awal pengobatan dan bila hasil apusan dahak BTA positif saat pengobatan.
Semua kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis dan klinis harus ditempatkan
dalam kelompok hasil pengobatan berikut ini (Tabel 2.8) kecuali TB resisten rifampisin
(TB-RR) atau TB resisten obat ganda, yang ditempatkan dalam kelompok paduan obat
lini kedua.
14
Tabel 2.8 Definisi hasil pengobatan

Program Penanggulangan Tuberculosis


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan
program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short Course), yang juga telah dianut oleh negara
kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting
agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
a. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
b. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
c. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan
istilah DOT (Directly Observed Therapy)
d. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
e. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /standar

6. Pencegahan
a. Vaksinasi BCG

15
- Vaksinasi BCG tidak mencegah terjadinya TB namun dapat memberikan
perlindungan pada anak dari penyakit TB berat seperti TB selaput otak, TB
tulang atau TB millier
- Vaksinasi BCG sebaiknya diberikan pada pada umur 0 s.d. 2 bulan dan
sebaiknya ditunda bila ibu dalam pengobatan TB atau sakit TB.
b. PP INH
- Anak yang kontak dengan pasien TB memiliki risiko untuk terinfeksi TB dan
menjadi TB laten. Risiko ini akan semakin meningkat jika kasus indeks adalah
ibu atau orang yang mengasuh anak tersebut.
- TB laten pada anak, bila tidak diberi pengobatan pencegahan, memiliki risiko
lebih besar menjadi sakit TB.
- Jika sakit TB, anak berisiko lebih tinggi untuk menderita TB berat seperti
meningitis TB dan TB milier dengan risiko kematian yang tinggi
- Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan untuk
mencegah TB laten pada anak menjadi sakit TB
- Efek perlindungan PP INH dengan pemberian selama 6 bulan dapat
menurunkan risiko TB pada anak tersebut dimasa datang.
- PP INH diberikan pada anak usia kurang dari 5 tahun yang kontak pasien TB
atau pada anak terinfeksi (Kemenkes RI, 2011)

16
DAFTAR PUSTAKA

Aditama T Y, 2002. Manajemen Administrasi Rumah Sakit Edisi II. Jakarta: UI Press

Danusantoso, H., 2012. Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam Edisi 2. Jakarta: EGC

Depkes RI, 2006. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI

Tao L dan Kendall K, 2013. Sinopsis Organ Pulmonologi: Pendekatan dengan Sistem
Terpadu dan Disertai Kumpulan Kasus Klinik, diterjemahkan oleh Gunardi S,
Hartono A, Gunawijaya F, Angerng, Widowati H. Jakarta: Karisma Publishing
Group

Kemenkes RI, 2011. Lembar Balik TOSS TB. Jakarta: Kemenkes RI

Kemenkes RI, 2013. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI

World Health Organization. 2012. Global Tuberculosis Report 2012.

Anda mungkin juga menyukai