Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus sebagai bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia di Puskesmas Cebongan
Kota Salatiga
Disusun Oleh:
dr. Taqiudin Miftakhurrohman
Topik:
PENYULUHAN PENYAKIT TUBERKULOSIS
Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter internsip sekaligus sebagai
bagian dari persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia di Puskesmas
Cebongan Kota Salatiga
Mengetahui,
Dokter Internship, Dokter Pendamping
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
C. PELAKSANAAN
Penyuluhan dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan dari Puskesmas Cebongan yang
dilaksanakan di Ruang Aula Pondok Pesantren An-Nida pada tanggal 29 April 2019.
Penyuluhan mengenai tuberkulosis dilaksanakan pada pukul 18.00 WIB dan berakhir pada
pukul 19.30 WIB. Pada penyuluhan ini disampaikan materi tentang tuberkulosis, meliputi :
1. Pengertian penyakit Tuberkulosis
2. Penyebab penyakit Tuberkulosis
3. Gejala penyakit Tuberkulosis
4. Penularan penyakit Tuberkulosis
5. Pencegahan dan penanganan penyakit Tuberkulosis
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TUBERKULOSIS
1. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis dikenal orang awam dengan sebutan TBC,
, paru-paru basah, flek paru dll. Bakteri TB paling sering menyerang paru-paru tetapi
juga dapat menyerang organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening tulang, otak,
kulit dll. TB bukan penyakit keturunan atau guna-guna (Kemenkes RI, 2011).
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda sugestif TB (WHO pada
tahun 2013 merevisi istilah “suspek TB” menjadi “presumtif / terduga TB”). Gejala
umum TB adalah batuk produktif lebih dari dua minggu yang disertai gejala
pernapasan seperti sesak napas, nyeri dada, batuk darah dan / atau gejala tambahan
seperti menurunnya nafsu makan, menurun berat badan, keringat malam dan mudah
lelah (Kemenkes RI, 2013).
Definisi kasus TB adalah sebagai berikut:
a. Kasus TB definitif adalah kasus dengan salah satu dari spesimen biologis
positif dengan pemeriksaan mikroskopis apusan dahak, biakan atau diagnostik
cepat yang telah disetujui oleh WHO (seperti Xpert MTB/RIF). (Pada revisi
guideline WHO tahun 2013 definisi kasus TB definitif ini direvisi menjadi
kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis).
b. Kasus TB diagnosis klinis adalah kasus TB yang tidak dapat memenuhi
kriteria konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan maksimal tetapi
ditegakkan diagnosis TB aktif oleh klinisi yang memutuskan untuk
memberikan pengobatan TB berdasarkan foto toraks abnormal, histologi
sugestif dan kasus ekstraparu. Kasus yang ditegakkan diagnosis secara klinis
ini bila kemudian didapatkan hasil bakteriologis positif (sebelum dan setelah
pengobatan) harus diklasifikasikan kembali sebagai kasus TB dengan
konfirmasi bakteriologis (Kemenkes RI, 2013).
5
3. Cara Penularan Tuberkulosis Paru
Penderita tuberkulosis yang menular adalah penderita dengan basil tuberkulosis
di dalam dahaknya dan bila mengadakan ekspirasi paksa berupa batu-batuk, bersin,
ketawa, akan menghembuskan keluar percikan-percikan dahak halus (droplet nuclei),
yang berukuran kutang dari 5 mikron dan akan melayang-layang di udara. Droplet
nuclei ini mengandung basil tuberkulosis. Bakteri dalam droplet nuclei akan segera
dikeluarkan oleh gerakan cilia selaput lendir saat masuk trakea dan bronkus. Namun,
jika berhasil masuk sampai ke dalam alveolus ataupun menempel pada mukosa
bronkeolus, droplet nuclei akan menetap dan basilnya akan mendapat kesempatan
untuk berkembang biak setempat.
Beberapa faktor yang dapat memengaruhi transmisi ini. Pertama-tama ialah
jumlah basil dan virulensinya. Dapatlah dimengerti bahwa makin banyak basil di dalam
dahak seorang penderita, makin besarlah bahaya penularan. Dengan demikian, para
penderita dengan dahak yang sudah positif pada pemeriksaan dengan mikroskop akan
jauh lebih berbahaya dari mereka yang baru positif pada perbenihannya, yang jumlah
basilnya di dalam dahak jauh lebih sedikit.Cara batuk memegang peranan penting.
Kalau batuk ditahan, hanya akan dikeluarkan sedikit basil, apalagi kalau pada saat batuk
penderita menutup mulut dengan kertas tissue.
Faktor lain ialah cahaya matahari dan ventilasi. Karena basil tuberkulosis tidak
tahan cahaya matahari, kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil.
Sementara itu dengan adanya pertukaran udara melalui ventilasi dari dalam rumah
dengan udara segar dari luar, dapat juga mengurangi bahaya penularan bagi penghuni-
penghuni lain yang serumah. (Danusantoso, H, 2012).
8
Metode konvensional uji resistensi obat
WHO mendukung penggunaan metode biakan media cair dan identifikasi M.
tuberculosis cara cepat dibandingkan media padat saja. Metode cair lebih sensitif
mendeteksi mikobakterium dan meningkatkan penemuan kasus sebesar 10%
dibandingkan media padat di samping lebih cepat memperoleh hasil sekitar 10 hari
dibandingkan 28-42 hari dengan media padat (Kemenkes RI, 2013).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjut.
1) Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resisten obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
10
2) Tahap lanjut
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
b. Pada tahap lanjutan pasien untuk kekambuhan untuk membunuh kuman persisten
sehingga
11
Tabel 2.3 Jenis dan Dosis Obat
Dosis yang digunakan Dosis (mg)/BB (kg)
Dosis Harian Intermiten Dosis
(mg/kg (mg/kg/ (mg/kgBB Maks
Obat BB/hari) BB/hari) /Hari) (mg) <40 40-60 >60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 - 750 1000 1500
E 15-20 15 30 - 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB
Sumber: K, Kendall, 2013.
12
Tabel 2.6 Dosis Obat Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap Kategori II
Tahap Intensif setiap hari Tahap Lanjutan
RHZE (150/75/400/275) + S 3 kali seminggu
Berat badan RH (150/150) +
E (400)
Selama 65 hari Selama 28 hari Selama 20
minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2
500 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 3 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 3
750 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4
1000 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
71 kg 5 tab 4KDT + 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5
1000 mg tab Etambutol
Streptomisin inj.
Sumber: K, Kendall, 2013.
13
Menilai respons pengobatan pada pasien TB kasus baru
Pemeriksaan dahak tambahan (pada akhir bulan ketiga fase intensif sisipan)
diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA positif pada akhir fase
intensif. Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan
pada pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA masih positif pada akhir bulan
ketiga. Tujuan utamanya adalah mendeteksi kuman resisten obat tanpa harus menunggu
bulan kelima untuk mendapatkan terapi yang tepat.
Pada daerah yang tidak memiliki kapasitas laboratorium untuk biakan dan uji
resistensi obat maka pemantauan tambahan dengan apusan dahak BTA positif pada bulan
ketiga adalah pemeriksaan apusan dahak BTA pada satu bulan sebelum akhir pengobatan
dan pada akhir pengobatan (bulan keenam). Bila hasil apusan dahak BTA positif pada
bulan kelima atau pada akhir pengobatan berarti pengobatan gagal dan Kartu Berobat TB
ditutup dengan hasil “gagal” dan Kartu Berobat TB yang baru dibuka dengan tipe pasien
“pengobatan setelah gagal.” Bila seorang pasien didapatkan TB dengan strain resisten
obat maka pengobatan dinyatakan gagal kapanpun waktunya.
Pada pasien dengan apusan dahak BTA negatif (atau tidak dilakukan) pada awal
pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan kedua pengobatan maka tidak diperlukan
lagi pemantauan dahak lebih lanjut. Pemantauan dilakukan secara klinis dan berat badan
merupakan indikator yang sangat berguna.
Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat pengobatan
sebelumnya
Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya bila spesimen yang
diperoleh pada akhir fase intensif (bulan ketiga) adalah BTA positif maka biakan dahak
dan uji resistensi obat sebaiknya dilakukan. Bila apusan dahak BTA positif pada akhir
fase intensif maka sebaiknya dilakukan kembali apusan dahak BTA pada akhir bulan
kelima dan akhir pengobatan (bulan kedelapan). Bila hasil apusan dahak bulan kelima
tetap positif maka pegobatan dinyatakan gagal. Bila laboratorium yang tersedia sudah
memiliki kapasitas yang cukup maka biakan dahak dan uji resistensi obat dilakukan pada
awal pengobatan dan bila hasil apusan dahak BTA positif saat pengobatan.
Semua kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis dan klinis harus ditempatkan
dalam kelompok hasil pengobatan berikut ini (Tabel 2.8) kecuali TB resisten rifampisin
(TB-RR) atau TB resisten obat ganda, yang ditempatkan dalam kelompok paduan obat
lini kedua.
14
Tabel 2.8 Definisi hasil pengobatan
6. Pencegahan
a. Vaksinasi BCG
15
- Vaksinasi BCG tidak mencegah terjadinya TB namun dapat memberikan
perlindungan pada anak dari penyakit TB berat seperti TB selaput otak, TB
tulang atau TB millier
- Vaksinasi BCG sebaiknya diberikan pada pada umur 0 s.d. 2 bulan dan
sebaiknya ditunda bila ibu dalam pengobatan TB atau sakit TB.
b. PP INH
- Anak yang kontak dengan pasien TB memiliki risiko untuk terinfeksi TB dan
menjadi TB laten. Risiko ini akan semakin meningkat jika kasus indeks adalah
ibu atau orang yang mengasuh anak tersebut.
- TB laten pada anak, bila tidak diberi pengobatan pencegahan, memiliki risiko
lebih besar menjadi sakit TB.
- Jika sakit TB, anak berisiko lebih tinggi untuk menderita TB berat seperti
meningitis TB dan TB milier dengan risiko kematian yang tinggi
- Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan untuk
mencegah TB laten pada anak menjadi sakit TB
- Efek perlindungan PP INH dengan pemberian selama 6 bulan dapat
menurunkan risiko TB pada anak tersebut dimasa datang.
- PP INH diberikan pada anak usia kurang dari 5 tahun yang kontak pasien TB
atau pada anak terinfeksi (Kemenkes RI, 2011)
16
DAFTAR PUSTAKA
Aditama T Y, 2002. Manajemen Administrasi Rumah Sakit Edisi II. Jakarta: UI Press
Danusantoso, H., 2012. Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam Edisi 2. Jakarta: EGC
Tao L dan Kendall K, 2013. Sinopsis Organ Pulmonologi: Pendekatan dengan Sistem
Terpadu dan Disertai Kumpulan Kasus Klinik, diterjemahkan oleh Gunardi S,
Hartono A, Gunawijaya F, Angerng, Widowati H. Jakarta: Karisma Publishing
Group