Anda di halaman 1dari 8

3.2.

Spondilitis TB
Spondilitis tuberculosis (TB) adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada
tulang belakang. Spondilitis TB sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius,
termasuk defi sit neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen. Diagnosis
dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai neoplasma spinal
atau spondilitis piogenik lainnya. Diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium
lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang yang berat dan defisit neurologis
yang bermakna seperti paraplegia.
Pada tahun 2005, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa
jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara
global), termasuk Indonesia. Satu hingga lima persen penderita TB, mengalami TB
osteoartikular. Separuh dari TB osteoartikular adalah spondilitis TB. Penderita TB di
Negara berkembang yang berusia muda diketahui lebih rentan terhadap spondilitis TB
daripada usia tua. Sedangkan di negara maju, usia munculnya spondylitis TB biasanya
pada dekade kelima hingga keenam

3.2.1 Patofisiologi
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen
melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang
sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer di
paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil). Dari paru, kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus venosus
paravertebral Batson.
Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan inflamasi paradiskus.
Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang dan
osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan tulang,
sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi dan tarikan otot
torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder akibat
tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada vertebra
torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka lesi kompresi
lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan vertebra sehingga badan vertebra
bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian posterior. Resultan dari hal-hal
tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang sering disebut
sebagai gibbus.
Cold abscess dapat terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas
(disebut juga abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari
akumulasi produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar
dibentuk dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil. Abses di daerah
lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga kemudian membentuk
traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal atau region gluteal.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi
akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara
langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui
meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupying lesion

3.2.2 Tanda dan Gejala


Keluhan Spondilitis TB dapat tanpa nyeri. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri
lokal tidak spesifik pada daerah vertebra yang terinfeksi. Demam subfebril, menggigil,
malaise, berkurangnya berat badan atau berat badan tidak sesuai umur pada anak yang
merupakan gejala klasik TB paru juga terjadi pada pasien dengan spondilitis TB. Temuan
fisik meliputi nyeri lokal, otot kejang, dan gerak terbatas. Pasien juga mungkin memiliki
deformitas tulang belakang dan defisit neurologis. Keluhan dapat seperti paraplegia,
kyphosis, dan draining sinuses. Mungkin dapat juga didapatkan abses di salah satu dari
banyak lokasi termasuk selangkangan dan pantat.
Paraplegia pada spondylitis TB (Potts paraplegia) hanya terjadi pada 4 38
persen penderita. Insidensi paraplegia lebih tinggi dngan spondylitis di vertebra dan
servikal
Potts paraplegia dibagi menjadi dua jenis:
a. Paraplegia onset cepat (early-onset)
Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama.
Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau
proses infeksi.
b. Paraplegia onset lambat (late-onset)
Paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-
tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan
fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang terlibat.
Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik (gibbus). Pada vertebra
servikal dan lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior badan
vertebra sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra
servikal dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan mulai menjadi kifosis.

Gambar 1. Gibbus
3.2.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium memberikan hasil peningkatan laju endap


darah (LED) dan tuberculin tes positif

2. Foto Polos
Foto polos vertebra menunjukkan gambaran destruksi korpus vertebra
terutama di bagian anterior, kolaps vertebra, diskus intervertebralis
menyempit bahkan hancur, juga gambaran abses paravertebral, berupa
bayangan di daerah paravertebra.

Gambar 2 Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis


TB. Sinar-X memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya
ketinggian dari badan vertebra T9 (tanda bintang), serta
juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar, yang
merupakan cold abscess (panah putih).

3. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi
badan vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis
spinalis. CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula
spinalis apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI. CT scan dapat juga berguna
untuk memandu tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan
jaringan tulang
Gambar 3. Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial
setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah
hitam), edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula spinalis
(panah kecil putih), dan abses psoas (panah putih besar)

4. MRI
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak.
Kondisi badan vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang,
termasuk abses paraspinal dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini.
Pencitraan ini juga dapat membedakan antara tuberculosis dengan piogenik

Gambar 4 Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB.


Terlihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 menyebabkan kifosis berat
(gibbus),infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis spinalis,
dan penjepitan medula spinalis.

3.2.4 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan untuk eradikasi infeksi, mencegah atau memperbaiki
defisit neurologi dan deformitas tulang belakang. Penatalaksanaan primer adalah
medikamentosa yang utamanya yaitu obat anti tuberculosis (OAT).
a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
Pasien TB paru terdiagnosis klinis
Pasien TB ekstra paru

Tabel 1. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1

Tabel 2. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya
(pengobatan ulang):
Pasien kambuh
Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Tabel 4. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3


Penatalaksanaan nyeri akut dapat diberikan antiinflamasi nonsteroid, inhibitor
COX-2, opioid lemah (kodein dan tramadol). Bila masih nyeri dapat diberikan opioid
yang kuat (morfin dan oksikodon). Bila timbul nyeri kronik dapat diberikan antidepresan
trisiklik atau anti konvulsi. Fisioterapi dapat digunakan untuk terapi tambahan mengatasi
nyeri dengan melakukan pemanasan, pendinginan, terapi ultrasound, massotheraphy,
TENS, dan akupunktur. Kadang diperlukan konseling psikologi.

Tindakan operatif dilakukan pada pasien bila terdapat defisit neurologi,


deformitas vertebra dengan instabilitas, tidak respon terhadap terapi medikamentosa,
tidak patuh meminum obat, dan diagnostik belum jelas. Tindakan operatif
dikontraiindikasikan jika prolaps tulang vertebra tidak besar (korpus vertebra kolaps
<50% atau deformitas vertebra kurang dari 5o)

DAFTAR PUSTAKA

Bagian Neurologi. 2014. Neurologi untuk Dokter Umum. Surakarta: Sebelas Maret University
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI
Zuwanda dan Janitra Raka. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis.
CDK-208/ vol. 40 no. 9

Anda mungkin juga menyukai