Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

1. ANAMNESIS

IDENTIFIKASI
Nama : Tn. SD
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 43 tahun
Alamat : Wasaga
Status perkawinan : Menikah
Tanggal kunjungan : 29 Mei 2021

KELUHAN UTAMA
Sesak nafas sejak 6 jam yang lalu.

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT

Pasien baru masuk datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas


sejak kurang lebih 6 jam yang lalu, sesak timbul saat cuaca dingin dan
aktifitas berat, tidak dipengaruhi oleh posisi. Sesak sudah sering
berulang sejak pasien masih muda. Batuk (+) berdahak (+) berwarna
putih, encer, darah (-) nyeri dada (-).
Pasien mengatakan sering terbangun malam hari karena sesak.
Pasien biasanya memakai semprot lewat mulut dalam 2 bulanan
belakangan ini. Keluhan lain : demam (-). Pusing (-),mual (-), muntah (-),
nyeri perut (-). Riwayat merokok (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


- Riwayat asma (+).
- Riwayat alergi dingin (+)

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


 Riwayat penyakit asma dalam keluarga ada (ibu dan adik pasien).

2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 132/78 mmHg
Nadi : 108 kali/menit, reguler, kuat angkat.
Pernapasan : 32 kali/menit, cepat, dan dangkal
Temperatur : 36,9 ºC
KEADAAN SPESIFIK
Kulit
Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), keringat
umum (+), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), pertumbuhan rambut
normal.

Kepala
Normosefali, bentuk oval, simetris, deformitas (-), ekspresi tampak sakit
sedang.

Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-).

Hidung
Epistaksis (-)

Mulut
Sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah kotor (-), atrofi papil (-), stomatitis (-).

Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP (5-2) cmH 2O.
Thorax
- Paru
Inspeksi : Bentuk thorax: simetris kanan = kiri;
Gerakan dada: simetris kanan = kiri,
retraksi dinding dada (+).
Palpasi : stemfremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru.
Auskultasi : vesikuler (+) ekspirasi memanjang, ronkhi (-), wheezing (+)
ekspirasi pada kedua lapangan paru.
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas kanan : linea sternalis dekstra.
Batas kiri : linea midclavicularis sinistra ICS V.
Batas atas : ICS II.
Auskultasi : HR= 108 kali/menit, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal, undulasi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-).
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

Genital
Tidak dilakukan pemeriksaan.

Ekstremitas
Ekstremitas atas : Palmar eritem (-) kiri dan kanan, nyeri sendi (-), CRT <
2 dtk.
Ekstremitas bawah : Nyeri sendi (-), kekuatan +5, gerakan bebas, edema
pretibial (-), CRT < 2 dtk.
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Darah rutin
Hemoglobin 13.4 8,0-17.0 g/dl
WBC 3,85 3 – 15 Ribu
RBC 4.74 2.50 – 5.50 Juta
Hematokrit 41.6 26-50 %
Trombosit 279 50 - 400 Ribu
MCV 85.4 82 – 98 Mikro m3
MCH 25.6 >= 27 Pg
MCHC 32.9 32 – 36 g/dl
Kimia Darah
GDS 145 < 200 Mg/dl
LED 10 L <10; P <20 mm/Jam

Rapid antibodi Non Reaktif Non Reaktif


Rapid antigen Negatif negatif

Foto Thorax PA:


- Corakan bronchovascular kedua paru dalam batas normal.
- Cor : kesan norma, aorta normal
- Kedua sinus dan diafragma baik.
- Tulang-tulang intak
- Jaringan lunak sekitar, kesan baik
Kesan : Tidak tampak kelainan radiologic pada foto thorax

4. DIAGNOSIS KERJA
Asma Bronchiale

5. DIAGNOSIS BANDING
PPOK

6. Resume
Pasien baru masuk datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak
kurang lebih 6 jam yang lalu, sesak timbul saat cuaca dingin dan terkena
debu, tidak dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi. Sesak sudah sering
berulang sejak pasien masih muda. Batuk (+) berdahak (+) berwarna putih,
encer, darah (-) nyeri dada (-).
Pasien mengatakan sering terbangun malam hari karena sesak. Pasien
biasanya memakai semprot lewat mulut dalam 2 bulanan belakangan ini.
Keluhan lain : demam (-). Pusing (-),mual (-), muntah (-), nyeri perut (-).
Riwayat merokok (-). BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat penyakit Asma (+), riwayat alergi dingin dan debu (+), riwayat
keluarga yang memiliki keluhan yang sama (+) yaitu ibu dan adik pasien.
Pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah : 130/80 mmHg, Nadi :
83x/menit, reguler dan kuat angkat, Frekuensi Respirasi : 32x/menit cepat
dan dangkal, Suhu : 36,9 0C, pada pemeriksaan thorax didapatkan bunyi
paru vesikuler, dan terdapat bunyi tambahan wheezing di keldua lapangan
paru. Laboratorium: Hgb : 13,4, Wbc: 3,85, Rbc : 4,74, GDS :145, rapid
antigen: negatif. Foto thorax : tidak tampak kelainan radiologic pada foto
thorax

7. PENATALAKSANAAN
- Non Farmakologi :
 Istirahat
 Menghindari faktor pencetus
- Farmakologi
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- O2 Nasal Canul 3 liter/menit
- Nebulisasi dengan forbivent ulangi hingga 3x bila masih sesak.
- Inj. Dexamethasone 1 amp/iv
- Inj. Metilprednisolon 125 mg/iv
- Salbutamol 3 x 2 mg
- Ambroxol sirup 3x1 cth
- Observasi

I. FOLLOW UP
Tangga
S O A P
l

29 Mei sesak nafas (+) KU : tampak Asma  IVFD NaCl 0,9% 20


2021 sejak 6 jam SMRS, sakit sedang, Bronkhial tpm
sesak muncul saat CM  O2 Nasal Canul 3
cuaca dingin dan TD : 132/78 liter/menit
terkena debu,. Batuk  Nebulisasi dengan
N: 108
(+) berdahak (+) forbivent ulangi
putih (+), darah (-) P : 32 hingga 3x bila masih
nyeri dada (-), S: 36,9 sesak.
demam (-). Pusing  Inj. Dexamethasone
Kepala :
(-),mual (-), muntah 1 amp/iv
(-), nyeri perut (-). C.Anemis -/- ,  Inj. Metilprednisolon
Riwayat merokok (-). 125 mg/iv
S.Ikteric -/-
BAB dan BAK tidak  Salbutamol 3 x 2 mg
ada keluhan. Thorax :
 Ambroxol sirup 3x1
Riwayat keluhan yang SDV +/+ cth
sama (+)  observasi
Riwayat penyakit Wh(+/+),rh(-/-)
Asma (+), riwayat BJ I-II reguler
alergi dingin dan
debu (+), riwayat Abdomen :

keluarga yang perut datar,

memiliki keluhan BU (+) N. NT


yang sama (+) yaitu (-)
ibu dan adik pasien. Ekstremitas :
oedem (-)

Laboratorium
:

Hgb : 13,4

Wbc: 3,85

Rbc : 4,74

Foto Thorax:
Tidak tampak
kelainan
radiologic

30 Mei Sesak (+), batuk (+), Ku : sakit Asma  IVFD NaCl 0,9% 20
2021 BAB dan BAK baik, ringan, CM Bronkhial tpm
Nafsu makan baik.  O2 Nasal Canul 3
TD : 120/80
liter/menit
N: 82  Nebulisasi dengan
forbivent  ulangi
P : 28
hingga 3x bila masih
S: 36,8 sesak.

Thorax :  Inj. Dexamethasone


1 amp/iv
SDV +/+
 Inj. Metilprednisolon

Wh(+/+),rh(-/-) 125 mg/iv


 Salbutamol 3 x 2 mg
 Ambroxol sirup 3x1
cth
 Azithromicin 1x300
mg
31 Mei Sesak berkurang (+), Ku : sakit Asma  IVFD NaCl 0,9% 20
2021 batuk berkurang (+), sedang , CM Bronkhial tpm
BAB dan BAK baik,  Inj. Dexamethasone
TD : 110/80
Nafsu makan baik. 1 amp/iv
N: 82  Inj. Metilprednisolon
125 mg/iv
P : 24
 Ambroxol sirup 3x1
S: 37,0 cth

Thorax :  Azithromicin 1x300


mg
SDV +/+

Wh(+/+),rh(-/-)

1 Juni Sesak berkurang KU : Baik, CM Asma  - IVFD NaCl 0,9%


2021 Batuk (-) TD : 110/70 Bronkhial 20 tpm
N: 80  Inj. Metilprednisolon
P : 20 125 mg/iv
S: 36,6  Ambroxol sirup 3x1
Thorax : cth
 Azithromicin 1x300
SDV +/+
mg
Wh(+/+),rh(-/-)

2 juni Sesak (-), batuk (-) KU : Baik, CM Asma  Boleh pulang


2021 Bronkhial  Symbicort 2x1
TD : 110/70

N: 80

P : 20

S: 36,6

Thorax :

SDV +/+

Wh(-/-),rh(-/-)

Analisa kasus

Asma merupakan penyakit inflamasi saluran napas yang berhubungan


dengan hiperresponsivitas saluran napas menyebabkan penyempitan saluran
napas berlebihan karena adanya pemicu seperti virus, alergen dan aktivitas
fisik yang menyebabkan episode wheezing, kesulitan bernapas, sesak napas
dan batuk yang dapat berbeda seiiring waktu dan intensitasnya. Sedangkan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara yang irreversible. Keterbatasan aliran udara biasanya
progresif, berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel dan
udara yang berbahaya, dan paling utama disebabkan oleh rokok.
Mekanisme yang mendasari pada penyakit saluran nafas obstruktif
(asma dan PPOK) adalah inflamasi saluran nafas, obstruksi saluran nafas, dan
hiperresponsif saluran nafas. Inflamasi saluran nafas merupakan komponen
utama pada penyakit saluran nafas obstruktif. Inflamasi kronik menyebabkan
terjadinya obstruksi saluran nafas yang berhubungan dengan terjadinya
hiperresponsif saluran nafas yang ditandai dengan adanya bronkospasme,
edema mukosa, mucus plug, dan perubahan struktur saluran nafas/ remodeling
saluran nafas. Inflamasi kronik jalan nafas dibagi menjadi dua, yaitu inflamasi
eosinofilik pada asma yang diakibatkan oleh CD4 dan inflamasi netrofilik pada
PPOK yang diakibatkan oleh CD8.
Terdapat beberapa perbedaan pada asma dan PPOK. Pada PPOK,
obstruksi saluran nafas yang terjadi bersifat progresif dan irreversible atau
reversible parsial. Sedangkan pada asma, obstuksi yang terjadi bersifat
reversible. Perbedaan lain juga terdapat dari faktor usia. Pasien asma biasanya
terjadi pada usia muda, sedangkan pasien PPOK cenderung terjadi pada usia
yang lebih tua. Perbedaan lain juga ditemukan pada faktor lainnya. Pada PPOK
biasanya pasien memiliki riwayat merokok, sedangkan pada pasien asma
pasien bukan perokok tetapi memiliki riwayat atopi yang dapat ditandai dengan
peningkatan IgE.

PPOK ASMA

Umur ≥40 tahun Berbagai umur


Riwayat merokok ≥10 pak-tahun Biasanya tidak ada
Riwayat atopi Biasanya tidak ada Ada
Sakit mendadak - ++
Sesak berulang + +++
Batuk kronik berdahak ++ +
Hiperaktiviti bronkus + +++
Makrofag sputum - +
Pemfis paru Edema perifer, Wheezing expirasi
Wheezing dan ronki
Radiologi Corakan Hiperinflasi paru
bronkovaskular,kasar
Paparan biomassa Ya Biasanya tidak ada
FEV1 post Bronkodilator Jarang >12% dan Hampir selalu >12% dan
>200mL 200mL
Variabel spirometri
Pre-atau post Tidak sesuai diagnosis Sesuai diagnosis
bronkodilator (BD)
FEV1/FVC normal
Post BD FEV1/FVC <0,7 DIbutuhkan untuk Mengidnikasikan
diagnosis hambatan aliran udara
tetapi terjadi perbaikan
spontan atau dengan
terapi
Post BD FEV1 ≥80 % Sesuai klasifikasi PPOK Sesuai diagnosis
prediks ringan
Post BD FEV1 <80 % Indikator keparahan Sesuai diagnosis, faktor
prediks hambatan aliran udara resiko eksarsebasi
Post BD FEV1 Biasa jika FEV1 rendah Biasa pada asma, tetapi
meningkat ≥12% dan tidak terjadi jika
200 mL dari batas terkontrol atau sedang
bawah memakai controller
Post BD FEV1 Jarang terjadi pada Probabilitas tinggi asma
meningkat >12% dan PPOK, pertimbangan
400mL dari batas bawah diagnosis ACOS

Teori Pasien

Diagnosis
1. Anamnesa  Anamnesis

Keluhan utama penderita asma - Pada pasien ini dijumpai sesak

ialah sesak napas mendadak, sejak 6 jam SMRS, mendadak

disertai adanya riwayat atopi dalam dan berulang.

keluarga. - Keluhan sesak terjadi terutama


ketika cuaca dingin dan aktifitas
berat.
- Terdapat keluhan yang sama
dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan fase inspirasi yang - Pada pasien ini dijumpai fase

lebih pendek dibandingkan expirasi lebih panjang di

dengan fase ekspirasi, dan bandingan fase inspirasi.

diikuti bunyi mengi (wheezing). - Adanya wheezing pada kedua


lapangan paru.

Penatalaksanaan
- Non Farmakologi :
 Tujuan utama penatalaksanaan  Istirahat
asma adalah meningkatkan dan  Menghindari faktor pencetus
mempertahankan kualiti hidup agar - Farmakologi
penderita asma dapat hidup normal - IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
tanpa hambatan dalam melakukan - O2 Nasal Canul 3 liter/menit
aktivitas sehari-hari. - Nebulisasi dengan
 Pengobatan non-medikamentosa forbivent ulangi hingga 3x
- Penyuluhan bila masih sesak.
- Menghindari faktor pencetus - Inj. Dexamethasone 1 amp/iv
- Pengendali emosi - Inj. Metilprednisolon 125
- Pemakaian oksigen mg/iv
 Pengobatan ditujukan untuk - Salbutamol 3 x 2 mg
mengatasi dan mencegah gejala - Ambroxol sirup 3x1 cth
obstruksi jalan napas. - Observasi
- Kortikosteroid inhalasi
Penggunaan steroid inhalasi
menghasilkan perbaikan faal
paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan berat serangan
dan memperbaiki kualiti hidup.
- Sodium kromoglikat dan
Nedokromil sodium
Digunakan sebagai pengontrol
pada asma persisten ringan.
- Agonis beta2 kerja singkat
relaksasi otot polos saluran
napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah
dan modulasi penglepasan
mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada
serangan akut dan sangat
bermanfaat sebagai praterapi
pada exerciseinduced asthma.
LAPORAN KASUS

ASMA BRONCHIALE

Disusun Oleh:
dr. Rizky Ayu Wirdaningsi Sukur
Pembimbing:

Pendamping:
dr. Andi Faisal Panetto

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RSUD KABUPATEN BUTON
ANGKATAN I TAHUN 2021
2021

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pendahuluan
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang
ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat
penyumbatan saluran napas. Ciri-ciri klinis yang dominan pada asma
adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering
disertai batuk. Asma dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu genetik dan
lingkungan. Mengingat patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan
secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan,
dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi, dan
rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang
umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. 1
Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2011, 235 juta
orang di seluruh dunia menderita asma dengan angka kematian lebih dari
8% di negara-negara berkembang yang sebenarnya dapat dicegah. Data
World Health Organization (WHO) juga menunjukkan data yang serupa
bahwa prevalensi asma terus meningkat dalam 30 tahun terakhir terutama
di negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat
di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap
tahunnya. Pengelolaan penyakit asma meliputi terapi nonfarmakologis dan
farmakologis. Terapi nonfarmakologis dengan menghindari faktor
pencetus, menjaga kebersihan lingkungan dan rutin kontrol ke dokter.
Sedangkan terapi farmakologis dengan obat pelega maupun pengontrol
saluran nafas ada yang disemprot dan diminum. Dijelaskan kepada pasien
dan keluarga pasien bahwa terapi nonfarmakologis lebih penting dan
bermakna dari pada terapi farmakologis. Pasien diberitahu masih perlu
memperbaiki pola hidupnya dan sering kontrol asma ke Puskesmas
sebulan sekali serta meminum obat dan kurangi aktivitas fisik serta selalu
sedia obat semprot pelega dirumah. 2
Telah terjadi peningkatan kematian akibat asma termasuk pada
anak di beberapa negara pada dua dekade terakhir. Jumlah penderita
asma terus meningkat seiring dengan bertambahnya komunitas yang
mengikuti gaya hidup barat dan urbanisasi. Hal tersebut juga berhubungan
dengan peningkatan terjadinya alergi lain seperti dermatitis dan rinitis. 2

2. Epidemiologi Dan Etiologi


Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering
dijumpai pada awal kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus
diawali sebelum berumur 10 tahun dan sepertiga bagian lainnya terjadi
sebelum umur 40 tahun. Pada usia anakanak, terdapat perbandingan 2:1
untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi
sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota
dengan kota yang lain dalam negara yang sama. 3
Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %. 4,5 Atopi
merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma.
Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi
maupun keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat
pula disertai dengan reaksi kulit terhadap injeksi intradermal dari ekstrak
antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula disertai dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap tes
provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik. 4
Pada manusia alergen berupa debu rumah (tungau) marupakan
pencetus tersering dari eksaserbasi asma. Tungau-tungau tersebetut
secara biologis dapat merusak struktur daripada saluran nafas melalui
aktifitas proteolitik, yang selanjutnya menghancurkan integritas dari tight
junction antara sel-sel epitel. Sekali fungsi dari epitel ini dihancurkan,
maka alergen dan partikel lain dapat dengan mudah masuk ke area yang
lebih dalam yaitu di daerah lamina propia. Penyusun dari pada tungau-
tungau pada debu rumah ini yang memiliki aktivitas protease ini dapat
memasuki daerah epitel dan mempenetrasi daerah yang lebih dalam di
saluran pernafasan.3,5
Faktor lingkungan yang berhubungan dengan imune dan
nonimunologi juga merupakan pencetus daripada asma termasuk rokok
dan perokok pasif. Kira-kira 25% sampai 30% dari penderita asma adalah
seorang perokok. Hal ini menyimpulkan bahwa merokok ataupun terkena
asap rokok akan meningkatkan morbiditas dan keparahan penyakit dari
penderita asma. Terpapar asap rokok yang lama pada pasien asma akan
berkontribusi terhadap kerusakan dari fungsi paru, yaitu penurunan kira-
kira 18% dari FEV 1 selama 10 tahun.Pasien asma yang memiliki
kebiasaan merokok akan mempercepat terjadinya emfisema. 5

3. Gambaran Klinis Asma5


Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan
mengi. Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum,
penurunan toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik
dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi
menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial,
beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal.
Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor
pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran
nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi
munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah,
merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat
pendidikan penderita, atau pekerjaan.
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi
duduk membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua
lutut. Posisi ini didapati juga pada pasien dengan Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD). Tanda lain yang menyertai sesak napas
adalah pernapasan cuping hidung yang sesuai dengan irama pernapasan.
Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot Bantu
pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak gelisah. Pada fase
permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2 dan
PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi
kemudian akan memperberat sesak napas, karena menyebabkan
penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu,
terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130/menit,
karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah akibat respons
hipoksemia.6

4. Diagnosis Asma4,7
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi
jalan nafas yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat
penyakit/gejala :
 Bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
 Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
 Gejala timbul/memburuk di malam hari.
 Respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat
keluarga (atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan,
perkembangan penyakit dan pengobatan. Adapun beberapa tanda dan
gejala yang dapat meningkatkan kecurigaan terhadap asma adalah :
1. Di dengarkan suara mengi (wheezing)
Apabila didapatkan pemeriksaan dada yang normal, tidak dapat
mengeksklusi diagnosis sama, apabila terdapat :
- Memiliki riwayat dari:
a. Batuk, yang memburuk dimalam hari
b. Mengi yang berulang
c. Kesulitan bernafas
d. Sesak nafas yang berulang
- Keluhan terjadi dan memburuk saat malam
- Keluhan terjadi atau memburuk saat musim tertentu
- Pasien juga memiliki riwayat eksema, hay fever, atau riwayat
keluarga asma atau penyakit atopi
- Keluhan terjadi atau memburuk apabila terpapar :
a. Bulu binatang
b. Aerosol bahan kimia
c. Perubahan temperatur
d. Debu tungau
e. Obat-obatan (aspirin,beta bloker)
f. Beraktivitas
g. Serbuk tepung sari
h. Infeksi saluran pernafasan
i. Rokok
j. Ekspresi emosi yang kuat
- Keluhan berespon dengan pemberian terapi anti asma
Pada pemeriksaan fisik asma, tanda yang ditemukan tergantung dari
derajat obstruksi saluran nafas. Tanda yang dapat di jumpai pada pasien
asma adalah expirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan
cepat dan sianosis. Namun pada sebagian penderita dapat ditemukan
suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran faal
paru telah terjadi penyempitan jalan nafas.
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas,
reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar
adalah pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow meter (arus
puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara
lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi
bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah.
Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini tidak terlalu
bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus.

Pemeriksaan Penunjang8
Diperlukan uji laboratorium darah dan sputum serta uji fungsi
fisiologi paru guna menunjang diagnosis asma bronkial. Eosinofilia di
dalam darah dan sputum akan mengalami peningkatan. Di dalam darah,
eosinofilia akan lebih dari dari 250-400 sel/mm 3. Sedangkan pada sputum
juga akan dijumpai adanya eosinofilia, akan tetapi hal ini tidaklah khas
pada penderita asma karena beberapa penyakit anak selain asma
mungkin menyebabkan eosinofilia di dalam sputum. Protein serum dan
kadar imunoglobulin biasanya normal pada penderita asma bronkial,
kecuali kadar IgE mungkin bertambah. Pada pasien ini, hasil pemeriksaan
laboratorium darah rutin didapatkan hasil adanya peningkatan jumlah
leukosit (leukositosis) yang dimungkinkan terjadinya inflamasi pada pasien
ini. Jumlah leukosit yang mengalami peningkatan ialah neutrofil.
Uji fisiologi paru bermanfaat dalam mengevaluasi anak yang diduga
menderita asma bronkial. Pada penderita asma, uji ini bermanfaat untuk
menilai tingkat penyumbatan jalan napas dan gangguan pertukaran gas.
Penentuan gas dan pH darah arterial merupakan hal yang penting
dalam mengevaluasi penderita asma selama masa eksaserbasi yang
memerlukan perawatan di rumah sakit. Penentuan saturasi oksigen
dengan oksimetri secara teratur akan membantu dalam menentukan
keparahan eksaserbasi akut. PCO2 biasanya rendah selama stadium awal
asma akut. Ketika penyumbatan memburuk, maka PCO2 akan meningkat.
Pada foto toraks akan tampak corakan paru yang meningkat.
Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan kronik. Atelektasis kadang-
kadang dapat ditemukan. Pada pasien ini hasil foto toraks didapatkan hasil
gambaran infiltrat (-) dan adanya gambaran bronkitis kronis.
5. Diagnosis Banding
Beberapa dianosis banding terhadap penyakit asma bronkial ini
diantaranya yaitu8 :
 Bronkhiolitis
 PPOK
Pada bronkhiolitis, ditemukan adanya demam, batuk serta
wheezing atau mengi sedangkan pada auskulasi akan ditemukan suara
ronkhi. Hal ini mirip dengan asma bronkial, tetapi pada asma wheezing
akan timbul secara periodik atau episode. Selain itu, asma dicetuskan oleh
adanya alergen baik dari lingkungan maupun yang nonspesifik sedangkan
pada bronkholitis tidak demikian.8
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menurut American Thoracic
Society (ATS) adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran
udara yang irreversible. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif,
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel dan udara
yang berbahaya, dan paling utama disebabkan oleh rokok. Untuk
pengobatan, pada asma terjadi reaksi inflamasi yang berhubungan
dengan reaksi alergi yang sensitive kortikosteroid, sedangkan pada PPOK
terjadi inflamasi oleh pajanan iritan yang resisten terhadap kortikosteroid.
Mesikpun terdapat beberapa perbedaan, tetapi asma dan PPOK
mempunyai gejala yang overlap seperti sesak nafas, mengi, dan batuk
berdahak.9
Kebanyakan anak yang menderita episode batuk dan mengi
berulang menderita asma. Penyebab lain penyumbatan jalan napas
adalah malformasi kongenital (sistem pernapasan,kardiovaskuler, atau
gastrointestinal), benda asing pada jalan napas atau esofagus, bronkiolotis
infeksius, kistik fibrosis, penyakit defisiensi imunologis, pneumonitis
hipersensitivitas, aspergilosis bronkopulmonal alergika, dan berbagai
keadaan lebih jarang yang menggangu jalan napas,termasuk tuberkulosis
endobronkial, penyakit jamur, dan adenoma bronkus. 8
6. Penatalaksanaan Asma7
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang
dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7
komponen program penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya
menyerupai komponen pengobatan yang dianjurkan oleh GINA dan
ditambah satu komponen yaitu pola hidup sehat.
a. Edukasi
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai
asma itu sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi
dan mengontrol factor pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek
samping obat, dan juga penanganan serangan asma di rumah.
b. Penilaian Derajat Beratnya Asma
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh
penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
- Pemantauan tanda gejala asma.
- Pemeriksaan faal paru I
c. Dentifikasi Dan Pengendalian Faktor Pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus,
akan tetapi sebagian lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus
asmanya.
d. Merencanakan Dan Memberikan Pengobatan Jangka Panjang
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu
bulan. Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka
panjang untuk mencapai atau mempertahankan keadaan asma yang
terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan:
- Medikasi (obat-obatan)
- Tahapan pengobatan
- Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol
asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering
disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol adalah:
- Glukokortikosteroid inhalasi
Kortikosteroin inhalasi bertujuan untuk menekan proses
inflamasi dan komponen yang berperan dalam remodeling pada
bronkus yang menyebabkan asma. Pada tingkat vascular,
glukokortikosteroid inhalasi bertujuan menghambat terjadinya
hipoperfusi, mikrovaskular, hiperpermeabilitas, pembentukan mukasa
udem, dan pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis).
Glukokortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang
yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian
menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan
faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas
hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis
orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran nafas atas.
- Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan
digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat,
tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Untuk
jangka panjang, lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada
steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan,
maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka
panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis
adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan
kulit, striae, dan kelemahan otot.
- Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi
diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat
pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai
IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi pada sel
inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga
kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target.
Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada
asma persisten ringan. Efek samping umumnya minimal seperti
batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi.
- Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Sebagai pelega,
teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis
β2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan.
Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat
pengontrol, dimana pemberian jangka panjang efektif mengontrol
gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai
aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol
gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim.
Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari
atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah
adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek
kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia dan kadangkala
merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan
kejang bahkan kematian.
- Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol
dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis
β2 memiliki efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pada
pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil
dan mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor.
Pemberian inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek
bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral. Karena
pengobatan jangka panjang dengan agonis β2 kerja lama tidak
mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana
penambahan agonis β2 kerja lama inhalasi akan memperbaiki gejala,
menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan
kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan
frekuensi serangan asma. Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat
memberikan efek samping sistemik (rangsangan kardiovaskuler,
tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang
daripada pemberian oral.
- Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan
pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-
lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrien
(contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas,
zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator,
juga mempunyai efek antiinflamasi.

B. Pelega
- Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat.
Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian
dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset
yang lebih cepat dan efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme kerja
sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas,
meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast
dan basofil. Efek sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot
rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping.
- Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya
lebih lemah dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat
tidak menambah efek bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis
adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive,
memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan respon
terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan
berikutnya.
- Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok
efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas.
Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal
intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang
disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa
pahit.
- Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai
berat, bila tidak tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2
kerja singkat.

7. Prognosis10
Beberapa studi menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing
tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya.
Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung
besarnya sampel studi, tipe studi, dan lamanya pementauan. Adanya asma
pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing
merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian
hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan menjadi asma
lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan
berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada
keadaan bukan flu.
Prognosis pasien pada kasus ini cukup membaik, hal ini berdasarkan
pada perkembangan yang ditampakkan oleh pasien dari hari ke hari berupa
berkurangnya keluhan-keluhan berupa wheezing dan sesak yang terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Imaniar E. 2015. Asma Bronkial pada Anak. Lampung: J Agrome Unila


2. Nuari A;dkk. 2018. Penatalaksanaan Asma Bronkial Eksaserbasi pada
Pasien Perempuan Usia 46 Tahun dengan Pendekatan Kedokteran
Keluarga di Kecamatan Gedong Tataan. Lampung. Majoriti
3. Fadzila W; Bayhakki; Indriati G. 2018. Hubungan Keteraturan
Penggunaan Inhaler Terhadap Hasil Asthma Control Test (Act) Pada
Penderita Asma. Riau: JOM FKp, Vol. 5 No. 2
4. N. Miglino, M. Roth, M. Tamm and P. Borger. House dust mite extract
downregulates C/EBPa in asthmatic bronchial smooth muscle cells. Eur
Respir J 2011; 38: 50–58
5. O’Byrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et
al. (2010), Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma
Management and Prevention, Ontario Canada.
6. Alsagaff H, Mukty A. 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press.
7. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita.
Suryanto, E. et al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
8. Nelson A et al. Nelson Textbook Of Pediatrics. Vol 2 Edisi 15. EGC
Jakarta.
9. Permatasari D,Yanti B. 2020. Perbedaan diagnosis asma, penyakit paru
obstruktif kronik dan Asthma-COPD Overlap Syndrome (ACOS). Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala
10. Rahajoe N et al, Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi PP
IDAI, 2004
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan
dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis,
ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit / gejala :
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :


 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan

Pemeriksaan Jasmani
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat
penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran
napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka
sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar
untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest)
pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot
bantu napas
Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan
mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain
untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif
menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas
 reversibiliti kelainan faal paru
 variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :


Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1  15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-
14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
Menilai derajat berat asma

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan
yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter)
yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin
tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun
instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/ dipahami baik
oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-
hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE  15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu).
 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti
APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai
derajat berat penyakit (lihat klasifikasi).
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain,
di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi.
Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan dengan nilai
terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak diketahui nilai
terbaik penderita yang bersangkutan..

Anda mungkin juga menyukai