Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS STASE 6 PROGRAM POKOK PUSKESMAS

PENINGKATAN PROGRAM P2M TUBERKULOSIS PARU


DI PUSKESMAS 2 TAMBAK

Disusun Oleh

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITASILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FEBRUARI 2015

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS STASE 6 PROGRAM POKOK PUSKESMAS
PERMASALAHAN TUBERKULOSIS PARU PADA PROGRAM P2M
DI PUSKESMAS 2 TAMBAK

Disusun untuk memenuhi syarat dari


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Komunitas /
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh
Sania Nadianisa Maruto

G4A014002

Shofa Shabrina H

G4A014004

Intan Puspita H

G4A014007

Agus Heryana

G1A212141

Telah dipresentasikan dan disetujui


Tanggal .

Pembimbing Lapangan

Dr. Indra Purwa

DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan i
Daftar Isi.. ii
I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.. 1
1. Gambaran Umum Puskesmas Kebasen. 4
2. Pencapaian Program Kesehatan... 6
3. Permasalahan Program Puskesmas.. 15
B. Tujuan Penulisan. 17
C. Manfaat Penulisan... 18

II. ANALISIS POTENSI DAN IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS


A. Input. 19
B. Proses... 20
C. Out Put. 21
D. Effect... 21
E. Outcome (Impact)... 21
III. IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS DARI HASIL ANALISIS SWOT
Analisis
SWOT. 22
IV. PEMBAHASAN ISU STRATEGIS DAN ALTERNATIF PEMECAHAN
MASALAH
A. Pembahasan Isu. 25
B. Alternatif Pemecahan Masalah. 44
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 46
B. Saran... 46
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis dimana sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian
akibat TB di dunia terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga
kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan,
persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien
TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal
tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga sekitar
20-30%. Jika ia meninggal akibat TB maka akan kehilangan pendapatannya
sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan
dampak buruk secara sosial-stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat
(Depkes RI, 2006).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara
negara yang sedang berkembang.
2. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya).

c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang


tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami
krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
4. Dampak pandemi infeksi HIV (Depkes, 2006).
Ada sekitar delapan juta penderita baru tuberkulosis di seluruh
dunia dalam setahunnya, dan hampir tiga juta orang yang meninggal setiap
tahunnya akibat penyakit ini. Paling sedikit satu orang akan terinfeksi
Tuberkulosis setiap detik, dan setiap sepuluh detik ada satu orang yang mati
akibat Tuberkulosis. Banyak orang mempertanyakan gambaran tuberkulosis
di masa mendatang. Dye menyatakan bahwa bila situasi penanggulangan
tuberkulosis tetap bertahan seperti sekarang, maka jumlah kasus
tuberkulosis pada 2020 akan meningkat menjadi 11 juta orang. Peneliti lain,
Pil Heu (1998) menyatakan bahwa insidens tuberkulosis akan terus
meningkat dari 8,8 juta kasus pada 1995 menjadi 10,2 juta kasus pada tahun
2000 dan 11,9 juta kasus tuberkulosis baru pada tahun 2005 (Eddy W,
2004).
Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB
meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada
negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar

(high burden countries). Menyikapi hal tersebut pada tahun 1993, WHO
mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).

Gambar 1.1. Insidens TB di dunia (WHO, 2004)


Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah
India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari jumlah total pasien
TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000
kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif
sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes, 2006).
Di Jawa Tengah penemuan tersangka TB (klinis) dari tahun 2003
ke 2004 terjadi kenaikan yang cukup tinggi (57%) berarti jangkauan
pelayanan TB di UPK (Puskesmas, BP4 dan Rumah Sakit) sudah ada
peningkatan, begitu juga pada penemuan penderita BTA positif. Angka
penemuan penderita di Jawa Tengah tahun 2003 dan tahun 2004 terjadi
peningkatan penemuan penderita BTA positif walaupun angka tersebut
masih jauh dibawah target <70%, namun ada beberapa Kabupaten/Kota
yang pencapaian penemuan penderita diatas 60% karena target tahun 2004

adalah 60% yaitu Kota Pekalongan 94,44 %, Kabupaten Pekalongan 77,18


%, Kabupaten Tegal 66,52 %, Kota Tegal 63,87 % dan Kota Surakarta
60,07 %. Hal tersebut dikarenakan belum semua UPK (Unit Pelayanan
Kesehatan) khususnya di Rumah Sakit belum semua mengikuti program
TBC dengan strategi DOTS sehingga belum teregistrasi.
Angka kesembuhan (cure rate) di Jawa Tengah masih dibawah
target < 85 %, namun angka kesembuhan dari tahun 2003 ke tahun 2004
(s/d triwulan ke 2) terjadi peningkatan, bila dilihat dalam satu tahun 2004
belum bisa diketahui karena sistem kohort sehingga evaluasinya setiap
tribulan. Di Jawa Tengah angka kesembuhan penderita yang diobati di
Puskesmas dan BP4 tahun 2004 (sampai dengan TW 2) sebesar 81,18%
(target nasional 85% dan target Jawa Tengah 83%). Terdapat 14
Kabupaten/Kota yang telah berhasil mencapai angka kesembuhan 83%
(target Jawa Tengah pada tahun 2004) adalah : Kota Surakarta (94,94 %),
Kab. Sragen (94,50%), Kab. Wonogiri (92,79%), Kab. Jepara (92,55%),
Kab. Pekalongan (92,14%), Kab. Karanganyar (89,92%), Kab. Batang
(88,89%), Kab. Sukoharjo (88,51%), Kab. Grobogan (88,31%), Kab.
Purworejo (88,04%), Kab. Wonosobo (86,52 %) dan Kab. Tegal (86,11%)
(Profil Kesehatan Jawa Tangah, 2004).
Dalam usaha pemberantasan penyakit TB paru, pencarian kasus
merupakan unsur yang penting untuk keberhasilan pelaksanaan program
pengobatan. Hal ini ditunjang oleh sarana diagnostik yang tepat. Diagnosis
terhadap TB paru umumnya dilakukan dengan cara melakukan
pemeriksaan klinis (dari anamnesis terhadap keluhan penderita dan hasil

pemeriksaan fisik penderita), hasil pemeriksaan foto toraks, hasil


pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya (Mual B,
2009).
Pelayanan kesehatan saat ini lebih diarahkan secara terpadu pada
proses promotif dan preventif, tanpa melupakan kuratif dan rehabilitatif.
Salah satu langkah untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan
dikembangkannya sarana dan prasarana kesehatan oleh pemerintah,
diantaranya

adalah

Poliklinik

Desa

(Polindes),

Pusat

Kesehatan

Masyarakat (Puskesmas) dan Rumah Sakit (Notoatmodjo, 2003).


Selama menjalankan fungsinya, khususnya Puskesmas yang
berhubungan langsung dengan masyarakat, sangat diperlukan koordinasi
terhadap semua upaya dan sarana pelayanan kesehatan yang ada di
wilayah kerjanya sesuai dengan kewenangannya serta melaksanakan
pembinaan terhadap peran serta masyarakat dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan. Dengan demikian, Puskesmas dapat menjadi pusat
pengembangan, pembinaan dan pelayanan kesehatan masyarakat yang
sekaligus sebagai pos terdepan dalam pembangunan kesehatan menuju
Indonesia Sehat 2020.
Sebagai Primary Health Care (PHC), Puskesmas Tambak II saat ini
harus lebih mengoptimalkan fungsinya sebagai lini terdepan dalam bidang
kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, Puskesmas Tambak II sebagai salah
satu PHC harus dapat mengembangkan dan membina kesehatan
masyarakat serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan terdepan dan
terdekat dengan masyarakat Tambak dan sekitarnya dalam bentuk kegiatan

pokok yang menyeluruh dan terpadu di wilayah kerjanya. Salah satu


program pokok puskesmas ialah Program Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit Menular (P2M). P2M ialah upaya untuk menurunkan dan
mengurangi angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit menular.
Permasalahan yang saat ini dihadapi Puskesmas Tambak II dalam
pemberantasan TB adalah penemuan deteksi kasus BTA positif masih
rendah. Artinya penemuan kasus hanya mengandalkan pasien yang
berkunjung ke BP saja dan memiliki tanda dan gejala TB. Sementara
deteksi secara aktif dengan melibatkan masyarakat, terutama kader
kesehatan belum berjalan dengan baik.
Kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Komunitas/Ilmu
Kesehatan Masyarakat dilaksanakan selama empat minggu di wilayah
kerja Puskesmas Tambak II. Selama pelaksanaan kegiatan kepaniteraan di
bagian IKK/IKM ini telah dilakukan pengamatan secara langsung maupun
pengumpulan data sekunder dari dokumen-dokumen kesehatan yang
terdapat di Puskesmas Tambak II untuk menilai pelaksanaan dan
efektivitas program-program yang ada di Puskesmas Tambak II.
Pengamatan yang dilakukan meliputi program-program kegiatan yang
sudah diagendakan, pelaksanaan program kegiatan, evaluasi program
kegiatan, hingga target-target yang ditetapkan masing-masing program
beserta angka pencapaiannya. Terdapat beberapa permasalahan pada
masing-masing

program

Puskesmas

Tambak

II,

sehingga

perlu

dilakukannya evaluasi program agar program-program puskesmas tersebut


dapat menghasilkan output yang memuaskan.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui masalah-masalah kesehatan yang terjadi di Puskesmas
Tambak II terkait pelaksanaan 6 Program Pokok Puskesmas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
b.

penyakit TB Paru di Puskesmas Tambak II.


Mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan Puskesmas Tambak II

c.

dalam melaksanakan pemberantasan penyakit TB Paru


Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tidak maksimalnya
pemberantasan TB Paru.

C. MANFAAT
1.
a.

Manfaat Praktis
Memberikan informasi kepada pembaca tentang penyakit TB Paru

b.

baik faktor risiko, cara penularan, pengobatan dan pencegahan


Menjadi dasar ataupun masukan bagi Puskesmas dalam mengambil
kebijakan jangka panjang dalam upaya pemberantasan penyakit TB

c.

Paru.
Sebagai bahan wacana bagi Puskesmas untuk meningkatkan upaya
kinerja dalam peningkatan 6 program pokok Puskesmas Tambak II

d.

khusunya pada bagian P2M.


Sebagai bahan pertimbangan bagi Puskesmas, dalam melakukan
evaluasi dalam kinerja program pengendalian TB oleh bidang P2M

e.

Puskesmas Tambak II.


Sebagai bahan untuk perbaikan program kerja P2M kearah yang lebih
baik guna mengoptimalkan mutu pelayanan kepada masyarakat pada

10

umumnya dan individu pada khususnya di wilayah kerja Puskesmas


Tambak II.

2. Manfaat Teoritis
a. Menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya bagi pihak yang
membutuhkan
b. Sebagai bahan untuk pembelajaran dalam menganalisa suatu
permasalahan kesehatan dalam 6 program pokok Puskesmas.
c. Sebagai bahan untuk pembelajaran dalam menentukan pemecahan
permalahan kesehatan dalam 6 program pokok Puskesmas.

II.

ANALISIS POTENSI DAN IDENTIFIKASI ISU STRATEGIS

A. GAMBARAN UMUM PUSKESMAS 2 TAMBAK


1. Keadaan Geografis
Puskesmas II Tambak merupakan wilayah timur jauh (tenggara)
dari Kabupaten Banyumas, dengan luas wilayah 1.432 Ha atau sekitar
1,1% dari luas kabupaten Banyumas. Wilayah Puskesmas Tambak II

11

terdiri dari 5 desa yaitu; Pesantren, Karangpucung, Prembun,


Purwodadi dan Buniayu.Desa yang paling luas adalah Purwodadi
yaitu 374 ha, sedangkan desa yang wilayahnya paling sempit adalah
Karangpucung yaitu sekitar 218 ha.
Wilayah Puskesmas II Tambak terletak dipojok Kabupaten
Banyumas, dan berbatasan dengan :

Disebelah utara

Sebelah timur

: Kabupaten Kebumen

Sebelah Selatan

: Desa Gebangsari

Sebelah Barat

: Desa Kamulyan, Desa Karangpetir.

: Desa Watuagung

Wilayah Puskesmas II Tambak terletak pada ketinggian sekitar


15 mdpl 35 mdpl.Dengan suhu udara rata rata sekitar 27 derajat
celcius dengan kelembaban udara sekitar 80 %.Sekitar 50 % dari luas
tanah adalah daerah persawahan, 43 % pekarangan dan tegalan dan 7
% lain-lain.
2.

Keadaan Demografi
a. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk dalam wilayah Puskesmas II Tambak tahun 2013
berdasarkan data yang dari BPS adalah 20.361jiwa. Terdiri dari
10.010 jiwa (49,16%) laki-laki dan 10.351 jiwa (50,83%)
perempuan.

Jumlah keluarga 6.096 KK.

Bila dibandingkan

dengan jumlah penduduk tahun 2012 (16.232 jiwa) mengalami


kenaikan.
b. Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk tahun 2013 yang paling banyak adalah Desa
Purwodadi sebesar 6.190 jiwa, dengan kepadatan penduduk 1.655
jiwa/km2, sedangkan yang paling sedikit penduduknya adalah Desa
Pesantren sebesar 2.577jiwa dengan kepadatan penduduk 1.141
jiwa/km2. Kepadatan penduduk total wilayah Puskesmas II Tambak
adalah1.422 jiwa/km2.

12

Penyebaran penduduknya cukup merata, mulai dari daerah yang


dekat jalan raya sampai ke daerah.
3.

Keadaan Sosial Ekonomi


No

Jenis Pendidikan

Jenis Kelamin
Laki-laki

Perempuan

Jumlah

1.

Tidak/belum
sekolah

2.907

2.

Tidak Tamat SD

2.006

3.

Tamat SD

5.318

4.

SLTP Sederajat

2.956

5.

SLTA Sederajat

2.452

6.

Diploma III

403

7.

D IV/S-1

190

Dilihat dari data pendidikan, masyarakat dalam wilayah


Puskesmas II Tambak pendidikannya masih rendah.

Prosentase

tertinggi adalah yang tamat SD/MI yaitu 5.318 orang ( 32,76% ).

13

B. INPUT
1. Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan merupakan tenaga kunci dalam mencapai
keberhasilan pembangunan bidang kesehatan.

Jumlah tenaga

kesehatan dalam wilayah Puskesmas II Tambak adalah sebagai


berikut:
a.

Tenaga Medis
Tenaga Medis atau dokter yang ada di sarana kesehatan dalam
wilayah Puskesmas II Tambak ada 2 (dua) orang dokter umum,
yaitu dokter umum yang bekerja di Puskesmas II dengan rasio
10/100.000 jumlah penduduk. Menurut standar Indikator

14

Indonesia Sehat (IIS) tahun 2010 ratio tenaga medis per 100.000
penduduk adalah 40 tenaga medis, berarti tenaga medis masih
kurang.
b.

Dokter Spesialis
Dokter spesialis tidak ada.

Standar IIS 2010, 6/100.000

penduduk.
c.

Dokter Gigi
Dokter gigi tidak ada. Standar IIS 2010, 11/100.000 penduduk

d.

Tenaga Farmasi
Tenaga farmasi tidak ada.

Standar IIS 2010, 10/100.000

penduduk
e.

Tenaga Bidan
Tenaga D-III Kebidanan jumlahnya 7 orang. Berarti ratio tenaga
bidan adalah 34,38/100.000 penduduk. Standar IIS 2010, jumlah
tenaga bidan 100/100.000 atau 16 bidan.

Dengan demikian

jumlah bidan di wilayah Puskesmas II tambak masih kurang 9


bidan.
f.

Tenaga Perawat
Tenaga perawat kesehatan yang ada di Puskesmas II Tambak
lulusan SPK ada 2 orang dan D-III Keperawatan 3 orang, jumlah
seluruhnya ada 5 orang perawat (ratio 24,56/100.000 jumlah
penduduk).

Standar IIS tahun 2010, adalah 117,5/100.000

penduduk (sekitar 19 perawat). Berarti masih kurang 14 orang


perawat.
g.

Tenaga Gizi
Tenaga Gizi di Puskesmas II Tambak jumlahnya 1 orang,
lulusan D-III Gizi, ratio 4,91/100.000 penduduk. Standar IIS
2010, 22/100.000 penduduk (3,5 ahli gizi). Berarti kurang 3
orang ahli gizi.

h.

Tenaga Sanitasi

15

Tenaga Sanitasi ada 1 orang dengan pendidikan D-I. Ratio


6/100.000 penduduk. Standar IIS 2010, 40/100.000 penduduk
(6,5 tenaga sanitasi). Kurang 5 orang tenaga sanitasi.
i.

Tenaga Kesehatan Masyarakat


Tenaga Kesehatan Masyarakat ada 2 orang. Standar IIS tahun
2010, 40/100.000 penduduk (6,5). Masih kurang 4 orang tenaga
kesehatan masyarakat.

Tabel : Ratio Jumlah Tenaga Kesehatan terhadap Jumlah Penduduk di


Puskesmas II Tambak, tahun 2015

16

No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Jenis Tenaga

Jumlah Tenaga
Kesehatan

Ratio /100.000
pddk

Target IIS /
100.000 pddk

Dokter Umum
Dokter Spesialis
Dokter Gigi
Farmasi
Bidan
Perawat
Ahli Gizi
Sanitasi
Kesh. Masy

2
0
0
0
7
5
1
1
2

10
0
0
0
34,38
24,56
4,91
6
24

40
6
11
10
100
117,5
22
40
40

Tabel 2.4. Nama dan Jumlah Tenaga Medis, Paramedis dan Non medis
Puskesmas Kebasen Tahun 2015
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

NAMA
dr.Agus Suyudi

NIP

19580822
016
Eko
19681203
Suyatini,Amd.Keb
009
Lilis
Lismawati, 19691103
Amd. Keb
003
Marino
19630903
009
Muji Rahadi
19621229
011
Eko Wardoyo, AMK 19700726
003
Sulistijo, AMK
19710820
004
dr. Indra Purwa
19790602
009
Maria
19650324
Purwantiningsih,
002
AMG
Pujiwanto
19590807
014
Sairun
19650816
018
Roisah
19650203
007
Zuhrotun Abadiyah, 19850117
SKM
009
Dwi Indriana M, 19850712

PANGKAT/GOL

JABATAN

198603 1 Pembina
Tk. Ka.
I/IVb
Puskesmas
198903 2 Penata Tk I/ III d Bidan
198903

2 Penata Tk I/ III d

Bidan

198503 1 Penata Tk I/ III d

Sanitarian

198503 1 Penata Tk I/ III d

Perawat

199103 1 Penata Tk I/ III d

Perawat

199103 1 Penata Tk I/ III d

Perawat

201001 1 Penata / III c

Dokter

199103 2 Penata / III c

Gizi

198703 1 Penata
I/IIIb
198903 1 Penata
I/IIIb
199103 2 Penata
I/IIIb
201101 2 Penata
I/IIIa
201101 2 Penata

Muda Tk Staf
Muda Tk Staf
Muda Tk Ka. Subag
Muda Tk Epidemiolog
Muda Tk Promkes
17

15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

SKM
Sawinah
Nursasi Sri Harpeni,
AMK
Tusem, Amd.Keb
Sri
Wahyuni,
Amd.Keb
Arif
Hidayat,
AMKG
Rodiyah

004
19580415 198007
001
19790501 200903
002
19720724 200604
011
19770429 200801
008
19860721 201101
006
19650203 200701
008
11.4.048.4664

Uun
Kunaefi,
Amd.Keb
Tri
Mulyani, 11.4.3402742
Amd.Keb
Erliyas Wiwit W., 11.4.3300986
Amd. Keb
Khamiyati
Dian Isnaeni, AMK
Yekti Kusumawati
Ninuk Retno M.H,
AMK
Susi Reniati
Uswah Hikmawati,
AMK
Lidi Prihasto, AMK
Apriliana Dewi K.,
Amd.Keb
Siti Kamilatun, S.ST
2.

I/IIIa
2 Pengatur/IId

Staf

2 Pengatur/IId

Perawat

2 Pengatur/IIc

Bidan

2 Pengatur/IIc

Bidan

1 Pengatur/Iic
2 Pengatur
Tk I/Iib
PTT

Perawat
Gigi
Muda Staf
Bidan desa

PTT

Bidan desa

PTT

Bidan desa

Honorer
Honorer
Honorer
Honorer

Administrasi
loket
Perawat
Perawat
Perawat

Honorer
Honorer

Administrasi
Perawat

Honorer
Kontrak

Bidan

Kontrak

Akutansi

Sarana Kesehatan
a. Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan Labkes
Puskesmas II Tambak satu satunya sarana Kesehatan yang
mempunyai kemampuan Labkes di wilayah Puskesmas II Tambak.
b. Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan 4 Pelayanan Dasar
Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan 4 Pelayanan Dasar tidak
ada.
c. Pelayanan Gawat Darurat

18

Pelayanan Gawat Darurat di wilayah Puskesmas II Tambak hanya


ada di Puskesmas
3.

Pembiayaan Kesehatan
Penyelenggaraan

pembiayaan

di

Puskesmas

terdiri

dari

operasional umum, Jamkesmas, Jampersal dan dana BOK. Semua


anggaran ini tujuannya adalah agar semua program kesehatan di
puskesmas bisa berjalan sesuai yang diharapkan dan bisa mencapai
target target yang telah ditentukan. Oleh karena itu semua anggaran ini
saling melengkapi satu sama lain.
Anggaran dana operasional umum di Rencana Kerja Anggaran
tahun 2013 adalah Rp.99.313.000,00 (sembilan puluh sembilan juta
tiga ratus tiga belas ribu rupiah), dan dapat direalisasikan Rp.
95.523.671,00 (96,2%). Rencana anggaran untuk tahun 2013 sama
seperti tahun 2012 yaitu Rp.99.313.000,00.
Sedangkan untuk dana Jamkesmas dan Jampersal tahun 2013
direncanakan sebesar Rp. 174.875.050,00 dan dapat direalisasikan
sebesar Rp. 78.982.800,00 (45,16%). Kemudian untuk RKA tahun
2013 Jamkesmas Jampersal adalah Rp. 148.576.200,00.
Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) tahun 2012 di
rencanakan Rp. 58.000,00 (lima puluh delapan juta rupiah) dan 100%
dapat direalisasikan.

Tahun 2013 dana BOK dianggarkan sebesar

Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).


C. Analisis Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT)
1.

Strength
Aspek kekuatan dari program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
Tuberkulosis (TB) Paru terdapat pada aspek input dan aspek proses
(perencanaan).
Input
a.

Man
Sumber daya masyarakat di Puskesmas II Tambak dalam
menjalankan program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)

19

terutama kasus Tuberkulosis (TB) Paru sudah baik. Puskesmas 2


Tambak memiliki 2 dokter umum, 9 perawat umum, dan 1 pelaksana
kesling berdasarkan data profil Puskesmas 2 Tambak. Dalam
pelaksanaan sehari-hari di Puskesmas 2 Tambak, terdapat 2 tenaga
kesehatan yang menjalankan program P2M TB Paru dan sudah
mengerti secara mendetail mengenai penanganan TB Paru.
b.

Money
Sumber dana dalam pelaksanaan program P2M TB Paru sudah
disiapkan dari pemerintah, yaitu sumber Dana Bantuan Operasional
Kesehatan. Dana ini dari Kementerian Kesehatan. Sumber dana ini
dapat digunakan untuk kegiatan promotif dan preventif seperti
penyuluhan, pelacakan kasus TB Paru, dan pemantauan kasus TB
Paru. Dapat juga digunakan untuk uang ganti transport setelah
melakukan kegiatan Pengawasan Minum Obat (PMO), kunjungan
kasus drop out, perbaikan gizi pasien TB berupa pemberian makanan
tambahan.
Terdapat juga sumber dana dari Belanda melalui suatu badan
bernama KNFC, yaitu dana untuk kunjungan rumah sebagai sarana
jemput bola bila ada kasus TB yang enggan berobat ke Puskesmas 2
Tambak. Dana dari KNFC tersebut juga berupa dana untuk
pengadaan obat TB Paru.

c.

Material
Logisitik seperti pengadaan obat TB Paru, reagen pemeriksaan
bakteriologis TB Paru, serta sarana seperti spuit maupun pelarut
obat, selalu ada dan selalu tersedia di Puskesmas Jatilawang. Hal ini
dikarenakan tersedianya sarana dan dana dari badan KNFC Belanda
tersebut.

d.

Methode
Metode kegiatan program P2M TB Paru di Puskesmas II
Tambak meliputi kegiatan yang dilakukan di dalam puskesmas
maupun di luar puskesmas. Kegiatan di dalam puskesmas seperti
pemeriksaan bakteriologis TB Paru melalui sputum dan konsultasi

20

TB Paru. Konsultasi mengenai penyakit TB Paru, tanda dan gejala,


penularan, pencegahan penularan, pengobatan, efek pengobatan,
efek samping pengobatan, serta memotivasi pasien TB Paru agar
senantiasa rutin minum obat dan mencegah penularan kepada
masyarakat sekitar. Kegiatan di luar puskesmas meliputi kegiatan
penyuluhan TB Paru ke desa-desa di wikayah kerja Puskesmas 2
Tambak dan pemantauan kasus TB Paru bila terdapat desa dengan
populasi sedikit namun kasus TB Paru yang terjadi besar.
e.

Minute
Kegiatan program P2M TB Paru baik kegiatan di dalam
puskesmas maupun di luar puskesmas, sudah rutin dilakukan.
Kegiatan di dalam puskesmas rutin dilakukan setiap hari kerja
puskesmas.

f.

Market
Sasaran kegiatan program P2M TB paru meliputi seluruh desa
di wilayah kerja Puskesmas 2 Tambak.

Proses
Perencanaan: program P2M TB Paru sudah memiliki perencanaan yang
baik, yaitu agar tercapainya kesembuhan pasien TB Paru berdasarkan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang sudah ada di Puskesmas 2
Tambak, serta terputusnya rantai penularan TB Paru di masyarakat
Tambak.
2.

Weakness
Aspek kelemahan dari program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
Tuberkulosis

(TB)

(pengorganisasian,

Paru

terdapat

penggerakan

dan

pada

aspek

pelaksanaan

input,
program,

proses
serta

pengawasan dan pengendalian kegiatan).


Input
Man: tidak adanya cukup petugas khusus di bidang TB paru karena
petugas P2M TB paru juga menjabat bidang lain sehingga kurang fokus.
Proses
a.

Pengorganisasian

21

Hanya terdapat 2 perawat utama di Puskesmas 2 Tambak yang


bertugas sebagai penggerak dan pelaksana program, serta pengawas
kegiatan.
b.

Penggerakan dan pelaksanaan program


Kurangnya sumber daya manusia yang tanggap di tiap desa sebagai
kader kesehatan untuk menangani program P2M masalah TB Paru

c.

Pengawasan dan pengendalian kegiatan


Pengawasan dan pengendalian kegiatan di tingkat puskesmas dan
dinas kesehatan Banyumas sudah baik, hanya saja kurangnya
pengawasan dari tingkat tiap desa di Kecamatan Tambak.
Dapat disimpulkan dari aspek proses, kelemahan program P2M TB

Paru dikarenakan:

kurangnya sumber daya manusia berupa petugas yang terlalu sedikit,

kurangnya kesadaran sumber daya manusia baik masyarakat


Puskesmas 2 Tambak maupun masyarakat Kecamatan Tambak
terhadap masalah TB Paru, sehingga tidak menganggap TB Paru
sebagai masalah dan tanggung jawab bersama

kurangnya kerjasama lintas sektoral, seperti antara petugas


puskesmas dengan bidan wilayah atau kader kesehatan di desa,
dalam menangani program P2M TB paru

Output
Berdasarkan profil kesehatan Puskesmas 2 Tambak 2014, hanya
terdapat 42,5% kasus TB Paru Positif yang terdeteksi. Hal ini masih jauh
di bawah Standar Pelayanan Medis (SPM) 2013 yaitu sebesar 80%. Ini
menunjukkan kelemahan program P2M TB Paru dari segi output,
dikarenakan kesadaran masyarakat Kecamatan Tambak yang masih
rendah baik untuk memeriksakan diri ke puskesmas, maupun untuk
berobat, sembuh, serta memutus penularan penyakit. Rendahnya
kesadaran masyarakat Kecamatan Tambak dikarenakan rendahnya
pengetahuan masyarakat mengenai penyakit TB Paru, baik mengenai
penyakitnya, tanda dan gejalanya, cara pengobatannya, efek yang terjadi

22

setelah pengobatan, efek samping dari pengobatan, serta cara pencegahan


penularan TB.
3.

Opportunity
Kesempatan untuk mengatasi permasalahan program P2M TB Paru agar
lebih baik sudah ada berupa dana yang disiapkan dari pemerintah untuk
melakukan penyuluhan TB Paru, maupun untuk pelacakan dan
pemantauan kasus TB Paru di tiap desa.
Dana tersebut bahkan bisa digunakan untuk penyuluhan sesering
mungkin agar pengetahuan masyarakat mengenai TB Paru semakin
meningkat, serta bisa digunakan untuk pelacakan dan pemantauan kasus
TB Paru di desa terjauh sekalipun agar pasien TB Paru yang malas
berobat bisa teratasi..
Dukungan dari pemerintah untuk kasus-kasus MDR sendiri tergolong
baik karena bila ada kasus tersebut dapat mudah dirujuk ke RS.
Moewardi Solo dengan biaya yang ditanggung pemerintah dan
pengawasan oleh pusksesmas satelit di Kemranjen.

4.

Threat
Ancaman kasus TB Paru terjadi di Kecamatan Tambak masih tinggi.
Kesadaran untuk patuh obat yang rendah meningkatkan resiko terjadinya
MDR. Rendahnya nilai temuan kasus TB beresika seperti fenomena
gunung es karena, 1 tempat atau 1 desa terdapat 1 pasien TB,
kemungkinan ada 10 pasien TB lainnya yang belum terungkap, dan bila
1 pasien TB tersebut memiliki 10 teman, kemungkinan 100 orang
terancam terkena TB Paru.
Dalam hal pembiayaan terdapat kemungkinan hambatan karena isu dana
bantuan kesehatan yang bersifat biaya operasional perjalanan dinas akan
dihilangkan. Puskesmas Tambak 2 juga merupakan puskesmas dengan
kapitasi kecil sehingga dalam pengaturan anggaran berdasarkan dana
yang ada tergolong susah.

23

I.

PEMBAHASAN ISU STRATEGIS DAN ALTERNATIF PEMECAHAN


MASALAH

A. Definisi dan Epidemiologi


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2007). Tuberkulosis merupakan
masalah kesehatan masyarakat dunia saat ini. World Health Organization
(WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency dikarenakan 1/3
penduduk dunia terinfeksi TB dan jumlah kasus terbanyak terjadi di Asia
Tenggara. Tahun 2004, WHO melaporkan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
TB pada tahun 2002, dengan 3,9 juta kasusnya adalah kasus Basil Tahan Asam
(BTA) positif (WHO, 2012). Indonesia menempati urutan ke-3 dunia untuk
jumlah kasus TB terbanyak. Penyakit ini menjadi pembunuh nomor satu di
antara penyakit menular lainnya (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
B. Patogenesis
24

Paru merupakan port d entree kasus infeksi, terutama TB. Ukuran bakteri
TB sangat kecil (droplet nuclei) sehingga bisa mencapai alveolus melalui
udara yang terhirup. Reaksi imunologi nonspesifik langsung terjadi ketika
bakteri TB mencapa alveolus. Makrofag langsung dapat menghancurkan
sebagian besar bakteri TB, namun sebagian kecil makrofag tidak dapat
menghancurkan bakteri TB dan bakteri tersebut justru hidup serta bereplikasi
dalam tubuh makrofag. Bakteri TB dalam tubuh makrofag tersebut akan terus
berkembang biak dan membentuk koloni, sehingga disebut fokus primer
GOHN (Price, 2006).
Melalui fokus primer, bakteri TB menyebar melalui pembuluh limfe
menuju kelenjar limfe regional. Terjadilah proses inflamasi di pembuluh limfe
(limfangitis) serta kelenjar limfe regional (limfadenitis) tersebut. Fokus primer
tersering adalah bagian apeks paru, dengan pembuluh limfe serta kelenjar
limfe terdekat di sekitar. Fokus primer dan pembuluh limfe yang meradang
(limfangitis) serta kelenjar limfe yang meradang (limfadenitis) akan
membentuk suatu kompleks primer (Price, 2006).
Waktu yang diperlukan bakteri TB sejak masuk hingga terbentuknya
kompleks primer disebut masa inkubasi TB. Masa ini berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu. Bakteri TB dapat berkembang biak hingga mencapai
jumlah 103-104 sehingga cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.
Ketika kompleks primer terbentuk, saat itulah imunitas seluler terbentuk dan
proliferasi bakteri TB terhenti (Price, 2006).
Fokus primer dalam jaringan paru, seperti pada apeks paru, biasanya akan
membentuk fibrosis atau kalsifikasi, yang kemudian akan nekrosis (perkijuan)
dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga mengalami fibrosis, namun
penyembuhannya tidak sesempurna fokus primer, sehingga bakteri TB masih
dapat hidup dan menetap dalam kelenjar ini. Nekrosis (perkijuan) yang berat
dapat mengalami pencairan di bagian tengah lesi sehingga akan keluar dari
paru dan meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Sementara kelenjar
limfe yang mengalami nekrosis dapat membesar akibat proses inflamasi
lanjutan, terjadi obstruksi, sehingga dapat membentuk fistula (Price, 2006).

25

Bakteri TB dapat menyebar secara limfogen ataupun hematogen sebelum


terbentuknya kompleks primer. Bakteri TB menyebar secara sporadis dan
mencapai berbagai organ tubuh yang memiliki vaskularisasi baik, seperti otak,
ginjal, tulang, dan bagian lain dari paru. Bakteri TB kemudian akan
membentuk koloni atau kompleks primer lain yang dapat dorman dan tetap
hidup bertahun-tahun (Price, 2006).
C. Klasifikasi
1. Tuberkulosis Paru
a. Berdasarkan pemeriksaan sputum (BTA)
1) Tuberkulosis paru BTA (+)
Pemeriksaan BTA sewaktu-pagi-sewaktu, menunjukkan 2 hasil
positif dari 3 pemeriksaan tersebut. Bisa juga hasil pemeriksaan

BTA menunjukkan 1 positif dan terdapat kelainan pada gambaran


radiologik paru. Atau hasil pemeriksaan BTA menunjukkan 1
positif dan biakan kultur positif (Alsagaff, 2004).
Gambar 3.1. Patogenesis Tuberkulosis11
2) Tuberkulosis paru BTA (-)

26

Hasil pemeriksaan BTA menunjukkan 3 hasil negatif, tidak ada


gambaran klinik, serta tidak ada kelainan gambaran radiologik paru
(Alsagaff, 2004).
b. Berdasarkan tipe pasien
1) Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan Obat Anti-TB
(OAT) atau sudah pernah menelan OAT selama kurang dari 1
bulan.
2) Kasus kambuh (relaps)
Pasien TB yang pernah mendapat pengobatan lengkap atau sudah
dinyatakan sembuh, namun hasil pemeriksaan sputum BTA masih
positif atau biakan kultur positif
3) Kasus drop out
Pasien yang tidak mengambil obat selama 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
4) Kasus gagal
Pasien dengan hasil BTA negatif dan gambaran radiologik positif,
kemudian menjadi BTA positif pada pemeriksaan akhir bulan ke-2
pengobatan. Atau pasien BTA positif yang masih positif dan tetap
positif pada pemeriksaan di akhir bulan ke-5 pengobatan.
5) Kasus kronik (persisten)
Pasien dengan hasil BTA masih positif pada pemeriksaan akhir
pengobatan ulang kategori 2 bahkan dengan pengawasan yang
baik.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Tuberkulosis Ekstraparu
Tuberkulosis yang menyerang organ dengan vaskularisasi tinggi selain
paru, seperti pleura, kelenjar limfe, selaput otak, perikardium, tulang,
persendian, kulit, ginjal, usus, saluran kencing, serta alat kelamin.
Diagnosis ditegakkan dengan kultur positif atau hasil patologi anatomi
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

27

D. Diagnosis
1. Anamnesis
Melalui anamnesis dapat ditemukan gejala klinik tuberkulosis (TB).
Gejala klinik TB dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik. Dalam hal ini, gejala lokal TB paru berarti gejala respiratorik
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
a. Gejala respiratorik
Gejala respiratorik bervariasi bergantung pada luas lesi. Bila bronkus
belum terkena, maka mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk terjadi
dikarenakan iritasi bronkus dan keperluan untuk membuang dahak.
1) Batuk lebih dari 2 minggu
2) Batuk darah
3) Sesak napas
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Keringat malam
3) Malaise
4) Anoreksia
5) Penurunan berat badan
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2. Pemeriksaan Fisik
Temuan kelainan pada pemeriksaan fisik bergantung dari organ yang
terlibat. Kelainan pada TB paru bergantung luas lesi pada struktur paru.
Awal perkembangan penyakit, jarang atau sulit ditemukan kelainan.
Kelainan umumnya pada daerah lobus paru superior, terutama apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2), serta lobus paru inferior (S6). Kelainan
pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru serta diafragma
dan mediastinum (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah

28

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik sebagai indikator TB.


Hasil pemeriksaan darah rutin menunjukkan tanda-tanda infeksi seperti
peningkatan LED. Laju Endap Darah (LED) meningkat pada proses
aktif.

Selain

itu

terdapat

peningkatan

leukosit

dan

limfosit

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).


b. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis dapat menggunakan bahan dari dahak
(sputum), cairan pleura, LCS, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Paling
murah dan mudah adalah bahan dari sputum. Pengambilan sputum
dilakukan 3 kali, yaitu sewaktu, pagi, dan sewaktu (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2011).
c. Pemeriksaan mikroskopis
Setelah pengambilan sputum, dilakukan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan mikroskopis murah dan mudah adalah pewarnaan ZiehlNielsen. Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala
IUARLD sesuai rekomendasi WHO (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011).
1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang : negatif
2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang : ditulis jumlah BTA
yang ditemukan
3) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang : (+) atau (+1)
4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang : (++) atau (+2)
5) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang : (+++) atau (+3)
d. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis standar adalah foto thoraks anteroposterior
(AP). Gambaran radiologik yang ditemukan yaitu:
1) Lesi TB Aktif
bayangan berawan (nodular) di segmen apeks pada lobus superior
paru dan posterior pada lobus inferior paru.
Kavitas, terutama bila lebih dari satu, dikelilingi bayangan
opaque berawan
Bercak milier

29

Efusi pleura, unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)


(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
2) Lesi TB Inaktif: fibrotik, kalsifikasi, penebalan pleura (Schwarte)
Untuk kepentingan pengobatan, dilihat juga luas lesi pada foto thoraks.
1) Lesi minimal
Proses patologis mengenai sebagian dari 1 lobus atau kedua lobus
dengan luas tidak melebihi spatium intercostae (SIC) 2 anterior, serta
tidak dijumpai kavitas.
2) Lesi luas: Proses patologis mengenai lebih dari lesi minimal
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
e. Pemeriksaan khusus
1) Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR): pemeriksaan DNA
bakteri Mycobacterium tuberculosis.
2) Pemeriksaan serologis: Enzym Linked Immunosorbent Assay
(ELISA), Immunochromatographic (ICT)
3) Analisis cairan pleura

30

4) Pemeriksaan histopatologi jaringan


(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)

Gambar 3.2. Alur Diagnosis TB Paru


E. Perjalanan Penyakit
1. Cara penularan
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif
b. Pasien batuk bakteri TB tersebar ke udara dalam bentuk droplet
nuclei sekali batuk = 3000 droplet nuclei
c. Penularan terjadi di dalam ruangan berisi droplet nuclei dengan waktu
yang lama. Ventilasi memadai dapat mengurangi jumlah droplet

31

nuclei, sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri TB. Droplet


nuclei dapat bertahan dalam waktu beberapa jam di kondisi gelap dan
lembap.
d. Daya penularan pasien : ditentukan oleh banyaknya bakteri yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan sputum = makin infeksius pasien tersebut
e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan bakteri TB ditentukan
oleh konsentrasi droplet nuclei di udara dan lamanya menghirup udara
tersebut
(Werdhani, 2002)
2. Risiko penularan
a. Pasien TB paru BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar
dari pasien TB paru BTA negatif
b. Risiko penularan setiap tahun ditunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI), yaitu proporsi penduduk berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 orang di
antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
c. ARTI di Indonesia : 1 3 %
(Werdhani, 2002)
3. Risiko menjadi sakit TB
a. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB
b. ARTI 1% diperkirakan di antara 100.000 penduduk, rata-rata terjadi
1000 penduduk terinfeksi TB dan 10% di antaranya (100 orang) akan
menjadi sakit TB setiap tahun, dengan 50 di antaranya pasien TB BTA
positif.
c. Faktor risiko seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh
rendah, seperti pada pasien HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk)
d. Pasien TB yang tidak diobati setelah 5 tahun akan:
1) 50% pasien meninggal
2) 25% sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3) 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular
(Werdhani, 2002)

32

Gambar 3.3. Faktor Risiko Terjadinya TB


F. Penatalaksanaan
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan (4-7 bulan). Fase intensif, pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
fase intensif diberikan secara tepat, pasien menular akan menjadi tidak
menular dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif akan
menjadi BTA negatif dalam waktu 2 bulan (fase intensif selesai). Fase
lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
lebih lama (4-7 bulan). Tahap ini penting untuk membunuh kuman persisten
dan mencegah terjadinya kekambuhan (Tuberculosis Coalition dor Technical
Assistance, 2009).
Pengobatan TB diberikan dalam kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai kategori pengobatan. Pemakaian obat
yang dianjurkan adalah obat anti-TB (OAT) dengan Kombinasi Dosis Tetap
(Fixed Dose Combination-FDC). Terdapat 4 jenis obat, yaitu Rifampicin (R),
Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E).
Berikut paduan pengobatan OAT-FDC:

33

1. TB paru Kasus Baru / BTA positif lesi minimal / Foto toraks lesi luas
a. 2 RHZE / 4 RH : fase intensif RHZE (2 bulan), fase lanjutan RH (4
bulan)
b. 2 RHZE / 4 R3H3: fase intensif RHZE (2 bulan), fase lanjutan RH (4
bulan, 3 kali seminggu)
c. 2 RHZE / 6 RH : fase intensif RHZE (2 bulan), fase lanjutan RH (6
bulan)
2. TB paru Kasus Kambuh
2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3 : fase intensif RHZES (2 bulan), fase
sisipan RHZE (1 bulan), fase lanjutan RHE (5 bulan, 3 kali seminggu)
3. TB paru Kasus Gagal
2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3 : fase intensif RHZES (2 bulan), fase
sisipan RHZE (1 bulan), fase lanjutan RHE (5 bulan, 3 kali seminggu)
4. TB paru Kasus Drop Out
Sempat berobat < 4 bulan: BTA positif atau negatif, dengan klinis dan
radiologis positif pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
sama seperti kasus baru
Sempat berobat > 4 bulan: BTA positif pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat lebih kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama.
Bila yang dilakukan pengobatan kategori II, dimulai lagi dengan kategori
II.
5. TB paru Kasus Kronik
2 RHZES / 1 RHZE / 5 R3H3E3 : fase intensif RHZES (2 bulan), fase
sisipan RHZE (1 bulan), fase lanjutan RHE (5 bulan, 3 kali seminggu)
bila tidak ada resistensi.
Bila ada resistensi diberikan Isoniazid (INH/H) seumur hidup
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
Efek samping OAT dapat terjadi, baik itu ringan maupun berat. Bila
efek samping terjadi dapat diatasi dengan:
1. Efek samping ringan seperti gangguan lambung, dapat diatasi secara
simptomatik

34

2. Reaksi hipersensitivitas seperti gatal (rash) pada kulit diakibatkan


isoniazid atau rifampisisn. Diatasi dengan pemberian dosis rendah dan
disensitisasi dengan peningkatan dosis secara perlahan dalam pengawasan
ketat. Disensitisasi hanya dapat dilakukan pada kedua obat tersebut
3. Kelainan seperti: trombositopenia, syok, dan gagal ginjal karena
rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIII
karena streptomisin, dan dermatitis eksfoliata serta agranulositosis akibat
thiacetazon, harus segera dihentikan pengobatannya
4. Bila suatu obat harus diganti, paduan obat harus diubah hingga jangka
waktu pengobatan perlu dipertimbangkan dengan baik.
(Yulianah, 2009).
Tabel 6.1. Efek samping Minor OAT dan penatalaksanaannya
Efek samping
Minor
Tidak nafsu makan, mual, nyeri
perut
Nyeri sendi
Kesemutan
(kaki
terasa
terbakar)
Air seni bewarna kemerahan

Kemungkinan
Penyebab
Rifampisin

Tatalaksana
(OAT diteruskan)
Obat diminum malam sebelum tidur

Pirazinamid
Isoniazid

Beri aspirin / allupurinol


Beri Vit. B6 1 x 100 mg tab / hari

Rifampisin

Beri penjelasan

Tabel 6.2. Efek samping Mayor OAT dan penatalaksanaannya


Efek samping
Mayor
Gatal dan kemerahan pada
kulit
Tuli
Gangguan keseimbangan
(vertigo dan nistagmus)
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat
(penyebab lain disingkirkan)

Kemungkinan
Penyebab
Semua jenis OAT

Muntah dan bingung


(suspect drug-induced preicteric
hepatitis)
Gangguan penglihatan
Kelainan sistemik
(Syok, purpura)

Sebagian besar
OAT

Streptomisin
Streptomisin
Sebagian besar
OAT

Etambutol
Rifampisin

Tatalaksana
(OAT dihentikan)
Beri antihistamin, evaluasi ketat
Streptomisin STOP, ganti Etambutol
Streptomisin STOP, ganti Etambutol
Hentikan SEMUA OAT sampai ikterik
menghilang
Beri hepatoprotektor
Hentikan SEMUA OAT
Tes fungsi hepar (SGOT-SGPT)
STOP Etambutol
STOP Rifampisin

Evaluasi pengobatan pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik,


radiologik, dan efek samping.
1. Evaluasi klinik: setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan,
selanjutnya setiap bulan sekali. Evaluasi keluhan, berat badan, dan
35

pemeriksaan fisik untuk melihat respon pengobatan, ada tidaknya efek


samping obat, dan komplikasi penyakit.
2. Evaluasi bakteriologik
Dilakukan pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Akhir bulan ke-2 pengobatan (akhir fase intensif)
c. Akhir pengobatan (selesai pengobatan / akhir fase lanjutan)
3. Evaluasi radiologik: waktunya sama seperti evaluasi bakteriologik
4. Evaluasi efek samping
a. Periksa fungsi hepar (SGOT, SGPT, Bilirubin), fungsi ginjal (Ureum,
Kreatinin), dan darah lengkap (termasuk GDS dan asam urat) sejak
awal
b. Periksa visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
c. Periksa uji keseimbangan dan audiometri bila mendapat streptomisin
d. Evaluasi klinik kemungkinan reaksi / efek samping obat
5. Evaluasi keteraturan obat: penyuluhan dan edukasi mengenai penyakit dan
pentingnya keteraturan obat kepada pasien, keluarga, dan lingkungan.
Edukasi juga mengenai masalah resistensi obat sebagai efek dari
ketidakteraturan minum obat
6. Evaluasi pasien sembuh: dilakukan minimal dalam 2 tahun pertama setelah
sembuh, berupa pemeriksaan mikroskopis BTA sputum (3, 6, 12, dan 24
bulan sesuai indikasi/gejala) dan foto thoraks (6, 12, 24 bulan setelah
dinyatakan sembuh), untuk mengetahui kekambuhan.
(Yulianah, 2009)
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan pada:
1. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu, maka
paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai Pengawas Minum
Obat (PMO). Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur,
sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO
harus dekatdengan rumah pasien TB.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO:

36

a. Petugas kesehatan
b. Orang lain (kader kesehatan, tokoh masyarakat)
c. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
2. Pasien dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah
petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan
berobat jalan.
(Depkes, 2007)
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting,
penyuluhan dapat dilakukan secara:
1. Perorangan/Individu
Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat
dilakukan di unit rawat jalan ataupun di apotik saat mengambil obat
2. Kelompok
Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien,
kelompok keluargapasien, masyarakat, pengunjung Rumah Sakit, dan di balai
desa.
(Depkes, 2007)
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
1. Terapi pencegahan
Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV/AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg/ kgBB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.
2. Diagnosis dan pengobatan tepat pada pasien TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan
(Depkes, 2007)

37

DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis. Dalam: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit:
Tuberkulosis Paru. Jakarta: EGC. 2006;852-823.
Tuberculosis Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2009. International
Standard for Tuberculosis Care 2nd Edition
Werdhani, Retno Asti. 2002. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi
Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi,
Dan Keluarga FKUI
World Health Organization. 2012. Programmes and Projects: Tuberculosis (TB).
Diakses dari: http://www.who.int/tb/en/ pada 12 November 2012.
Yulianah, Elin. Tuberkulosis. Dalam: Isofarmakoterapi. Jakarta: PT ISFI.
2009;918-929

Depertemen

Kesehatan

RI.

2006.

Pedoman

Nasional

Penanggulangan

Tuberkulosis edisi ke-2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.


Hal.1-131.
Widodo Eddy. 2004 Upaya Peningkatan Peran Masyarakat dan Tenaga Kesehatan
dalam Pemberantasan Tuberkulosis. Makalah Pribadi Pengantar Falsafah Sains
Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hal.1-16.
Mual Bobby E. 2009. Peranan Foto Dada dalam Mendiagnosis Tuberkulosis Paru
Tersangka dengan BTA Negatif di Puskesmas Kodya Medan. Program
Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Ilmu Penyakit Paru FK USU. Medan:
FK USU. Hal.1-77.
a. Notoatmodjo Soekidjo, prof. Dr. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat PrinsipPrinsip Dasar. PT Rineka Cipta. Jakarta..

38

Anda mungkin juga menyukai