1
sebanyak 566.623 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus Tuberculosis
yang ditemukan tahun 2017 sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus tertinggi
terdapat diprovinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Jawa Tengah. Kasus Tuberculosis di tiga provinsi tersebut sebesar
(4)
44% dari Jumlah seluruh kasus tuberculosis di indonesia . Jumlah kasus
tuberculosis pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu 1,3 kali
dibandingkan perempuan. Kasus tuberculosis terbanyak ditemukan pada
kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 14,2 % diikuti kelompok umur 25-23
tahun sebesar 13,8% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 13,4%.
Untuk Case Detection Rate (CDR) kasus tuberculosis tahun 2018 sebesar
67,2% dan angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebesar
52,6%. Untuk angka Notifikasi semua kasus/CNR pada tahun 2018 sebesar 214
per 100.000 penduduk meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar 169
per 100.000 penduduk (4). Pada tahun 2018 angka keberhasilan pengobatan semua
kasus tuberculosis sebesar 84,6%, angka kesembuhan semua kasus yang harus
dicapai minimal 85%, sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua kasus
(4)
minimal 90% .Tahun 2017 insiden TB sebesar 131.65 per 100.000 penduduk
atau sekitar 6.852 kasus disemua tipe, insidensi kasus baru TB BTA positif
sebesar 4.597 per 100.000 penduduk atau sekitar 5.258 kasus baru TB paru BTA
positif. Jumlah kasus TB yang banyak ditemukan adalah pada kabupaten/kota
Pasaman Barat, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, 50 Kota, Agam dan
Dharmasraya (6).
Kabupaten Dharmasraya Merupakan pemekaran dari Kabupaten
sawahlunto sijunjung, dengan Jumlah Penduduk tahun 2016 sebanyak 229.304
jiwa, meningkat pada tahun 2017 yaitu 235.476 jiwa begitu juga pada tahun 2018
meningkat sebanyak 241.571 jiwa yang tersebar di 11 kecamatan yang ada di
Kabupaten Dharmasraya. Untuk kasus TB paru di kabupaten dharmasraya pada
tahun 2016 ditemukan sebanyak 333 kasus dan mengalami peningkatan pada
tahun 2017 yaitu sebanyak 405 kasus TB yang ditemukan serta angka ini
mengalami penurunan ditahun 2018 sebanyak 207 kasus. Untuk hasil pengobatan
lengkap kasus TB pada tahun 2016 sebesar 51,1%, dan tahun 2017 sebesar 44,2%.
2
dari masing-masing type TB, untuk TB Terkonfirmasi Bakteriologis mengalami
penurunan tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2016 (57,7%), tahun 2017
(53,6%), tahun 2018 (32,7%). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten
Dharmasraya proporsi TB Paru BTA Positif diantara yang suspek berkembang
secara fluktuatif, yaitu pada tahun 2016 Jumlah BTA positif 8%, tahun 2017
sebesar 7,7% dan ditahun 2018 turun menjadi 4,2% (7).
Adapun beberapa penanganan kasus dalam penanggulangan Tuberculosis
yang dapat dilakukan yaitu pengobatan & penanganan efek samping di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, Pengawasan Kepatuhan Menelan Obat (PMO), pemantauan
kemajuan pengobatan dan hasil pengobatan serta pelacakan kasus mangkir. Selain
itu masyarakat dapat berperan aktif dalam upaya penanggulangan tuberculosis
antara lain, mempromosikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS),
mengupayakan tidak terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap kasus TB di
masyarakat, membentuk dan mengembangkan warga peduli Tuberculosis dan
memastikan warga yang terduga TB memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian Tuberculosis
dimasyarakat diantaranya adalah determinan sosial seperti kepadatan penduduk,
kondisi rumah sehat, fasilitas pelayanan Kesehatan yang tidak memadai yang
berakibat pada tingginya resiko masyarakat terjangkit TB (1).
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa kejadian TB Paru di
Kabupaten Dharmasraya jika dibedakan berdasarkan tahun selalu mengalami
fluktuasi data dari tahun 2016-2018. Selain itu jika dibedakan berdasarkan
kecamatan untuk kasus TB terbanyak ada pada kecamatan koto baru, kecamatan
pulau punjung dan diikuti oleh kecamatan sungai rumbai. Berdasarkan Profil
Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya tahun 2016-2018 jumlah penemuan
kasus TB yaitu pada kecamatan koto baru (148 per 100.000 penduduk),
kecamatan Pulau punjung (129 per 100.000 penduduk) dan kecamatan sungai
rumbai (75 per 100.000 penduduk) (7).
Penelitian Sebelumnya dilakukan fitri wulandari tahun 2012
menyatakan bahwa ada hubungan kepadatan penduduk dengan kejadian TB paru
di jakarta selatan pada tahun 2006-2010. Menurut Penelitian Fahrudin secara
3
spasial kepadatan penduduk dan fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis
berpengaruh terhadap TB Pru BTA (+) di kecamatan tebet, penelitian lain dari
david simbolon juga menyebutkan, pekerjaan, status gizi, status merokok dan
riwayat kontak berhubungan dengan kejadian TB Paru. Penelitian Alfreda
menyebutkan bahwa ada hubungan antara pendidikan, akses pelayanan kesehatan,
dan dukungan keluarga dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan penderita TB
Paru. Menurut penelitian wahyu ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan
kejadian TB paru di Dharmasraya, hal ini sejalan dengan penelitain Dyah wulan.
Perilaku Kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus
atau objek yang berkaitan dengan yang sakit dan penyakit, sistem layanan
kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Faktor Yang berhubungan
dengan perilaku manusia agak sulit dibatasi karena perilaku manusia merupakan
(9)
hasil dari interaksi beberapa faktor internal dan eksternal . Menurut Lawrence
Green mengatakan bahwa perilaku terbentuk karna kombinasi dari 3 faktor utama
yakni Faktor Predisposisi (predisposing factor), Faktor pendukung (Enabling
Factor), serta Faktor pendorong (Reinforcing Factor).
Dengan teori tersebut dapat dianalisis beberapa masalah terkait kejadian
TB Paru yang ada di Kabupaten Dharmasraya seperti pada tingkat kepadatan
penduduk disetiap wilayah di 11 kecamatan yang ada, rumah sehat yang
memenuhi syarat pada tahun 2016 sebanyak 63,8%, naik pada tahun 2017
sebanyak 66,93% meningkat menjadi 67% di tahun 2018 serta fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada sebanyak 14 puskesmas pada 11 kecamatan dengan jarak ada
yang kurang dari 4 km ataupun lebih dari 4 km ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Hal ini menyebabkan kejadian TB paru di Kabupaten Dharmasraya berkembang
secara fluktuatif.
Analisis spasial merupakan hal yang penting dilakukan agar segala
permasalahan di wilayah kerja dapat diketahui serta diselesaikan dengan upaya
melaksanakan program promotif preventif serta pergerakan kebijakan yang dapat
meningkatkan penemuan kasus atau investigasi kontak dan dapat menurunkan
kejadian TB paru diwilayah Kabupaten Dharmasraya.
4
Analisis Spasial merupakan suatu analisis dan uraian tentang data
penyakit secara geografi berkenaan dengan distribusi kependudukan, persebaran
faktor resiko lingkungan, ekosistem, sosial ekonomi serta analisis hubungan antar
variabel tersebut. Kejadian penyakit dapat dikaitkan dengan berbagai objek yang
dimiliki ataupun kejadian didalam sebuah keruangan atau pada titik tertentu serta
dapat dihubungkan pula dengan peta dan ketinggian (10).
Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana
distribusi kejadian TB Paru di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
berdasarkan determinan sosial kepadatan penduduk, rumah sehat serta fasilits
pelayanan kesehatan serta mengetahui wilayah mana saja yang beresiko terkena
TB Paru Tahun 2016-2018 di Kabupaten Dharmasraya.
5
3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi Rumah Sehat di Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018
4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi fasilitas pelayanan kesehatan di
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
5. Untuk Mengetahui hasil analisis secara spasial kepadatan penduduk dengan
kejadian TB Paru di di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
6. Untuk Mengetahui hasil analisis secara spasial rumah sehat dengan kejadian
TB Paru di di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
7. Untuk Mengetahui hasil analisis secara spasial fasilitas pelayanan kesehatan
dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
2. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi tambahan untuk masyarakat terkait dengan hubungan
faktor determinan sosial dengan kejadian TB dan dapat meningkatkan
6
pengetahuan, memperbaiki persepsi yang salah tentang TB, ataupun kesadaran
untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan lebih dini.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberculosis
2.1.1 Pengertian Tuberculosis
Penyakit Tuberculosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat dunia. Hal ini ditunjukan bahwa sejak tahun 1992, Tuberculosis (TB)
sudah menjadi emergency oleh World Health Organization (WHO). Menurut
WHO, Tuberculosis (TB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis
yang mempengaruhi paru-paru. Tuberculosis ini dapat diobati dan dapat dicegah.
Peraturan Kementrian Kesehatan RI No 67 Tahun 2016 menyatakan Tuberkulosis
adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang paru dan organ lainnya (1).
8
6,2%. perkiraan jumlah kasus TB-ROsebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9%
kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB pada
pengobatan ulang.
Beberapa penyebab yang mempengaruhi meningkatnya beban TB adalah :
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena
masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan, dan
pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.
2. Belum maksimalnya tata laksana TB terutama di fasilitas pelayanan
kesehatanserta masih ada yang belum menerapkan layanan TB sesuai dengan
standar pedoman nasional dan ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis, paduan
obat yang sesuai standar,pemantauan pengobatan, pencatatan dan pelaporan
yang baku tidak dilakukan.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di Daerah
Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko tinggi seperti
daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi permukiman padat
seperti pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
5. Belum maksimalnya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam
penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan
dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko
terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,
merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
7. Semakin tingginya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat
pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan
pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat
terjangkit TB.
9
berdasarkan laporan WHO tahun 2015, Indonesiaberhasil menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat TB bila dibandingkan dengan tahun 1990.
prevalensi TBpada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, di tahun
2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari indikator MDG’s untuk TB di
indonesia saat ini baru tercapai pada target penurunan angka insidens.
Jumlah kasus TB paru di indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 mei 2018). berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus TBC tahun
2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan
hasil survei prevalensi tuberculosis perevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan. Begitu juga terjadi dinegara lain. Hal ini terjadi
kemungkinan karna laki-laki lebih terpapar pada faktor resiko TBC misalnya
merokok dan kurang patuhnya dalam minum obat. Survei ini menemukan bahwa
dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok (4)
10
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas,
pasien juga diklasifikasikan menurut (1):
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
1) Tuberkulosis paru :
TB yang ada pada parenkim (jaringan) paru. Apabila pasien yang
menderita TB parusekaligusmenderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2) Tuberkulosis ekstraparu:
TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pada: pleura,
abdomen, kelenjar limfe, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak
dan tulang.Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaranradiologis
yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra
paru. Diagnosis TB ekstra paru bisa ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis maupun klinis. Diagnosis TB ekstra
parudiupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya
Mycobacterium tuberculosis.Jika proses TB terdapat dibeberapa
organ, penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses
TB terberat.
11
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-
benar kambuh atau karena reinfeksi).
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up. (Klasifikasidisebut sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).
d) Yang lainnya merupakan pasien TB yang pernah diobati namun
hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
12
terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau
metode fenotip (konvensional).
13
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung kepada pasien remaja dan
dewasa, serta penetapan skoring pada pasien anak.
Pemeriksaan dahak bertujuan untuk menegakkan diagnosis, untuk menilai
keberhasilan sebuah pengobatan dan menentukan bagaimana potensi penularan.
Pemeriksaan sputum dalam penegakan diagnosis pada semua suspek TB
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) :
1) S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali.saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi di hari kedua.
2) P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri
kepada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan.
3) S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan di fasilitas pelayanan kesehatan
pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Diagnosis TB Paru padaremaja maupun dewasa ditegakkan melalui
ditemukannya kuman TB (BTA). Untuk program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain diantaranya foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosa TB hanya berdasarkan hasil pemeriksaan foto
toraks saja. karna tidak selalu foto toraks memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Karna gambaran kelainan
radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Indikasi pada pemeriksaan Foto Toraks di sebagian besar TB paru,
diagnosis terutama ditegakkan pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan
tidak memerlukan foto toraks. Namun jika kondisi tertentu pemeriksaan foto
toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi antara lain :
14
1) Pada 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan guna mendukung diagnosis TB
paru BTA positif.
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimenSPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah diberikan antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
3) Pasien tersebut dicurigai mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pleuritis eksudativa, efusi
perikarditis atau efusi pleural, pneumotorak) dan pasien yang mengalami
hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
15
Ada berbagai cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux sangat sering digunakan. Dengan lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). untuk penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi:
1) Pembengkakan (Indurasi) : 0–4 mm, uji mantoux negatif. Arti
klinisnyaadalah tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2) Pembengkakan (Indurasi) : 5–9 mm, uji mantoux yang meragukan. Hal ini
bisa terjadi karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium
atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3) Pembengkakan (Indurasi) : >= 10 mm, uji mantoux hasil positif. Artinya
secara klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
16
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara
“mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah
demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TB dapat terdeteksi
kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TB dewasa. Kira-kira 30-50% anak
yang kontak dengan penderita TB paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin
positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita
TB paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan
pemeriksaan serologi/darah.
17
5) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
18
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester
3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan amnion maupun
hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama
masa neonatal berisiko tertular oleh ibunya melalui percik renik. Pada kedua
kondisi tersebut bayi sebaiknya dirujuk. Vaksinasi BCG dilakukan sesuai alur tata
laksana bayi yang lahir dari ibu terduga TB atau ibu sakit TB.
3. Limfadenitis BCG
Limfadenitis BCG merupakan komplikasi vaksinasi BCG yang paling sering.
Definisi limfadenitis BCG adalah pembengkakan kelenjar getah bening satu sisi
setelah vaksinasi BCG. Limfadenitis BCG dapat timbul 2 minggu sampai 24
bulan setelah penyuntikan vaksin BCG (sering timbul 2-4 bulan setelah
penyuntikan), terdapat 2 bentuk limfadenitis BCG, yaitu supuratif dan non
supuratif. Tipe non supuratif dapat hilang dalam beberapa minggu. Tipe supuratif
ditandai adanya pembekakan disertai kemerahan, edem kulit di atasnya, dan
adanya fluktuasi. Kelenjar getah bening yang terkena seperti supraklavikula,
servikal, dan aksila, dan biasanya hanya 1-2 kelenjar yang membesar. Diagnosis
ditegakkan bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening sisi yang sama dengan
19
tempat penyuntikan vaksin BCG tanpa penyebab lain, tidak ada demam atau
gejala lain yang menunjukkan adenitis piogenik. Limfadinitis tuberkulosis sangat
jarang terjadi dan hanya di aksila saja. Pemeriksaan sitopatologi dari sediaan
aspirasi BCG limfadenitis tidak jauh berbeda dengan limfadenitis tuberkulosis.
Limfadenitis BCG non-supuratif akan sembuh sendiri dan tidak membutuhkan
pengobatan. Pada limfadenitis BCG supuratif yang dilakukan aspirasi jarum
memberikan kesembuhan lebih tinggi (95% vs 68%) dan lebih cepat (6,7 vs 11,8
minggu) dari kontrol. Eksisi hanya dilakukan bila terapi aspirasi jarum gagal atau
pada limfadenitis BCG multinodular.
20
f) Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat
disesuaikan dengan jadwal kontrol dari kasus indeks.
g) Pada pasien dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan
h) Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau
anggota keluarga pasien.
21
Gambar 2.1 Model Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam Detereminan
Kesehatan
Dalam teori ekonomi-sosial kesehatan, Dahlgreen dan Whitehead (1991)
menjelaskan bahwa kesehatan atau penyakit yang dialami oleh individu
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terletak diberbagai lapisan lingkungan,
sebagian besar determinan kesehatan tersebut sesungguhnya dapat diubah
(modifiable factors). Gambar 2.1 memeragakan, individu yang kesehatannya ingin
ditingkatkan terletak dipusat, dengan faktor konstitusional (gen), dan sistem
lingkungan mikro pada level sel/molekul.
Lapisan pertama (level mikro, hilir/downstream) pada determinan
kesehatan meliputi perilaku dan gaya hidup individu, yang meningkatkan ataupun
merugikan kesehatan. Di level mikro, faktor konstitusional genetik berinteraksi
dengan paparan lingkungan dan memberikan perbedaan apakah individu lebih
rentan atau lebih kuat menghadapi paparan lingkungan yang merugikan. Perilaku
dan karakteristik individu dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain pola keluarga,
pola pertemanan dan norma-norma di komunitas.
Lapisan kedua (level meso) merupakan pengaruh sosial dan komunitas,
yang meliputi norma komunitas, nilai-nilai sosial, lembaga komunitas, modal
sosial, jejaring sosial, dan lainnya. Faktor sosial pada level komunitas dapat
22
memberikan dukungan bagi anggota-anggota komunitas pada keadaan yang
menguntungkan bagi kesehatan. Sebaliknya faktor yang ada pada level komunitas
dapat juga memberikan efek negatif bagi individu dan tidak memberikan
dukungan sosial yag diperlukan bagi kesehatan anggota komunitas.
Lapisan ketiga (level ekso) meliputi faktor-faktor struktural : lingkungan
pemukiman atau perumahan papan yang baik, ketersediaan pangan, ketersediaan
energi, kondisi di tempat bekerja, kondisi sekolah, penyediaan air bersih dan
sanitasi lingkungan, akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, akses
terhadap pendidikan yang berkualitas, lapangan kerja yang layak.
Lapisan terluar (level makro, hulu/upstream) meliputi kondisi kondisi dan
kebijakan makro sosial-ekonomi, budaya, dan politik umumnya, serta lingkungan
fisik. Termasuk faktor-faktor makro yang terletak di lapisan luar adalah kebijakan
publik, stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, hubungan internasional atau
kemitraan global, investasi pembangunan eknomi, peperangan atau perdamaian,
perubahan iklim dan cuaca, ekosistem, bencana alam (maupun bencana buatan
manusia/ man made disaster seperti kebakaran hutan).
Berdasarkan model determinan ekonomi-sosial kesehatan Dahlgren dan
Whitehead (1991) dapat disimpulkan bahwa kesehatan individu, kelompok dan
komunitas yang optimal membutuhkan realisasi potensi penuh dari individu, baik
secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan ekonomi, pemenuhan ekspektasi
peran seorang dalam keluarga, komunitas, tempat bekerja, dan realisasi kebijakan
makro yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan makro.
23
tidak adanya penyakit. Studi migrasi menunjukkan bahwa hanya antara
10% dan 15% dari total kesehatan tingkat populasi dapat dikaitkan dengan
genetik. Genetika masih memberikan pengaruh, tetapi lingkungan dan
perilaku memberikan pengaruh lebih besar pada penyakit kronis, dan
merupakan interaksi antara faktor-faktor yang menentukan dari hasil.
2) Biologi
Berbagai penanda biologis telah ditentukan sebagai faktor risiko untuk
penyakit. Baru-baru ini, penanda seperti inflamasi dan stres kronis
memiliki bukti sangat terkait dengan hasil kesehatan.
3) Gender
Jenis kelamin (sex) adalah fenomena biologis. Hal ini didefinisikan seks
dalam hal kromosom dan manifestasi fisik pada tubuh. Gender konstruksi
sosial yaitu dalam setiap orang memiliki budaya tertentu disosialisasikan
ke pemahaman dari apa yang membuat seseorang laki-laki dan wanita
berbeda. Istilah seks dan gender sering digunakan. Seks biologis
mempengaruhi kemungkinan mengembangkan banyak penyakit yang
umum misalnya menopause. Pengaruh jenis kelamin memberikan
kerentanan penyakit dari mekanisme, kombinasi genetik, perilaku budaya
dan faktor struktural
4) Etnisitas
Etnisitas juga memiliki hubungan yang kompleks dengan kesehatan.
Seperti genetik, biologis, perilaku budaya dan faktor faktor struktural yang
terlibat. Seperti TB Paru Ini mungkin merupakan cerminan dari akses ke
kesehatan, perilaku dan kemiskinan (Kolawole, 2008).
b. Level II : Komunitas
Seperti lingkungan rumah, lingkungan tempat kerja, sosial yang lebih luas,
pengaruh sistem pendidikan atau perawatan kesehatan.
24
c. Level III : Lingkungan
Mencakup aspek yang lebih luas seperti air bersih, udara dan aspek fisik
lainnya yang baik dengan lingkungan yang mendasar untuk kesehatan.
25
Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf jasmani
dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan mengurangi
daya kerja atau produktifitas seseorang. Rumah tidak sehat dapat menjadi
reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan
hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan
pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan dilingkungan
pemukiman pada dasarnya disebabkan karna tingkat kemampuan ekonomi
masyarakatnya rendah, karna rumah dibangun berdasarkan kamampuan
keuangan penghuninya (Notoatmodjo,2003).
2.8.5 Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Depkes (2002) menyebutkan kesuksesan suatu program dalam
penanggulangan dan pemberantasan penyakit diperlukan fasilitas
pelayanan yang dilengkapi dengan peralatan yang dapat menunjang dalam
penegakan diagnosis penyakit. Fasilitas pelayanan kesehatan disini harus
mempunyai laboratorium yang dapat menganalisis bakteri tahan asam,
sesuai dengan kuman yang menyebabkan TB Paru. Dalam manajemen
pengendalian kasus TB paru berbasis wilayah, peningkatan sarana &
prasarana yang dapat mendukung pencarian dan pngobatan kasus sebagai
upaya preventif (Ahmad,2008). Berdasarkan penelitian wahyu (2015) serta
Fachrudin (2010) menyatakan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan bukan
merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru.
2.9 Sistem Informasi Geografis
2.9.1 Pengertian Sistem Informasi Geografis
SIG (sistem informasi geografis) merupakan ” Suatu komponen yang
terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis serta sumberdaya
manusia yang bekerja bersama secara efektif dengan tujuan untuk memasukan,
menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi
berbasis geografis ” (24).
Menurut John E. Harmon, Steven J. Anderson. 2003, secara rinci SIG
tersebut dapat beroperasi dengan komponen komponen sebagai berikut:
26
1) Orang (yang menjalankan sistem)
2) Aplikasi (prosedur yang digunakan untuk mengolah data)
3) Data (informasi yang dibutuhkan serta diolah dalam aplikasi)
4) Software (perangkat lunak SIG berupa program program aplikasi)
5) Hardware (perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem
berupa printer, perangkat komputer, scanner dan perangkat pendukung
lainnya)
SIGselalu diasosiasikan dengan sistem yang berbasis komputer, walaupun
pada dasarnya SIG dapat dikerjakan secara manual, SIG yang berbasis komputer
akan sangat membantu ketika data geografis merupakan data yang besar (dalam
jumlah dan ukuran) terdiri dari banyak tema yang saling berkaitan satu dan
lainnya.
SIG mempunyai kemampuan menghubungkan berbagai data pada suatu titik
tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan
hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah
data yang berorientasi geografis serta merupakan lokasi yang memiliki sistem
koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Oleh karna itu aplikasi SIG dapat
menjawab beberapa pertanyaan seperti lokasi, kondisi, trend, pola serta
pemodelan. Hal ini yang membuat SIG berbeda dengan yang lain..
27
2.9.3 Manfaat Sistem Informasi Geografis dalam Kesehatan
Menurut WHO, Sistem Informasi Geografis dalam bidang kesehatan dapat
digunakan untuk :
a) Menentukan distribusi geografis suatu penyakit
b) Analisis tren penyakit secara spasial dan temporal
c) Pemetaan populasi yang berisiko terkena penyakit
d) Stratifikasi faktor risiko
e) Penilaian distribusi sumberdaya
f) Perencanaan serta penentuan langkah intervensi
g) Monitoring penyakit.
28
8. Melakukan fungsi-fungsi SIG khususlainnya (salah satunya dengan
menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan
perangkat lunak SIG ArcView)
29
2. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial, suatu lokasi yang
memiliki beberapa keterangan yang berkaitan dengannya, contohnya:
jenis vegetasi, populasi, luasan, kode pos, dan sebagainya.
30
Teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam menyediakan
data bagi SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin tinggi dengan
berkembangnya teknologi satelit navigasi. Pengolahan data yang
bersumber dari GPS biasanya dilakukan dalam format vektor.
31
2.11 Telaah Sistematis
32
suhu, jarak luas lantai 21,2%
Var.Dependen : kondisi dinding
kejadian tuberculosis yang tidak kedap air
32,3%
lantai yang tidak
kedap air 19,2%
kelembaban
ruangan dalam
rumah (< 40% dan
> 70%) hanya 1,0%
suhu udara dalam
rumah (> 300C)
yaitu 100% tidak
memenuhi syarat
dan terdapat 12,1%
rumah penderita
yang menggunakan
AC
jarak rumah
penderita yang
dekat dari pelayanan
kesehatan sebanyak
82 rumah (82.8%)
dan sebanyak 17
rumah (17.2%) yang
jarak rumahnya jauh
dari pusat pelayanan
33
kesehatan
3 Fachrudin Ali UI (Tesis) Analisis Spasial Ekologi Var Independen tidak ada korelasi
Achmad /2010 Penyakit :demografi, geografi, antara variabel yang
Tuberkulosis Paru iklim, sosial diteliti, sedangkan
BTA Positif di Kota ekonomi, fasilitas secara spasial variabel
Administrasi pelayanan kesehatan kepadatan penduduk,
Jakarta Selatan mikroskopis dan keluarga miskin dan
Tahun 2007-2009 tenaga kesehatan fasilitas pelayanan
terlatih kesehatan mikroskopis
Var.Dependen : berpengaruh terhadap
Penyakit TB Paru jumlah kasus TB paru
BTA + BTA positif
4 David Simbolon, BKM (BKM Analisis spasial dan Case Control Var,Independen : Umur : Tidak
dkk/2019 Journal of faktor risiko umur, pendidikan, berhubungan (p=1
Community tuberkulosis paru di pekerjaan, status OR=1)
Medicine and Kecamatan gizi, status merokok, Pendidikan : tidak
Public Health) Sidikalang, riwayat kontak, berhubungan
Kabupaten Dairi - kepadatan hunian, (p=0,16 OR= 1,77
Volume 35 Sumatera Utara dan penggunaan Pekerjaan : ada
Nomor 2 tahun 2018 bahan bakar hubungan (p=0,01
Tahun 2019 memasak OR=8,40)
Halaman 65-71 Var.Dependen : Status gizi : Ada
kejadian TB Paru hubungan
(p=<0,001 OR= 10)
Status merokok :
ada hubungan
34
(p=0,001 OR=6)
Riwayat kontak :
ada hubungan
(p=0,01 OR=8)
Kepadatan hunian :
tidak berhubungan
(p=0,41 OR= 0,5)
BBM : tidak
berhubungan
(p=0,817 OR=8)
6 Wahyu Unand (Tesis) Analisis distribusi Case control Var.Independen : Pendidikan : ada
Opsialdi/2017 spasial faktor resiko tingkat pendidikan, hubungan (p=0,029
penyebaran pendapatan, OR=4,564)
tuberculosisbasil kepadatan hunian, Pendapatan : ada
tahan asam posistif ventilasi, hubungan (p=0,000
35
di Kabupaten pencahayaan, OR=9)
Dharmasraya keberadaan sarana Pencahayaan : ada
fasyankes hubungan (p=0,05
Var.Dependen : OR=13,380)
kejadian TB Paru
BTA+
36
2.12 Kerangka Teori
37
2.13 Kerangka Konsep
Kepadatan Penduduk
38
2.14 Hipotesis Penelitian
1) Adanya hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian TB Paru di
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
2) Adanya hubungan antara rumah sehat dengan kejadian TB Paru di
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
3) Adanya hubungan antara fasilitas pelayanan kesehatan dengan kejadian
TB Paru di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
39
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan menggunakan analisis
data sekunder tahun 2016-2018 berbasis populasi (data agregat). Data
dikumpulkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmsraya serta Badan Pusat
Statistik Kabupaten Dharmasraya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah 11
kecamatan yang ada di kabupaten dharmasraya, adapun analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan analisis spasial serta pengolahan
data dilakukan dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) menggunakan perangkat
lunak Arcview GIS 3.3, untuk menentukan wilayah yang berisiko TB Paru di
Kabupaten Dharmasraya selama tahun 2016-2018.
40
3.4 Defenisi Operasional
Variabel Defenisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil
Kejadian TB Paru Jumlah Penderita TB Paru yang Observasional Data sekunder laporan Rasio Persentase
tercatat pada Laporan Tahunan Tahunan Dinas
Dinas Kesehatan Kabupaten Kesehatan Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018 Dharmasraya Tahun
2016-2018
Kepadatan penduduk Jumlah penduduk pada 11 Observasional Data sekunder Rasio Angka
kecamatan yang ada di kabupaten Laporan Tahunan
Dharmasraya Tahun 2016-2018 Badan Pusat Statistik
Kabupaten
Dharmasraya
Rumah Sehat Jumlah Rumah Yang memenuhi Observasional Data sekunder laporan Rasio Persentase
syarat sesuai dengan indikator Tahunan Dinas
Rumah Sehat pada tahun 2016- Kesehatan Kabupaten
2018 Dharmasraya Tahun
2016-2018
Fasilitas pelayanan Jumlah sarana kesehatan yang Observasional Data sekunder laporan Rasio Jumlah
Kesehatan ada di 11 kecamatan kabupaten Tahunan Dinas dalam angka
dharmasraya pada tahun 2016- Kesehatan Kabupaten
41
2018 Dharmasraya Tahun
2016-2018
42
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah awal dalam penelitian. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan
dikumpulkan dengan memakai metode dokumentasi. Metode dokumentasi
merupakan metode dengan cara menelusuri data yang lalu. Adapun,
sumber data yang didapatkan oleh peneliti adalah:
a. Data kejadian TB Paru Tahun 2016-2018, Rumah Sehat yang
memenuhi syarat Tahun 2016-2018 serta Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang diperoleh dari Profil Kesehatan Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018.
b. Data kepadatan penduduk selama 2016-2018 didapatkan dari laporan
Badan Pusat Statistik Kabupaten Dharmasraya.
43
3.7 Teknik Analisis Data
Untuk pengolahan secara statistik, peneliti memakai software SPSS
15.0 dan pengolahan secara spasial dengan memakai software ArcView
GIS 3.3
3.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis dengan cara menggambarkan
distribusi dan frekuensi masing-masing variabel diantaranya kejadian TB
Paru, kepadatan penduduk, rumah sehat serta Fasilitas pelayanan
kesehatan. Data yang telah dianalisis ditampilkan dalam bentuk tabel.
3.7.2 Analisis Spasial
Analisis spasial adalah sekelompok teknik yang digunakan dalam
mengolah data berbasis geografis. Analisis dalam penelitian ini digunakan
untuk melihat bagaimana pola atau trend sebaran penyakit TB Paru yang
dibedakan berdasarkan variabel independen diantaranya kejadian TB Paru,
kepadatan penduduk, rumah sehat,serta fasilitas pelayanan kesehatan di 11
Kecamatan yang ada di Kabupaten Dharmasraya.
44