Anda di halaman 1dari 44

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Penyakit Tuberculosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat dunia. Hal ini ditunjukan bahwa sejak tahun 1992, Tuberculosis (TB)
sudah menjadi emergency oleh World Health Organization (WHO). Menurut
WHO, Tuberculosis (TB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis
yang mempengaruhi paru-paru. Tuberculosis ini dapat diobati dan dapat dicegah.
Peraturan Kementrian Kesehatan RI No 67 Tahun 2016 menyatakan Tuberkulosis
adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang paru maupun organ lainnya (1).
Menurut WHO angka insiden tuberculosis (TB) pada tahun 2017 sebesar
319 per 100.000 penduduk dan angka kematian penderita Tuberculosis 40 per
100.000 penduduk, sementara pada tahun 2018 kasus baru Tuberculosis sebesar
6,4 juta setara dengan 64 % dari insiden Tuberculosis (10 juta) (2). Tuberculosis
tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi didunia, dan kematian Tuberculosis
(3)
secara Global diperkirakan 1,3 juta Pasien . Badan kesehatan dunia
mendefenisikan negara dengan beban tertinggi/High Burden Countries (HBC)
untukTBC diantara 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV dan MDR-TBC, ada 48
negara yang termasuk masuk kedalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk
dalam salah satuatau keduanya, juga bisa masuk dalam 3 indikator. Indonesia
dengan 13 negara lainnya masuk dalam daftar HBC untuk ketiga indikator
tersebut, artinya Indonesia mempunyai masalah besar dalam menanggulangi
penyakit TB . Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai beban
Tuberculosis yang terbesar diantara 8 negara lainnya yaitu India (27%), China
(9%), Indonesia (8%), Philipina (6%), Pakistan (5%), Nigeria (4%), Bangladesh
(4%) dan Afrika selatan (3%) (3).
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia Tahun 2018 menyatakan Target
prevalensi Tuberculosis tahun 2017 dinyatakan dalam RPJM sebesar 262 per
100.000 penduduk dengan capaian sebesar 254 per 100.000 penduduk, dan pada
tahun 2018 target sebesar 254 per 100.000 penduduk dengan capaian sebesar 250
per 100.000 penduduk. Jumlah kasus Tuberculosis pada tahun 2018 ditemukan

1
sebanyak 566.623 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus Tuberculosis
yang ditemukan tahun 2017 sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus tertinggi
terdapat diprovinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Jawa Tengah. Kasus Tuberculosis di tiga provinsi tersebut sebesar
(4)
44% dari Jumlah seluruh kasus tuberculosis di indonesia . Jumlah kasus
tuberculosis pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu 1,3 kali
dibandingkan perempuan. Kasus tuberculosis terbanyak ditemukan pada
kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 14,2 % diikuti kelompok umur 25-23
tahun sebesar 13,8% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 13,4%.
Untuk Case Detection Rate (CDR) kasus tuberculosis tahun 2018 sebesar
67,2% dan angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebesar
52,6%. Untuk angka Notifikasi semua kasus/CNR pada tahun 2018 sebesar 214
per 100.000 penduduk meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar 169
per 100.000 penduduk (4). Pada tahun 2018 angka keberhasilan pengobatan semua
kasus tuberculosis sebesar 84,6%, angka kesembuhan semua kasus yang harus
dicapai minimal 85%, sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua kasus
(4)
minimal 90% .Tahun 2017 insiden TB sebesar 131.65 per 100.000 penduduk
atau sekitar 6.852 kasus disemua tipe, insidensi kasus baru TB BTA positif
sebesar 4.597 per 100.000 penduduk atau sekitar 5.258 kasus baru TB paru BTA
positif. Jumlah kasus TB yang banyak ditemukan adalah pada kabupaten/kota
Pasaman Barat, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, 50 Kota, Agam dan
Dharmasraya (6).
Kabupaten Dharmasraya Merupakan pemekaran dari Kabupaten
sawahlunto sijunjung, dengan Jumlah Penduduk tahun 2016 sebanyak 229.304
jiwa, meningkat pada tahun 2017 yaitu 235.476 jiwa begitu juga pada tahun 2018
meningkat sebanyak 241.571 jiwa yang tersebar di 11 kecamatan yang ada di
Kabupaten Dharmasraya. Untuk kasus TB paru di kabupaten dharmasraya pada
tahun 2016 ditemukan sebanyak 333 kasus dan mengalami peningkatan pada
tahun 2017 yaitu sebanyak 405 kasus TB yang ditemukan serta angka ini
mengalami penurunan ditahun 2018 sebanyak 207 kasus. Untuk hasil pengobatan
lengkap kasus TB pada tahun 2016 sebesar 51,1%, dan tahun 2017 sebesar 44,2%.

2
dari masing-masing type TB, untuk TB Terkonfirmasi Bakteriologis mengalami
penurunan tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2016 (57,7%), tahun 2017
(53,6%), tahun 2018 (32,7%). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten
Dharmasraya proporsi TB Paru BTA Positif diantara yang suspek berkembang
secara fluktuatif, yaitu pada tahun 2016 Jumlah BTA positif 8%, tahun 2017
sebesar 7,7% dan ditahun 2018 turun menjadi 4,2% (7).
Adapun beberapa penanganan kasus dalam penanggulangan Tuberculosis
yang dapat dilakukan yaitu pengobatan & penanganan efek samping di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, Pengawasan Kepatuhan Menelan Obat (PMO), pemantauan
kemajuan pengobatan dan hasil pengobatan serta pelacakan kasus mangkir. Selain
itu masyarakat dapat berperan aktif dalam upaya penanggulangan tuberculosis
antara lain, mempromosikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS),
mengupayakan tidak terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap kasus TB di
masyarakat, membentuk dan mengembangkan warga peduli Tuberculosis dan
memastikan warga yang terduga TB memeriksakan diri ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian Tuberculosis
dimasyarakat diantaranya adalah determinan sosial seperti kepadatan penduduk,
kondisi rumah sehat, fasilitas pelayanan Kesehatan yang tidak memadai yang
berakibat pada tingginya resiko masyarakat terjangkit TB (1).
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa kejadian TB Paru di
Kabupaten Dharmasraya jika dibedakan berdasarkan tahun selalu mengalami
fluktuasi data dari tahun 2016-2018. Selain itu jika dibedakan berdasarkan
kecamatan untuk kasus TB terbanyak ada pada kecamatan koto baru, kecamatan
pulau punjung dan diikuti oleh kecamatan sungai rumbai. Berdasarkan Profil
Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmasraya tahun 2016-2018 jumlah penemuan
kasus TB yaitu pada kecamatan koto baru (148 per 100.000 penduduk),
kecamatan Pulau punjung (129 per 100.000 penduduk) dan kecamatan sungai
rumbai (75 per 100.000 penduduk) (7).
Penelitian Sebelumnya dilakukan fitri wulandari tahun 2012
menyatakan bahwa ada hubungan kepadatan penduduk dengan kejadian TB paru
di jakarta selatan pada tahun 2006-2010. Menurut Penelitian Fahrudin secara

3
spasial kepadatan penduduk dan fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis
berpengaruh terhadap TB Pru BTA (+) di kecamatan tebet, penelitian lain dari
david simbolon juga menyebutkan, pekerjaan, status gizi, status merokok dan
riwayat kontak berhubungan dengan kejadian TB Paru. Penelitian Alfreda
menyebutkan bahwa ada hubungan antara pendidikan, akses pelayanan kesehatan,
dan dukungan keluarga dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan penderita TB
Paru. Menurut penelitian wahyu ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan
kejadian TB paru di Dharmasraya, hal ini sejalan dengan penelitain Dyah wulan.
Perilaku Kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus
atau objek yang berkaitan dengan yang sakit dan penyakit, sistem layanan
kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Faktor Yang berhubungan
dengan perilaku manusia agak sulit dibatasi karena perilaku manusia merupakan
(9)
hasil dari interaksi beberapa faktor internal dan eksternal . Menurut Lawrence
Green mengatakan bahwa perilaku terbentuk karna kombinasi dari 3 faktor utama
yakni Faktor Predisposisi (predisposing factor), Faktor pendukung (Enabling
Factor), serta Faktor pendorong (Reinforcing Factor).
Dengan teori tersebut dapat dianalisis beberapa masalah terkait kejadian
TB Paru yang ada di Kabupaten Dharmasraya seperti pada tingkat kepadatan
penduduk disetiap wilayah di 11 kecamatan yang ada, rumah sehat yang
memenuhi syarat pada tahun 2016 sebanyak 63,8%, naik pada tahun 2017
sebanyak 66,93% meningkat menjadi 67% di tahun 2018 serta fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada sebanyak 14 puskesmas pada 11 kecamatan dengan jarak ada
yang kurang dari 4 km ataupun lebih dari 4 km ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Hal ini menyebabkan kejadian TB paru di Kabupaten Dharmasraya berkembang
secara fluktuatif.
Analisis spasial merupakan hal yang penting dilakukan agar segala
permasalahan di wilayah kerja dapat diketahui serta diselesaikan dengan upaya
melaksanakan program promotif preventif serta pergerakan kebijakan yang dapat
meningkatkan penemuan kasus atau investigasi kontak dan dapat menurunkan
kejadian TB paru diwilayah Kabupaten Dharmasraya.

4
Analisis Spasial merupakan suatu analisis dan uraian tentang data
penyakit secara geografi berkenaan dengan distribusi kependudukan, persebaran
faktor resiko lingkungan, ekosistem, sosial ekonomi serta analisis hubungan antar
variabel tersebut. Kejadian penyakit dapat dikaitkan dengan berbagai objek yang
dimiliki ataupun kejadian didalam sebuah keruangan atau pada titik tertentu serta
dapat dihubungkan pula dengan peta dan ketinggian (10).
Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana
distribusi kejadian TB Paru di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
berdasarkan determinan sosial kepadatan penduduk, rumah sehat serta fasilits
pelayanan kesehatan serta mengetahui wilayah mana saja yang beresiko terkena
TB Paru Tahun 2016-2018 di Kabupaten Dharmasraya.

1.2 Perumusan Masalah


Bagaimana Distribusi kejadian TB Paru secara spasial di Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018 dengan determinan sosial (kepadatan penduduk,
rumah sehat serta fasilitas pelayanan kesehatan) serta wilayah mana yang beresiko
untuk terkena TB paru..

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Distribusi kejadian TB Paru secara spasial di
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018 dengan determinan sosial (kepadatan
penduduk, rumah sehat serta fasilitas pelayanan kesehatan) serta wilayah mana
yang beresiko untuk terkena TB paru.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian TB Paru di Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kepadatan penduduk di Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018

5
3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi Rumah Sehat di Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018
4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi fasilitas pelayanan kesehatan di
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
5. Untuk Mengetahui hasil analisis secara spasial kepadatan penduduk dengan
kejadian TB Paru di di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
6. Untuk Mengetahui hasil analisis secara spasial rumah sehat dengan kejadian
TB Paru di di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
7. Untuk Mengetahui hasil analisis secara spasial fasilitas pelayanan kesehatan
dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat untuk menambah referensi
mengenai determinan sosial yang berhubungan dengan kejadian
TB.
2. Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam menemukan
faktor determinan sosial yang berhubungan dengan kejadian TB
3. Sebagai pedoman bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan
penelitian lebih lanjut
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Instansti
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan
masukan bagi pemegang program TB, dan sebagai bahan acuan untuk
meningkatkan penemuan kasus dan deteksi dini dari kasus TB, serta sebagai
bahan evaluasi bagi program kebijakan kesehatan dalam meningkatkan kualitas
pelayanan dan pengobatan kejadian TB agar lebih baik lagi

2. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi tambahan untuk masyarakat terkait dengan hubungan
faktor determinan sosial dengan kejadian TB dan dapat meningkatkan

6
pengetahuan, memperbaiki persepsi yang salah tentang TB, ataupun kesadaran
untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan lebih dini.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Sesuai dengan judul dan keterangan diatas mengingat ketersediaan waktu,
biaya serta tenaga maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini pada
Analisis Spasial determinan sosial dengan kejadian TB di Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018, dengan variabel Independen kepadatan
penduduk,rumah sehat, serta fasilitas pelayanan kesehatan, variabel dependen
yaitu kejadian TB paru.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberculosis
2.1.1 Pengertian Tuberculosis
Penyakit Tuberculosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat dunia. Hal ini ditunjukan bahwa sejak tahun 1992, Tuberculosis (TB)
sudah menjadi emergency oleh World Health Organization (WHO). Menurut
WHO, Tuberculosis (TB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis
yang mempengaruhi paru-paru. Tuberculosis ini dapat diobati dan dapat dicegah.
Peraturan Kementrian Kesehatan RI No 67 Tahun 2016 menyatakan Tuberkulosis
adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis yang dapat menyerang paru dan organ lainnya (1).

2.1.2 Epidemiologi Tuberculosis


Tuberkulosis (TB) hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di dunia meskipun upaya penanggulangan TB telah
dilaksanakan di berbagai negara sejak tahun 1995 (1).
Berdasarkan laporan WHO tahun 2015, diglobal diperkirakan 9,6 juta
kasus baru TBdengan 3,2 juta kasus pada perempuan. sebanyak 1,5 juta kematian
karena TB dimana 480.000 kasus adalah pada perempuan. Dari kasus tersebut
ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan jumlah kematian 320.000 orang
(140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO)
dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru,1 juta kasus TB
Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun (1).
Kasus TB di Indonesiatahun 2015menurut Laporan WHO, diperkirakan
ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000
kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Dengan 63.000 kasus TB dengan
HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case
Notification Rate/CNR)semua kasus,sebanyak 129 per 100.000 penduduk.
Seluruh kasus berjumlah 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus baru.
Perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB Secara nasional adalah sebesar

8
6,2%. perkiraan jumlah kasus TB-ROsebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9%
kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB pada
pengobatan ulang.
Beberapa penyebab yang mempengaruhi meningkatnya beban TB adalah :
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena
masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan, dan
pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana prasarana.
2. Belum maksimalnya tata laksana TB terutama di fasilitas pelayanan
kesehatanserta masih ada yang belum menerapkan layanan TB sesuai dengan
standar pedoman nasional dan ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis, paduan
obat yang sesuai standar,pemantauan pengobatan, pencatatan dan pelaporan
yang baku tidak dilakukan.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam
penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di Daerah
Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko tinggi seperti
daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi permukiman padat
seperti pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
5. Belum maksimalnya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam
penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan
dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko
terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus,
merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
7. Semakin tingginya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan
meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat
pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan
pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat
terjangkit TB.

9
berdasarkan laporan WHO tahun 2015, Indonesiaberhasil menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat TB bila dibandingkan dengan tahun 1990.
prevalensi TBpada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, di tahun
2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari indikator MDG’s untuk TB di
indonesia saat ini baru tercapai pada target penurunan angka insidens.
Jumlah kasus TB paru di indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 mei 2018). berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus TBC tahun
2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan
hasil survei prevalensi tuberculosis perevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan. Begitu juga terjadi dinegara lain. Hal ini terjadi
kemungkinan karna laki-laki lebih terpapar pada faktor resiko TBC misalnya
merokok dan kurang patuhnya dalam minum obat. Survei ini menemukan bahwa
dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok (4)

2.1.3 Etiologi Tuberculosis


Penyebab infeksi adalah Mycobacterium Tuberculosis, kompleks ini
termasuk Mycobacterium Tuberculosis dan Mycobacterium Africanum terutama
berasal dari manusia dan Mycobacterum Bovis yang berasal dari sapi.
Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan
dengan tuberculosis. Etiologi penyakit ini dapat di identifikasi dengan kultur,
analisis genetic sequence dengan menggunakan teknik PCR sangat membantu
identifikasi non kultur (17).
Kuman ini berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-
0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan,
oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant
atau tertidur lama dalam beberapa tahun (17).

2.1.4 Klasifikasi Tuberculosis

10
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas,
pasien juga diklasifikasikan menurut (1):
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
1) Tuberkulosis paru :
TB yang ada pada parenkim (jaringan) paru. Apabila pasien yang
menderita TB parusekaligusmenderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2) Tuberkulosis ekstraparu:
TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pada: pleura,
abdomen, kelenjar limfe, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak
dan tulang.Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaranradiologis
yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra
paru. Diagnosis TB ekstra paru bisa ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis maupun klinis. Diagnosis TB ekstra
parudiupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya
Mycobacterium tuberculosis.Jika proses TB terdapat dibeberapa
organ, penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses
TB terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1) Pasien baru TB merupakan pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatansebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang
dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB merupakan pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).

Selanjutnya Pasien inidiklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB


terakhir, yaitu:
a) Pasien kambuh : adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan

11
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-
benar kambuh atau karena reinfeksi).
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up. (Klasifikasidisebut sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).
d) Yang lainnya merupakan pasien TB yang pernah diobati namun
hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.


Adalah pasien TB yang tidak masuk pada kelompok 1 maupun 2.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pengelompokan


pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji Mycobacterium
tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
1) Mono resistan (TB MR): Mycobacteriumtuberculosisresistan terhadap
salah satu jenis OAT linipertama saja.
2) Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap lebih
dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan.
3) Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacteriumtuberculosisresistan
terhadap Isoniazid (H) danRifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau
tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.
4) Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis
suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
5) Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacteriumtuberculosisresistan
terhadap Rifampisin dengan atautanpa resistensi terhadap OAT lain yang

12
terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau
metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV


1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien
TB dengan:
a) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
b) Hasil tes HIV positifsaat diagnosis TB.
2) Pasien TB dengan HIV negatif merupakan pasien TB dengan
a) Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
b) Hasil tes HIV negative saat diagnosis TB.
Catatan:
jika pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi
positif, maka kembali disesuaikanklasifikasinya sebagai pasien TB
dengan HIV positif.
3) Pasien TB dengan status HIV yang tidak diketahui merupakan pasien TB
tanpabukti pendukung hasil tes HIV pada saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan:
Apabilapada pemeriksaan selanjutnyadiperoleh hasil tes HIV pasien,
maka harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes
HIV terakhir.

2.1.5 Diagnosis Tuberculosis


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk terus menerus disertai berdahak
selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur dengan darah, batuk darah, badan lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan berkurang, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan (27).
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, asma, kanker paru, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis,dan lain-lain.

13
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung kepada pasien remaja dan
dewasa, serta penetapan skoring pada pasien anak.
Pemeriksaan dahak bertujuan untuk menegakkan diagnosis, untuk menilai
keberhasilan sebuah pengobatan dan menentukan bagaimana potensi penularan.
Pemeriksaan sputum dalam penegakan diagnosis pada semua suspek TB
dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) :
1) S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali.saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi di hari kedua.
2) P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri
kepada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan.
3) S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan di fasilitas pelayanan kesehatan
pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Diagnosis TB Paru padaremaja maupun dewasa ditegakkan melalui
ditemukannya kuman TB (BTA). Untuk program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain diantaranya foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosa TB hanya berdasarkan hasil pemeriksaan foto
toraks saja. karna tidak selalu foto toraks memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Karna gambaran kelainan
radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Indikasi pada pemeriksaan Foto Toraks di sebagian besar TB paru,
diagnosis terutama ditegakkan pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan
tidak memerlukan foto toraks. Namun jika kondisi tertentu pemeriksaan foto
toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi antara lain :

14
1) Pada 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan guna mendukung diagnosis TB
paru BTA positif.
2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimenSPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah diberikan antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
3) Pasien tersebut dicurigai mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pleuritis eksudativa, efusi
perikarditis atau efusi pleural, pneumotorak) dan pasien yang mengalami
hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

Adapun diagnosis TB Ekstra Paru antara lain :


1) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
2) Diagnosissering sulit ditegakkan sementara diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Tepat atau tidaknya diagnosis
bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan
ketersediaan alat-alat diagnostik, seperti uji mikrobiologi, patologi
anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.

Uji Tuberkulin Pada anak merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat


untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan
sering digunakan dalam “Screening TB”. Efektifitas padapenemuan infeksi TB
dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita dengan anak berumur
kurang dari 1 tahun yang menderita TB aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–
2 tahun 92%, 2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari
persentase tersebut dapat diketahui bahwa semakin bertambah usia anak maka
hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.

15
Ada berbagai cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux sangat sering digunakan. Dengan lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). untuk penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi:
1) Pembengkakan (Indurasi) : 0–4 mm, uji mantoux negatif. Arti
klinisnyaadalah tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2) Pembengkakan (Indurasi) : 5–9 mm, uji mantoux yang meragukan. Hal ini
bisa terjadi karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium
atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3) Pembengkakan (Indurasi) : >= 10 mm, uji mantoux hasil positif. Artinya
secara klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

2.2 Gejala Tuberculosis


Gejala penyakit TBC dapat terbagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis
tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinik (27).
a. Gejala sistemik/umum :
 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah)
 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul
 Penurunan nafsu makan dan berat badan
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah
b) Gejala khusus :
 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan

16
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara
“mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit
di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah
demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TB dapat terdeteksi
kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TB dewasa. Kira-kira 30-50% anak
yang kontak dengan penderita TB paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin
positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita
TB paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan
pemeriksaan serologi/darah.

2.3 Cara Penularan


1) Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
3) Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab.
4) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

17
5) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

2.4 Resiko Penularan


1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paruBTA positif memberikan risiko penularan lebih besar
daripada pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Setiap tahunnyarisiko penularandi tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitujumlah proporsi penduduk yang
berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI 1%, berarti 10 (sepuluh)
orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. o Infeksi TB dibuktikan dengan
perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

2.5 Pencegahan Tuberculosis


Salah satu upaya pencegahan mencegah kesakitan atau sakit yang berat
adalah dengan memberikan kekebalan berupa vaksinasi dan pengobatan
pencegahan (profilaksis).
a. Pemberian Kekebalan (Imunisasi) BCG
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup yang
dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG
sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan.
Vaksin BCG diberikan pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji
tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman
Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin
BCG efektif guna mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB
meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.

Perhatian khusus terhadap pemberian vaksinasi BCG yaitu :


1. Bayi terlahir dari ibu sebagai pasien TB BTA positif

18
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester
3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan amnion maupun
hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama
masa neonatal berisiko tertular oleh ibunya melalui percik renik. Pada kedua
kondisi tersebut bayi sebaiknya dirujuk. Vaksinasi BCG dilakukan sesuai alur tata
laksana bayi yang lahir dari ibu terduga TB atau ibu sakit TB.

2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS


Vaksinasi BCG tidak boleh diberikan pada bayi yang terinfeksi HIV
karena meningkatkan risiko BCG diseminata. Di daerah yang endemis TB/HIV,
bayi yang terlahir dari ibu dengan HIV positif namun tidak memiliki gejala HIV
boleh diberikan vaksinasi BCG. Bila pemeriksaan HIV dapat dilakukan, maka
vaksinasi BCG ditunda sampai status HIVnya diketahui. Sejumlah kecil anak-
anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah mendapatkan vaksinasi BCG.
Komplikasi paling sering diantaranya abses lokal, infeksi bakteri sekunder,
adenitis supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh
selama beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten
dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan
imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.

3. Limfadenitis BCG
Limfadenitis BCG merupakan komplikasi vaksinasi BCG yang paling sering.
Definisi limfadenitis BCG adalah pembengkakan kelenjar getah bening satu sisi
setelah vaksinasi BCG. Limfadenitis BCG dapat timbul 2 minggu sampai 24
bulan setelah penyuntikan vaksin BCG (sering timbul 2-4 bulan setelah
penyuntikan), terdapat 2 bentuk limfadenitis BCG, yaitu supuratif dan non
supuratif. Tipe non supuratif dapat hilang dalam beberapa minggu. Tipe supuratif
ditandai adanya pembekakan disertai kemerahan, edem kulit di atasnya, dan
adanya fluktuasi. Kelenjar getah bening yang terkena seperti supraklavikula,
servikal, dan aksila, dan biasanya hanya 1-2 kelenjar yang membesar. Diagnosis
ditegakkan bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening sisi yang sama dengan

19
tempat penyuntikan vaksin BCG tanpa penyebab lain, tidak ada demam atau
gejala lain yang menunjukkan adenitis piogenik. Limfadinitis tuberkulosis sangat
jarang terjadi dan hanya di aksila saja. Pemeriksaan sitopatologi dari sediaan
aspirasi BCG limfadenitis tidak jauh berbeda dengan limfadenitis tuberkulosis.
Limfadenitis BCG non-supuratif akan sembuh sendiri dan tidak membutuhkan
pengobatan. Pada limfadenitis BCG supuratif yang dilakukan aspirasi jarum
memberikan kesembuhan lebih tinggi (95% vs 68%) dan lebih cepat (6,7 vs 11,8
minggu) dari kontrol. Eksisi hanya dilakukan bila terapi aspirasi jarum gagal atau
pada limfadenitis BCG multinodular.

2.6 Pengobatan Pencegahan dengan INH


Salah satu upaya pencegahan TB aktif pada ODHA, pemberian pengobatan
pencegahanIsoniazid (PP INH) bisa diberikan pada ODHA yang tidak terbukti
TB aktif dan tidak ada kontraindikasi terhadap INH. Dosis yang diberikan
adalah 300 mg per hari dengan dosis maksimal 600 mg per hari, ditambah
Vitamin B6 25 mg per hari selama 6 bulan. Pemberian Pengobatan Pencegahan
dengan Isoniazid (PP INH) pada anak PP INH diberikan kepada anak umur
dibawah lima tahun (balita) yang mempunyai kontak dengan pasien TB tetapi
tidak terbukti sakit TB.
a) Dosis INH adalah 10 mg/kg BB/hari (maksimal 300 mg/hari).
b) Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama (pagi,
siang, sore atau malam) saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2
jam setelah makan).
c) Lama pemberian PP INH adalah 6 bulan (1 bulan = 28 hari pengobatan),
dengan catatan bila keadaan klinis anak baik. Bila saat follow up timbul
gejala TB, lakukan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis TB. Jika anak
terbukti sakit TB, PP INH dihentikan dan berikan OAT.
d) Obat tetap diberikan sampai 6 bulan, walaupun kasus indeks meninggal,
pindah atau BTA kasus indeks sudah menjadi negatif.
e) Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan BB setiap bulan.

20
f) Pengambilan obat dilakukan pada saat kontrol setiap 1 bulan, dan dapat
disesuaikan dengan jadwal kontrol dari kasus indeks.
g) Pada pasien dengan gizi buruk atau infeksi HIV, diberikan
h) Yang berperan sebagai pengawas minum obat adalah orang tua atau
anggota keluarga pasien.

2.7 Penanggulangan Tuberculosis


1) KIE
2) Menjalin kemitraan
3) Advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial (AKMS) dalam
penanggulangan TB
4) PPM (Public Private Mix)

2.8 Determinan Sosial Kesehatan


2.8.1 Definisi
WHO (2008) mendefinisikan determinan sosial kesehatan adalah keadaan
dimana orang dilahirkan, tumbuh, hidup dan sistem dimasukkan ke dalam tempat
untuk menangani penyakit. Keadaan ini pada gilirannya dibentuk oleh satu set
yang lebih luas dari kekuatan ekonomi, kebijakan sosial dan politik (Bradly,
2012).
Sebagian besar model yang sering digunakan pada determinan sosial
kesehatan adalah model yang dibuat oleh Dahlgren dan Whitehead (1991), yang
mana model ini berusaha untuk menggambarkan cara dimana determinan sosial
kesehatan membangun hubungan satu sama lain atau secara berlapis-lapis seperti
gambar 2.1 dibawah ini :

21
Gambar 2.1 Model Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam Detereminan
Kesehatan
Dalam teori ekonomi-sosial kesehatan, Dahlgreen dan Whitehead (1991)
menjelaskan bahwa kesehatan atau penyakit yang dialami oleh individu
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terletak diberbagai lapisan lingkungan,
sebagian besar determinan kesehatan tersebut sesungguhnya dapat diubah
(modifiable factors). Gambar 2.1 memeragakan, individu yang kesehatannya ingin
ditingkatkan terletak dipusat, dengan faktor konstitusional (gen), dan sistem
lingkungan mikro pada level sel/molekul.
Lapisan pertama (level mikro, hilir/downstream) pada determinan
kesehatan meliputi perilaku dan gaya hidup individu, yang meningkatkan ataupun
merugikan kesehatan. Di level mikro, faktor konstitusional genetik berinteraksi
dengan paparan lingkungan dan memberikan perbedaan apakah individu lebih
rentan atau lebih kuat menghadapi paparan lingkungan yang merugikan. Perilaku
dan karakteristik individu dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain pola keluarga,
pola pertemanan dan norma-norma di komunitas.
Lapisan kedua (level meso) merupakan pengaruh sosial dan komunitas,
yang meliputi norma komunitas, nilai-nilai sosial, lembaga komunitas, modal
sosial, jejaring sosial, dan lainnya. Faktor sosial pada level komunitas dapat

22
memberikan dukungan bagi anggota-anggota komunitas pada keadaan yang
menguntungkan bagi kesehatan. Sebaliknya faktor yang ada pada level komunitas
dapat juga memberikan efek negatif bagi individu dan tidak memberikan
dukungan sosial yag diperlukan bagi kesehatan anggota komunitas.
Lapisan ketiga (level ekso) meliputi faktor-faktor struktural : lingkungan
pemukiman atau perumahan papan yang baik, ketersediaan pangan, ketersediaan
energi, kondisi di tempat bekerja, kondisi sekolah, penyediaan air bersih dan
sanitasi lingkungan, akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, akses
terhadap pendidikan yang berkualitas, lapangan kerja yang layak.
Lapisan terluar (level makro, hulu/upstream) meliputi kondisi kondisi dan
kebijakan makro sosial-ekonomi, budaya, dan politik umumnya, serta lingkungan
fisik. Termasuk faktor-faktor makro yang terletak di lapisan luar adalah kebijakan
publik, stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, hubungan internasional atau
kemitraan global, investasi pembangunan eknomi, peperangan atau perdamaian,
perubahan iklim dan cuaca, ekosistem, bencana alam (maupun bencana buatan
manusia/ man made disaster seperti kebakaran hutan).
Berdasarkan model determinan ekonomi-sosial kesehatan Dahlgren dan
Whitehead (1991) dapat disimpulkan bahwa kesehatan individu, kelompok dan
komunitas yang optimal membutuhkan realisasi potensi penuh dari individu, baik
secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan ekonomi, pemenuhan ekspektasi
peran seorang dalam keluarga, komunitas, tempat bekerja, dan realisasi kebijakan
makro yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan makro.

2.8.2 Tingkatan Pengaruh Determinan Kesehatan


Menurut Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam The Determinants of
Health ada tiga tingkatan pengaruh determinan kesehatan yaitu :
a. Level I : Individu
1) Genetika
Hal ini penting untuk menarik perbedaan antara dampak genetika pada
individu dan populasi. Pada tingkat individu, tidak ada gangguan gen
tunggal, ada tidak adanya hubungan antara dikotomis kehadiran gen atau

23
tidak adanya penyakit. Studi migrasi menunjukkan bahwa hanya antara
10% dan 15% dari total kesehatan tingkat populasi dapat dikaitkan dengan
genetik. Genetika masih memberikan pengaruh, tetapi lingkungan dan
perilaku memberikan pengaruh lebih besar pada penyakit kronis, dan
merupakan interaksi antara faktor-faktor yang menentukan dari hasil.
2) Biologi
Berbagai penanda biologis telah ditentukan sebagai faktor risiko untuk
penyakit. Baru-baru ini, penanda seperti inflamasi dan stres kronis
memiliki bukti sangat terkait dengan hasil kesehatan.
3) Gender
Jenis kelamin (sex) adalah fenomena biologis. Hal ini didefinisikan seks
dalam hal kromosom dan manifestasi fisik pada tubuh. Gender konstruksi
sosial yaitu dalam setiap orang memiliki budaya tertentu disosialisasikan
ke pemahaman dari apa yang membuat seseorang laki-laki dan wanita
berbeda. Istilah seks dan gender sering digunakan. Seks biologis
mempengaruhi kemungkinan mengembangkan banyak penyakit yang
umum misalnya menopause. Pengaruh jenis kelamin memberikan
kerentanan penyakit dari mekanisme, kombinasi genetik, perilaku budaya
dan faktor struktural
4) Etnisitas
Etnisitas juga memiliki hubungan yang kompleks dengan kesehatan.
Seperti genetik, biologis, perilaku budaya dan faktor faktor struktural yang
terlibat. Seperti TB Paru Ini mungkin merupakan cerminan dari akses ke
kesehatan, perilaku dan kemiskinan (Kolawole, 2008).

b. Level II : Komunitas
Seperti lingkungan rumah, lingkungan tempat kerja, sosial yang lebih luas,
pengaruh sistem pendidikan atau perawatan kesehatan.

24
c. Level III : Lingkungan
Mencakup aspek yang lebih luas seperti air bersih, udara dan aspek fisik
lainnya yang baik dengan lingkungan yang mendasar untuk kesehatan.

2.8.3 Kepadatan Penduduk


Soemirat (2000) menyebutkan bahwa kepadatan penduduk selain
menyebabkan cepat atau lambatnya kejadian penyakit, banyak tidaknya
penderita bila terjadi kejadian luar biasa dan besar kecilnya tempat suatu
pelayanan kesehatan (tiarisneini,2008). Ahmadi (2005) kepadatan
penduduk ditentukan oleh jumlah dan persebaran penduduk. Kepadatan
penduduk dapat mempengaruhi proses pemindahan penyakit, lingkungan
yang buruk adalah faktor resiko terjadinya penyakit. Menurut penelitian
fitria wulandari tahun tahun 2012 menyatakan bahwa wilayah dengan
kepadatan penduduk yang tinggi yang mempunyai kejadian TB paru tinggi
baik kasus baru maupun insiden di jakarta selatan sebaiknya pihak terkait
lebih memprioritaskan program penanggulangan TB Paru pada wilayah
dengan kepadatan penduduk yang tinggi.hal ini sejalan dengan penelitian
fachkrudin ali ahmad tahun 2010 yang menyatakan secara spasial
kepadatan penduduk berpengaruh terhadap jumlah kasus TB Paru di
kecamatan Tebet
2.8.4 Rumah Sehat
Rumah sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan
oleh tersedianya sarana sanitasi perumahan. Sanitasi ruumah ini
merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada
pengawasan terhadap struktur fisik dimana seseorang menggunakannya
untuk tempat tinggal, berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan
manusia. Rumah juga merupakan salah satu bangunan tempat tinggal yang
harus memenuhi kriteria kenyamanan, keamanan dan kesehatan guna
mendukung penghuninya agar dapat bekerja dengan produktif (Munif
arifin,2009)

25
Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf jasmani
dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan mengurangi
daya kerja atau produktifitas seseorang. Rumah tidak sehat dapat menjadi
reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan
hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan
pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan dilingkungan
pemukiman pada dasarnya disebabkan karna tingkat kemampuan ekonomi
masyarakatnya rendah, karna rumah dibangun berdasarkan kamampuan
keuangan penghuninya (Notoatmodjo,2003).
2.8.5 Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Depkes (2002) menyebutkan kesuksesan suatu program dalam
penanggulangan dan pemberantasan penyakit diperlukan fasilitas
pelayanan yang dilengkapi dengan peralatan yang dapat menunjang dalam
penegakan diagnosis penyakit. Fasilitas pelayanan kesehatan disini harus
mempunyai laboratorium yang dapat menganalisis bakteri tahan asam,
sesuai dengan kuman yang menyebabkan TB Paru. Dalam manajemen
pengendalian kasus TB paru berbasis wilayah, peningkatan sarana &
prasarana yang dapat mendukung pencarian dan pngobatan kasus sebagai
upaya preventif (Ahmad,2008). Berdasarkan penelitian wahyu (2015) serta
Fachrudin (2010) menyatakan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan bukan
merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru.
2.9 Sistem Informasi Geografis
2.9.1 Pengertian Sistem Informasi Geografis
SIG (sistem informasi geografis) merupakan ” Suatu komponen yang
terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis serta sumberdaya
manusia yang bekerja bersama secara efektif dengan tujuan untuk memasukan,
menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi
berbasis geografis ” (24).
Menurut John E. Harmon, Steven J. Anderson. 2003, secara rinci SIG
tersebut dapat beroperasi dengan komponen komponen sebagai berikut:

26
1) Orang (yang menjalankan sistem)
2) Aplikasi (prosedur yang digunakan untuk mengolah data)
3) Data (informasi yang dibutuhkan serta diolah dalam aplikasi)
4) Software (perangkat lunak SIG berupa program program aplikasi)
5) Hardware (perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem
berupa printer, perangkat komputer, scanner dan perangkat pendukung
lainnya)
SIGselalu diasosiasikan dengan sistem yang berbasis komputer, walaupun
pada dasarnya SIG dapat dikerjakan secara manual, SIG yang berbasis komputer
akan sangat membantu ketika data geografis merupakan data yang besar (dalam
jumlah dan ukuran) terdiri dari banyak tema yang saling berkaitan satu dan
lainnya.
SIG mempunyai kemampuan menghubungkan berbagai data pada suatu titik
tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan
hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah
data yang berorientasi geografis serta merupakan lokasi yang memiliki sistem
koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Oleh karna itu aplikasi SIG dapat
menjawab beberapa pertanyaan seperti lokasi, kondisi, trend, pola serta
pemodelan. Hal ini yang membuat SIG berbeda dengan yang lain..

2.9.2 Komponen Sistem Informasi Geografis


Sistem Informasi Geografis terdiri dari beberapa komponen, yaitu:
1) Perangkat keras, seperti scanner, Central Processing Unit (CPU),
mouse, printer, dan plotter.
2) Perangkat lunak, seperti ArcView, ArcGIS, MapInfo, dan aplikasi
lainnya yang mendukung teknik sistem informasi geografis.
3) Data dan informasi geografi yang dapat di-import dari perangkat-
perangkat lunak SIG.
4) Pengguna (user), merupakan manusia yang akan megolah sistem serta
membangun langkah-langkah yang dapat diaplikasikan sesuai
kondisinya.

27
2.9.3 Manfaat Sistem Informasi Geografis dalam Kesehatan
Menurut WHO, Sistem Informasi Geografis dalam bidang kesehatan dapat
digunakan untuk :
a) Menentukan distribusi geografis suatu penyakit
b) Analisis tren penyakit secara spasial dan temporal
c) Pemetaan populasi yang berisiko terkena penyakit
d) Stratifikasi faktor risiko
e) Penilaian distribusi sumberdaya
f) Perencanaan serta penentuan langkah intervensi
g) Monitoring penyakit.

2.9.4 Defenisi ESRI

ESRI merupakan pengembang aplikasi perangkat lunak (software) desktop


Sistem Informasi Geografis (SIG) salah satunya adalah ArcView. Kemampuan
yang dimiliki oleh ArcView diantaranya adalah melakukan visualisasi, meng-
explore, menangani query (termasuk basis data spasial maupun non-spasial),
menganalisis data secara geografis dan sebagainya. Kemampuan secara umum
yang dimiliki ArcView dapat dilihat pada uraian berikut :

1. Pergantian data, membaca serta menuliskan data dari dan ke dalam


format perangkat lunak SIG lainnya.
2. Melakukan analisis statistik dan operasi-operasi matematis
3. Menampilkan informasi (basisdata) spasial maupun atribut
4. Menghubungkan informasi spasial bersama atribut-atributnya yang
terdapat (disimpan) dalam basis data atribut
5. Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG seperti analisis sederhana spasial
6. Membuat peta tematik
7. Meng-customize aplikasi dengan menggunakan bahasa skrip maupun
bahasa pemrograman sederhana

28
8. Melakukan fungsi-fungsi SIG khususlainnya (salah satunya dengan
menggunakan extension yang ditujukan untuk mendukung penggunaan
perangkat lunak SIG ArcView)

2.10 Analisis Spasial


2.10.1 Defenisi Analisis Spasial
Analisis spasial adalah sekumpulan teknik yang dapat digunakan dalam
data SIG. Hasil analisis data spasial sangat bergantung pada lokasi objek yang
bersangkutan (yang sedang dianalisis), Analisis spasial juga dapat diartikan
sebagai teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data
dari perspektif keruangan. Suatu teknik maupun pendekatan perhitungan
matematis yang terkait dengan data keruangan (spasial) dilakukan dengan fungsi
analisis spasial tersebut.

2.10.2 Manfaat Spasial


1) Membuat, memilih, memetakan dan menganalisis data raster
berbasis sel
2) Melakukan analisis data vektor/raster yang terintegrasi
3) Mendapatkan informasi baru dari data yang sudah ada
4) Memilih informasi dari beberapa layer data
5) Mengintegrasikan sumber data raster dengan data vektor

2.10.3 Data Spasial


Sebagian besar data yang akan ditangani dalam SIG merupakan data
spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem koordinat
tertentu sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang
membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan informasi
deskriptif (attribute) yang dijelaskan berikut ini:
1. Informasi lokasi (spasial), berkaitan dengan suatu koordinat baik
koordinat geografi (lintang dan bujur) dan koordinat XYZ, termasuk
diantaranya informasi datum dan proyeksi.

29
2. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial, suatu lokasi yang
memiliki beberapa keterangan yang berkaitan dengannya, contohnya:
jenis vegetasi, populasi, luasan, kode pos, dan sebagainya.

2.10.4 Sumber Data Spasial


Salah satu syarat SIG adalah data spasial, yang dapat diperoleh dari
beberapa sumber antara lain:
1. Peta Analog
Peta analog (antara lain peta topografi, peta tanah dan sebagainya)
yaitu peta dalam bentuk cetak. Pada umumnya peta analog dibuat
dengan teknik kartografi, kemungkinan besar memiliki referensi
spasial seperti koordinat, skala, arah mata angin dan sebagainya.
Dalam tahapan SIG sebagai keperluan sumber data, peta analog
dikonversi menjadi peta digital dengan cara format raster diubah
menjadi format vektor melalui proses digitasi sehingga dapat
menunjukan koordinat sebenarnya di permukaan bumi.
2. Data Sistem Penginderaan Jauh
Data Penginderaan Jauh (antara lain citra satelit, foto udara dan
sebagainya), merupakan sumber data yang terpenting bagi SIG karena
ketersediaanya secara berkala dan mencakup area tertentu. Dengan
adanya bermacam macam satelit di ruang angkasa dengan
spesifikasinya masing masing, kita bisa memperoleh berbagai jenis
citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian. Data ini biasanya
direpresentasikan dalam format raster.
3. Data Hasil Pengukuran Lapangan
Data pengukuran lapangan yang dihasilkan berdasarkan teknik
perhitungan tersendiri, pada umumnya data ini merupakan sumber
data atribut contohnya: batas administrasi, batas kepemilikan lahan,
batas persil, batas hak pengusahaan hutan dan lain lain.
4. Data GPS (Global Positioning System)

30
Teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam menyediakan
data bagi SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin tinggi dengan
berkembangnya teknologi satelit navigasi. Pengolahan data yang
bersumber dari GPS biasanya dilakukan dalam format vektor.

31
2.11 Telaah Sistematis

Tabel 2.5 Telaah Sistematis

No Nama Nama Judul Desain Variabel Kesimpulan


Peneliti/Tahun Jurnal/sumber

1 Fitri UI (skripsi) Analisis Spasial Ekologi  Var.Independen :  Penduduk : Ada


Wulandari/2012 Tuberculosis Paru kepadatan penduduk, Hubungan (P=0,000
BTA (+) di Jakarta rata-rata jiwa/RT, r=0,628)
Selatan Tahun jumlah tenaga  Rata-rata Jiwa/RT :
2006-20010 kesehatan dan Tidak ada
jumlah sarana Hubungan (p=0,223
kesehatan r=0,175)
 Var.Dependen : TB  Tenaga Kesehatan :
Paru BTA (+) Tidak ada hubungan
(p=0,659 r=0,064)
 Jumlah sarana
kesehatan : tidak
ada hubungan
(p=0,174 r=0,195)

2 Mutassirah, Higiene Analisis Spasial observasiona  Var.Independen :  kepadatan hunian


dkk/2017 (Volume 3, No. Kejadian l deskriptif Kepadatan hunian, dalam rumah kurang
3, September- Tuberkulosis di luas ventilasi, dari 9 m2/orang
desember Daerah Dataran kondisi dinding, adalah 29,3%
2017) Rendah Kabupaten lantai, kelembaban,  Luas ventilasi
Gowa kurang dari 10%

32
suhu, jarak luas lantai 21,2%
 Var.Dependen :  kondisi dinding
kejadian tuberculosis yang tidak kedap air
32,3%
 lantai yang tidak
kedap air 19,2%
 kelembaban
ruangan dalam
rumah (< 40% dan
> 70%) hanya 1,0%
 suhu udara dalam
rumah (> 300C)
yaitu 100% tidak
memenuhi syarat
dan terdapat 12,1%
rumah penderita
yang menggunakan
AC
 jarak rumah
penderita yang
dekat dari pelayanan
kesehatan sebanyak
82 rumah (82.8%)
dan sebanyak 17
rumah (17.2%) yang
jarak rumahnya jauh
dari pusat pelayanan

33
kesehatan

3 Fachrudin Ali UI (Tesis) Analisis Spasial Ekologi  Var Independen tidak ada korelasi
Achmad /2010 Penyakit :demografi, geografi, antara variabel yang
Tuberkulosis Paru iklim, sosial diteliti, sedangkan
BTA Positif di Kota ekonomi, fasilitas secara spasial variabel
Administrasi pelayanan kesehatan kepadatan penduduk,
Jakarta Selatan mikroskopis dan keluarga miskin dan
Tahun 2007-2009 tenaga kesehatan fasilitas pelayanan
terlatih kesehatan mikroskopis
 Var.Dependen : berpengaruh terhadap
Penyakit TB Paru jumlah kasus TB paru
BTA + BTA positif

4 David Simbolon, BKM (BKM Analisis spasial dan Case Control  Var,Independen :  Umur : Tidak
dkk/2019 Journal of faktor risiko umur, pendidikan, berhubungan (p=1
Community tuberkulosis paru di pekerjaan, status OR=1)
Medicine and Kecamatan gizi, status merokok,  Pendidikan : tidak
Public Health) Sidikalang, riwayat kontak, berhubungan
Kabupaten Dairi - kepadatan hunian, (p=0,16 OR= 1,77
Volume 35 Sumatera Utara dan penggunaan  Pekerjaan : ada
Nomor 2 tahun 2018 bahan bakar hubungan (p=0,01
Tahun 2019 memasak OR=8,40)
Halaman 65-71  Var.Dependen :  Status gizi : Ada
kejadian TB Paru hubungan
(p=<0,001 OR= 10)
 Status merokok :
ada hubungan

34
(p=0,001 OR=6)
 Riwayat kontak :
ada hubungan
(p=0,01 OR=8)
 Kepadatan hunian :
tidak berhubungan
(p=0,41 OR= 0,5)
 BBM : tidak
berhubungan
(p=0,817 OR=8)

5 Alfreda, dkk/2017 Fakultas Ilmu Hubungan Cross  Var.Independen :  Pendidikan :


Keolahragaan pendidikan, akses sectional pendidikan, akses ada hubungan
Universitas pelayanan pelayanan kesehatan (p=0,003)
Negeri Malang kesehatan dan dan dukungan  Akses yankes :
dukungan keluarga keluarga tidak
dengan  Var.Dependen : berhubungan
pemanfaatan pemanfaatan pelayan (0,91)
pelayanan kesehatan penderita  Dukungan
kesehatan penderita TB Paru BTA+ keluarga : ada
TB Paru BTA+ hubungan
dipuskesmas Janti (0,002)
Kota Malang

6 Wahyu Unand (Tesis) Analisis distribusi Case control  Var.Independen :  Pendidikan : ada
Opsialdi/2017 spasial faktor resiko tingkat pendidikan, hubungan (p=0,029
penyebaran pendapatan, OR=4,564)
tuberculosisbasil kepadatan hunian,  Pendapatan : ada
tahan asam posistif ventilasi, hubungan (p=0,000

35
di Kabupaten pencahayaan, OR=9)
Dharmasraya keberadaan sarana  Pencahayaan : ada
fasyankes hubungan (p=0,05
 Var.Dependen : OR=13,380)
kejadian TB Paru
BTA+

7 Dyah wulan/2012 Jurnal Peningkatan Case control  Var.Independen :  Pendidikan : ada


Kesehatan determinan sosial Pendidikan, hubungan (p=0,001
Masyarakat dalam menurunkan pendapatan, OR=4,647)
Nasional Vol. kejadian TB Paru pekerjaan dan kelas  Pekerjaan : ada
9, No. 1, sosial hubungan (p=0,777
Agustus 2014  Var.Dependen : OR=0,948)
kejadian TB Paru  Pendapatan : ada
hubungan (p=0,001
OR=5,825)
 Kelas sosial : ada
hubungan (p=0,001
OR=7,231)

36
2.12 Kerangka Teori

Sosioekonomi & struktural determinanKonteks Komunitas Kejadian TB Paru


Kemiskinan Dukungan sosial Perilaku Kesehatan Psikososial Biologi
Individual Faktor
Kesetaraan Jaringan sosial Diet & nutrisi Harga diri Sistem
pendapatan Koneksi komunitas Merokok dan tidak Status emosional neuroendocrine
Pendidikan Modal sosial merokok Permintaan/tekanan Tekanan darah
Kondisi kerja yang Konsumsi alkohol Rasa kontrol Produksi fibrin
buruk Pemanfaatan Stres Fungsi sistem
Tingkat pekerjaan pelayanan kesehatan Persepsi imunitas
Faktor lingkungan Aktifitas fisik Harapan Tingkat lipid darah
Perumahan & area Status mental Tingkat lipid gula
tempat tingal yang BMI
buruk
Kurangnya
transportasi
Kurangnya kohesi
komunitas
Praktek deskriminatif
Persediaan makanan

Framework For Addressing The Social Determinants Of


Health And Well Being (Queensland Health, 2001)

37
2.13 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Kepadatan Penduduk

Rumah Sehat Kejadian TB Paru

Fasilitas Pelayanan Kesehatan

38
2.14 Hipotesis Penelitian
1) Adanya hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian TB Paru di
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
2) Adanya hubungan antara rumah sehat dengan kejadian TB Paru di
Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018
3) Adanya hubungan antara fasilitas pelayanan kesehatan dengan kejadian
TB Paru di Kabupaten Dharmasraya Tahun 2016-2018

39
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan menggunakan analisis
data sekunder tahun 2016-2018 berbasis populasi (data agregat). Data
dikumpulkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Dharmsraya serta Badan Pusat
Statistik Kabupaten Dharmasraya. Unit analisis dalam penelitian ini adalah 11
kecamatan yang ada di kabupaten dharmasraya, adapun analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan analisis spasial serta pengolahan
data dilakukan dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) menggunakan perangkat
lunak Arcview GIS 3.3, untuk menentukan wilayah yang berisiko TB Paru di
Kabupaten Dharmasraya selama tahun 2016-2018.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember
2019. Bertempat di 11 kecamatan yang ada di Kabupaten Dharmasraya dengan
melihat data sekunder dari tahun 2016-2018.

3.3 Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TB Paru yang tercatat
di profil kesehatan kabupaten Dharmasraya yang berada di 11 kecamatan pada 3
tahun terakhir yaitu dari tahun 2016-2018.
Penelitian ini melakukan teknik total sampling, dimana semua populasi akan
dijadikan sampel penelitian. Teknik pengambilan total sampling merupakan
teknik yang mengambil jumlah sampel sama dengan jumlah populasi penelitian.

40
3.4 Defenisi Operasional
Variabel Defenisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil
Kejadian TB Paru Jumlah Penderita TB Paru yang Observasional Data sekunder laporan Rasio Persentase
tercatat pada Laporan Tahunan Tahunan Dinas
Dinas Kesehatan Kabupaten Kesehatan Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018 Dharmasraya Tahun
2016-2018
Kepadatan penduduk Jumlah penduduk pada 11 Observasional Data sekunder Rasio Angka
kecamatan yang ada di kabupaten Laporan Tahunan
Dharmasraya Tahun 2016-2018 Badan Pusat Statistik
Kabupaten
Dharmasraya
Rumah Sehat Jumlah Rumah Yang memenuhi Observasional Data sekunder laporan Rasio Persentase
syarat sesuai dengan indikator Tahunan Dinas
Rumah Sehat pada tahun 2016- Kesehatan Kabupaten
2018 Dharmasraya Tahun
2016-2018
Fasilitas pelayanan Jumlah sarana kesehatan yang Observasional Data sekunder laporan Rasio Jumlah
Kesehatan ada di 11 kecamatan kabupaten Tahunan Dinas dalam angka
dharmasraya pada tahun 2016- Kesehatan Kabupaten

41
2018 Dharmasraya Tahun
2016-2018

42
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah awal dalam penelitian. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan
dikumpulkan dengan memakai metode dokumentasi. Metode dokumentasi
merupakan metode dengan cara menelusuri data yang lalu. Adapun,
sumber data yang didapatkan oleh peneliti adalah:
a. Data kejadian TB Paru Tahun 2016-2018, Rumah Sehat yang
memenuhi syarat Tahun 2016-2018 serta Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang diperoleh dari Profil Kesehatan Kabupaten
Dharmasraya Tahun 2016-2018.
b. Data kepadatan penduduk selama 2016-2018 didapatkan dari laporan
Badan Pusat Statistik Kabupaten Dharmasraya.

3.6 Teknik Pengolahan Data


1) Editing
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian kuesioner
apakah jawaban yang ada pada kuesioner sudah jelas, lengkap,
relevan dan konsisten.
2) Coding
Apabila proses editing telah selesai dilakukan maka hasil jawaban
kuesioner yang dinilai telah memenuhi syarat data, maka dilakukan
pengkodean pada kuesioner yaitu merubah dari bentuk huruf
menjadi angka untuk mempermudah pengolahan.
3) Entry data
Data yang telah diedit dan di coding di entry ke program komputer
SPSS, dan Arcview GIS 3.3.
4) Cleaning data
Melihat dan memproses kembali data yang telah dimasukan untuk
menghindari kesalahan pada data atau data yang hilang.

43
3.7 Teknik Analisis Data
Untuk pengolahan secara statistik, peneliti memakai software SPSS
15.0 dan pengolahan secara spasial dengan memakai software ArcView
GIS 3.3
3.7.1 Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis dengan cara menggambarkan
distribusi dan frekuensi masing-masing variabel diantaranya kejadian TB
Paru, kepadatan penduduk, rumah sehat serta Fasilitas pelayanan
kesehatan. Data yang telah dianalisis ditampilkan dalam bentuk tabel.
3.7.2 Analisis Spasial
Analisis spasial adalah sekelompok teknik yang digunakan dalam
mengolah data berbasis geografis. Analisis dalam penelitian ini digunakan
untuk melihat bagaimana pola atau trend sebaran penyakit TB Paru yang
dibedakan berdasarkan variabel independen diantaranya kejadian TB Paru,
kepadatan penduduk, rumah sehat,serta fasilitas pelayanan kesehatan di 11
Kecamatan yang ada di Kabupaten Dharmasraya.

44

Anda mungkin juga menyukai