Anda di halaman 1dari 31

Riset Epidemiologi

RESUME 10 JURNAL
(NASIONAL DAN INTERNASIONAL)

OLEH :

WULAN PURNAMASARI

J1A118147

EPIDEMIOLOGI 018

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
JURNAL NASIONAL
JURNAL 1
Judul Jurnal : Jurnal Online Mahasiswa
Judul : Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Pada
Penderita TB Paru
Volume : Vol. 1 No.2
Tahun : 2014
Penulis : Asra Septia, Siti Rahmalia, Febriana Sabrian

Latar Belakang
Kepatuhan pasien dalam pengobatan TB Paru sangat berarti bahwa dunia berada di trek
untuk mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) untuk membalikkan
penyebaran TB pada tahun 2015 dan angka kematian yang disebabkan oleh TB Paru menurun
45% dan diperkirakan sekitar 22 juta jiwa di dunia diselamatkan oleh program tersebut.
Penanggulangan TB Paru di Indonesia mengalami banyak kemajuan, bahkan hampir
mendekati target MDGs karena prevalensi penderita TB Paru di Indonesia menunjukkan
angka keberhasilan pengobatan dengan penggunaan DOTS dan strategi stop TB.
Dukungan keluarga, yang melibatkan keprihatinan emosional, bantuan dan penegasan,
akan membuat pasien TB Paru tidak kesepian dalam menghadapi situasi serta dukungan
keluarga dapat memberdayakan pasien TB Paru selama masa pengobatan dengan mendukung
terus menerus, seperti mengingatkan pasien untuk mengambil obat-obatan dan menjadi peka
terhadap penderita TB Paru jika mereka mengalami efek samping dari obat TB. Berdasarkan
hasil rekam medik bahwa kasus TB Paru dari tahun 2010 sampai dengan 2012 mengalami
penurunan, dimana tercatat 45% kasus TB Paru pada tahun 2010, 32% kasus TB Paru tahun
2011 dan 21% kasus TB Paru pada tahun 2012.

Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan
kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin
Achmad. Hasil penelitian ini digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
di Jurusan Ilmu Keperawatan Universitas Riau. Untuk menambah wawasan dan pengalaman
peneliti khususnya mengenai masalah TB Paru. Untuk digunakan sebagai bahan masukan
bagi Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad dalam menyusun rencana penanggulangan
penyakit TB Paru di masa mendatang.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian survey analitik
dengan rancangan survey cross sectional. Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) variabel yaitu,
dukungan keluarga sebagai variabel bebas (independent variable) dan kepatuhan minum obat
sebagai variabel terikat (dependent variable).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien TB paru di Ruang Kenanga Rumah
Sakit Umum Daerah Arifin Achmad yang menjalani pengobatan TB Paru berjumlah 138
orang bahwa angka keberhasilan pengobatan TB Paru di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin
Achmad mengalami banyak kemajuan. Dengan menggunakan teknik pengambilan sampel
non probability sampling yaitu accindental sampling. Penarikan sampel penelitian ini
didasarkan atas pertimbangan dan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel
dalam penelitian ini 58 orang.

Hasil Penelitian
Hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di
Ruangan Kenanga dan Poli Paru Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad (n= 58)
didapatkan 43 orang mendapatkan dukungan keluarga positif (74,14%), 32 orang patuh
minum obat (55,17%), dan 11 orang tidak patuh (18,97%). Responden yang mendapatkan
dukungan keluarga negatif berjumlah 15 orang (25,86%), 6 orang patuh (10,34%) dan 9
orang tidak patuh (15,52%).
Hasil analisis bivariat Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan
keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Rumah Sakit Umum Daerah
Arifin Achmad. Berdasarkan hasil odds ratio (OR) penderita yang mendapat dukungan
keluarga negatif juga memiliki peluang untuk tidak patuh dibandingkan responden yang
mendapat dukungan keluarga yang positif. Menurut Niven (2012), keluarga dapat menjadi
faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu
serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.
Dukungan keluarga dalam bentuk dukungan dari anggota keluarga merupakan faktor penting
dalam kepatuhan terhadap program-program medis.

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa karakteristik responden di Rumah Sakit Umum
Daerah Arifin Achmad mayoritas beralamatkan adalah dalam kota Pekanbaru (60,34%),
penderita TB Paru adalah berada pada usia yang masih produktif yaitu mulai dari kelompok
umur 25-44 tahun, kelompok umur 45-59 dan ≤ 60 tahun, jenis kelamin terbanyak adalah
laki-laki 43 orang (74,14%), pendidikan penderita TB Paru bervariasi yang terbanyak adalah
berjumlah 18 orang (31,03%) tidak sekolah, responden terbanyak adalah berpenghasilan
rendah (pendapatan pasien ≤ Rp. 1.500.000,-/bulan dibawah UMR) yakni sebanyak 29 orang
atau mencapai (50%), responden terbanyak tinggal bersama istri 25 orang (43,10%),
responden terbanyak mendapatkan dukungan positif dari keluarga berjumlah 43 orang
(74,14%), dan mayoritas responden patuh berjumlah 38 orang (65,52%). Terdapat hubungan
dukungan keluarga dengankepatuhan minum obat pada penderita TB Paru di Rumah Sakit
Umum Daerah Arifin Achmad. Hasil uji statistik nilai p-value = 0.036 (p < 0,05).
Berdasarkan hipotesis yang diajukan apabila p-value ≤ = 0.05 maka dapat dikatakan ada
hubungan yang bermakna antara dua variabel, sehingga Ho ditolak.

JURNAL 2
Judul Jurnal : Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik
Judul : Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin dan Kepadan Hunian Dengan
Kejadian Penyakit TB Paru Di Desa Wori Kecamatan Wori
Volume : Vol. 3 No. 2
Tahun : 2015
Penulis : Jendra F.J Dotulong, Margareth R. Sapulete, Grace D. Kandou

Latar Belakang
Tahun 2013 di Indonesia ditemukan jumlah kasus baru Bakteri Tahan Asam (BTA)
positif (BTA+) sebanyak 196.310 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang
ditemukan tahun 2012 yang sebesar 202.301 kasus. Menurut kelompok umur, kasus baru
yang ditemukan paling banyak pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 21,40%
diikuti kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,41% dan pada kelompok umur 45-54 tahun
sebesar 19,39%. Pada tahun 2012 terdapat 39 kasus baru, 2013 terdapat 33 kasus dan tahun
2014 dari bulan Januari - Agustus terdapat 25 kasus baru. Ditemukan kasus TB terbanyak
pada Desa Wori selama tahun 2012 dan 2014 sebanyak 12 kasus di tahun 2012 dan 5 kasus
(Januari - Agustus) di tahun 2014.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran
kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat hidup dalam 1-2 jam sampai beberapa hari
tergantung dari ada tidaknya sinar matahari, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah
dan kepadatan hunian rumah. Kepadatan hunian merupakan hasil bagi antara luas ruangan
dengan jumlah penghuni dalam satu rumah. Luas rumah yang tidak sebanding dengan
penghuninya akan mengakibatkan tingginya kepadatan hunian rumah.

Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin dan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit
TB Paru di Desa Wori Tahun 2014.

Metode
Desain penelitian ini yaitu penelitian deskriptif analitik, dengan pendekatan potong
lintang (Cross Sectional) dengan menggunakan data primer yang di ambil dengan pengisian
Kuesioner di Desa Wori Kecamatan Wori Minahasa Utara. Pada penelitian ini jumlah
responden yang di data dengan kuesioner sebanyak 97 responden di Desa Wori Kecamatan
Wori. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Desember 2014. Variabel
penelitian adalah Umur, Jenis Kelamin, Kepadatan Hunian dan Kejadian TB paru.

Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ditemukan responden terbanyak adalah kelompok umur mulai dari
15-54 tahun sebanyak 65 responden (67%) dan lebih sedikit pada kelompok umur >55 tahun
sebanyak 32 responden (33%).
Dari hasil penelitian ditemukan responden terbanyak adalah responden yang memiliki
jenis kelamin perempuan sebanyak 58 responden (59.8%) dan yang lebih sedikit jenis
kelamin laki-laki sebanyak 39 responden (40.2%).
Dari hasil penelitian ditemukan responden terbanyak adalah responden yang memiliki
kepadatan hunian yang buruk sebanyak 55 responden (56.7%) dan lebih sedikit kepadatan
hunian yang baik sebanyak 42 responden (43.3%).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 97 responden masyarakat Desa Wori Kecamatan
Wori, tentang hubungan antara umur dengan kejadian Tuberkulosis dapat dilihat
perbandingan antara umur 15-54 tahun dan >55 tahun berbanding sama atau 1:1. Dimana
kelompok umur 15-54 tahun terdapat 16 responden (24,6%) positif terkena penyakit TB dan
49 responden (75,4%) lainnya negative tidak terkena penyakit TB dari total 65 responden
berusia 15-54 tahun, sedangkan pada kelompok umur >55 tahun terdapat juga 16 responden
(50%) positif terkena penyakit TB dan 16 responden (50%) negative tidak terkena penyakit
TB dari total 32 responden berusia >55 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 97 responden masyarakat Desa Wori Kecamatan
Wori, tentang hubungan antara Jenis Kelamin dengan kejadian Tuberkulosis dapat dilihat
responden yang memiliki peluang lebih besar untuk terkena penyakit Tuberkulosis adalah
responden yang memiliki jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 responden (56,4%) positif
terkena penyakit TB dan 17 responden (43,6%) negative tidak terkena penyakit TB dari total
39 responden laki-laki, Sedangkan untuk jenis kelamin perempuan 10 responden (17,2%)
positif terkena penyakit TB paru dan 48 responden (82,8%) negative terkena penyakit TB
paru dari total 58 responden perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 97 responden masyarakat Desa Wori Kecamatan
Wori, tentang hubungan antara Kepadatan Hunian dengan kejadian Tuberkulosis dapat
dilihat rumah responden yang memiliki kepadatan hunian yang buruk memiliki peluang lebih
besar untuk terkena penyakit TB paru dimana 19 responden (34,5%) positif terkena penyakit
TB paru dan 36 responden (65,5%) negative tidak terkena penyakit TB paru dari total 55
responden memiliki kepadatan hunian yang buruk, sedangkan responden kepadatan hunian
yang baik 13 responden (31%) positif terkena penyakit TB paru dan 29 responden (69%)
negative tidak terkena penyakit TB paru dari total 42 responden dengan kepadatan hunian
yang baik.

Kesimpulan
Ada hubungan yang bermakna antara Umur dengan kejadian penyakit TB Paru di Desa
Wori Kecamatan Wori. Dimana nilai p 0,012 (p < 0,05).
Ada hubungan yang bermakna antara Jenis Kelamin dengan kejadian penyakit TB Paru
di Desa Wori Kecamatan Wori. Dimana Jenis Kelamin laki-laki mempunyai kemungkinan 6x
lebih besar untuk terkena penyakit TB di banding jenis kelamin perempuan. Dengan nilai p
0,000 (p < 0,05) dan OR 6.212 (95% Cl 2.451-15.743).
Tidak ada hubungan yang kuat antara Kepadatan Hunian dengan kejadian penyakit TB
Paru di Desa Wori Kecamatan Wori. Dimana nilai p 0.709 (p > 0,05)

JURNAL 3
Judul Jurnal : Jurnal Onlien Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Judul : Gambaran Status Gizi Pada Pasien Tuberkulosis Paru (TB Paru) yang
Menjalani rawat Jalan Di RSUD Achmad Pekanbaru
Volume : Vol. 3 No. 2
Tahun : 2016
Penulis : Elsa Puspita, Erwin Christianto, Indra Yovi.

Latar Belakang
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjangkitnya penyakit tuberkulosis paru adalah
status gizi. Status gizi yang yang buruk akan meningkatkan risiko penyakit tuberkulosis
paru. Sebaliknya, tuberkulosis paru berkontribusi menyebabkan status gizi buruk karena
proses perjalanan penyakit yang mempengaruhi daya tahan tubuh. Masalah gizi menjadi
penting karena perbaikan gizi merupakan salah satu upaya untuk memutus lingkaran setan
penularan dan pemberantasan tuberkulosis di Indonesia.
Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad
Provinsi Riau, pada tahun 2014 kasus TB paru menempati urutan kedua dari 15 besar
penyakit paru di Poliklinik Paru RSUD Arifin Achmad yaitu 1934 kasus. Dan pada periode
Januari 2015 - Oktober 2015 didapatkan kasus TB paru sebanyak 75 kasus rata rata perbulan
dengan kunjungan baru ditambah kunjungan lama.
Penelitian tentang gambaran status gizi pasien TB paru ini juga telah dilakukan oleh
Prof. Arsunan Arsin tahun 2012 di kota Makassar terdapat paling banyak yang memiliki
status gizi kurang (51,3%), dibandingkan yang memiliki status gizi normal (40,7%) dan gizi
lebih (8,0%).

Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang diatas tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk
mengetahui tentang gambaran status gizi pada pasien tuberkulosis paru yang menjalani rawat
jalan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang didiagnosis sebagai penderita
tuberkulosis paru oleh dokter spesialis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru serta memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria
eksklusi dengan menggunakan metode consecutive sampling. Data dikumpulkan melalui
informed concent, wawancara pada pasien dan pemeriksaan langsung berupa pengukuran
berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas. Didapatkan 71 pasien tuberculosis paru
yang telah memenuhi kriteria inklusi.

Hasil Penelitian

Distribusi jenis kelamin pasien tuberkulosis paru (TB paru) di Poli Paru RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru didapatkan terbanyak laki-laki yaitu berjumlah 48 orang (67,6%).
Status gizi berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) pada penelitian ini didapatkan hasil
33 orang (46,5%) dengan status gizi normal dan berdasarkan pengukuran lingkar lengan atas
(LLA) didapatkan hasil 35 orang (49,3%) dengan gizi baik.
Distribusi risiko malnutrisi penderita tuberkulosis paru (TB paru) di Poli Paru RSUD
Arifin Achmad berdasarkan metode Malnutrition Universal Screening Tools (MUST)
sebagian besar adalah risiko malnutrisi high risk, yaitu sebanyak 43 orang (60,7%).

Kesimpulan
Gambaran risiko malnutrisi pasien tuberkulosis paru (TB paru) berdasarkan metode
Malnutrition Universal Screening Tools (MUST) didapatkan sebagian besar subyek
penelitian memiliki risiko malnutrisi high risk, yaitu 43 orang (60,6%) dengan risiko
malnutrisi high risk, 14 orang (19,7%) dengan risiko malnutrisi low risk dan sebanyak 14
orang (19,7%) dengan risiko malnutrisi medium risk.

JURNAL 4
Judul Jurnal : Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul : Analisis Faktor Risiko Kejadian TB Paru DI Wilayah Kerja Puskesmas
Kertapati Palembang
Volume : Vol. 7 No. 2
Tahun : 2016
Penulis : Surakhmi Oktavia, Rini Mutahar, Suci Destriatania.

Latar Belakang
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA (+) yang dapat menularkan
kepada orang di sekelilingnya, terutama yang melakukan kontak erat. Kuman ini mempunyai
kandungan lemak yang tinggi di membrane selnya sehingga menyebabkan bakteri ini tahan
terhadap asam dan pertumbuhan kumannya berlangsung lambat. Bakteri ini tidak tahan
terhadap ultraviolet sehingga penularannya terjadi pada malam hari. Adapun Faktor risiko
yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi tuberculosis paru adalah daya tahan
tubuh yang rendah (imunospresi), penyakit penyerta HIV, diabetes mellitus, kontak langsung
dengan penderita TB paru, gizi yang buruk (malnutrisi), bahan kimia (alkohol, rokok, dan
obat-obatan terlarang) dan kemiskinan serta keadaan lingkungan perumahan. Penyakit TB
paru mudah menular pada mereka yang tinggal dengan di perumahan yang padat, kurang
sinar matahari dan sirkulasi udaranya buruk/ pengap, namun jika ada cukup banyak udara dan
sirkulasi, maka kuman TB hanya bisa bertahan selama 1-2 jam.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Palembang adapun jumlah kasus TB Paru di
kota palembang tahun 2013 berjumlah 1.474 kasus terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya
pada tahun 2012 berjumlah 1.329 kasus. Pada tahun 2013 Case detection Rate (CDR) angka
penemuan kasus TB paru masih dibawah target nasional yaitu 60,85%, sedangkan target
nasional adalah 70%. Tiga Puskesmas dengan kasus TB Paru tertinggi adalah Puskesmas
Kertapati sebesar 89 kasus, Puskesmas 4 Ulu sebanyak 76 kasus, dan Puskesmas Makrayu
sebesar 74 kasus.

Tujuan Penulisan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko kejadian TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Kertapati.

Metode
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kertapati wilayah kerja Puskesmas Kertapati
Palembang tahun 2015. Data diambil dari seluruh penderita TB Paru BTA (+) pada orang
dewasa usia ≥ 15 tahun yang tercatat dalam register Puskesmas Kertapati dari bulan Oktober
2013 sampai dengan Desember 2014, kemudian dilakukan observasi keadaan lingkungan
rumah. Responden merupakan orang dewasa berusia diatas 15 tahun yang hasil
pemeriksaannya dinyatakan positif BTA yang memenuhi syarat kriteria inklusi sampel dan
tidak memiliki kriteria eksklusi. Adapun kriteria inklusi kasus menderita TB Paru BTA
(+),tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kertapati, berusia 15-65 tahun. Jumlah kasus
sebanyak 33 responden untuk control sebanyak 33 responden.
Teknik pengambilan sampel untuk kasus dan kontrol menggunakan teknik no
probability sampling yaitu consecutive sampling. Data diolah dengan menggunakan software
statistik dan untuk analisis hasil penelitiannya dilakukan secara univariat, dan bivariat
menggunakan chi-square dan perhitungan odds ratio. Penelitian ini menggunakan desain
kasus-kontrol dimana variabel dependennya (kejadian TB Paru) sedangkan variabel
independenya (umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan terakhir, pekerjaan,
pengetahuan, kontak penderita TB Paru, penyakit penyerta, status merokok, status imunisasi,
riwayat minum alkohol, luas ventilasi, kepadatan hunian, jenis lantai, status gizi).

Hasil Penelitian
Pada penelitian ini faktor risiko umur berhubungan dengan kejadian penyakit TB Paru.
Secara teori menyatakan bahwa umur yang lebih tua dapat meningkatkan terjadinya TB Paru,
sedangkan hasil penelitian menyatakan hal yang sama. Hal ini dapat terjadi karena terjadi
karenanya faktor adanya agent, penjamu dan faktor lingkungan perumahan yang tidak sehat.
Faktor penjamu meliputi daya tahan tubuh. Seseorang dapat terinfeksi penyakit TB Paru ini
apabila adanya agent (Mycobacterium tubercullosis) yang mengkontaminasi udara kemudian
terhirup oleh orang yang sehat dengan jumlah bakteri yang banyak, lama pajanan yang lama
dan tentunya imunitas seseorang yang rendah.
Dalam penelitian ini didapatkan bahwa hasil uji statistik menyatakan nilai OR diperoleh
0,78 (CI 95% 0,3-2,06). Orang dengan jenis kelamin laki-laki dapat menurunkan risiko
terkena TB Paru sebesar 0,78 kali (21%) dibandingkan dengan orang yang berjenis kelamin
perempuan. Dipopulasi dengan tingkat kepercayaan 95%, Orang yang berjenis kelamin laki-
laki menurunkan risiko terkena TB Paru sebesar 0,3 kali hingga 2,06 kali (70% hingga
200,94%). Kesimpulannya dengan p-value 0,80 > α 0,05, artinya tidak ada hubungan yang
bermakna secara statistik antara Jenis kelamin dengan kejadian TB paru.
Pada penelitian ini menyatakan bahwa nilai OR diperoleh 1,48 (CI 95% 0,55- 3,84),
Orang yang bekerja dapat meningkatkan risiko terkena TB Paru sebesar 1,5 kali (150%)
dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja. Di populasi dengan tingkat kepercayaan
95%, Orang yang bekerja meningkatkan risiko terkena TB Paru sebesar 0,55 kali hingga 3,8
kali (45% hingga 380%). Kesimpulannya dengan p-value 0,62 > α 0,05, artinya tidak ada
hubungan yang bermakna secara statistik antara pekerjaan dengan kejadian TB paru.
Hasil penelitian didapatkan bahwa nilai OR diperoleh 3,94 (CI 95% 1,34- 11,6). Orang
dengan tingkat pendidikan yang rendah dapat meningkatkan risiko terkena TB Paru sebesar
3,94 kali (394%) dibandingkan dengan orang yang berpendidikan tinggi. Pada populasi
dengan tingkat kepercayaan 95%, orang yang berpendidikan rendah meningkatkan risiko
terkena TB Paru sebesar 1,34 kali hingga 11,6 kali. Kesimpulannya dengan p-value 0,02 < α
0,05, artinya ada hubungan yang bermakna secara statistic antara tingkat pendidikan dengan
kejadian TB paru.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai OR diperoleh 1,448 (CI 95% 0,55- 3,8), hal
ini menunjukkan bahwa responden yang berpengetahuan rendah berisiko sebesar 1,5 kali
terkena TB Paru dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan tinggi. Di populasi
dengan tingkat kepercayaan 95%, orang dengan pengetahuan rendah meningkatkan risiko
terhadap TB Paru sebesar 0,55 kali hingga 3,8 kali. Kesimpulannya dengan p-value 0,62 > α
0,05, artinya tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat pengetahuan
dengan kejadian TB paru.
Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan nilai OR 16,7 (CI 95% 4,95 - 56,39).
Responden dengan status gizi kurang meningkatkan risiko 16,7 kali terkena TB paru
dibandingkan responden dengan status gizi normal/berlebih. Di populasi dengan tingkat
kepercayaan 95%, Orang dengan status gizi kurang meningkatkan risiko 4,95 kali hingga
56,39 kali terkena TB paru dibandingan responden dengan status gizi normal/berlebih.
Kesimpulannya dengan pvalue 0,001< α 0,05, artinya ada hubungan yang bermakna secara
statistik antara Status gizi dengan kejadian TB paru.
Penelitian ini didapatkan nilai OR diperoleh 0,6 ( CI 95% 0,20- 1,62), hal ini
menunjukkan bahwa orang yang diimunisasi dapat menurunkan risiko terkena TB paru
sebesar 0,6 kali (40%) dibandingkan orang yang tidak diimunisasi BCG. Pada populasi
dengan tingkat kepercayaan 95%, orang yang diimunisasi dapat menurunkan risiko terkena
TB paru sebesar 0,2 kali hingga 1,62 kali (80% hingga 162%) dibandingkan dengan orang
yang tidak diimunisasi. Kesimpulannya dengan p-value 0,43>α 0,05, artinya tidak ada
hubungan yang bermakna secara statistic antara status imunisasi dengan kejadian TB paru.
Penelitian ini menyatakan bahwa nilai OR diperoleh 0,60 (CI 95% 0,23-1,62). Orang
yang merokok dapat menurunkan risiko terkena TB paru sebesar 0,6 kali (40%) dibandingkan
orang yang merokok. Dipopulasi dengan tingkat kepercayaan 95%, orang yang merokok
dapat menurunkan kejadian TB paru sebesar 0,23 kali hingga 1,62 kali (77% hingga 162%)
kejadian TB paru. Kesimpulannya dengan p-value (0,460 > α 0,05 artinya tidak ada
hubungan yang bermakna antara riwayat merokok dengan kejadian TB paru.
Hasil uji Chi-square didapatkan Dengan nilai OR 1,50 (CI 95% 0,54 - 4,14). Hal ini
menyatakan bahwa responden yang memiliki penyakit DM meningkatkan risiko sebesar 1,5
kali terkena penyakit TB Paru dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki penyakit
DM. Di populasi dengan tingkat kepercayaan 95%, orang dengan penyakit DM
meningkatkan risiko sebesar 0,5 kali hingga 4,14 kali terkena penyakit TB Paru dibandingkan
dengan responden yang tidak sakit DM. kesimpulannya dengan pvalue 0,605 > α 0,05,
artinya tidak ada hubungan yang bermakna secara statistic antara penyakit DM dengan
kejadian TB paru.
Hasil penelitian diperoleh nilai OR 4,3 (CI 95% 1,38-12,94), menunjukkan bahwa
rumah dengan kepadatan hunian yang tinggi berisiko 4,3 kali untuk mengalami kejadian TB
paru dibandingkan dengan hunian yang tidak padat. Di populasi dengan tingkat kepercayaan
95%, menyatakan bahwa rumah dengan kepadatan hunian yang tinggi meningkatkan risiko
terkena TB paru sebesar 1,38 kali hingga 12,94 kali dibandingkan dengan hunian yang tidak
padat. Kesimpulannya dengan p-value 0,016 < α 0,05, artinya ada hubungan yang bermakna
secara statistik antara kepadatan hunian dengan kejadian TB paru.
Hasil statistik diperoleh nilai OR diperoleh 27,125 (CI 95% 5,49 -13,83 ), menunjukkan
bahwa rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat berisiko 27,12 kali untuk
dapat menyebarkan kejadian penyakit TB paru dibandingkan dengan ventilasi yang
memenuhi syarat. Di populasi dengan tingkat kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa rumah
dengan kepadatan hunian yang tinggi berisiko 1,38 kali hingga 12,94 kali untuk mengalami
kejadian TB paru dibandingkan dengan hunian yang tidak padat. Kesimpulannya dengan p-
value 0,02 < α 0,05, artinya ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kepadatan
hunian dengan kejadian TB paru.
Hasil uji statistik Nilai OR diperoleh 16,675 (CI 95% 4,26 -60,10), menunjukkan
bahwa jenis lantai rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 17 kali untuk menyebarkan
kejadian TB paru dibandingkan dengan lantai yang memenuhi syarat (kedap air).
menunjukkan bahwa jenis lantai rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko 17 kali untuk
menyebarkan kejadian TB paru dibandingkan dengan lantai yang memenuhi syarat (kedap
air). Pada populasi dengan tingkat kepercayaan 95%, jenis lantai rumah yang tidak memenuhi
syarat berisiko 4,26 kali hingga 60 kali meningkatkan risiko kejadian TB paru dibandingkan
dengan lantai yang memenuhi syarat (kedap air). Kesimpulan dengan p-value 0,001 < α 0,05,
artinya ada hubungan yang bermakna secara statistic antara luas ventilasi rumah dengan
kejadian TB paru.
Hasil uji statistik didapatkan Nilai OR 4,667 (CI 95% 1,44- 15,07). Orang yang pernah
kontak dengan penderita TB paru berisiko sebesar 4,7 kali lebih besar terkena TB paru
dibandingkan dengan responden yang tidak pernah kontak dengan penderita TB paru. Pada
populasi dengan tingkat kepercayaan 95%, orang yang pernah kontak dengan penderita TB
paru berisiko sebesar 1,44 kali hingga 15,07 kali lebih besar terkena TB paru dibandingkan
dengan responden yang tidak pernah kontak dengan penderita TB paru. Kesimpulannya
dengan p-value 0,02 < α 0,05, artinya ada hubungan yang bermakna secara statistik antara
kontak dengan pasien TB paru dengan kejadian TB paru.
Berdasarkan hasil uji Chi-square nilai OR diperoleh 1,85 (CI 95% 0,7- 5,0), orang
yang berpenghasilan kapita keluarga rendah meningkatkan risiko terkena TB Paru sebesar
1,85 kali. Di populasi dengan tingkat kepercayaan 95%, orang dengan penghasilan kelurga
kapita rendah meningkatkan risiko terkena TB Paru sebesar 0,7 kali (30%) hingga 5 kali.
Kesimpulannya dengan p-value 0,32<α 0,05, artinya tidak ada hubungan yang bermakna
secara statistik antara tingkat penghasilan keluarga kapita dengan kejadian TB paru.

Kesimpulan
Variabel umur, tingkat pendidikan, Status gizi, kepadatan hunian, luas ventilasi, jenis
lantai, serta kontak dengan penderita TB Paru, memiliki hubungan dengan kejadian TB paru
di wilayah kerja Puskesmas Kertapati Palembang.

JURNAL 5
Judul Jurnal : Buletin Pnenelitian Sistem Kesehatan
Judul : Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian TB Paru Dewasa di
Indonesia
Volume : Vol. 14 No. 4
Tahun : 2011
Penulis : Rukmini dan Chatarina U.W

Latar Belakang
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 ditemukan bahwa prevalensi TB
Nasional dengan pemeriksaan BTA mikroskopis pagi-sewaktu dengan dua slide BTA positif
adalah 289/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi TB Nasional dengan satu slide BTA
positif adalah 415/100.000 penduduk. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam
kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di
masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif
di masyarakat.
Angka penemuan kasus (Case Detection Rate = CDR) di Indonesia telah mencapai 73%
dari target yang ditetapkan yaitu target minimal sebesar 70%. Meskipun pelaksanaan
Program Pengendalian TB di tingkat nasional menunjukkan perkembangan berarti dalam
keberhasilan penemuan kasus dan pengobatan, namun kinerja di tingkat provinsi
menggambarkan kesenjangan antardaerah. Dua puluh lima provinsi di Indonesia belum
mencapai CDR 70% dan hanya 7 provinsi yang mampu memenuhi target CDR 70% dan 85%
keberhasilan pengobatan.
Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk), faktor
lingkungan yaitu ventilasi, kepadatan hunian, faktor perilaku, kesehatan perumahan, lama
kontak dan kosentrasi kuman. Sebagaimana tujuan jangka panjang Penanggulangan Nasional
TB adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara
memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat Indonesia. Maka kegiatan pencegahan menjadi sangat penting untuk memutuskan
mata rantai penularan dengan mengetahui faktor yang memengaruhi penyakit TB.

Tujuan Penulisan
Pada surveilans epidemiologi penyakit menular, kegiatan yang dilakukan bukan hanya
analisis terus-menerus dan sistematis terhadap penyakit, tetapi juga faktor risiko penyakit
untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor risiko TB terhadap kejadian TB paru di
Indonesia dan mengidentifikasi faktor risiko yang paling dominan.

Metode
Penelitian dilakukan pada bulan Maret–Juni 2010. Jenis penelitian adalah
observational analitik dengan menggunakan data sekunder Riskesdas 2010, yaitu data
individu ≥ 15 tahun yang dilakukan pemeriksaan sputum. Data kasus adalah data individu
BTA positif dua slide. Cara pengambilan data kasus adalah dengan mengambil kasus BTA
positif dua slide sebesar 183 orang dari total populasi (190 orang), yang mempunyai
kelengkapan data sesuai variabel yang diteliti. Sedangkan data kontrol adalah data individu
BTA negatif dua slide. Perbandingan antara data kasus dan kontrol adalah 1:2.
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel dependent adalah penyakit TB paru
dewasa dan variabel independent adalah sosio-ekonomi (tingkat pendidikan, status pekerjaan,
tingkat pengeluaran), demografi (umur, jenis kelamin, hubungan dengan kepala rumah
tangga dan daerah tempat tinggal), sanitasi lingkungan (kondisi fi sik rumah, energi di rumah
tangga untuk memasak dan penerangan), tindakan pencegahan TB, status merokok, status
gizi, kontak serumah penderita TB dan gejala TB paru. Analisis data dilakukan dengan
regresi logitik untuk melihat pengaruh faktor-faktor risiko TB terhadap kejadian TB paru
dewasa di Indonesia.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar penderita TB adalah berpendidikan
rendah (tidak sekolah/tidak tamat/tamat SD) sebesar 57,3%, pekerjaan sebagai
petani/nelayan/buruh/lainnya (56,0%) dan tergolong berpengeluaran rendah 62,8%.
Hasil penelitian pada tabel 2 terlihat, penderita TB kebanyakan pada usia produktif
yaitu 35–54 tahun (48,7%), laki-laki 61,3%, mempunyai status sebagai kepala rumah tangga
(54,5%) dan berdomisili di daerah pedesaan (71,4%).
Pada penderita TB, kondisi fisik rumahnya sebagian besar sudah memenuhi syarat yaitu
komponen dinding (95,8%), lantai (63,9%), jendela kamar tidur (61,8%), pencahayaan kamar
tidur (70,2%) dan kepadatan hunian (76,4%). Sedangkan untuk komponen langit-langit
(52,4%) dan ventilasi kamar tidur (53,9%) sebagian besar belum memenuhi persyaratan.
Hasil penelitian berdasarkan energi memasak di rumah tangga (Tabel 4), pada penderita
TB (62,3%) sebagian besar menggunakan energi memasak yang tidak baik. Sedangkan
berdasarkan energi penerangan yang digunakan di rumah tangga, sebagian besar penderita
TB (80,6%) telah menggunakan energy penerangan yang baik.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar penderita TB (70,4%), sudah melakukan
tindakan membuka jendela kamar tidur yang sehat. Demikian pula sebagian besar pada
penderita TB (80,1%) sudah melakukan tindakan sehat yaitu tidak melakukan makan/minum
sepiring/segelas dengan orang lain.
Hasil penelitian berdasarkan status merokok, pada penderita TB sebagian besar adalah
tidak pernah merokok (50,3%).
Berdasarkan status gizi, sebagian besar pada penderita TB (62,6%) adalah status gizi
baik, kemudian status gizi kurang/buruk (20,5%) dan gizi lebih/obesitas (16,8%).
Berdasarkan status kontak serumah dengan penderita TB, pada penderita TB (75,4%)
sebagian besar tidak ada kontak serumah.
Berdasarkan gejala TB paru, sebagian besar pada penderita TB tidak merasakan adanya
gejala TB sebesar 85,9%.
Pada hasil analisis menunjukkan kelompok umur 55–74 tahun mempunyai risiko yang
lebih rendah (OR = 0,473) untuk menderita TB dibandingkan dengan kelompok usia
produktif (15–34 tahun) dan bermakna secara statistik (95% CI = 0,254–0,880, p = 0,018).
Sedangkan besar risiko laki-laki untuk menderita TB 1,613, kali dibandingkan dengan
perempuan (95% CI = 1,056–2,464, p = 0,027).
Berdasarkan energi penerangan besar risiko orang yang tinggal pada rumah yang
menggunakan energi penerangan yang tidak sehat untuk menderita TB sebesar 1,804,
dibandingkan orang yang tinggal pada rumah yang menggunakan energi penerangan yang
sehat (95% CI = 1,051–3,093, p = 0,032).
Berdasarkan tindakan buka jendela hasil penelitian ini menunjukkan hal yang berbeda
dengan teori, di mana tindakan buka jendela yang tidak sehat mempunyai risiko yang lebih
rendah sebesar 0,613, untuk menderita TB dibandingkan dengan yang melakukan tindakan
yang sehat (95% CI = 0,392–0,957, p = 0,031).
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan kejadian TB paru dengan status
gizi (p = 0,003), yaitu orang yang gizi kurang/buruk mempunyai risiko terkena TB 2,101 kali
lebih besar dibandingkan dengan yang gizi baik, bermakna secara statistik (95% CI = 1,200–
3,679, p = 0,009).

Kesimpulan
Faktor risiko TB yang berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian TB paru dewasa
di Indonesia adalah umur, jenis kelamin, energy penerangan, tindakan buka jendela kamar,
status gizi dan kontak serumah TB. Sedangkan faktor risiko yang paling dominan terhadap
kejadian TB paru dewasa adalah kontak serumah dengan penderita TB.

JURNAL INTERNASIONAL
JURNAL 1
Judul Jurnal : BMC Public Health
Judul : Diabetes and tuberculosis: the impact of the diabetes epidemic on
tuberculosis incidence (Diabetes dan tuberkulosis: dampak epidemi diabetes
terhadap kejadian tuberculosis)
Volume : Vol. 7 No. 234
Tahun : 2007
Penulis : Catherine R Stevenson, Nita G Forouhi, Gojka Roglic, Brian G Williams,
Jeremy A Lauer, Christopher Dye, Nigel Unwin

Latar Belakang
Tuberculosis remains a leading cause of death globally. In 2005 there were an
estimated 8.8 million new cases of tuberculosis worldwide, with 1.9 million of those
occurring in India. Incidence of tuberculosis is greatest among those with conditions
impairing immunity, such as human immunodeficiency virus (HIV) infection and diabetes.
The consequences of mismanagement of tuberculosis in a patient with diabetes can be severe,
but there are simple and immediate opportunities for improving treatment success and
reducing mortality.
The global burden of diabetes is increasing, and recent estimates highlight the
importance of this disease in India. There were an estimated 20–30 million people in India
with diabetes in 2000 (estimates vary with study methodology), and projections suggest
prevalence will rise to almost 80 million people by 2030. It is possible that
in areas of high diabetes prevalence the impact of this diabetes epidemic on
tuberculosis could be as great as that of HIV, and the spread of HIV is one of the main
reasons why targets set by the Stop TB Partnership (within the framework of the Millennium
Development Goals) will not be met in several regions, at least at current rates of progress.
However, the overall importance of diabetes as a risk factor for tuberculosis is still largely
unknown, although a recent analysis in Mexico concluded that, in the population studied,
25% of Pulmonary tuberculosis was attributable to diabetes.

Tujuan Penulisan
Objective was to estimate the population-level impact of diabetes on the incidence of
pulmonary tuberculosis in India. We chose India as an illustrative example because of its
large population size, the availability of relatively good data on both diabetes and
tuberculosis, and because the latter indicate that both these conditions are major public health
problems there. We also aimed to evaluate the contribution made by diabetes to the higher
tuberculosis incidence in urban compared with rural populations.

Metode
Data were extracted from the, Analyses were limited to the adult population aged 25
years and over, as estimates of diabetes prevalence and the relative risks of incident
tuberculosis associated with diabetes were available for this age group only.
Several sources of diabetes prevalence data are available for India ; however, we used
data from the Prevalence of Diabetes in India Study (PODIS), as it was the largest study and
the only one to ascertain urban and rural prevalences separately.
Tuberculosis case-notification data are routinely sent to the World Health Organization
from the Revised National Tuberculosis Control Programme (RNTCP) in India. As the
programme does not yet detect all new TB cases arising each year, the distribution of
reported smear-positive cases by age and sex was used with the WHO crude estimate (all
ages, both sexes) of smear-positive tuberculosis incidence in India in 2000 to calculate the
total number of smear-positive cases by age and sex. The percentage of new smear-positive
cases occurring in each age/sex group was calculated by dividing the RNTCP-reported
number of cases in each group by the total reported incidence.

Hasil Penelitian
We estimate that diabetes accounted for 14.8% (7.1% to 23.8% – upper and lower
bounds based on relative risk 95% confidence intervals) of incident pulmonary tuberculosis
in India in 2000, equating to 139,000 (67,000 to 224,000) cases. We estimated the proportion
of incident smear-positive tuberculosis due to diabetes to be 20.2% (8.3% to 41.9%), or
116,000 (48,000 to 241,000) cases.
In the sub-population of the estimated 20.7 million adults with diabetes in India, our
calculations indicate that diabetes accounts for 80.5% (39.9% to 93.7%) of the 172,000
annual incident cases of pulmonary tuberculosis, and 85.9% (65.9% to 94.2%) of the 135,000
cases of smear-positive (i.e. infectious) tuberculosis.
We predict that in India 18.4% (12.5% to 29.9%) of people with pulmonary
tuberculosis (both smear-positive and smear-negative) have diabetes, and that in the
smearpositive group diabetes prevalence is 23.5% (12.1% To 44%).

Kesimpulan
We have illustrated, using data from India, that diabetes makes a substantial
contribution to tuberculosis incidence. The current diabetes epidemic may lead to a
resurgence of tuberculosis in endemic regions, especially in urban areas. This has potentially
serious implications for tuberculosis control, and it must become a priority to use this
knowledge to initiate focused and coordinated action, including new research in parts of the
world where diabetes is epidemic and TB endemic to properly inform public health and
clinical practice. It is time that the "unhealthy partnership" of tuberculosis and diabetes
receives the attention it deserves.

JURNAL 2
Judul Jurnal : Scientific Reports
Judul : Nomogram For Individualized Prediction Of Incident Multidrug-Resistant
Tuberculosis After Completing Pulmonary Tuberculosis Treatment
(Nomogram untuk individual prediksi insiden TB yang resistan terhadap
beberapa obat setelah menyelesaikan pulmonal pengobatan tuberculosis)
Volume : Vol. 10 No. 13730
Tahun : 2020
Penulis : Qinglin Cheng, Gang Zhao, Xuchu Wang, Le Wang, Min Lu, Qingchun Li,
Yifei Wu, Yinyan Huang, Qingjun Jia, Li Xie.

Latar Belakang
The prevalence of multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) is increasing rapidly in
the world. According to the latest indication given by the World Health Organization (WHO),
there are about 500,000 new cases of drug-resistant TB (DR-TB) (of which 78% have the
MDR-TB) worldwide in 2018. With 66,000 cases of MDR/ rifampicin-resistant TB, China
has the second highest number of cases of this disease worldwide. The MDR- TB remains a
serious public health issue globally, causing severely social, familial and economic
dysfunctions.
In recent years, the continuous monitoring indicates that some individuals with
completing PTB treatment (CPTBT) evolve into the MDR-TB after a definite period of time.
According to our investigation, we find that PTB patients’ surveillance and management are
insufficient after the treatment was completed. Although several studies have revealed that a
number of clinical and environmental factors (such as acquired infections, prior irregular
treatment, and inadequate treatment management of TB) may affect the prevalence of MDR-
TB in TB patients, risk factors of incident MDR-TB are not yet fully understood among
individuals with CPTBT.
To reduce the morbidity and mortality of MDR-TB, it is urgent that the government and
researchers take measures to explore preventive strategies of MDR-TB risk among
individuals with CPTBT. Recently investigators have proved the significance of early
prediction and assessment on the MDR-TB risk. A white paper on the predictive, preventive
and personalized medicine suggests that a central component of preventive strategies is the
identification of individuals at risk for development of a disease. Although previous studies
have established several models based on predicting the outcome of TB infection and showed
certain application value, there is currently no model available for the prediction and
assessment of MDR-TB risk in individuals with CPTBT.
To date, in the research field of MDR-TB control, though some variables, such as
sociodemographic, clini- cal, and microbiological predictors, have been well recognized as
determinants of incident MDR-TB in TB patients, few studies focused on the status of
incident MDR-TB among individuals with CPTBT, let alone inte- grated them so as to
comprehensively assess a patient’s specific risk of incident MDR-TB. It is now well
established from a variety of studies, that the nomogram model is a graphic algorithm tool
aimed at providing an approxi- mate computation of a function. In clinical practice, the
nomogram has been identified as a practical tool of preventive interventions. In addition, a
nomogram can predict and estimate the individualized risk of a disease and quantitatively
demonstrate a personalized probability for predicting the incidence of disease outcome.

Tujuan Penulisan
We selected a population with CPTBT as participants and mainly aimed to (a) identify
predictors of incident MDR-TB in individuals with CPTBT, hoping to reduce the morbidity
and mortality of MDR-TB; and (b) construct a comprehensive nomogram for providing a
simple, precise and personalized prediction of incident MDR-TB among individuals with
CPTBT.
Metode
In the present study, based on a matched case–control study (1:2 ratios), This study was
based on individuals with CPTBT from 2005 to 2019. A matched case–control study (1:2
ratios) was conducted in Hangzhou, China. The subjects with drug resistance detection who
were enrolled in the training set between January 1, 2005 and December 31, 2018 constituted
the case–control study. Furthermore, participants with drug resistance detection were enrolled
in the validation set between January 1 and September 30, 2019 from an ‘all comers’
approach.
All data in this retrospective observational study were collected from self-designed
stand- ard questionnaires and the NTSS, and were entered in duplicate into an electronic
database. A self-designed standard questionnaire was used to collect patients’
sociodemographic data. The NTSS was established in 2005 and used to collect patients’
clinical and laboratory test data in our study. Sociodemographic data included age, gender,
areas of residence, a history of direct contact, nationality, family income (FI), occupational
risk, educa- tion levels, and registered household. Clinical data included mode of TB case
finding (MCF), associated with TB at other sites, human immunodeficiency virus (HIV)
infection, patients with severe infection, comorbidities, different CPTBT including
completing newly diagnosed PTB treatment (CNDT) and completing re-treated PTB
treatment (CRT), mode of TB case management (MCM), treatment outcomes of previous
PTB, time from illness onset to the first medical visit (TIOFMV) and laboratory confirmation
(TIOLC), PTB treatment time, the status of using TRs, and chest radiological findings.
Laboratory test data included sputum smear, culture, and DST results at baseline and follow-
up visits.

Hasil Penelitian
Summarized the results of the univariate analyses of the association between an
individual covariate and the risk of incident MDR-TB among individuals with CPTBT.
Twenty of the 44 tested covariates were associated with a high risk of incident MDR-TB
from this study population in the train- ing set (P ≤ 0.05). The significant covariates were (a)
sociodemographic characteristics, including age < 60 years, a history of direct contact, family
income of low level, high-risk occupation, high school and below, and rural areas, (b) clinical
characteristics, including passive MCF, HIV infection, CRT, unsuccessful treatment,
TIOFMV, FDC-2HRZE/4HR, 2HRZES/6HRE, 3HRZES/6HRE, excellent frequencies of
chest X-ray examination (FCXE), duration of pulmonary cavities (DPC), and duration of
abnormal X-ray findings, and (c) microbiological char- acteristics, including frequencies of
sputum culture, duration of positive sputum culture (DPSC), and dura- tion of negative
sputum culture. The remaining 24 covariates, including gender, nationality, a history of direct
contact (e.g., unknown), registered household, associated with TB at other sites,
comorbidities, patients with severe infection, MCM, PTB treatment time, TIOLC,
2H3R3Z3/4H3R3, 2H3R3Z3E3/4H3R3, 2HREZ/4H3R3, 2HRZE/4HR, 3HRZE/6HRE,
2H3R3Z3E3S3/6H3R3E3, individualized TRs [i.e., individualized TRs of newly diagnosed
PTB patients (NDPPs) and re-treatment PTB patients (RPTPs)], duration of pulmonary
miliary tubercles, duration without radiological findings, duration without sputum culture,
frequencies of sputum smear, duration of positive sputum smear, duration of negative sputum
smear, and duration without sputum smear, were not associated with incident MDR-TB
among individuals with CPTBT (P > 0.05).

Kesimpulan
So far, unfortunately, we have failed to increase the clinician’s ability to properly
predict an individual risk of MDR-TB among individuals with CPTBT. In the present study,
we developed and validated a novel tool based on the status of less than 60 years, a history of
direct contact, passive MCF, HIV infection, CRT, unsuccessful treatment, 3HRZES/6HRE,
excellent FCXE, DPC, and DPSC, which predicted the probability of incident MDR- TB in
individuals with CPTBT.
In conclusion, this tool can provide a vital role in counseling individuals with CPTBT
and a novel strategy for the prevention and intervention of MDR-TB. In view of the high
mortality and medical cost of MDR-TB cases, individuals with CPTBT are in urgent need of
the early identifying of at-risk individuals and early intervening before the onset of MDR-TB.

JURNAL 3
Judul Jurnal : PLOS ONE
Judul : Identifying risk factors associated with smear positivity of pulmonary
tuberculosis in Kazakhstan (Mengidentifikasi faktor risiko yang terkait dengan
kepositifan smear tuberkulosis paru di Kazakhstan)
Volume : Vol.12 No.3
Tahun : 2017
Penulis : Sabrina Hermosilla, Paul You, Angela Aifah, Tleukhan Abildayev, Ainur
Akilzhanova, Ulan Kozhamkulov, Talgat Muminov, Meruert Darisheva,
Baurzhan Zhussupov, Assel Terlikbayeva, Nabila El-Bassel, Neil Schluger.

Latar Belakang
Tuberculosis (TB) remains one of the world's most burdensome communicable
diseases. Despite the gradual decline in TB morbidity and mortality over recent years, the
control and elimination of the disease remains a significant challenge. Kazakhstan, an upper
middleincome country, is currently characterized by the World Health Organization (WHO)
as a high TB priority country and has the second highest multidrug-resistant TB (MDR-TB)
burden globally.
For low- and middle-income countries, including Kazakhstan, sputum smear
microscopy using unconcentrated samples with Ziehl-Neelsen staining is the cornerstone of
TB diagnosis. This test is rapid, simple, inexpensive, and widely available in TB-endemic
countries. Detection of tubercle bacilli in sputum samples through microscopy indicates that
the patient is capable of TB transmission. Although those with smear-negative, culture-
positive pulmonary TB are capable of infecting close contacts, smear-positive patients are
considered most infectious. Smear positivity among incident pulmonary TB cases is
associated, in low MDR-TB burden contexts, with risk factors such as: alcohol abuse[15],
homelessness, incarceration, unemployment, male gender, and urban residence and
healthrelated outcomes such as HIV status (both high and low positive prevalence), high
mortality, and poor TB treatment outcomes.

Tujuan Penulisan
To our knowledge there are no studies exploring associations between modifiable risk
factors and smear-positivity in a high MDR-TB setting. Given the higher risk of transmission,
smear-positive patients are of great epidemiological importance. We conducted a
crosssectional study to examine factors associated with sputum smear positivity, among
pulmonary TB patients, in Kazakhstan. We hypothesize that socio-demographic, behavioral,
and co-morbidity risk factors play an important role in increasing an individual's odds of
sputum smear positivity.

Metode
All pulmonary TB incident cases diagnosed between April 2012 and March 2014
registered in the National Tuberculosis Program (NTP) in Almaty (Almaty city and state),
Kostanay, and Kyzylorda, KazakhstanÐrepresenting a cross-section of high, medium, and
low burden regions were invited to participate in our study through a combination of TB
clinician pre-screening, research staff screening, and electronic medical record review.
Participant data were collected through an in-person 60-minute audio computer assisted
questionnaire conducted from June 2012 to May 2014 and a targeted review of their clinical
medical records. The study instrument was designed in English, from scales previously used
in the region, translated and pilot tested in Russian and Kazakh, then back translated to
English.
During the study period, 744 incident TB cases were registered by the NTP. Other
study eligibility criteria includes: (1) age± 18 years or older; (2) at permanent residence
address for three or more months; (3) sampling requirements for parent longitudinal study
(not relevant to current analysis), including availability of a pulmonary TB negative
household adult control; (4) Russian or Kazakh language fluency; and (5) absence of
apparent severe mental disorders that may impede their ability to consent and complete the
questionnaire. Upon completing the primary screening, 566 (76.0% of approached)
participants met the eligibility criteria and 562 participants agreed to participate.

Hasil Penelitian
744 TB-positive index cases were identified from 2012 to 2014, of which 562 (75.5%)
agreed to complete the questionnaire. Participant's mean age was 35 (SD = 13.4) years,
ranging from 18 to 83 years. The study population demographic characteristics, risk factors,
and comorbidities of all TB-positive index cases and stratified by smear-positive diagnostic
status. The study population was 55.0% male, with 61.7% currently married and 76.9%
Kazakh nationals. The majority (80.6%) of the population were employed full-time and
92.7% had attended high school or more of formal schooling, consistent with UNICEF's
description of the overall Kazakh population in 2012.
Participants reported: having a regular doctor they could see when sick (86.3%); low
levels of alcohol consumption (49.6% ever consumed alcohol) and dependence (10.3% based
on CAGE results); and moderate levels of tobacco smoking (18.2% in the past 12 months).
Diabetes (7.1% ever diagnosed) and HCV (2.1% ever diagnosed) were the most commonly
reported comorbid conditions.
A third, 193 (34.3%), of the study participants were smear-positive with 14 (2.5%)
participants having invalid or no smear results. Through bivariate analyses the smear-positive
population had significantly more males (63.7%, p = 0.003) and less Kazakh nationals
(71.0%, p = 0.017) than those who were reported as smear-negative. Education level,
employment and marital status were not statistically different between the two smear
categories. Smear-positive patients consistently reported significantly higher rates of
incarceration (6.8% vs. 3.8%), recently smoked more (22.4% vs. 18.2%), were more
dependent on alcohol (17.1% vs. 10.3%), and more frequently lived in urban settings (52.9%
vs. 45.8%). Most participants, irrespective of smear status, reported high levels (64.6 mean
score) of social support from either family members or friends. Smear-positive cases reported
increased rates of diabetes (13.1%) and HCV (3.6%). No significant difference in BMI was
observed. Similarly, HIV (1.5%) and depression (1.62) did not differ significantly by smear
status.
The unadjusted (OR) and adjusted odds ratios (aOR) and their 95% confidence
intervals generated by simple logistic regression and multivariable logistic regression
analysis, respectively. Upon removing those with missing values, our final model included
480 participants. The final adjusted multivariable logistic regression model, identifying
independent associations with sputum smear positivity, showed significant associations
between smear positivity and male gender [aOR 1.97 (1.25, 3.11)], Almaty area [aOR 0.15
(0.07, 0.35)], Kyzylorda [aOR 0.22 (0.10, 0.51)], and Kostanay [aOR 0.29 (0.13, 0.64)] study
sites, ever being incarcerated [aOR 3.62 (1.18, 11.13)], alcohol dependence [aOR 2.61 (1.20,
5.69)], having a doctor to see when ill [aOR 2.69 (1.32, 5.49)], and diabetes [aOR 5.02 (2.35,
10.71)]. Kazakh nationality [aOR 0.70 (0.40, 1.22)], setting [aOR 1.07 (0.68, 1.69)], recently
smoked tobacco [aOR 0.57 (0.28, 1.13)], ever-used drugs [aOR 1.48 (0.58, 3.76)], and HCV
[aOR 4.28 (0.85, 21.57)] were not statistically significant. The final model indicates a
changed protective effect of living in Almaty area, Kyzylorda, and Kostanay when compared
to Almaty city.

Kesimpulan
The persistence of TB in Kazakhstan suggests the need to expand control efforts to
address individual and social determinants of the disease. In our study, men, individuals with
diabetes, abuse alcohol, and were incarcerated are at higher odds of testing smear-positive.
Active case finding and targeted interventions focused on screening and treating these groups
may considerably help reduce the transmission of TB. Integrating TB screening and treatment
services with other established health services, like diabetes care, alcohol rehabilitation
services, or prisons could greatly improve TB detection rates and treatment adherence and
outcomes. Further studies are needed to determine the contribution of smear-negative TB-
positive individuals to the spread of the disease in Kazakhstan. Additional studies should be
conducted to determine whether interventions specific for populations identified in this study
could significantly reduce the spread of TB.

JURNAL 4
Judul Jurnal : J Clin Psychiatry
Judul : Association of Pulmonary Tuberculosis and Ethambutol With Incident
Depressive Disorder: A Nationwide, Population-Based Cohort Study
Volume : Vol.76 No.4
Tahun : 2015
Penulis : Yung-Feng Yen, Ming-Shun Chung, Hsiao-Yun Hu, Yun-Ju Lai, Li-Ying
Huang, Yu-Shiuan Lin, Pesus Chou, Chung-Yeh Deng

Latar Belakang
Depressive disorder is a leading cause of disability worldwide. Accumulating evidence
from human and animal studies indicates that activation of inflammatory reactions can induce
symptoms of depressive disorder. Proinflammatory cytokines such as interferon-γ and tumor
necrosis factor-α might affect development of depressive disorder by regulating neuronal
excitability, synaptic transmission, synaptic plasticity, and neuronal survival.
Tuberculosis (TB) is a chronic infectious disease that is prevalent throughout the world.
A large proportion of TB patients have depressive disorder, which could hamper their
adherence to TB treatment. However, few studies have investigated whether TB infection is
associated with incident depressive disorder. Tuberculosis and depressive disorder share
many risk factors (eg, poverty and homelessness) that could partially explain the high
prevalence of comorbid depressive disorder in TB patients. In addition, certain anti-TB
medications—isoniazid, ethambutol, and rifampin—were found to be associated with the
development of mental illness.

Tujuan Penulisan
Therefore, to determine if TB infection is independently associated with incident
depressive disorder, we conducted a nationwide, population-based cohort study of the risk of
depressive disorder in people with and without TB.

Metode
In this nationwide cohort study, we analyzed patient data obtained from the National
Health Insurance Research Database (NHIRD), which is managed by the Taiwan National
Health Research Institutes. The NHIRD can be found at http://nhird.nhri.org.tw/en/index.htm
and is provided to scientists for research purposes. The NHIRD contains health care data
from more than 99% of the population in Taiwan. In the NHIRD, the accuracy of diagnoses
of major diseases such as diabetes mellitus and cerebrovascular disease has been well
validated. This study was approved by the institutional review board of Taipei City Hospital.
In this cohort study, we selected subjects who were aged 20 years or older and were
newly diagnosed with pulmonary TB (PTB) between January 1, 2000, and December 31,
2010. The diagnosis of new PTB required the presence of ICD-9-CM code 010, 011, 012, or
018 plus prescription of at least 2 anti-TB drugs (eg, isoniazid, ethambutol, rifampin,
pyrazinamide).

Hasil Penelitian
A Cox proportional hazards model was used to identify independent risk factors for
depressive disorder. After we adjusted for age, sex, comorbidities, and income level, the risk
of depressive disorder was significantly higher in the PTB group (adjusted HR [AHR], 1.74;
95% CI, 1.35–2.25; P < .001) than in the control group. Additionally, coronary artery disease
was independently associated with depressive disorder (AHR, 1.72; 95% CI, 1.31–2.26).
Figure 2 shows the result of sensitivity analysis of the association between PTB and
depressive disorder after patients were stratified by age group, sex, comorbidities, and
income level. Pulmonary tuberculosis was a significant risk factor for depressive disorder in
all patient subgroups except patients with cancer or congestive heart disease and those with
an intermediate income level.
In multivariate analysis of the effects of anti-TB drugs on incident depressive disorder
within PTB patients, the risk of depressive disorder was significantly higher in patients taking
ethambutol (AHR, 2.17; 95% CI, 1.25–3.78) than in those not receiving the drug, after
adjusting for demographic factors, comorbidities, income level, and treatment regimen.
Among the 79 PTB patients with new-incident depressive disorder, 61 did not receive
ethambutol, 2 received 1 to 60 DDDs of ethambutol, 8 received 61 to 180 DDDs of
ethambutol, and 8 received more than 180 DDDs of ethambutol. The corresponding incidence
rates were 2.70, 2.03, 7.84, and 12.16 per 1,000 person-years.
The dose-response relationship between ethambutol and risk of depressive disorder was
evaluated in the above-mentioned groups. Figure 3 shows that the risk of depressive disorder
was significantly higher among patients receiving 61 to 180 DDDs (AHR, 2.56; 95% CI,
1.20–5.48) and more than 180 DDDs (AHR, 4.33; 95% CI, 1.99–9.39) of ethambutol. The
risk of developing a depressive disorder increased as ethambutol dose increased (AHR, 1.60;
95% CI, 1.26–2.02).
Figure 3 presents the results of sensitivity analysis for the dose-response relationship
between ethambutol and incident depressive disorder in PTB patients after stratifying patients
by age, sex, and treatment regimen. Cox regression analysis showed a significant dose-
response relationship between ethambutol dose and incident depressive disorder in patients
aged 65 years or older, men, and patients receiving isoniazid, rifampin, or pyrazinamide.
The risk of incident depressive disorder in relation to ethambutol use was evaluated
among PTB patients, as compared with the corresponding control groups. The Cox
proportional hazards model revealed that, after adjusting for age, sex, comorbidities, and
income level, the risk of incident depressive disorder was significantly increased both among
PTB patients who had received ethambutol (AHR, 3.78; 95% CI, 2.08–6.89) and those who
had not (AHR, 1.51; 95% CI, 1.12–2.00).

Kesimpulan
In conclusion, this was the first cohort study of the temporal association between PTB
infection and depressive disorder. Our results suggest that PTB infection is an etiologic factor
in subsequent depressive disorder. Moreover, PTB patients who received more than 60 DDDs
of ethambutol had a dose-dependent increase in the risk of incident depressive disorder.
Because depressive disorder is a modifiable illness that is amenable to treatment, clinicians
should carefully monitor TB patients for symptoms of incident depressive disorder, with
particular attention to those receiving treatment with ethambutol. The incident depressive
disorder should be evaluated carefully in patients following tuberculosis.

JURNAL 5
Judul Jurnal : The International Journal Of Tuberculosis and Lung Disease
Judul : Risk factors for pulmonary tuberculosis in Estonia
Volume : Vol.6 No.10
Tahun : 2002
Penulis : M.Tekkel, M.Rahu, H-M. Loit, A. Baburin

Latar Belakang
In Estonia the recorded tuberculosis incidence rate (case notification) was quite high in
the twentieth century, reaching its peak in 1953 (417 per 100 000 population). After 1953 it
declined, reaching its lowest level in 1990 (21/100 000), and after 1990 it increased
substantially, reaching a peak in 1998 (47.5/100 000). In 1999 the rate declined somewhat.
The overwhelming majority of the cases had pulmonary tuberculosis. A national tuberculosis
programme was implemented for the period 1998–2003.

Tujuan Penulisan
The objective of this epidemiological study is to ascertain current risk factors (mainly
socio-economic factors) for pulmonary tuberculosis in Estonia.

Metode
A study case (an incident case) is defined as a patient with pulmonary tuberculosis
(verified according to the European definition) who was routinely admitted to the
Tuberculosis Department of the Kivimäe Hospital, Tallinn, between 1 January 1999 and 15
June 2000, was aged 15 years or older, and who resided in one of four counties in Estonia
(Harjumaa, Järvamaa, Pärnumaa or Raplamaa; the populations of these counties make up
51% of Estonia’s population).
It was determined statistically that 241 cases (with an equal number of controls) would
be sufficient to detect an odds ratio (OR) of 2.0 with a 95% significance level (two-sided) and
80% power, given a prevalence of exposure (risk factor) of 10% in controls.
Controls were randomly selected from the database of the Estonian Population Registry
in July 2000, one month before interviewing started, and individually matched to cases by
sex, exact year of birth and county of residence. Taking into consideration the response rate
in previous epidemiological studies in Estonia, and the fact that a case without a control could
not be included, five potential controls for each case were sampled randomly.
A special questionnaire for collecting information on potential risk factors for
tuberculosis was developed and administered for the cases and controls. These factors were
selected on the basis of theoretical considerations concerning their utility in estimating the
effect of different exposures on tuberculosis incidence. Cases were interviewed by especially
trained physicians from Kivimäe Hospital during hospitalisation. Controls were interviewed
by two researchers from the Department of Epidemiology and Biostatistics, Institute of
Experimental and Clinical Medicine, in most cases at the control’s place of residence. The
interviewer filled in the questionnaire.
Data were analysed with conditional logistic regression and the clogit procedure in
STATA 6.0, and odds ratios (OR) were calculated with 95% confidence intervals (CI).
Univariate analysis was performed with occurrence of tuberculosis as the dependent variable.
Subsequent logistic regression models were examined for single exposure variables with
adjustments for place of birth (Estonia or elsewhere), marital status (single, married/
cohabiting, divorced, widow/widower) and education (primary, basic, secondary and higher).
The referent category within the variable was chosen according to theoretical justification or
so that the results could be interpreted meaningfully. To assess selection bias that might have
occurred due to the method of control selection, we examined the contingency tables for the
distribution of all variables, comparing the group of controls who had been the first choice
with the group of controls who had been the second or further choice.

Hasil Penelitian
Cases consisted of 248 incident adult pulmonary tuberculosis patients treated at the
Kivimäe Hospital, Tallinn, during the period January 1999 to June 2000. None of the
tuberculosis patients refused to participate in the study.
Among the group of 248 controls, 141 (56.9%) were the first potential control, 47
(19.0%) were the second potential control, 28 (11.3%) were the third potential control, 13
(5.2%) were the fourth potential control, 17 (6.9%) were the fifth potential control, and two
(0.8%) were selected from the Estonian Population Registry after all five potential controls
had had to be eliminated.
The reasons for the exclusion of potential controls. The main reason for exclusion (138
persons) of potential controls was ‘not available’. In 44 cases the address obtained from the
Estonian Population Registry was incorrect, and we failed to identify their current place of
residence. There were 18 refusals among potential controls, and one person was too ill
(schizophrenia) to participate.
Demographic characteristics and the ORs of the cases and controls. The majority of
cases were men (72%), residents of Tallinn (67%) and belonged to the age group 35–54 years
(55%). The risk of tuberculosis for persons born outside Estonia (OR 0.51, 95%CI 0.27–0.99)
was less than for native-born individuals. Almost all (n=121) of the immigrants had resided
in Estonia for 10 or more years at the time of the interview. Ethnicity had no influence on
tuberculosis risk. An increased risk was associated with marital status other than married and
educational level less than higher.
The socio-economic and household characteristics and the ORs of the cases and
controls. The risk was increased for persons with minimal monthly salary or less and for
those without fixed income (reference group=persons with average or higher salary in
Estonia). The risk was also greater for people who had been in prison, were not living in their
own house/flat, were residing in a room with a stove/electric heating and for those who were
unemployed or belonged to the third occupational group. If the economic situation had
improved during the last year, the risk of tuberculosis decreased (OR 0.33, 95%CI 0.16–
0.70).
Describes the habits and exposures of the respondents. An increased risk was associated
with smoking (active or passive at home), alcohol con sumption, insufficient nutrition, weight
loss during lifetime (not related to dieting) and contacts with tuberculosis patients. The risk of
tuberculosis was decreased for overweight persons (OR 0.16, 95%CI 0.06–0.38).
The influence of previous diseases and long-term use of particular medications on the
risk of pulmonary tuberculosis was also analysed (results not shown). None of the factors
studied (gastric/duodenal ulcer; other diseases of the stomach/intestine/colon or having
undergone surgery for these diseases; diseases of the liver, pancreas or kidney; diabetes
mellitus; malignant neoplasms or other serious diseases; taking any medication during
lifetime for longer than 6 months or taking hormones during the previous year) contributed to
the risk.
Any previous hospitalisation, the reasons for hospitalisations, and the ORs for cases
and controls. Previous hospitalisation and hospitalization before the diagnosis of pulmonary
tuberculosis increased the risk. Considering the reasons for hospitalisation, only diseases of
the respiratory system and external causes of morbidity (injury, burn, frostbite) increased the
risk.

Kesimpulan
The results of this case-control study show that the pattern of risk factors for pulmonary
tuberculosis in Estonia was somewhat different from that in WesternEuropean countries—a
large percentage of the patients were men, but were not elderly, drug abuse did not increase
the risk, and immigration, on the contrary, lowered the risk of pulmonary tuberculosis. Most
risk for pulmonary tuberculosis in Estonia was related to poverty and low socio-economic
status.

Anda mungkin juga menyukai