Anda di halaman 1dari 37

PNEUMONIA

Disusun oleh :

KELOMPOK 17

AULIA GHIBRANI HAIDIR J1A118118


WULAN PURNAMASARI J1A118147
NURAEVINDAH J1A118163
DHIYA RAMADHANI J1A118189
MARWAHIDA MUNA J1A118193
DEVI YUANITA RAMADHANI J1A118212
DWI AFRILIYANA J1A118213
DIAN PRATIWI J1A118218
TASYA KURNIA J1A118228
HIKMA J1A118233
IIN J1A118233
ALYSSA DESTIANA ADNAN J1A118236
ANITA APRILIA J1A118238
YULISKARTIKA J1A118241
WAODE RESKI J1A118245
NUR SAHIRAL LAYALY J1A118251
HUSNUL KHATIMAH J1A118256
ELLEN YULANDA J1A118257
IZMI RAMADHANTI J1A118258

EPIDEMIOLOGI 018

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS HALU OLEO
2020
ABSTRAK

Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh
bakteri, merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling
sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita. Tahun 2013, WHO
menyatakan penyebab kematian anak dibawah 5 tahun adalah pneumonia. Di
Indonesia sendiri pada tahun 2013, angka kematian balita akibat pneumonia
masuk urutan ke 8 dan setiap tahun prevalensi kejadian pneumonia terus
meningkat. Makalah ini disusun bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan penyakit pneumonia pada anak. Data Hasil analisis baru
tahun 2018 pneumonia merenggut nyawa lebih dari 800.000 anak balita di seluruh
dunia. Pneumonia di Indonesia diperkirakan sekitar 19.000 anak meninggal dunia
akibat pneumonia. Pneumonia tertinggi di Indonesia yakni Papua. Penyakit
pneumonia tahun demi tahun tidak menunjukan penurunan melainkan dengan
penaikan jumlah penderita Pneumonia.
Kata kunci : pneumonia, balita, angka kematian

ii
ABSTRACT

Pneumonia is an acute pulmonary infectious disease caused mainly by


bacteria. It is an Acute Respiratory Infection (ARI) which most often causes death
in infants and children under five. In 2013, WHO stated that the cause of death
for children under 5 years is pneumonia. In Indonesia alone in 2013, the under-
five mortality rate due to pneumonia was in the 8th position and every year the
prevalence of pneumonia incidence continues to increase. This paper was
prepared to determine the factors associated with pneumonia in children. Data
The results of a new analysis in 2018 of pneumonia claimed the lives of more than
800,000 children under five worldwide. Pneumonia in Indonesia is estimated that
around 19,000 children die from pneumonia. The highest pneumonia in Indonesia
is Papua. Pneumonia disease from year to year does not show a decrease, but an
increase in the number of people with pneumonia.
Key words: pneumonia, toddler, mortality rate

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... …i

ABSTRAK ......................................................................................................... …ii


ABSTRACT....................................................................................................... …iii
DAFTAR ISI...................................................................................................... …iv
DAFTAR TABEL.............................................................................................. …v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... …vi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

I. I Latar Belakang............................................................................................... 1

I. II Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

I. III Tujuan Pembahasan .................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................3

II. I Definisi Pneumonia ...................................................................................... 3

II. II Klasifikasi Peumonia .................................................................................. 3

II. III Penyebab Pneumonia................................................................................. 4

II. IV Faktor Risiko Pneumonia .......................................................................... 5

II. V Etiologi Pneumonia..................................................................................... 7

II. VI Epidemiologi Penyakit Pneumonia ........................................................... 7

II. VII Data Kasus Pneumonia Di Dunia dan Indonesia ................................... 14

II. VIII Pencegahan Dan Pengendalian Pneumonia .......................................... 19

II. IX Contoh Kasus Pneumonia........................................................................ 23

BAB III PENUTUP ...............................................................................................26

III. I Kesimpulan ............................................................................................... 26

III. II Saran ........................................................................................................ 28

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... ..29

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Prevalensi Pneumonia Berdasarkan Diagnosis NaKes Menurut


Provinsi, 2013-2018 ............................................................................................. 8

v
KATA PENGANTAR

Assalamu’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan anugerah dan karunia-Nya sehingga Makalah ini dapat terselesaikan
dengan waktu yang di harapkan walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana,di
mana makalah ini membahas tentang “Pneumonia”.
Penulisan makalah kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
tugas pada Mata Kuliah Seminar Kesehatan Masyarakat. Pada kesempatan ini,
kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, Paridah.S.Si.,M.Kes
yang kiranya telah memberikan arah untuk pengetahuan khususnya tentang
bagaimana dan apa bahaya dari penyakit PNEUMONIA.
Tentunya kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan di dalam
penulisannya baik di dalam penulisan kalimat maupun di dalam teorinya ,untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca agar kedepannya saya dapat memperbaiki dan menyempurnakan
kekurangan tersebut.
Besar harapan kami agar makalah ini dapat bermanfaat bagi para membaca
serta dapat memberikan suatu pengetahuan baru bagi mahasiswa untuk
meningkatkan keilmuan, mengingat keterbatasan dari sumber referensi yang
diperoleh serta keterbatasan kami selaku manusia biasa yang selalu ada kesalahan.

Kendari, Oktober 2020

Penulis

vi
BAB I
PENDAHULUAN

I. I Latar Belakang
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh
bakteri, merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling
sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita. Faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian pneumonia balita adalah pendidikan formal ibu,
pengetahuan ibu, pengeluaran keluarga, polusi asap dapur, kepadatan rumah, jarak
kesarana kesehatan, dan status imunisasi campak (Danusanto, 2016)
Tingginya angka kematian balita akibat pneumonia mengakibatkan target
MDG’s (Millenium Development Goals) ke 4 yang bertujuan menurunkan angka
kematian anak sebesar 2/3 dari tahun 1990 sampai 2014 tidak tercapai (WHO,
2015). Angka kematian balita pada tahun 2013 masih tinggi mencapai 6,3juta
jiwa. Kematian balita tertinggi terjadi di Negara berkembang sebanyak 92% atau
29.000 balita/hari. Kematian balita sebagian besar disebabkan oleh penyakit
menular seperti pneumonia (15%), diare (9%), dan malaria (7%) (Pribowo, 2013).
Dari data populasi yang tercatat, Indonesia termasuk dalam 10 besar Negara
dengan angka kematian akibat pneumonia pada anak di bawah lima tahun di tahun
2013 pada urutan ke-8 dengan perkiraan sebesar 22.000 kematian setelah India,
Nigeria, Pakistan, DRC, Etiopia, Cina, dan Angola. WHO memperkirakan
kejadian (insiden) pneumonia di Negara dengan angka kematian bayi di atas 40
per 1.000 kelahiran hidup adalah 15% - 20% pertahun pada golongan usia Balita.
Kejadian pneumonia di Indonesia pada Balita diperkirakan antara 10% sampai
dengan 20% pertahun. (World Health Organization, 2014).
Di Indonesia sendiri kasus pneumonia pada balita disuatu wilayah sebesar
10% dari jumlah balita di wilayah tersebut. Angka kematian akibat pneumonia
pada balita sebesar 1,19%. Pada kelompok bayi, angka kematian lebih tinggi yaitu
sebesar 2,89% dibandingkan pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 0,20%
(Depkes RI,2015).

1
Masalah pada pneumonia yang paling sering pada anak ialah demam diikuti
dengan sesak nafas dan batuk. Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit pneumonia pada anak.

I. II Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari penyakit Pneumonia ?
2. Bagaimana klasifikasi penyakit Pneumonia ?
3. Bagaimana etologi penyakit dari Pneumonia ?
4. Bagaimana frekuensi dari penyakit Pneumonia ?
5. Bagaimana distribusi dari penyakit Pneumonia ?
6. Apa saja determinan dari penyakit Pneumonia ?
7. Bagaimana solusi terhadap penyakit Pneumonia ?

I. III Tujuan Pembahasan


Adapun makalah dengan judul Penyakit Pneunomia ini mempunyai tujuan
tertentu yang diharapkan, selain dalam pemenuhan salah satu tugas mata kuliah.
Untuk itu, tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Agar mahasiswa mampu mendeskripsikan definisi penyakit pneumonia,
klasifikasi, etiologi, frekuensi, distribusi, determinan, dan mengetahui
bagaimana solusi terhadap penyakit pneumonia.
2. Agar pembaca dapat meningkatkan pengetahuan tentang penyakit
pneumonia dan mengetahui bagaimana solusi terhadap penyakit
pneumonia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

II. I Definisi Pneumonia


Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang biasanya terjadi
pada anak-anak tetapi terjadi lebih sering pada bayi dan awal masa kanak-kanak
dan secara klinis pneumonia dapat terjadi sebagai penyakit primer atau komplikasi
lain (Hockenberry & Wilson, 2009). Menurut UNICEF/WHO (2006) pneumonia
adalah 12 sakit yang terbentuk dari infeksi akut dari daerah saluran pernafasan
bagian bawah secara spesifik mempengaruhi paru-paru. Pneumonia merupakan
peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan gas setempat. Pneumonia adalah inflamasi yang
mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dan
lain-lain). (Merlinda Permata Sari, Tren Pneumonia Balita di Kota Semarang
Tahun 2012-2018, 2019)
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2018) pneumonia
adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Pneumonia adalah
peradangan paru-paru yang disebabkan oleh infeksi. Pneumonia juga dikenal
dengan istilah paru-paru basah. Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi
yang ditandai dengan peradangan pada satu atau kedua paru-paru yang dapat
disebabkan oleh virus, jamur, bakteri sehingga menyebabkan berkurangnya
kemampuan kantung-kantung udara untuk menyerap oksigen (Misnadiarly, 2008).
Pneumonia disebut juga sebagai “The Forgotten Killer of Children” atau
pembunuh balita yang terlupakan sebagai akibat kurang perhatiannya masyarakat
dalam menangani kasus pneumonia dimana 2 dari 9 juta kematian balita di dunia
telah disebabkan oleh pneumonia (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

II. II Klasifikasi Peumonia


Pneumonia pada anak dapat dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris,
pneumonia lobularis (bronchopneumonia), pneumonia interstisialis. Di Negara

3
berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri
yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus Pneumoniae,
Haemophilus influenza, dan Staphylococcus aureus (Said, 2010) dalam (Sutarga,
2017)
Beberapa sumber membuat klasifikasi pneumonia berbeda-beda tergantung
dari sudut pandang. Klasifikasi pneumonia diantaranya :
1. Menurut Hockenberry dan Wilson (2009) pneumonia dikelompokkan
menjadi :
a. Pneumonia Lobaris yaitu peradangan pada semua atau sebagian besar
segmen paru dari satu atau lebih.
b. Bronkopneumonia yaitu sumbatan yang dimulai dari cabang akhir dari
bronkiolus dan biasa disebut juga dengan pneumonia lobular.
c. Pneumonia Interstitial
2. 13 Depkes RI (2007) membuat klasifikasi pneumonia pada balita
berdasarkan kelompok usia diantaranya :
a. Usia anak pada umur 2 bulan – <5 tahun batuk yang menandakan bukan
pneumonia tidak ada nafas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada ke
bawah, sedangkan pneumonia ditandai dengan adanya nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding ke bawah dan pneumonia berat ditandai
dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah.
b. Usia kurang dari dua bulan batuk bukan pneumonia jika ditandai
dengan tidak adanya nafas cepat. Jika pneumonia maka akan terjadnya
nafas cepat dan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam
yang kuat.

II. III Penyebab Pneumonia


Menurut WHO (2019) Pneumonia disebabkan oleh sejumlah agen penular,
termasuk virus, bakteri, dan jamur. Yang paling umum adalah:
1) Streptococcus pneumoniae - penyebab paling umum dari pneumonia
bakterial pada anak-anak;

4
2) Haemophilus influenzae tipe b (Hib) - penyebab paling umum kedua dari
pneumonia bakterial;
3) Virus pernapasan syncytial adalah penyebab virus paling umum dari
pneumonia;
4) Pada bayi yang terinfeksi HIV, Pneumocystis jiroveci adalah salah satu
penyebab paling umum dari pneumonia, bertanggung jawab atas
setidaknya seperempat dari semua kematian akibat pneumonia pada bayi
yang terinfeksi HIV (WHO, 2019).

II. IV Faktor Risiko Pneumonia


Menurut NIH (2019) Risiko terkena pneumonia mungkin lebih tinggi karena
usia, lingkungan, kebiasaan gaya hidup, dan kondisi medis lainnya.
1. Usia
Pneumonia dapat menyerang orang dari segala usia. Namun, dua
kelompok usia berisiko lebih tinggi terkena pneumonia dan pneumonia yang
lebih serius (NIH, 2019).
a. Bayi dan anak-anak, berusia 2 tahun atau lebih muda, karena sistem
kekebalan mereka masih berkembang. Risikonya lebih tinggi untuk
bayi prematur.
b. Orang dewasa yang lebih tua, usia 65 atau lebih, karena sistem
kekebalan mereka umumnya melemah seiring bertambahnya usia.
Orang dewasa yang lebih tua juga lebih cenderung memiliki kondisi
kesehatan kronis (jangka panjang) lainnya yang meningkatkan risiko
pneumonia.
c. Bayi, anak-anak, dan orang dewasa yang lebih tua yang tidak
mendapatkan vaksin yang direkomendasikan untuk mencegah
pneumonia memiliki risiko yang lebih tinggi (NIH, 2019).
2. Lingkungan atau pekerjaan
Kebanyakan orang terkena pneumonia saat mereka tertular infeksi dari
orang lain di komunitas mereka. Peluang terkena pneumonia lebih tinggi jika
orang tersebut tinggal atau menghabiskan banyak waktu di tempat yang ramai

5
seperti barak militer, penjara, penampungan tunawisma, atau panti jompo
(NIH, 2019).
Risiko terkena juga lebih tinggi jika orang tersebut secara teratur
menghirup polusi udara atau asap beracun (NIH, 2019).
Beberapa kuman penyebab pneumonia dapat menginfeksi burung dan
hewan lainnya. Maka kemungkinan besar akan menemukan kuman ini jika
orang tersebut bekerja di pusat pengolahan ayam atau kalkun, toko hewan
peliharaan, atau klinik hewan (NIH, 2019).
3. Kebiasaan Gaya Hidup
a. Merokok dapat membuat tubuh kurang mampu mengeluarkan lendir
dari saluran udara.
b. Menggunakan obat-obatan atau alkohol dapat melemahkan sistem
kekebalan tubuh. Tubuh juga lebih mungkin secara tidak sengaja
menghirup air liur atau muntah ke tenggorokan jika Anda dibius atau
tidak sadar karena overdosis.
4. Kondisi Medis Lainnya
Tubuh mungkin mengalami peningkatan risiko pneumonia jika memiliki
salah satu kondisi medis berikut (NIH, 2019).
a. Gangguan otak, seperti stroke, cedera kepala, demensia, atau penyakit
Parkinson. Kondisi tersebut dapat memengaruhi kemampuan Anda untuk
batuk atau menelan. Hal ini dapat menyebabkan makanan, minuman,
muntah, atau air liur mengalir ke tenggorokan, bukan ke kerongkongan,
dan masuk ke paru-paru.
b. Kondisi yang melemahkan sistem kekebalan tubuh, seperti kehamilan,
HIV/AIDS, atau transplantasi organ atau sumsum tulang. Kemoterapi,
yang digunakan untuk mengobati kanker, dan penggunaan obat steroid
dalam jangka panjang juga dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh.
c. Penyakit kritis yang membutuhkan rawat inap. Menerima perawatan di
unit perawatan intensif rumah sakit meningkatkan risiko pneumonia yang
didapat di rumah sakit. Risiko Anda lebih tinggi jika Anda tidak bisa

6
banyak bergerak atau dibius atau tidak sadar. Menggunakan ventilator
meningkatkan risiko jenis yang disebut pneumonia terkait ventilator.
d. Penyakit paru-paru, seperti asma, bronkiektasis, fibrosis kistik, atau
COPD.
e. Kondisi serius lainnya, seperti malnutrisi, diabetes, gagal jantung,
penyakit sel sabit, atau penyakit hati atau ginjal.

II. V Etiologi Pneumonia


Penelitian mengenai etiologi pneumonia masih berdasarkan penelitian di
luar Indonesia. Pada umumnya pneumonia disebabkan oleh bakteri dan virus.
Pneumonia pada neonates berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering
adalah akibat bakteri. Biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae. Pada balita
pada usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari
pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus. Negara-negara berkembang, bakteri
merupakan aspek terbesar dalam kejadian pneumonia pada balita sekitar 50%
(Rizanda, 2006) dalam (Sutarga, 2017)

II. VI Epidemiologi Penyakit Pneumonia


1 Frekuensi Pneumonia
Estimasi data kematian balita tahun 2012-2016 menunjukkan 16%
kematian balita dikarenakan Acute Respiratory Infection. Penyakit infeksi
utama pada balita yang menyebabkan kematian masih dikarenakan penyakit
pneumonia (UNICEF, 2018). Data global UNICEF (2018) menunjukkan
bahwa pada tahun 2016, pneumonia masih menjadi penyebab kematian balita
di Indonesia dengan menempati urutan kedua (16%) setelah preterm (19%).
(Fatati Larasati, 2019)
Data Hasil analisis baru (UNICEF, 2019) menunjukkan bahwa, tahun lalu
2018 pneumonia merenggut nyawa lebih dari 800.000 anak balita di seluruh
dunia, atau 39 anak per detik. Sebagian besar kematian terjadi pada anak
berusia di bawah dua tahun dan nyaris 153.000 kematian terjadi pada bulan
pertama kehidupan. Pada tahun 2018, angka kematian anak akibat penyakit ini
lebih tinggi dibandingkan penyakit lainnya diare menyebabkan kematian

7
437.000 anak balita. Pneumonia juga merupakan penyebab kematian Balita
terbesar di Indonesia. Pada tahun 2018, diperkirakan sekitar 19.000 anak
meninggal dunia akibat pneumonia. Estimasi global menunjukkan bahwa
setiap satu jam ada 71 anak di Indonesia yang tertular pneumonia. Risiko
terjangkit pneumonia jauh lebih besar dialami anak-anak yang sistem daya
tahan tubuhnya lemah akibat penyakit lain seperti HIV atau malnutrisi, atau
mereka yang hidup di lingkungan dengan kadar pencemaran udara tinggi serta
mengkonsumsi air minum tidak layak.
2 Distribusi Pneumonia
Gambar 1. Prevalensi Pneumonia Berdasarkan Diagnosis NaKes Menurut
Provinsi, 2013-2018

(Sumber : RISKESDAS, 2018)


Data diatas menunjukan bahwa Daerah dengan penderita Pneumonia
tertinggi yakni Papua. Sedangkan, perbandingan penderita Pneumonia tahun
2012 dan 2018 menunjukan bahwasanya tahun 2018 lebih mendominasi dan
lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2012. Data diatas membutikan bahwa
penderita Pneumonia tahun demi tahun tidak menunjukan penurunan
melainkan dengan penaikan jumlah penderita Pneumonia. (Riskesdas, 2018)

8
3 Determinan Pneumonia
Model segitiga epidemiologi atau triad epidemiologi atau model rantai
infeksi (The Triangle Model of Infections) menggambarkan interaksi tiga
komponen penyakit manusia (Host), penyebab (Agent), dan lingkungan
(Environment). Menurut Mc. Keown dan Hilfinger (2004) penyakit dapat
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agent, host dan
environment. Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan perlunya
analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Dalam model ini faktor
agent adalah yang bertanggung jawab terhadap penyebab penyakit infectious
agent yaitu organisme penyebab penyakit. Faktor host adalah individu atau
populasi yang berisiko terpajan penyakit meliputi faktor genetik atau gaya
hidup. Faktor environment adalah tempat dimana host hidup termasuk kondisi
cuaca dan faktor-faktor lingkungan yang mendukung terjadinya suatu penyakit
tersebut muncul. Menurut model segitiga epidemiologi ini sehat dan sakit dapat
dipahami dengan mendalami karateristik, perubahan dan interaksi diantara
agent, host dan environment. (Sutarga, 2017)
a. Faktor Agent
Adalah penyebab dari penyakit pneumonia yaitu berupa bakteri, virus,
jamur, dan protozoa (sejenis parasit). Bakteri tersering penyebab pneumonia
pada balita adalah Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza.
Sedangkan, penyebab pneumonia pada orang dewasa adalah Mikoplasma.
Pneumonia oleh Mikoplasma adalah agen terkecil di dalam bebas yang
menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan
sebagai virus maupun bakteri walaupun memiliki karakteristik keduanya.
Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas.
Mikoplasma menyerang segala jenis usia. Tetapi paling sering pada anak pria
remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan pada orang
yang tidak menjalani pengobatan. Pneumonia jenis ini berbeda gejala dan
tanda fisiknya bila dibandingkan dengan pneumonia pada umumnya. Oleh
karena itu, pneumonia yang diduga disebabkan oleh virus yang belum
ditemukan ini sering disebut Atypical Pneumonia (pneumonia yang tidak

9
tipikal). Pneumonia mikoplasma ini mulai diidentifikasi saat perang dunia II.
(Sutarga, 2017)
b. Faktor Host (Faktor Anak)
Faktor risiko infeksi pneumonia pada (host) dalam hal ini anak balita
meliputi: usia, jenis kelamin, berat badan lahir, status imunisasi campak,
pemberian ASI eksklusif, status pemberian vitamin A, BBLR. (Sutarga, 2017)
1) Hubungan Imunisasi Campak
Imunisasi bertujuan memberikan kekebalan kepada anak terhadap penyakit
dan menurunkan angka kematian dan kesakitan yang disebabkan penyakit-
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Seperti diketahui 43,1%-
76,6% kematian ISPA yang berkembang penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, seperti 15 Difteri dan Campak. Bila anak sudah dilengkapi dengan
imunisasi campak, dapat diharapkan perkembangan penyakit ISPA tidak akan
menjadi berat. Maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar
dalam pemberatasan ISPA. Dengan imunisasi campak yang efektif, sekitar
11% kematian pneumonia balita dapat dicegah. Berdasarkan penelitian oleh
Hatta (2001) menyatakan bahwa, balita yang tidak mendapat imunisasi
campak mempunyai risiko 2.307 kali lebih besar untuk menderita pneumonia
dibandingkan dengan balita yang mendapat imunisasi campak.
2) Riwayat Pemberian Vitamin A
Adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan risiko terjadinya
pneumonia (Sommer, 1984). Penelitian yang dilakukan oleh Herman (2002),
dinyatakan bahwa balita yang tidak pernah mendapatkan vitamin A dosis
tinggi lengkap mempunyai risiko untuk menderita pneumonia 4 kali
dibandingkan dengan balita yang mendapatkann vitamin A dosis tinggi
lengkap. Hasil penelitian Herman (2002) menggambarkan bahwa balita yang
tidak mendapat vitamin A dosis tinggi lengkap mempunyai peluang 3,8 kali
terkena pneumonia dibanding anak yang mempunyai riwayat pemberian
vitamin A dosis tinggi lengkap dan secara statistik mempunyai hubungan
bermakna dengan nilai OR=3,8 (95% CI :2,4-6,2) p=0,000.
3) Riwayat Pemberian ASI

10
ASI (air susu ibu) adalah makanan terbaik bagi bayi karena mengandung
zat gizi paling sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi, karena itu
untuk 16 mencapai pertumbuhan dan perkembangan bayi yang optimal ASI
perlu diberikan secara eksklusif (Nelson, 2000). Bayi dianjurkan untuk
disusui secara ekslusif selama 6 bulan pertama kehidupan dan pemberian ASI
dilanjutkan dengan didampingi makanan pendamping ASI, idealnya selama
dua tahun pertama kehidupan. Menyusui secara eksklusif terbukti
memberikan resiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi dan
penyakit menular lainnya di kemudian hari. Hasil penelitian Naim (2001) di
Jawa Barat menjelaskan anak usia 4 bulan sampai 24 bulan yang tidak
mendapat ASI ekslusif menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko terjadinya pneumonia
4,76 kali dibanding anak umur 4 bulan sampai 24 bulan yang diberi ASI
eksklusif ditunjukkan dengan nilai statistik OR=4,76 (95% CI 2,98 – 7,59)
dan nilai p=0,000.
4) Berat Badan Lahir
Bayi dengan BBLR mempunyai risiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan
pertama kelahiran karena pembentukan anti kekebalan kurang sempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit
saluran pernafasan lainnya. Hasil penelitian Herman (2002) menjelaskan
balita yang mempunyai riwayat berat badan lahir rendah rendah
5) Usia 17
Usia merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit.
Hal ini disebabkan karena usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan
seseorang. Anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit
pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas lima tahun. Hal ini
disebabkan oleh imunitas yang belum sempurna dan saluran pernafasan yang
relatif sempit (Depkess RI, 2004).
6) Jenis Kelamin

11
Dalam program P2 ISPA dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko
yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004). Hal ini
didukung oleh penelitian Hananto (2004) bahwa anak laki-laki mempunyai
peluang menderita pneumonia 1,46 kali (95% CI:0,81-1,60) dibanding anak
perempuan.
c. Faktor Lingkungan (Environment)
Faktor Lingkungan yang dapat menjadi risiko terjadinya pneumonia pada
anak balita meliputi kepadatan hunian, paparan asap rokok, keberadaan
sirkulasi udara (jendela) didalam rumah,pengetahuan dan pendidikan ibu.
Kondisi lingkungan dapat dimodifikasi dan dapat diperkirakan dampak atau
akses buruknya sehingga dapat ditemukan solusi ataupun kondisi yang paling
optimal bagi kesehatan anak balita. (Sutarga, 2017)
1) Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan hunian merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan
jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Keadaan tempat tinggal yang
padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.
Penelitian Febriana (2011) menunjukkan anak balita yang tinggal di rumah
dengan tingkat hunian 18 padat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar
3,8 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan
tingkat hunian tidak padat. Tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi
syarat disebabkan karena luas lantai rumah yang tidak sebanding dengan
jumlah keluarga yang menempati rumah. Luas rumah yang sempit dengan
jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan rasio penghuni dengan
luas rumah tidak seimbang. Kepadatan hunian ini memungkinkan bakteri
maupun virus dapat menular melalui pernapasan dari penghuni rumah yang
satu ke penghuni rumah lainnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 289/Menkes/s\SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan
perumahan, kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2
orang).
2) Paparan Asap Rokok

12
Adanya pengaruh yang sangat konperensif asap rokok dengan kejadian
pneumonia dikarenakan asap dari rokok tersebut mengandung ninkotin
sehingga sangat tidak baik jika melakukan tindakan merokok di depan balita
bahkan jika salah satu keluarga melakukan tindakan merokok di depan balita
atau bahkan balita sampai terkena paparan asap dari rokok tersebut, bahkan
status balita tersebut juga dapat dikatakan sebagai perokok pasif yang akan
berdampak mengancam alat pernafasan anak balita tersebut.
3) Keberadaan Sirkulasi Udara (Jendela) di Dalam Rumah.
Jendela mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar masuk
kedalam rumah dan udara yang kotor keluar rumah. Rumah yang tidak
dilengkapi sarana jendela akan menyebabkan udara segar yang masuk
kedalam rumah sangat 19 minim. Kecukupan udara segar sangat butuh untuk
penghuni didalam rumah tersebut, karena ketidakcukupan udara segar akan
dapat berpengaruh terhadap fungsi fisiologis alat pernafasan bagi
penghuninya terutama bagi bayi dan balita. Menteri Kesehatan menyatakan
bahwa luas ventilasi sebaiknya 10% dari luas lantai. Hasil penelitian yang
dilakukan Herman (2002) menjelaskan bahwa ventilasi udara rumah
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian pneumonia (p=0,000)
dimana balita yang menghuni rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan mempunyai peluang untuk terjadinya pneumonia sebesar 4,2
kali (95% CI:2,0 - 8,6) dibanding dengan balita yang memenuhi rumahnya
dengan ventilasi yang sesuai memenuhi syarat kesehatan.
d. Faktor Ibu
1) Pengetahuan Ibu
Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga merupakan faktor resiko
yang dapat meningkatkan angka kematian terutama pneumonia.Tingkat
pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu
kepada anak yang menderita pneumonia. Jika pengetahuan ibu untuk
mengatasi pneumonia tidak tepat ketika bayi atau balita yang sedang
mengalami pneumonia, akan mempunyai resiko meninggal karena
pneumonia sebesar 4,9 kali jika dibandingkan dengan ibu yang

13
mempunyai pengetahuan yang tepat (Kartasasmita, 2010) dalam (Sutarga,
2017).
2) Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah suatu proses yang terdiri dari masukan yaitu
sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan
baru. 20 Pendidikan formal maupun pendidikan non formal akan
mempengaruhi seseorang dalam proses pengambilan keputusan dan
bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin mudah
ibu untuk menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula
tingkat pemahaman terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit
pada bayi dan balitanya. Berdasarkan hasil penelitian oleh Hatta (2001),
balita yang lahir dari ibu yang berpendidikan rendah mempunyai risiko
2,037 kali lebih besar untuk menderita pneumonia bila dibandingkan
dengan balita yang lahir dari ibu yang berpendidikan tinggi. (Sutarga,
2017)

II. VII Data Kasus Pneumonia Di Dunia dan Indonesia


1. Data Kasus Pneumonia Di Dunia
Menurut World Health Organization/WHO (2013), Pneumonia menjadi
penyebab utama kematian pada anak balita di seluruh dunia dengan jumlah
sekitar 1,6 juta kematian per tahun. Lebih dari 99% kematian pneumonia
(Organization, 2018)terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara memiliki lebih dari separuh jumlah kasus
pneumonia di kalangan balita di seluruh dunia.. Menurut WHO (2014) angka
kematian anak akibat pneumonia di seluruh dunia sebanyak 935.000 anak pada
tahun 2013. (Iser Leonardus L. D., 2019)
Pneumonia membunuh lebih dari 808.000 anak di bawah usia 5 tahun
pada tahun 2017, yang merupakan 15% dari semua kematian anak di bawah
usia 5 tahun. Orang yang berisiko terkena pneumonia juga termasuk orang
dewasa di atas usia 65 tahun dan orang dengan masalah kesehatan yang sudah
ada sebelumnya. Sekitar 156 juta episode baru pneumonia klinis pada masa

14
kanak-kanak terjadi di seluruh dunia pada tahun 2000, lebih dari 95% di
antaranya di negara berkembang. Dari semua kasus pneumonia yang terjadi di
negara-negara tersebut, 8,7% cukup parah sehingga mengancam jiwa dan
memerlukan perawatan di rumah sakit. Sekitar 2 juta kematian akibat
pneumonia terjadi setiap tahun pada anak-anak berusia kurang dari 5 tahun,
terutama di Wilayah Afrika dan Asia Tenggara (WHO, 2020).
2. Data Kasus Pneumonia Di Indonesia
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) RI tahun 2018 menunjukkan
adanya peningkatan prevalensi, atau jumlah penderita pneumonia dibandingkan
pada tahun 2013. Berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan jumlah orang yang
mengalami gangguan penyakit ini pada 2018 yaitu sekitar 2 persen, sedangkan
pada tahun 2013 adalah 1,8 persen. Padahal, pneumonia atau radang paru yang
sering terjadi dapat bersifat serius, bahkan yang dapat menyebabkan kematian
yakni pneumonia komunitas. Ironisnya, pneumonia menyerang sekitar 450 juta
orang setiap tahunnya (Riskesdas, 2013).
Pada Profil Kesehatan Republik Indonesia data tahun 2017 didapatkan
angka insiden pneumonia di Indonesia sebesar 20,54 per 1000 balita. Jumlah
kasus pneumonia balita di Indonesia tahun pada tahun 2013 hingga 2017
mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2013 ditemukan kasus
pneumonia balita sebanyak 571.547 kasus. Kasus tersebut mengalami kenaikan
pada tahun 2014 menjadi 657.490 kasus. Penurunan angka kasus terjadi pada
tahun 2015 dengan besaran 554.650 kasus. Namun, pada tahun 2016 kembali
mengalami kenaikan hingga sebanyak 568.146 kasus dan menurun pada tahun
2017 sebesar 511.434 kasus. (Merlinda Permata Sari, 2019)
Tahun 2013 angka cakupan penemuan pneumonia balita yaitu berkisar
antara 23%-27% dengan angka kematian sebesar 1,19% (Profil Kesehatan
Indonesia, 2013). Period prevalence dan prevalensi tahun 2013 untuk kasus
pneumonia di Indonesia sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen, Lima provinsi yang
mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur
adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%),
Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), dan

15
Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%) (Riskesdas, 2013). Proporsi penemuan
pneumonia pada balita di Indonesia sebesar >20% dari semua kasus
pneumonia. Period prevalence pneumonia pada balita di Indonesia adalah 18,5
per mil, balita dengan pneumonia yang berobat hanya 1,6 per mil. Lima
provinsi yang mempunyai insiden pneumonia balita tertinggi adalah Nusa
Tenggara Timur (38,5‰), Aceh (35,6‰), Bangka Belitung (34,8‰), Sulawesi
Barat (34,8‰), dan Kalimantan Tengah (32,7‰), insiden tertinggi pneumonia
balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan Riskesdas, 2013). (Iser
Leonardus L. D., 2019)
Menurut Profil Kesehatan Indonesia (2013) angka kematian akibat
pneumonia sebesar 1.19%, pada kelompok bayi angka kematian lebih besar
yaitu 2.89% dari pada kelompok 1 - 4 yang sebesar 0.20%. Angka kematian
akibat pneumonia pada balita tahun 2015 sebesar 0,16%, lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 2014 yang sebesar 0,08% (Profil Kesehatan
Indonesia, 2015). Pneumonia juga selalu berada pada daftar 10 penyakit
terbesar setiap tahunnya di setiap fasilitas. Hal ini menunjukan pneumonia
merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan utama dan
berkontribusi pada tingginya angka kematian balita di Indonesia Kemenkes RI,
2013 (Iser Leonardus L. D., 2019)
Untuk diketahui, angka kejadian pneumonia lebih sering terjadi di
negara berkembang, salah satunya Indonesia. Tahun 2010 di Indonesia,
pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit.
Angka kematian penyakit tertentu atau crude fatality rate (CFR) akibat
penyakit ini pada periode waktu tertentu dibagi jumlah kasus adalah 7,6 persen.
Menurut Profil Kesehatan Indonesia, pneumonia menyebabkan 15 persen
kematian balita yaitu sekitar 922.000 balita tahun 2015. Dari tahun 2015-2018
kasus pneumonia yang terkonfimasi pada anak-anak dibawah 5 tahun
meningkat sekitar 500.000 per tahun. Tercatat jumlah penderita radang paru
tersebut mencapai 505.331 pasien dengan 425 pasien meninggal. Dinas
Kesehatan DKI Jakarta memperkirakan ada 43.309 kasus pneumonia atau
radang paru pada balita selama tahun 2019 (Dinkes, 2019).

16
Awalnya terdapat 27 kasus kemudian meningkat menjadi 59 kasus,
dengan usia, antara 12-59 tahun. Terdapat laporan kematian pertama terkait
kasus pneumonia ini, pasien usia 61 tahun dengan penyakit penyerta yaitu
penyakit liver kronis dan tumor abdomen atau perut. Dari 50 pasien lainnya
yang sedang menjalani perawatan, dua pasien sudah dinyatakan boleh pulang
dan tujuh pasien masih dalam kondisi yang serius. Hasil pengkajian dipikirkan
kemungkinan etiologi kasus-kasus ini terkait dengan Severe Acute Respiratory
Infection (SARS) yang disebabkan Coronavirus dan pemah menimbulkan
pandemi di dunia pada tahun 2003 (Dinkes, 2019).
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr Agus
Dwi Susanto menerangkan, berdasarkan data Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) 2014, jumlah penderita pneumonia di Indonesia pada 2013
berkisar antara 23%-27% dan kematian akibat pneumonia sebesar 1,19%
(Kemenkes, 2014).
Data WIHO tahun 2005 menyatakan bahwa proporsi kernatian balita
karena saluran pernafasan di dunia adalah sebesar 19 -26%. Pada tahun
2007 diperkirakan terdapat 1,8 juta kernatian akibat pneumonia atau sekitar
20% dari total 9 juta kematian pada anak (WHO, 2005). Di Indonesia
berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
Pneumonia adalah penyebab kematian kedua pada balita setelah Diare
(Riskesdas, 2007).
Dari tahun ke tahun Pneumonia selalu menduduki peringkat atas
penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Menurut Riskesdas
2007, pneumonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5%
diantara semua balita). Dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar
setiap tahunnya di fasilitas kesehatan (Riskesdas, 2007).
Pneumonia balita merupakan salah satu indikator keberhasilan program
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan seperti tertuang dalam
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014. Dan ditargetkan
persentase penemuan dan tata laksana penderita pneumonia balita pada tahun
2014 adalah sebesar 100%.

17
Menurut data Riskesdas 2007, prevalensi pneumonia (berdasarkan
pengakuan pernah didiagnosis pneumonia oleh tenaga kesehatan dalam sebulan
terakhir sebelum survei) pada bayi di Indonesia adalah 0,76% dengan rentang
antar provinsi sebesar 0-13,2%. Prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo
(13,2%) dan Bali (12,9%), sedangkan provinsi lainnya di bawah 10%
(Riskesdas, 2007).
Sedangkan prevalensi pada anak balita (1-4 tahun) adalah 1,00%
dengan rentang antar provinsi sebesar 0,1% - 14,8%. Seperti pada bayi,
prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo (19,9%) dan Bali (13,2%)
sedangkan provinsi lainnya di bawah 10% (Depkes, 2007).
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia, prevalensi Pneumonia
Balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada
tahun 2007.
Insiden pneumonia balita tertinggi (>4%) pada tahun 2005 ada di
Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Bangka Belitung, NTB,
Kalimantan Selatan dan Sulawesi tengah. Sementara Jawa Barat dan Papua
Barat tidak ada data (Depkes, 2005).
Pada tahun 2006 daerah yang paling tinggi insidensnya adalah provinsi
Bangka Belitung, NTB, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
Tengah dan Maluku.Tahun 2007 provinsi dengan insidens pneumonia tinggi
semakin berkurang dan sebagian provinsinya berubah yaitu Kalimantan
Selatan, NTB, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2008
provinsi dengan insidens pneumonia tinggi hanya tiga provinsi yaitu Jawa
Barat, NTB dan Gorontalo. Sedangkan tahun 2009 provinsi yang
insidensinya >4% adalah Bangka Belitung, Jawa Barat dan NTB (Depkes,
2005).
Proporsi kejadian pneumonia (seluruh kelompok umur) terhadap ISPA
pada tahun 2006-2008 menunjukkan penurunan, seperti dari seluruh
kasus ISPA terdapat kasus pneumonia sebesar 10,2% pada tahun 2006,
menjadi sebesar 9,3% pada tahun 2007, sebesar 7,9% pada tahun 2008
dan sebesar 7,4% pada tahun 2009 (Ditjen, 2010).

18
Pada tahun 2007 dan 2008 perbandingan kasus pneumonia pada balita
dibandingkan dengan usia ≥5 tahun adalah 7:3. Artinya bila ada 7 kasus
penumonia pada balita maka akan terdapat 3 kasus pneumonia pada usia ≥5
tahun. Pada tahun 2009 terjadi perubahan menjadi 6:4 namun pneumonia
pada balita masih tetap merupakan proporsi terbesar. Selain itu, proporsi
penemuan pneumonia pada bayi adalah sebesar >20% dari semua kasus
pneumonia (Ditjen, 2010).
Menurut data statistik rumah sakit angka kematian (CFR) penderita
yang disebabkan pneumonia untuk semua kelompok umur menurun dari tahun
2004 ke tahun 2005, akan tetapi dari tahun 2005 sampai tahun 2008 belum
terlihat penurunan angka kematian (Depkes, 2010).
Angka kematian pada statistik rumah sakit merupakan kematian akibat
pneumonia pada semua umur, sedangkan data kematian pada bayi dan balita
akibat pneumonia tidak diperoleh sehingga tidak dapat dilakukan analisis dan
interpretasi pneumonia balita di RS. Menurut data statistik rumah sakit di
Indonesia, jumlah pasien rawat jalan penderita pneumonia tahun 2004-
2007 cenderung meningkat, kemudian pada tahun 2008 penderita pneumonia
menurun tajam, yaitu tahun 2004 -2007 berkisar 34.000 sampai 50.000 kasus,
sedangkan pada tahun 2008 hanya 10.000 an kasus saja. Kemungkinan
besar keadaan ini terjadi karena rendahnya kelengkapan laporan rumah sakit
atau jumlah RS yang melapor berkurang.

II. VIII Pencegahan Dan Pengendalian Pneumonia


1. Pencegahan Pneumonia
Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan
pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-
imunisasi. Imunisasi terhadap patogen yang bertanggung jawab terhadap
pneumonia merupakan strategi pencegahan spesifik. Pencegahan non-imunisasi
merupakan pencegahan nonspesifik misalnya mengatasi berbagai faktor-risiko
seperti polusi udara dalam-ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak
sehat/bersih, perbaikan gizi dan dan lain-lain (KemenkesRI, 2010).

19
a. Imunisasi
Dalam sejarah kedokteran imunisasi merupakan success- story program
kesehatan masyarakat yang paling menarik. Contoh yang sangat
mengesankan adalah penyakit cacar yang saat ini sudah dapat di eradikasi
sebagai akibat signifikan keberhasilan program imunisasi. Diharapkan
menyusul adalah polio yang mudah-mudahan dalam waktu dekat akan dapat
dieradikasi pula. Pencegahan pneumonia yang berkaitan dengan pertusis dan
campak adalah imunisasi DPT dan campak dengan angka cakupan yang
menggembirakan; DPT berkisar 89,6 %-94,6 % dan campak 87,8 %-93,5
%.Dari beberapa studi vaksin (vaccine probe) diperkirakan vaksin
pneumokokus konjungat dapat mencegah penyakit dan kematian 20-35%
kasus pneumonia pneumokokus dan vaksin Hib mencegah penyakit dan
kematian 15-30% kasus pneumonia Hib. Pada saat ini di banyak negara
berkembang direkomendasikan vaksin Hib untuk diintegrasikan ke dalam
program imunisasi rutin dan vaksin pneumokokus konjugat
direkomendasikan sebagai vaksin yang dianjurkan (KemenkesRI, 2010).
Mempercepat penemuan vaksin baru berdasarkan serotipe molekuler
(molecular serotypes) bakteri penyebab pneumo nia dan pengembangan
vaksin lain seperti RSV patut men dapat dukungan. Namun di samping
motif kepentingan keilmuan (science) agaknya terdapat motif kepentingan
bisnis (commerce) dibalik minat dan ketertarikan yang kuat dalam
pengembangan vaksin ini. Negara berkembang merupakan pasar vaksin
yang luar-biasa besarnya dan perusahaan yang berkepentingan tentu sangat
berminat akan hal ini (Vashishtha VM 2009). Penggunaan vaksin baru
dimasa datang seyogyanya berdasarkan kajian tentang ketersediaan
(availability), keterjangkauan secara finansial (affordability) dan bila
mungkin berdasarkan „bukti profil epidemiologik negara bersangkutan‟.
Keterjangkauan harga vaksin di samping ketersediaan dan peningkatan
kapasitas rantai-dingin (cold chain) adalah faktor yang menentukan
berhasilnya penera pan program imunisasi di negara berkembang
(KemenkesRI, 2010).

20
Kekurangan yang mungkin masih ditemukan sehubungan dengan
imunisasi sebagai pencegahan spesifik terutama di beberapa negara
berkembang adalah sbb: cakupan imunisasi campak dan DPT/pertusis
mungkin belum memuaskan, imunisasi Hib belum termasuk imunisasi
wajib, imunisasi pneumokokus tidak efektif karena serotipe tidak sesuai,
dan imunisasi terhadap patogen lain (RSV, stafilokokus, Gram negatif)
belum tersedia (KemenkesRI, 2010).
b. Non-Imunisasi
Di samping imunisasi sebagai pencegahan spesifik pencegahan non-
imunisasi sebagai upaya pencegahan non- spesifik merupakan komponen
yang masih sangat strategis. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan
misalnya pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen masyarakat,
terutama pada ibu anak-balita tentang besarnya masalah pneumonia dan
pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif sederhana misalnya
kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola
maka nan sehat; penurunan faktor risiko-lain seperti men cegah berat-badan
lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, men cegah polusi udara dalam-
ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di
lingkungan rumahdan pencegahan serta tatalaksana infeksi HIV
(KemenkesRI, 2010).
2. Pengendalian Penyakit Pneumonia
a. Solusi dari Pemerintah
Karena Pneumonia merupakan penyakit kedua kematian tertinggi
setelah diare, maka hal ini pun tak luput dari perhatian pemerintah,
khususnya oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kementrian RI.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan RI Anung Sugihantono, telah menyampaikan edaran kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Direktur Utama Rumah Sakit Vertikal,
Rumah Sakit Provinsi dan Rumah Sakit TNI / POLRI, Kepala Kantor
Kesehatan Pelabuhan, Kepala Balai Besar / Balai Tehnik Kesehatan

21
Lingkungan, Kepala Balai Besar / Balai Laboratorium Kesehatan, di seluruh
Indonesia, melalui surat nomor : PM.04.02/III/43/2020, tanggal 5 Januari
2020. (Kemkes, 2020)
Dirjen Anung menyebutkan, agar masyarakat dapat mencermati dan
mencermati hal-hal sebagai berikut :
a) Gejala umum dari pneumonia adalah demam, batuk, dan sukar bernafas.
Jika merasakan gejala penyakit seperti ini agar segera berobat ke
Puskesmas / Rumah Sakit / Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdekat.
b) Agar tetap sehat, hendaknya masyarakat menerapkan perilaku hidup
bersih dan sehat setiap hari dan berkelanjutan dengan:
1) Makan makanan bergizi, menu seimbang, cukup buah sayur.
2) Melakukan aktivitas fisik minimal setengah jam setiap hari.
3) Cukup istirahat.
4) Segera berobat jika sakit.
b. Solusi dari Word Health Organization (WHO)
Klasifikasi baru (WHO, 2018) disederhanakan untuk memasukkan
hanya dua kategori pneumonia; “Pneumonia” dengan pernapasan cepat
dan/atau dada ditarik, yang membutuhkan terapi rumahan dengan
amoksisilin oral, dan “pneumonia berat”, pneumonia dengan tanda bahaya
umum, yang membutuhkan rujukan dan terapi suntik.
Dosis untuk pengobatan pneumonia di fasilitas kesehatan telah direvisi
untuk mencerminkan tiga kelompok usia: 2 bulan hingga 12 bulan (4– <10
kg); 12 bulan sampai 3 tahun (10– <14 kg); 3 tahun sampai 5 tahun (14–19
kg). Dosis dan batasan usia untuk pengobatan pneumonia pernapasan cepat
oleh petugas kesehatan komunitas (CHWs) tidak berubah. (WHO, 2018)
Program kesehatan anak nasional akan mendapatkan keuntungan dari
rekomendasi yang direvisi dan didorong untuk memasukkannya ke dalam
pedoman yang ada untuk perawatan di fasilitas kesehatan. Rekomendasi
mengenai penggunaan amoksisilin juga harus dimasukkan dalam pedoman
untuk manajemen kasus komunitas terpadu (iCCM). Program harus
menyadari pentingnya revisi ini, yang akan menghasilkan kebutuhan

22
rujukan yang jauh lebih rendah, dan hasil pengobatan yang lebih baik.
Adaptasi lokal mungkin diperlukan, terutama pengaturan untuk
memasukkan amoxicil lin sebagai terapi lini pertama; petugas kesehatan
tingkat fasilitas juga perlu dilatih ulang tentang sistem klasifikasi dan
pengobatan yang baru. (WHO, 2018)

II. IX Contoh Kasus Pneumonia


Penyakit Pnemonia Berat yang Belum Diketahui Penyebabnya Muncul di
Tiongkok
Sejak minggu terakhir bulan Desember 2019 sampai dengan minggu
pertama Januari 2020 media mainstream dan media online nasional dan
internasional memberitakan bahwa di kota Wuhan, Tiongkok ditemukan pasien-
pasien pneumonia (radang paru-paru) berat yang belum diketahui penyebabnya.
Jumlah pasien semula berjumlah 27 orang telah meningkat menjadi 44 orang.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penyakit ini bukan disebabkan virus
influenza dan bukan penyakit pernafasan biasa. Masih diteliti lebih lanjut apakah
penyakit ini sama dengan penyakit Severe Acute Respiratory Infection (SARS)
yang disebabkan Coronavirus dan pernah menimbulkan wabah di dunia pada
tahun 2003. (Kemenkes, 2020)
Semua pasien di Wuhan telah mendapatkan pelayanan kesehatan, diisolasi,
dan dilakukan penelusuran / investigasi untuk mengetahui penyebabnya. Ternyata
sebagian dari pasien-pasien tersebut bekerja di pasar ikan yang juga menjual
berbagai jenis hewan lainnya termasuk burung. Hingga saat ini belum ada bukti
yang menunjukkan bahwa penyakit ini dapat menular dari manusia ke manusia
(human to human). Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)
masih melakukan pengamatan dengan cermat terkait kejadian di Wuhan ini.
(Kemenkes, 2020)
Upaya Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan RI bersama seluruh jajaran kesehatan di Indonesia
(termasuk segenap Dinas Kesehatan Provinsi / Kabupaten / Kota, Rumah Sakit
beserta Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan swasta, Kantor Kesehatan

23
Pelabuhan, dan Balai Besar / Balai Laboratorium Tehnik Kesehatan, serta Balai
Besar / Balai Laboratorium Kesehatan) melakukan antisipasi dengan (1)
Melakukan deteksi, pencegahan, respon jika ditemukan pasien dengan gejala
pneumonia berat seperti di Wuhan, Tiongkok, (2) Jika ditemukan pasien seperti di
Wuhan akan dilakukan perawatan, pengobatan, isolasi, serta melakukan
investigasi dan penanggulangan untuk mencegah penyebaran penyakit meluas dan
berpotensi menjadi Kejadian Luar Biasa / Wabah, (3) Melakukan deteksi,
pencegahan dan respon terhadap kemungkinan masuknya pasien pneumonia berat
dari luar negeri, termasuk dari Tiongkok, ke Indonesia melalui Bandar Udara,
Pelabuhan Laut dan Pos Lintas Batas Negara yang mencakup langkah aktivasi alat
thermal scanner, (4) Memantau kemungkinan ditemukannya virus atau
mikroorganisma baru dari hasil pemeriksaan laboratorium pasien pneumonia
berat, dan (5) Memantau perkembangan penyakit pneumonia berat yang belum
diketahui penyebabnya di dunia agar dapat segera dilakukan langkah yang
diperlukan di Indonesia. (Kemenkes, 2020)
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian
Kesehatan RI Anung Sugihantono, telah menyampaikan edaran kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi, Direktur Utama Rumah Sakit Vertikal, Rumah Sakit
Provinsi dan Rumah Sakit TNI / POLRI, Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan,
Kepala Balai Besar / Balai Tehnik Kesehatan Lingkungan, Kepala Balai Besar /
Balai Laboratorium Kesehatan, di seluruh Indonesia, melalui surat nomor :
PM.04.02/III/43/2020, tanggal 5 Januari 2020. (Kemenkes, 2020)
Dirjen Anung menyebutkan, agar masyarakat dapat mencermati dan
mencermati hal-hal sebagai berikut :
1. Gejala umum dari pneumonia adalah demam, batuk, dan sukar bernafas.
Jika merasakan gejala penyakit seperti ini agar segera berobat ke
Puskesmas / Rumah Sakit / Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdekat.
2. Agar tetap sehat, hendaknya masyarakat menerapkan perilaku hidup bersih
dan sehat setiap hari dan berkelanjutan dengan (a) makan makanan bergizi,
menu seimbang, cukup buah sayur, (b) melakukan aktivitas fisik minimal

24
setengah jam setiap hari, (c) cukup istirahat, dan (d), segera berobat jika
sakit.
3. Bagi masyarakat yang akan melakukan perjalanan ke Tiongkok, termasuk
ke Hongkong, Wuhan, atau Beijing, agar (a) Memperhatikan
perkembangan penyebaran penyakit ini di Tiongkok atau berkonsultasi
dengan Dinas Kesehatan atau Kantor Kesehatan Pelabuhan setempat, (b)
Selama di Tiongkok agar menghindari berkunjung ke Pasar Ikan atau
tempat penjualan hewan hidup, (c) Jika dalam perjalanan merasa
berinteraksi dengan orang dengan gejala demam, batuk, dan sukar bernafas
atau jatuh sakit dengan gejala yang sama, agar segera berobat ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan terdekat, dan (c) jika setelah kembali ke Indonesia
menunjukkan gejala demam, batuk, dan sukar bernafas agar segera
berobat.
4. Memperhatikan informasi yang disampaikan Dinas Kesehatan setempat
dan Kementerian Kesehatan RI. (Kemenkes, 2020)
Sementara kepada Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
Dirjen Anung meminta agar (1) Mencermati perkembangan penyakit pneumonia
berat yang belum diketahui penyebabnya di Tiongkok dan di dunia agar dapat
menyikapinya dengan tepat dan benar, (2) Mencermati informasi dari Dinas
Kesehatan setempat dan Kementerian Kesehatan RI tentang perkembangan
penyakit ini, (3) Jika menemukan pasien dengan gejala pneumonia berat
melakukan tatalaksana sesuai SOP / Standard Operational Procedure yang berlaku
(4) Jika menemukan pasien yang diduga pneumonia berat yang belum diketahui
penyebabnya, : (a) melakukan tatalaksana sesuai SOP / Standard Operational
Procedure dan isolasi pasien, (b) memperhatikan prosedur kewaspadaan umum /
infection control, (c) melaporkan kejadian secara berjenjang ke Dinas Kesehatan
setempat untuk diteruskan ke Kementerian Kesehatan RI. (Kemenkes, 2020)

25
BAB III
PENUTUP

III. I Kesimpulan
1. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama
oleh bakteri, merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
yang paling sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita.
Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia balita adalah
pendidikan formal ibu, pengetahuan ibu, pengeluaran keluarga, polusi asap
dapur, kepadatan rumah, jarak kesarana kesehatan, dan status imunisasi
campak (Danusanto, 2016)
2. Pneumonia pada anak dapat dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris,
pneumonia lobularis (bronchopneumonia), pneumonia interstisialis.
3. Etiologi pneumonia masih berasal dari penelitian di luar Indonesia. Pada
umumnya pneumonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pneumonia pada
neonates berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering adalah
akibat bakteri. Biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae. Pada balita
pada usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari
pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus. Sementara penyebab dari
Pneumonia itu sendiri yaitu sejumlah agen penular, termasuk virus,
bakteri, dan jamur. Yang paling umum adalah:
a) Streptococcus pneumoniae - penyebab paling umum dari pneumonia
bacteria lpada anak-anak;
b) Haemophilusinfluenzaetipe b (Hib) - penyebab paling umum kedua dari
pneumonia bakterial;
c) Virus pernapasan syncytial adalah penyebab virus paling umum dari
pneumonia;
d) Padabayi yang terinfeksi HIV, Pneumocystis jiroveci adalah salah satu
penyebab paling umum dari pneumonia, bertanggung jawab atas
setidaknya seperempat dari semua kematian akibat pneumonia pada
bayi yang terinfeksi HIV (WHO, 2019).

26
4. Risiko terkena pneumonia mungkin lebih tinggi dikarenakan:
a. Usia
b. Lingkungan dan pekerjaan
c. Kebiasaan gaya hidup
d. Kondisi medis lainnya
5. Berdasarkan data dari analisis (UNICEF,2019) padatahun 2018
menunjukkan bahwa, pneumonia merenggut nyawa lebih dari 800.000
anak balita di seluruh dunia,atau 39 anak per detik. Disebabkan karena:
a. Faktor agent atau dari virus dan bakteri
b. Faktor anak seperti riwayat pemberian vitamin A, Imunisasi, pemberian
ASI, dll
c. Faktor lingkungan
d. Faktor ibu
6. WHO memperkirakan kejadian (insiden) pneumonia di Negara dengan
angka kematian bayi di atas 40 per 1.000 kelahiran hidup adalah 15% -
20% pertahun pada golongan usia Balita. Kejadian pneumonia di
Indonesia pada Balita diperkirakan antara 10% sampai dengan 20%
pertahun. (World Health Organization, 2014)
7. Ada beberapa pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan dalam
upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita akibat pneumonia
Menurut (Kemenkes.RI, 2010) Upaya pencegahan merupakan komponen
strategis pemberantasan pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan
melalui imunisasi dannon-imunisasi. Imunisasi terhadap patogen yang
bertanggung jawab terhadap pneumonia merupakans trategi pencegahan
spesifik. Pencegahan non-imunisasi merupakan pencegahan non spesifik
misalnya mengatasi berbagai faktor-risiko seperti polusi udara dalam-
ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat/bersih, perbaikan gizi dan
dan lain-lain.
a. Imunisasi

27
Mempercepat penemuan vaksin baru berdasarkan serotipe molekuler
(molecular serotypes) bakteri penyebab pneumo nia dan pengembangan
vaksin lain seperti RSV patut men dapat dukungan
b. Non-Imunisasi
Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya pendidikan kesehatan
kepada berbagai komponen masyarakat, terutama pada ibu anak-balita
tentang besarnya masalah pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian
anak dan juga mengenali tanda-tanda awal anak terinfeksi pneumonia agar
dapat segera membawa ke rumah sakit terdekat untuk diberikan
penanganan segera, dan juga perilaku preventif sederhana misalnya
kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola
makanan sehat; penurunan faktor risiko lain seperti mencegah berat badan
lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, mencegah polusi udara dalam
ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di
lingkungan rumah dan pencegahan serta tata laksana infeksi HIV
(KemenkesRI, 2010).

III. II Saran
Untuk para petugas kesehatan agar mengadakan kunjungan ke daerah-
daerah terpencil atau ke tempat yang kurang media informasinya, untuk
memberikan suatu pendidikan kesehatan kepada ibu ataupun calon ibu seputar
pneumonia, dan juga dapat membagikan pamplet atau poster singkat informasi
tentang pneumonia.
Untuk mahasiswa(i) kesehatan lebih sering mengikuti seminar yang
membahas tentang pneumonia, agar ilmunya dapat dikembangkan di dalam rumah
atau lingkungan sekitar.
Untuk masyarakat khususnya ibu dengan bayi dan balita lebih
memperhatikan jadwal imunisasi bayinya hingga tidak satupun imunisasi yang
terlewatkan, dan juga lebih menjaga kesehatan lingkungan seperti menjaga
kebersihan, memberikan ASI, mengkonsumsi makanan bergizi, dan hindari asap
rokok.

28
DAFTAR PUSTAKA

Danusanto. (2016). Penyakit saluran nafas pada pneumonia pada anak ,orang
dewasa dan usia lanjut. Jakarta :Pustaka Obar Populer.
Depkes,RI. (2015). Pedoman program pemberantasan penyakit infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) untuk penanggulangan pneumonia pada balita.
Jakarta : Depkes RI.
Depkes. (2005). Kasus Pneumonia di Indonesia Tahun 2005. Jakarta.
Depkes. (2007). Kasus Pneumonia di Indonesia Tahun 2007. Jakarta.
Depkes. (2010). Kasus Pneumonia di Indonesia Tahun 2010. Jakarta.
Dinkes. (2019). Kasus Pneumonia di DKI Jakarta. Jakarta.
Fatati Larasati, A. H. (2019). Perbedaan Risiko Pneumonia Berdasarkan Pola
Asuh dan. Jurnal Promkes: The Indonesian Journal of Health Promotion ad
Health Education , 164.
I. L., & L. D. (2019). FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RSUD
LEWOLEBA. Iser Leonardus, Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Pneumonia , 4 , 1-73.
'I'Made'Sutarga. (2017). DETERMINAN'PNEUMONIA'PADA'BALITA.
Iser Leonardus, L. D. (2019). FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN.
Iser Leonardus, L. D. (2019). FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RSUD
LEWOLEBA. Iser Leonardus, Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Pneumonia , 12-23.
Iser Leonardus, L. D. (2019). FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RSUD
LEWOLEBA. Jurnal Keperawatan Gloval, Volume 4, No 1, Juni 2019,
hlm 1-73 , 4, 12-24.

29
Kedokteran, F., & Prima, U. (2020). FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT FACTORS THAT ARE
RELATED TO PNEUMONIA ’ S DISEASE IN.
KemenkesRI. (2010, September). Pneumonia Anak. Buletin Jendela Epidemiologi
, hal. 1-40.
Kemkes. (2020, january 5). Penyakit Pnemonia Berat yang Belum Diketahui
Penyebabnya Muncul di Tiongkok.
Kemenkes. (2010). Pneumonia Pada Balita. Jakarta.
Merlinda Permata Sari, W. H. (2019). Tren Pneumonia Balita di Kota Semarang
Tahun 2012-2018 .
Merlinda Permata Sari, W. H. (2019). Tren Pneumonia Balita di Kota Semarang
Tahun 2012-2018. Merlinda, P. S., Widya, G. C. / Tren Pneunomia Balita /
HIGEIA 3 (3) (2019) , 407-416.
M. P., & W. H. (2019, Juli 31). Tren Pneumonia Balita di Kota Semarang Tahun
2012-2018. Merlinda, P. S., Widya, G. C. / Tren Pneunomia Balita /
HIGEIA 3 (3) (2019) , 10.
NHLBI, ”health - topics/ pneumonia”, 9 April 2019. https://NHLBI. NIH.GOV
/health-topics/pneumonia/ [Diakses, 21 Oktober 2020]
Organization, W. H. (2018).
Pribowo. (2013). Jurnal kejadian pneumonia pada balita (pencegahan dan
penanggulangan pada balita).
RI, K. K. (2013). Riset KesehatanDasar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
Riskesdas. (2018). Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Riskesdas. (2007). Pneumonia. Jakarta.
Riskesdas. (2013). Pneumonia. Jakarta.
Sugihartono, & Nurjazuli. (2012). Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia
Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1), 82–86.
Sutarga, I. M. (2017). DETERMINAN'PNEUMONIA'PADA'BALITA.

30
UNICEF. (2019, November 12). Lembaga kesehatan dan anak memeringatkan
satu anak meninggal akibat pneumonia setiap 39 detik.
WHO. (2014). Global action plan prevention and control of pneumonia (GAPP).
WHO. (2018). Revised WHO classification.
WHO, "pneumonia", 2 Agustus 2018. https://WHO/pneumonia/. [Diakses, 21
Oktober 2020]
WHO. (2005). Kasus Pneumonia di Dunia. Swiss.
WHO. (2020). Kasus Pneumonia di Dunia. Swiss.

31

Anda mungkin juga menyukai