Anda di halaman 1dari 4

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : ALDI WAHYUDI

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 041392641

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4404/Teori Perundang-Undangan

Kode/Nama UPBJJ : 83 / KENDARI

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
JAWAB :
1. A. pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil
presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (2) UUD Tahun 1945. Pada
saat Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara, maka putusan tersebut
langsung mempunyai kekuatan hukummengikat karena sifat dari putusan
mahkamah konstitusi tersebut. Sifat final dari putusan Mahkamah Konstitusi
artinya bahwa putusan tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Dalam
melakukan pengujian undangundang terhadap undang-undang dasar (judicial
review) mahkamah konstitusi hanya memberikan amar putusan mengabulkan,
menolak, dan menyatakanbahwa permohonan tidak dapat diterima
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi memberikan amar
putusan lain yang tidak diatur dalam Pasal 56 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.
B. impeachment merupakan pertanggungjawaban yang dapat dikenakan pada
semua pihak (pejabat Negara) pada yang terkait dalam suatu sistem
ketatanegaraan. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945 ketentuan
mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 7B,
dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945.

2. A. Kekuasaan membuat hukum (law making function) dimiliki oleh Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Hukum bentukan DPR dan Presiden
disebut undang-undang. Ada kemungkinan undang-undang ini merugikan hak-
hak asasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi, sehingga bertentangan
dengan norma hukum yang lebih tinggi dari undang-undang. Bila ini terjadi
maka warga negara dapat menggunakan upaya hukum pengujian undang-
undang yang kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah
adalah organ negara yang diberi kekuasaan untuk menjalankan undang-undang
bentukan DPR dan Presiden. Kekuasaan menjalankan undang-undang (law
executing function, bestuur) dilengkapi pula dengan kewenangan membuat
hukum (law making function). Hukum bentukan pemerintah kedudukannya
sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang. Bentuknya bisa Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah,
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota dan peraturan lainnya.
B. Syarat yang terkandung dalam pasal 59 ayat (2) dinilai Febuar dan Endaryadi
sebagai bentuk diktator mayoritas (meerderheids dictatuur). Bahkan ahli
hukum Prof. Harun Alrasid menganggap pasal tersebut ‘gugur'. Sedangkan ahli
ilmu politik Arbi Sanit menganggap pembatasan prosentase minimal itu sebagai
pemaksaan oleh para pembuat hukum yang tidak dewasa dan tidak arif.
Namun dalam pertimbangan hukumnya, sidang pleno Mahkamah Konstitusi
menganggap dalil-dalil yang dikemukakan pemohon tidak kuat. Syarat minimal
15 persen yang ditetapkan pembuat undang-undang merupakan pilihan
kebijakan yang tidak bertentangan dengan Konstitusi. Sepanjang pilihan
kebijakan demikian tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang,
tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan tidak tidak nyata-nyata
bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi tidak
bisa mengujinya.

3. A. Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) memiliki kesamaan


yaitu sama-sama mengadili gugatan judicial review. Bedanya, MK mengadili
judicial review UU, sedangkan MA mengadili judicial review aturan di bawah
UU. Contohnya jika masyarakat dirugikan oleh sebuah UU, maka dapat
mengajukan judicial review ke MK. Namun jika masyarakat dirugikan oleh
Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah atau Perda maka diajukan ke MA.
Kewenangan judicial review MK diberikan berdasarkan UUD 1945 dan
kewenangan MA diberikan oleh UU MA. Meski sama-sama mengadili, namun
MK dinilai lebih transparan dibanding MA
B. Judicial review merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan
meningkatnya jumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan
dengan kualitas rendah. Sebuah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks and
balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power).
Akan tetapi, penyelenggaraan judicial review yang dilakukan di Indonesia
berpotensi menimbulkan konflik hukum. Salah satu penyebabnya adalah
pemisahan kewenangan pengujian peraturan yang dilakukan oleh dua lembaga
peradilan, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Adanya dua
lembaga kekuasaan kehakiman yakni MK dan MA yang diberi kewenangan
untuk melakukan judicial review, sekalipun objek pengujian tersebut
dibedakan, jelas menimbulkan dualisme kelembagaan fungsi judicial review.
Dari masalah tersebut bagaimana pandangan Siyasah Tasyri’iyyah terhadap
dualisme kewenangan judicial review di Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi? Dan apa relevansi dari gagasan pengaturan judicial review dalam
satu atap? Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif sekaligus empiris.
Pengumpulan data yang digunakan (Library reseach) yaitu suatu penelitian
yang menggunakan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat serta mengolah bahan penelitiannya. Jenis pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), dan konsep
Siyāsah Tasyrī„iyyah. Sumber sumber data yang digunakan yakni sumber
primer, sekunder, meliputi ketentaun pasal 24 A ayat (1) dan Pasal 24 C ayat (1)
UUD 1945 kemudian pelaksanaan oleh MK di tindak lanjuti melalui PMK No.
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang sedangkan oleh MA di tindak lanjuti melalui Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 tahun 2011. Hasil dari penelitian tentang kewenangan judicial
review di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah. Pertama, secara
konseptual pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di tangan
MA dan MK akan menyulitkan integrasi pengawalan hierarki norma mulai dari
perda sampai UUD dalam rangka penegakan konstitusi. Kedua, secara
operasional pelaksanaan judicial review iii antara MA dan MK akan
menimbulkan konflik antar lembaga diakibatkan dari perbedaan putusan atau
penafsiran peraturan perundang-undangan yang ditangani. Ketiga, jika dilihat
salah satu prinsip Siyāsah Tasyrī„iyyah yaitu kemaslahatan manusia, idealnya
kedua lembaga memiliki tugas dan wewenang yang diatur secara tegas agar
tidak saling bersinggungan. Sehingga gagasan judicial review dalam satu atap
menjadi relevan untuk di lakukan. Menimbang belum terpenuhinya asas
keadilan.

Anda mungkin juga menyukai