Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4404/Teori Perundang-Undangan
Kode/Nama UPBJJ : 83 / KENDARI
Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS TERBUKA JAWAB : 1. A. pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (2) UUD Tahun 1945. Pada saat Mahkamah Konstitusi memutus suatu perkara, maka putusan tersebut langsung mempunyai kekuatan hukummengikat karena sifat dari putusan mahkamah konstitusi tersebut. Sifat final dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya bahwa putusan tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Dalam melakukan pengujian undangundang terhadap undang-undang dasar (judicial review) mahkamah konstitusi hanya memberikan amar putusan mengabulkan, menolak, dan menyatakanbahwa permohonan tidak dapat diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan lain yang tidak diatur dalam Pasal 56 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. B. impeachment merupakan pertanggungjawaban yang dapat dikenakan pada semua pihak (pejabat Negara) pada yang terkait dalam suatu sistem ketatanegaraan. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945 ketentuan mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945.
2. A. Kekuasaan membuat hukum (law making function) dimiliki oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Hukum bentukan DPR dan Presiden disebut undang-undang. Ada kemungkinan undang-undang ini merugikan hak- hak asasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi, sehingga bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi dari undang-undang. Bila ini terjadi maka warga negara dapat menggunakan upaya hukum pengujian undang- undang yang kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah adalah organ negara yang diberi kekuasaan untuk menjalankan undang-undang bentukan DPR dan Presiden. Kekuasaan menjalankan undang-undang (law executing function, bestuur) dilengkapi pula dengan kewenangan membuat hukum (law making function). Hukum bentukan pemerintah kedudukannya sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang. Bentuknya bisa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota dan peraturan lainnya. B. Syarat yang terkandung dalam pasal 59 ayat (2) dinilai Febuar dan Endaryadi sebagai bentuk diktator mayoritas (meerderheids dictatuur). Bahkan ahli hukum Prof. Harun Alrasid menganggap pasal tersebut ‘gugur'. Sedangkan ahli ilmu politik Arbi Sanit menganggap pembatasan prosentase minimal itu sebagai pemaksaan oleh para pembuat hukum yang tidak dewasa dan tidak arif. Namun dalam pertimbangan hukumnya, sidang pleno Mahkamah Konstitusi menganggap dalil-dalil yang dikemukakan pemohon tidak kuat. Syarat minimal 15 persen yang ditetapkan pembuat undang-undang merupakan pilihan kebijakan yang tidak bertentangan dengan Konstitusi. Sepanjang pilihan kebijakan demikian tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan tidak tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi tidak bisa mengujinya.
3. A. Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) memiliki kesamaan
yaitu sama-sama mengadili gugatan judicial review. Bedanya, MK mengadili judicial review UU, sedangkan MA mengadili judicial review aturan di bawah UU. Contohnya jika masyarakat dirugikan oleh sebuah UU, maka dapat mengajukan judicial review ke MK. Namun jika masyarakat dirugikan oleh Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah atau Perda maka diajukan ke MA. Kewenangan judicial review MK diberikan berdasarkan UUD 1945 dan kewenangan MA diberikan oleh UU MA. Meski sama-sama mengadili, namun MK dinilai lebih transparan dibanding MA B. Judicial review merupakan salah satu jalan keluar dari permasalahan meningkatnya jumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan dengan kualitas rendah. Sebuah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). Akan tetapi, penyelenggaraan judicial review yang dilakukan di Indonesia berpotensi menimbulkan konflik hukum. Salah satu penyebabnya adalah pemisahan kewenangan pengujian peraturan yang dilakukan oleh dua lembaga peradilan, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Adanya dua lembaga kekuasaan kehakiman yakni MK dan MA yang diberi kewenangan untuk melakukan judicial review, sekalipun objek pengujian tersebut dibedakan, jelas menimbulkan dualisme kelembagaan fungsi judicial review. Dari masalah tersebut bagaimana pandangan Siyasah Tasyri’iyyah terhadap dualisme kewenangan judicial review di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi? Dan apa relevansi dari gagasan pengaturan judicial review dalam satu atap? Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif sekaligus empiris. Pengumpulan data yang digunakan (Library reseach) yaitu suatu penelitian yang menggunakan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitiannya. Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), dan konsep Siyāsah Tasyrī„iyyah. Sumber sumber data yang digunakan yakni sumber primer, sekunder, meliputi ketentaun pasal 24 A ayat (1) dan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 kemudian pelaksanaan oleh MK di tindak lanjuti melalui PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang- Undang sedangkan oleh MA di tindak lanjuti melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2011. Hasil dari penelitian tentang kewenangan judicial review di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah. Pertama, secara konseptual pelaksanaan pengujian peraturan perundang-undangan di tangan MA dan MK akan menyulitkan integrasi pengawalan hierarki norma mulai dari perda sampai UUD dalam rangka penegakan konstitusi. Kedua, secara operasional pelaksanaan judicial review iii antara MA dan MK akan menimbulkan konflik antar lembaga diakibatkan dari perbedaan putusan atau penafsiran peraturan perundang-undangan yang ditangani. Ketiga, jika dilihat salah satu prinsip Siyāsah Tasyrī„iyyah yaitu kemaslahatan manusia, idealnya kedua lembaga memiliki tugas dan wewenang yang diatur secara tegas agar tidak saling bersinggungan. Sehingga gagasan judicial review dalam satu atap menjadi relevan untuk di lakukan. Menimbang belum terpenuhinya asas keadilan.