Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENGUJIAN UU TERHADAP UU DASAR

Dosen Pengampu :
Hasanuddin Muhammad, M.H

Disusun Oleh Kelompok 2 :

Amanda Aulia Putri 2121020012


Andini Widha Zahra 2121020013
Intan Ilia Zakita 2021020084

PRODI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1445 H / 2024 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan tersebut maka salah satu substansi penting
perubahan UUD 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara
yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka
menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
MK) sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga
merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang
ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) dan ayat
(2) UUD 1945,MK berwenang untuk, menguji undang-undang terhadap UUD 1945,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum,
dan MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.
Kewenangan konstitusional MK tersebut melaksanakan prinsipchecks and balances
yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat
keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan MK merupakan langkah nyata
untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara. Mahkamah Konstitusi dalam
menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap
mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni antara lain dilakukan
secara sederhana dan cepat. Dalam menyelenggarakan peradilan MK menggunakan hukum
acara umum dan hukum khusus. Hukum acara yang digunakan oleh MK adalah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut UU MK), Peraturan Mahkamah Konstitusi, dan dalam praktik, yakni
putusan MK.

1
Hukum acara yang diatur dalam UU MK terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum
acara yang memuat aturan umum beracara di MK dan aturan khusus sesuai dengan
karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewenangan MK. Kemudian untuk
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, MK diberi kewenangan untuk
melengkapi hukum acara menurut undang-undang MK. Selain itu ketentuan hukum
mengenai acara MK sebagian juga termuat dalam UUD 1945 yaitu Pasal 7B, sebagian
lainnya di dalam UU MK, yaitu Pasal 28 sampai dengan Pasal 85. Selebihnya diatur di
dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) dan dalam praktik, yakni putusan MK.

B. Rumusan Masalah
Makalah ini tersusun dari beberapa pernyataan utama, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengujian UU Terhadap UU Dasar.
2. Bagaimana Urgensi Pengujian UU Terhadap UU Dasar.
3. Bagaimana Mekanisme dan Tahapan Pengujian UU di MK.
4. Bagaimana Tantangan Pengujian Undang-Undang.
5. Bagaimana Bedah Putusan MK Mengenai Pengujian UU.

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengujian UU Terhadap UU Dasar.
2. Untuk mengetahui Urgensi Pengujian UU Terhadap UU Dasar.
3. Untuk mengetahui Mekanisme dan Tahapan Pengujian UU di MK.
4. Untuk mengetahui Tantangan Pengujian Undang-Undang.
5. Untuk mengetahui Bedah Putusan MK Mengenai Pengujian UU.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengujian UU Terhadap UU Dasar


Istilah pengujian peraturan perundang-undangan dapat dibagi berdasarkan subjek
yang melakukan pengujian, objek peraturan yang diuji, dan waktu pengujian. Dilihat dari
segi subjek yang melakukan pengujian, pengujian dapat dilakukan oleh hakim
(toetsingsrecht van de rechter atau judicial review), pengujian oleh lembaga legislatif
(legislative review), 172 maupun pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review).1
Dalam praktiknya, Indonesia mengatur ketiga pengujian tersebut. Pengujian oleh hakim
(toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur baik sebelum maupun sesudah
perubahan UUD 1945. Pengaturan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan
pada masa berlakunya UUD 1945, pertama kali diatur dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
mengatur pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU
merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA). Kewenangan MA untuk boleh menguji
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU sebagaimana diatur dalam
Dasar UU Nomor 14 Tahun 1970 bersifat terbatas yaitu hanya dapat dilaksanakan dalam
tingkat kasasi.2
Artinya harus ada perkara dulu di tingkat pengadilan bawah baru ketika kasasi MA
menilai apakah peraturan perundang-undangan di bawah UU tersebut bertentangan atau
tidak dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yang lebih tinggi. Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga mengatur hal sama
dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 yaitu Putusan tentang pernyataan tidak sahnya
peraturan perundang-undangan di bawah UU tersebut dapat diambil berhubungan dengan
pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Perkembangan selanjutnya kewenangan pengujian
peraturan dibawah UU ini oleh MA bisa dilakukan tanpa harus ada perkara kasasi,
sebagaimana diatur dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji
Materiil yang memperluas kewenangan MA dalam mengadili pengujian peraturan
perundang-undangan tidak hanya berhubungan dengan perkara kasasi melainkan

1
Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006).
2
Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.

3
memberikan peluang melalui gugatan hak uji materiil terhadap peraturan perundang-
undangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang yang diajukan langsung ke
Mahkamah Agung atau dapat pula melalui Pengadilan tingkat pertama.3
Setelah perubahan UUD 1945, kewenangan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU terhadap UU tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung.
Adapun Perubahan UUD 1945 selain mempertahankan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU menjadi kewenangan MA juga menambahkan kewenangan baru
yaitu pengujian UU terhadap UUD yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman selain MA. Pengujian UU oleh lembaga legislatif
(legislastive review) dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan
membahas serta menyetujui UU (bersama-sama Presiden). Sebelum Konstitusi perubahan
UUD 1945, pengujian UU terhadap UUD berada pada MPR berdasarkan Ketetapan MPR
RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan. 4 Alasan mengapa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji hanya
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU pada masa sebelum
perubahan UUD 1945, menurut Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran bahwa UU
sebagai konstruksi yuridis yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan tertinggi pada
rakyat, sebaiknya diuji oleh MPR.
Praktik ketatanegaraan yang pernah ada adalah Ketetapan MPRS RI Nomor
XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di luar
Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang Tidak Sesuai dengan UUD
1945. Sebagaimana pengujian oleh lembaga legislatif (legislative review) yang dilakukan
dalam kapasitas sebagai lembaga yang membentuk dan membahas serta menyetujui UU
(bersama dengan Presiden) atau lembaga politik seperti MPR, pengujian oleh lembaga
eksekutif (executive review) dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh lembaga eksekutif. Mengenai kewenangan executive review khususnya
pembatalan Perda ini dalam perkembangannya telah dinyatakan inkonstitusional oleh dua
Putusan Mahkamah Konstitusi dan. Dalam kedua putusan ini, MK menyatakan bahwa
pembatalan Perda provinsi melalui oleh Menteri Dalam Negeri (Putusan Nomor
137/PUU-XIII/2015) dan pembatalan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur (Putusan
Nomor 56/PUU-XIV/2016), melalui mekanisme executive review, bertentangan dengan

3
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
4
Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan.

4
UUD 1945.5 Demi kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945 menurut MK, pengujian
atau pembatalan Perda menjadi ranah kewenangan konstitusional MA. Analisis mendalam
diperlukan jika mengkaji pengujian peraturan dari segi objeknya, karena harus
memperhatikan Dasarsistem hukum yang digunakan, sistem pemerintahan, dan sejarah
ketatanegaraan dari sebuah negara sehingga sangat mungkin terdapat kekhasan pada
negara tertentu. Dilihat dari objek yang diuji, maka peraturan perundang-undangan yang
diuji terbagi atas:
1. Seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan executive acts) dan
tindakan administratif (administrative action) terhadap UUD diuji oleh hakim pada
seluruh jenjang peradilan. Pengujian dengan objek seperti ini dilakukan dalam kasus
yang kongkrit, dan secara umum dilakukan pada negara yang menggunakan common
law system. Secara umum, istilah yang digunakan adalah judicial review, akan tetapi
perlu diperhatikan lagi penggunaan istilah itu pada negara-negara yang menggunakan
sistem hukum civil law system, sebagimana yang dikemukakan dalam poin b berikut.
2. UU terhadap UUD diuji oleh hakim-hakim pada Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court), sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU diuji
oleh hakim-hakim di Mahkamah Agung (Supreme Court). Pengujian dengan
pembagian objek seperti ini secara umum tidak dilakukan dalam kasus yang kongkrit,
dan secara umum dilakukan pada negara yang menggunakan sistem hukum civil law.
Jimly Asshiddiqie membedakan jika pengujian itu dilakukan terhadap norma hukum
yang bersifat abstrak dan Konstitusiumum (general and abstract norms) secara “a
posteriori”, maka pengujian itu dapat disebut sebagai “judicial review”, akan tetapi
jika ukuran pengujian itu dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat
pengukur maka, maka kegiatan pengujian semacam itu dapat disebut sebagai
“constitutional review” atau pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai
konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the
constitutionality of law).

B. Urgensi Pengujian UU Terhadap UU Dasar


Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang

5
Ketetapan MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 Tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif
Negara Di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat.

5
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
UU terhadap UUD. Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa: “Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden.” Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah
menjadi UU No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur pembatasan
terhadap UU yang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu UU yang diundangkan
sebelum perubahan UUD 1945, akan tetapi pasal tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan
hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi sejak 12 April 2005.
Mahkamah Konstitusi pertama kali mengesampingkan ketentuan UU karena dinilai
bertentangan dengan UUD 1945 dalam Putusan Perkara Nomor 004/ PUU-I/2003 perihal
Pengujian UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap UUD 1945,
yaitu ketentuan dalam Pasal 50 UU Nomor 8 Tahun 2011. Dasar DPR terlebih dulu.
Persetujuan DPR diberikan dalam persidangan berikut, dan jika tidak mendapat
persetujuan maka Peraturan Pemerintah tersebut harus dicabut. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perpu
diatur sebagai peraturan perundang- undangan yang setingkat dengan UU195 dan dalam
Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan diatur bahwa, ”Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.”6
Pengujian Perpu terhadap UUD sudah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap UUD Negara RI Tahun
1945. Pertimbangan MK menyatakan berwenang untuk menguji Perpu sebagaimana
dilihat dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 adalah, Perpu melahirkan norma hukum
dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b)
hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak
Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR
untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya
pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah

6
M. Ali Safa’at Agus Riewanto et al., Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta : Kepaniteraan dan
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2019), 154.

6
dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang
kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat
dalam Perpu tersebut MK dapat Konstitusi menguji apakah bertentangan secara materiil
dengan UUD 1945. Dengan demikian MK berwenang untuk menguji Perpu terhadap
UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya
persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang. Baik dalam
kepustakaan maupun dalam praktik dikenal adanya dua macam hak menguji
(toetsingsrecht), yaitu: hak menguji formal (formele toetsingsrecht) dan hak menguji
material (materiele toetsingsrecht).
Dalam Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 diatur bahwa salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Dalam
pembahasan perubahan UUD 1945, istilah menguji material UU juga menjadi wacana,
akan tetapi setelah menyadari bahwa istilah ini menjadi sempit karena tidak termasuk
pengujian formal, maka perumus UUD menggunakan istilah “menguji UU terhadap UUD”
tanpa pencatuman kata “materiel 201 Kemungkinan kekosongan jika hanya menggunakan
Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dapat terjadi karena
terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang- undang yang telah diuji,
tidak dapat dimohonkan kembali, sehingga jika sudah dilakukan pengujian maka sebuah
UU tidak dapat diuji lagi, padahal dalam kenyataannya. Ketentuan UU dapat diuji dengan
ketentuan pasal yang berbeda dari UUD 1945. Ketentuan UU yang telah dinyatakan
konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi secara bersyarat (conditionally constitutional),
yang dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh
Mahkamah Konstitusi.7
1. Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan
UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945.213 Dalam Pasal 1 angka 3
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
diatur bahwa: “Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk

7
Wendra Yunaldi, “Judicial Review Satu Atap Peraturan Perundang -Undangan Di Bawah Kewenangan
Mahkamah Konstitusi,” Pagaruyung Law Jurnal 1, no. 2 (2018): 198–219.

7
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.” Terdapat
beberapa hal dalam putusan tersebut terkait pengujian formil, yaitu:
a. Dalam uji formil UU terhadap UUD 1945, yang menjadi ukuran adalah
formalitas pembentukan UU, yang meliputi:
1) Institusi atau lembaga yang mengusulkan dan membentuk UU;
2) Prosedur persiapan sampai dengan pengesahan UU yang meliputi rencana
dalam prolegnas, amanat konstitusi presiden, tahap-tahap yang ditentukan
dalam Tata Tertib DPR, serta kuorum DPR; dan
3) Pengambilan keputusan, yaitu menyetujui secara aklamasi atau voting, atau
tidak disetujui sama sekali.
b. Pengujian formil mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pengujian
materiil, oleh karenanya persyaratan legal standing yang telah diterapkan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam pengujian materiil tidak dapat diterapkan begitu
saja untuk pengujian formil. Syarat legal standing dalam pengujian formil UU,
yaitu bahwa Pemohon mempunyai hubungan pertautan langsung dengan UU
yang dimohonkan.
c. Untuk kepastian hukum, sebuah UU perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya
apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan
menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa
tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam
Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil
terhadap Undang-Undang. Dasar. Dalam hal terdapat cacat prosedural dalam
pembentukan UU yang diajukan permohonan pengujian, namun demi asas
kemanfaatan hukum, UU yang dimohonkan tersebut tetap berlaku.
2. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam
ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian KonstitusiUU dianggap
bertentangan dengan UUD 1945.236 Mengenai hal tersebut diatur lebih lanjut dalam
Pasal 4 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Perkara Pengujian Undang-Undang, mengatur mengenai pengujian materiil sebagai
berikut: “Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD

8
1945. Dalam melakukan pengujian materiil ini MK tidak sekedar menguji secara
materil pertentangan norma antar UU dengan batang tubuh UUD 1945, namun juga
pada pertentangannya dengan ideologi bangsa Pancasila yang terdapat pada
mukadimah UUD 1945.8

C. Mekanisme Dan Tahapan Pengujian UU Di MK


Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa hukum acara MK terbagi menjadi dua
bagian, yaitu hukum acara bersifat umum dan khusus. Ketentuan hukum acara umum
mengatur tentang ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, yaitu ketentuan tentang
persidangan, syarat permohonan, dan perihal putusan Ketentuan dalam hal persidangan di
MK misalnya, MK memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno yang dihadiri
oleh seluruh hakim yang terdiri atas 9 (sembilan) orang, hanya dalam keadaan “luar biasa”,
maka sidang pleno tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) Hakim Konstitusi3
Keadaan luar biasa itu dimaksudkan adalah meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya
sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai Hakim. Pimpinan sidang pleno
adalah Ketua MK. Dalam hal Ketua berhalangan, maka sidang dipimpin oleh Wakil Ketua,
dan manakala Ketua dan Wakil Ketua berhalangan untuk memimpin sidang, maka
pimpinan sidang dipilih dari dan oleh Anggota MK. Pemeriksaan dapat dilakukan oleh
panel hakim yang dibentuk MK, terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Hasil
dari pemeriksaan panel disampaikan kepada sidang pleno untuk pengambilan putusan
maupun untuk tindak lanjut pemeriksaan. Sidang pleno untuk laporan panel pembahasan
perkara dan pengambilan putusan itu disebut Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang
tertutup untuk umum. Berbeda dengan pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh pleno
maupun panel, diselenggarakan dalam sidang terbuka untuk umum Setelah RPH
mengambil putusan dalam sidang tertutup, maka putusan itu kemudian diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum yang sekurang-kurangnya di hadiri oleh 7 (tujuh) orang
Hakim.
Ketentuan pengucapan putusan dalam sidang terbuka untuk umum ini merupakan
syarat sah dan mengikatnya putusan.

8
Tanto Lailam, “Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Undang-Undang Yang
Mengatur Eksistensinya,” Jurnal Konstitui 12, no. 4 (2015): 795–824.

9
1. Pengajuan Permohonan
Permohonan yang diajukan harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
a. ditulis dalam Bahasa Indonesia;
b. ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya;
c. dalam 12 (duabelas) rangkap;
d. memuat uraian yang jelas mengenai permohonannya:
i. pengujian undang-undang terhadap UUD 1945;
ii. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945;
iii. pembubaran partai politik;
iv. perselisihan tentang hasil pemilihan umum, atau
v. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945.
e. sistematika uraian;
i. nama dan alamat pemohon atau kuasanya (identitas dan posisi pihak);
ii. dasar-dasar permohonan (posita), meliputi terkait dengan; kewenangan;
kedudukan hukum (legal standing); pokok perkara;
iii. hal yang diminta untuk diputus (petitum) sesuai dengan ketentuan dalam setiap
permohonan;
f. dilampiri alat-alat bukti pendukung
2. Pendaftaran dan Penjadwalan
Sidang Permohonan yang diajukan harus memenuhi ketentuan- ketentuan
sebagaimana telah diuraikan di muka. Untuk itu panitera melakukan pemeriksaan
terhadap kelengkapan administrasi permohonan itu. Hasil pemeriksaan itu
diberitahukan kepada pemohon. Dalam hal permohonan belum lengkap, pemohon
diberi kesempatan untuk melengkapi dalam tenggat waktu 7 (tujuh) hari kerja. Bila
permohonan itu telah lengkap maka segera dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi (BRPK) dan pemohon diberikan Akta Registrasi Perkara. BRPK itu
memuat catatan tentang kelengkapan administrasi, nomor perkara, tanggal penerimaan
berkas, nama pemohon dan pokok perkara Setelah permohonan dicatat dalam BPRK,
dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja, hari sidang pertama harus

10
telah ditetapkan. Sidang pertama ini dapat dilakukan oleh panel atau pleno hakim.
Untuk itu ketetapan hari sidang tersebut diberitahukan kepada para pihak melalui Juru
Panggil dan masyarakat diberitahukan melalui penempelan salinan pemberitahuan
tersebut pada Papan Pengumuman MK. Sebelum atau selama pemeriksaan dilakukan,
pemohon dapat menarik kembali permohonannya. Untuk itu Ketua Mahkamah
Konstitusi akan menerbitkan Ketetapan Penarikan Kembali. Akibat hukum dari
penarikan kembali ini, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan dimaksud.
3. Alat Bukti
Pasal 36 UU MK menguraikan alat bukti yang digunakan para pihak untuk
membuktikan dalilnya. Alat bukti ini disesuaikan dengan sifat hukum acara MK
sehingga agak berbeda dengan alat-alat bukti yang dikenal dalam hukum acara perdata,
hukum acara pidana maupun hukum acara peratun. Macam-macam alat bukti yang
dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi adalah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
4. Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang pertama harus ditetapkan dalam jangka waktu 14(empat belas) hari
setelah permohonan dicatat dalam buku register sebagaimana diatur dalam Pasal 34
UU MK. Sidang pertama ini adalah sidang untuk pemeriksaan pendahuluan. Sidang
ini merupakan sidang sebelum memeriksa pokok perkara. Dalam sidang pertama ini
MK mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
Pemeriksaan ini dilakukan oleh panel atau pleno dalam sidang pemeriksaan
pendahuluan yang terbuka untuk umum. Apabila dalam pemeriksaan ini ternyata
materi permohonan itu tidak lengkap dan/atau tidak jelas, maka menjadi kewajiban
MK memberikan nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/ atau
memperbaikinya. Untuk itu kepada pemohon diberikan waktu paling lambat 14
(empat belas) hari.

11
5. Pemeriksaan Persidangan
Pemeriksaan permohonan atau perkara konstitusi dilakukan dalam sidang MK
terbuka untuk umum, hanya Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dilakukan
dalam sidang tertutup. Karena sidang terbuka itu dapat dihadiri oleh siapa saja,
sedangkan pemeriksaan perkara itu memerlukan keseksamaan yang tinggi dan
ketenangan, maka setiap orang yang hadir dalam persidangan itu wajib mentaati tata
tertib persidangan. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, MK
telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang tata tertib
persidangan yakni PMK Nomor 03/PMK/2003. Oleh karena itu siapa yag melanggar
tata tertib persidangan ini dikategorikan sebagai penghinaan terhadap Mahkamah
Konstitusi (Contempt of Court).
6. Putusan
Dasar hukum putusan perkara konstitusi adalah UUD 1945 sebagai konstitusi
tertulis negara Republik Indonesia. Untuk putusan yang mengabulkan harus
didasarkan pada sekurang- kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan
hakim bahwa permohonan itu memenuhi alasan dan syarat-syarat konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam konstitusi. Oleh karena itu putusan harus memuat fakta-
fakta yang terungkap dan terbukti secara sah di persidangan dan pertimbangan hukum
yang menjadi dasarnya dipimpin oleh Ketua sidang. Ketentuan mengenai ketua sidang
pleno sebagaimana telah disebutkan di atas berlaku secara mutatis mutandis dalam
RPH ini. Di dalam rapat pengambilan putusan ini setiap hakim konstitusi
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan (legal
opinion). Dengan demikian maka tidak ada suara abstain dalam rapat pengambilan
putusan.9

D. Tantangan Pengujian Undang-Undang


Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan instrumen
penting untuk memastikan konstitusionalitas produk hukum dan melindungi hak-hak
konstitusional warga negara. Pengujian UU merupakan instrumen penting untuk
memastikan konstitusionalitas produk hukum dan melindungi hak-hak konstitusional

9
Ahmad Fadlil Sumadi, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Teori Dan Praktik,” Jurnal
Konstitusi, 8, no. 6 (2011): 850–79.

12
warga negara. Namun, proses pengujian UU juga memiliki beberapa tantangan yang perlu
diatasi agar dapat berjalan secara efektif dan objektif.
Namun, proses pengujian UU juga memiliki beberapa tantangan yang perlu
diperhatikan. Berikut beberapa tantangan utama:
1. Beban Pembuktian
Pemohon pengujian UU harus mampu membuktikan bahwa UU yang diuji
bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini bisa menjadi tantangan karena akses
pemohon terhadap dokumen dan informasi terkait proses pembentukan UU seringkali
terbatas.
2. Kapasitas Mahkamah Konstitusi
Jumlah perkara pengujian UU yang diajukan ke MK terus meningkat setiap
tahunnya. Hal ini dapat menyebabkan beban kerja yang berat bagi para hakim MK dan
berpotensi memperlambat proses persidangan.
3. Politisasi Pengujian UU
Beberapa pihak seringkali menggunakan proses pengujian UU untuk kepentingan
politik, bukan semata-mata untuk menegakkan konstitusi. Hal ini dapat merusak
kredibilitas dan objektivitas MK.
4. Ketidakpastian Hukum
Putusan MK yang membatalkan suatu UU dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum, terutama jika UU tersebut telah diterapkan dalam waktu yang lama.
5. Kurangnya Pemahaman Publik
Masih banyak masyarakat yang belum memahami mekanisme dan tujuan
pengujian UU. Hal ini dapat menyebabkan misinformasi dan publikasi yang tidak
akurat.
Berikut beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi tantangan-
tantangan tersebut:
a. Memperkuat akses pemohon terhadap dokumen dan informasi terkait proses
pembentukan UU.
b. Meningkatkan kapasitas MK dengan menambah jumlah hakim dan staf.
c. Meningkatkan edukasi publik tentang mekanisme dan tujuan pengujian UU.
d. Membangun budaya hukum yang mengedepankan konstitusi dan objektivitas.
Beberapa contoh kasus yang menunjukkan tantangan pengujian UU:
1) Pengujian UU Cipta Kerja: Banyaknya permohonan pengujian UU Cipta Kerja
menunjukkan kompleksitas dan kontroversi UU tersebut.

13
2) Pengujian UU KPK: Pengujian UU KPK menunjukkan bagaimana proses
pengujian UU dapat dipolitisasi.
3) Pengujian UU Perkawinan: Pengujian UU Perkawinan menunjukkan bagaimana
putusan MK dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

E. Bedah Putusan MK Mengenai Pengujian UU


Untuk membedah putusan MK mengenai pengujian UU secara efektif, beberapa
langkah berikut dapat dilakukan :
1. Memahami Konteks Putusan
a. Identifikasi Perkara: Cari tahu nomor perkara, tanggal putusan, dan para pihak
yang terlibat dalam perkara pengujian UU.
b. Latar Belakang Perkara: Pelajari latar belakang diajukannya pengujian UU,
termasuk isu-isu yang dipersoalkan dan alasan Pemohon.
c. Pasal-Pasal yang Diuji: Temukan pasal-pasal UU yang diuji dan alasan Pemohon
mengapa pasal-pasal tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
2. Menganalisis Pertimbangan Hukum MK:
a. Pokok Permohonan: Pahami pokok-pokok permohonan Pemohon dan bagaimana
MK menilainya.
b. Dasar Hukum: Pelajari dasar hukum yang digunakan MK dalam membuat putusan,
termasuk norma-norma UUD 1945 yang relevan dan putusan-putusan MK
sebelumnya.
c. Argumentasi MK: Cermati bagaimana MK menganalisis argumen Pemohon dan
Pemerintah/DPR dalam putusan.
3. Memahami Amar Putusan
a. Kesimpulan MK: Temukan kesimpulan MK mengenai konstitusionalitas pasal-
pasal UU yang diuji.
b. Keputusan MK: Pahami apakah MK mengabulkan atau menolak permohonan
Pemohon, dan jika dikabulkan, bagaimana bentuk konsekuensinya.
4. Menelaah Dampak Putusan
a. Implikasi Hukum: Pelajari bagaimana putusan MK akan berimplikasi pada
peraturan perundang-undangan dan praktik hukum di Indonesia.
b. Dampak Sosial: Pertimbangkan bagaimana putusan MK akan memengaruhi
masyarakat dan kelompok-kelompok tertentu.
Berikut beberapa contoh sumber untuk membantu bedah putusan MK:

14
1) Situs web Mahkamah Konstitusi: https://www.mkri.id/
2) Jurnal Hukum dan Konstitusi
3) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada isu hukum dan konstitusi:
https://www.icjr.or.id/,
Contoh Putusan MK yang dapat dibedah :
a) Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
b) Putusan MK No. 70/PUU-XX/2023 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
c) Putusan MK No. 22/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
1. Risalah
Semua putusan mahkamah konstitusi ditulis dalam bentuk risalah yang
dipublikasikan kepada masyarakat yang dapat diakses baik melalui media online
dalam wibsite mahkamh konstitusi maupun di media cetak koran nasional sebagai
wujud akuntabilitas terhadap hasil putusan untuk disebarluaskan kepada publik.
2. Minutasi
Minutasi adalah proses yang dilakukan panitera pengadilan dalam
menyelesaikan proses administrasi meliputi pengetikan, pembendelan serta
pengesahan suatu perkara. Dalam proses minutasi ini MK telah melakukannya secara
profesional dengan memanfaatkan teknologi informasi yang akurat.
3. Berita Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Ayat (3) UU MK dinyatakan bahwa putusan
MK wajib untuk dimuat ke dalam berita negara 30 hari kerja setelah putusan
diucapkan. Berita negara sendiri adalah koran atau media resmi yang diterbitkan
pemerintah Indonesia untuk mengumumkan peraturan perundang-undangan dan
pengumuman resmi lainya. Penerbitan berita negara merupakan mekanisme
penyebaran informasi publik kepada masyarakat.
4. Internasionalisasi Putusan
Sebagai bentuk partisipasi terhadap upaya menumbuhkan konstitusionalisme di
dunia Putusan Mahkamah Konstitusi dikirimkan kepada Venice Commission sebuah

15
lembaga yang dibentuk Dewan Eropa untuk urusan menumbuhkembangkan prinsip-
prinsip demokrasi dan konstitusionalisme yang beranggotakan 61 negara di dunia.10

10
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), 90.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan pada pembahasan maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut:
1. Istilah pengujian peraturan perundang-undangan dapat dibagi berdasarkan subjek yang
melakukan pengujian, objek peraturan yang diuji, dan waktu pengujian.
2. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU
terhadap UUD.
3. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa hukum acara MK terbagi menjadi dua
bagian, yaitu hukum acara bersifat umum dan khusus.
4. Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan instrumen
penting untuk memastikan konstitusionalitas produk hukum dan melindungi hak-hak
konstitusional warga negara
5. Contoh Putusan MK yang dapat dibedah:
a. Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
b. Putusan MK No. 70/PUU-XX/2023 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
c. Putusan MK No. 22/PUU-XXI/2023 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

B. Saran
Cukup sekian makalah yang dapat disusun, pastilah masih terdapat banyak
kekeliruan di dalamnya. Oleh karena itu kami mohon saran dan kritik pembaca agar kami
dapat menjadi lebih baik lagi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-Undangan.
Ketetapan MPRS RI Nomor XIX/MPRS/1966 Tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk
Legislatif Negara Di Luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat .
Konstitusi, Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
Lailam, Tanto. “Pro-Kontra Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Undang-
Undang Yang Mengatur Eksistensinya.” Jurnal Konstitus 12, no. 4 (2015): 795–824.
Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.
Riewanto, M. Ali Safa’at Agus, Pan M. Faiz Kusuma W. Abdul Ghoffar, Andriani W.
Novitasari, Sunny Ummul Firdaus Bayu Dwi Anggono Bisariyadi, and Helmi Kasim
Luthfi Widagdo Eddyono. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Kepaniteraan
dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2019.
Sumadi, Ahmad Fadlil. “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Teori Dan Praktik.”
Jurnal Konstitusi, 8, no. 6 (2011): 850–79.
Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
Yunaldi, Wendra. “Judicial Review Satu Atap Peraturan Perundang -Undangan Di Bawah
Kewenangan Mahkamah Konstitusi.” Pagaruyung Law Jurnal 1, no. 2 (2018): 198–
219.

18

Anda mungkin juga menyukai