Anda di halaman 1dari 6

BUKU JAWABAN TUGAS MATA

KULIAH TUGAS 2

Nama Mahasiswa : Andi Izak

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043411191

Kode/Nama Mata Kuliah : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Kode/Nama UPBJJ : HKUM4404/Teori Perundang-UndanganSoal

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kode/Nama MK
: HKUM4404/Teori Perundang-Undangan Tugas : 2

1. Perubahan UUD 1945 tidak mudah dilakukan karena harus ada momentum. Banyak
perubahan yang terjadi usai adanya Perubahan UUD 1945, salah satunya adalah supremasi
parlemen menjadi supremasi Konstitusi. “Dulu MPR yang mempunyai kewenangan untuk
memilih presiden, kini tidak bisa lagi,” ujar Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi
Universitas Jember tersebut. Bayu menyebut sifat final dan mengikat yang dimiliki oleh
putusan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu bentuk dari supremasi Konstitusi. Selain
itu, supremasi Konstitusi juga tercermin dari Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. “Itu makna demokrasi
yang nomokrasi. Presiden dipilih oleh rakyat, dan nomokrasi jika ada undang-undang yang
dibuat oleh Presiden bertentangan dengan konstitusi, dapat dibatalkan oleh MK. Ini
menunjukkan supremasi Konstitusi,” papar Bayu. Sumber: https://www.mkri.id/ 1. Berdasarkan
kasus di atas, urgensi apakah yang menyebabkan didirikannya MK pasca amandemen
Undang-Undang Dasar RI 1945.
Gagasan pembentukan peradilan tersendiri di luar MA untuk menangani Perkara judicial review
pertama kali dikemukakan oleh Hans Kelsen Pada saat menjadi angggota chancelery dalam
pembaharuan Konstitusi Austria. Kemudian gagasan tersebut diterima dan menjadi bagian
Dalam konstitusi Austria 1920 yang di dalamnya dibentuk Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang sejarah pembentukan MK pada awalnya Adalah untuk
menjalankan judicial review . Sedangkan munculnya Judicial review itu sendiri merupakan
perkembangan hukum dan politik Ketatanegaraan modern. Dari aspek politik keberadaan MK
dipahami sbg upaya untuk mewujudkan Mekanisme check and balances antar cabang
kekuasaan negara. Dari aspek hukum keberadaan MK merupakan konsekuensi dari
Diterapkannya supremasi konstitusi.
Pembentukan MK RI dapat dipahami dari dua sisi yaitu dari sisi Politik dan sisi hukum. Dari
sisi politik ketatanegaraan keberadaan MK diperlukan untuk mengimbangi kekuasaan
pembentukan UU Yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal ini diperlukan agar UU Tidak
menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR Dan Presiden yang dipilih langsung
oleh mayoritas rakyat.
Disisi lain yaitu perubahan sistem ketatanegaraan yang tidak lagi Menganut supremasi MPR
maka menempatkan lembaga-lembaga Negara pada posisi yang sejajar. Hal ini sangat
memungkinkan ketika Dalam praktik terjadi sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
membutuhkan forum hukum untuk menyelesaikannya, MK dianggap lembaga Yang paling
tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dari sisi hukum keberadaan MK adalah salah satu konsekuensi Perubahan dari supremasi
MPR menjadi supremasi konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi terdapat dalam Pasal 1 ayat
(2) Yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat Dan dilaksanakan menurut
UUD.
Dengan demikian konstitusi menjadi penentu bagaimana dan siapa Saja yang melaksanakan
kedaulatan rakyat dlm penyelenggaraan Negara dengan batas sesuai dengan wewenang yang
diberikan oleh konstitusi Itu sendiri. Bahkan konstitusi juga menentukan substansi yang Harus
menjadi orientasi sekaligus batas penyelenggaraan Negara Yaitu ketentuan tentang HAM dan
hak konstitusional warga Negara Yang perlindungan, pemenuhan, dan pemajuannya adalah
tanggung Jawab negara.
Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak dilanggar Maka harus dijamin
bahwa ketentuan hukum dibawah konstitusi Tidak boleh bertentangan dengan konstitusi itu
sendiri dengan Memberikan wewenang pengujian serta membatalkan jika memang Ketentuan
hukum tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Dengan latar belakang tersebut, MK RI dibentuk melalui perubahan Ketiga UUD 1945 yang
diatur dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C Dan Pasal 7B UUD 1945. kemudian dibentuklah
UU yang mengatur Tentang MK yaitu UU Nomor. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK
(Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan
Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan
Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20. Setelah
disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK,
MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara
bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan
disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang
dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada
tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara
dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan
MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Mengapa Indonesia memilih MK sebagai pemegang supremasi konstitusi, bukan MPR yang
merupakan lembaga yang membuat/mengubah UUD.
Pada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita
melakukan perubahan mendasar atas UUD 19459. Dalam rangka Perubahan Pertama
sampai Perubahan Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip
baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan
'checks and balances' sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku
sebelumnya. Dengan perubahan tersebut, prinsip negara hukum yang dianut dipertegas
dengan (a) diaturnya mekanisme penegakan hukum dimulai dari penegakan konstitusi
sebagai hukum tertinggi.
Sebagai akibat perubahan itu, (b) dipandang perlu untuk diadakan mekanisme guna memutus
sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai
kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam
UUD, (c) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol
proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip
'majority rule'.10 Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-
undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden
dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (d) juga diperlukan
adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat
diselesaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan
tuntutan pembubaran sesuatu partai politik.
Perkara-perakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan warganegara dalam
dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi- fungsi
penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga
dikaitkan dengan kewenangan MK.
Oleh sebab itu, UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 kewenangan konstitusional
(constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation).
Keempat kewenangan itu11 adalah: (1) menguji undang- undang (UU) terhadap UUD, (2)
memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
(2) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, dan (4) memutuskan pembubaran partai
politik. Sedangkan kewajibannya adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi
memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud
dalam UUD 1945

2. Akhir-akhir ini dalam kaitan pelaksanaan Sengketa Proses Pemilihan Umum (SPPU) yang
digelar oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum, khususnya terkait SPPU yang melibatkan
bakal calon mantan narapidana korupsi, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) menjadi
suatu bagian yang diperbincangkan bahkan diperdebatkan. Sepertinya, masih banyak pihak
yang belum menyadari kedudukan dan peran PKPU yang akhirnya bermuara pada pengabaian
PKPU. https://sulut.kpu.go.id/ 1. Berikan analisis tentang kedudukan PKPU dalam hierarki
peraturan perundang-undangan.
kedudukan PKPU dalam hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam ketentuan Pasal
8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Diketahui dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 hanya menyatakan bahwa jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Dalam ketentuan tersebut belum menyebutkan terkait peraturan KPU dan Peraturan
kementerian atau lembaga negara lainnya, yang nanti diatur dalam Pasal 8 UU 12/2011.
Bunyi Pasal 8 UU12/2011 adalah: "Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat."
Selanjunya ketentuan ayat 2 menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, jelaslah bahwa
PKPU dikategorikan sebagai peraturan yang ditetapkan oleh komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang. Lebih
lanjut, PKPU jelas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat karena
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dibentuk berdasarkan
kewenangan yang diberikan Undang-undang kepada KPU. PKPU merupakan bagian dari
peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan KPU untuk menyusunnya dalam
rangka melaksanakan Pemilu. PKPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan umum yang menyebutkan bahwa: “untuk menyelenggarakan Pemilu
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan
Keputusan KPU. Peraturan KPU merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.”
Siapakah yang berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga PKPU tersebut?
Bawaslu bertugas mengawasi terhadap PKPU, Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Pengawas
Pemilu berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
pada huruf l yaitu mengawasi pelaksanaan peraturan PKPU.
Dalam melaksanakan tugasnya, Bawaslu berwenang: Menerima dan menindaklanjuti laporan
yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Pemilu; Memeriksa, mengkaji, dan memutus
pelanggaran, administrasi Pemilu; Memeriksa, mengkaji, dan memutuskan pelanggaran politik
uang; Menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian
sengketa proses Pemilu; Merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai
hasil pengawasan terhadap netralitas aparatur sipil-negara, netralitas anggota Tentara
Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia; ' Mengambil alih
sementara tugas, wewenang, dan kewajiban Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota
secara berjenjang jika Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten Kota berhalangan sementara
akibat dikenai sanksi atau akibat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan ; Meminta bahan keterangan yang dibutuhkan kepada pihak terkait dalam rangka
pencegahan dan penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dugaan tindak
pidana Pemilu, dan sengketa proses Pemilu; Mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota apabila terdapat hal yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; Membentuk Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/ Kota, dan Panwaslu LN; Mengangkat, membina, dan memberhentikan anggota
Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, dan anggota Panwaslu LN; dan
Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai