Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Hukum Pengujuan Undang-Undang dan Berdirinya MK di Indonesia

Sejarah judicial review pertama kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui
putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury Vs Madison” tahun 1803.
Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar Amerika
Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall
dan didukung 4 Hakim Agung lainnya yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang
membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.
Gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar telah melalui proses
yang panjang. Dalam setiap pembahasan undang-undang mengenai kekuasaan kehakiman,
gagasan itu selalu. Gagasan itu kembali muncul pada saat pembahasan RUU tentang Pokok
Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1970. Namun, gagasan yang diterima adalah pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung yang
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pada masa reformasi, dengan ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, MPR diberi kewenangan
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun hal ini tidak dapat
disebut sebagai judicial review mengingat bahwa MPR tidak termasuk dalam cabang
kekuasaan yudisial, tetapi merupakan legislative review on the constitutionality of law.
Namun, hingga tidak berlakunya Ketetapan tersebut MPR belum pernah melaksanakan
pengujian karena memang tidak ada mekanisme yang memungkinkan pelaksanaan pengujian
konstitusionalitas undang-undang.
Seiring dengan momentum Perubahan UUD pada era reformasi, ide pembentukan MK di
Indonesia diterima keberadaanya sebagai mekanisme untuk mengontrol pelaksanaan Undang-
Undang Dasar dalam bentuk undang-undang. Selain itu, pembentukan MK juga didorong
oleh alasan sebagai berikut.
1. Sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara
demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang
dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar yang
berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang
menguji konstitusionalitas undang-undang.
2. Pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah hubungan
kekuasaan secara besar-besaran dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of
powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Bertambahnya jumlah lembaga negara
serta bertambahnya ketentuan kelembagaan negara menyebabkan potensi sengketa
antarlembaga negara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan
paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga
tertinggi negara pemegang kekuasaan tertinggi yang berwenang menyelesaikan sengketa
antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan
sengketa tersebut.
3. Kasus nyata yang terjadi di Indonesia, yaitu pemakzulan (impeachment) Presiden K.H.
Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenannya oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR
Tahun 2001, yang mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari jalan keluar mekanisme
hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
semata-mata didasarkan alasan politis semata dan oleh lembaga politik saja. Hal ini juga
sebagai konsekuensi upaya pemurnia sistem presidensiil. Untuk itu, disepakati perlu adanya
lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau
Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional
undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama
para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan
pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan
ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama MK dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C
UUD 1945.
MK memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal
24C UUD 1945. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. MK berkewajiban memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Pada tanggal 15 Agustus 2003, sembilan Hakim Konstitusi pertama tersebut diangkat dengan
Keputusan Presiden Nomor 147/M/Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah
di Istana Negara pada 16 Agustus 2003 yang disaksikan Presiden Megawati Soekarnoputi.
Setelah mengucapkan sumpah jabatannya sebagai Hakim Konstitusi, para Hakim Kontitusi
langsung bekerja menunaikan tugas kontitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD
1945 dan Undang-Undang MK.
Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, susunan MK terdiri atas
seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh)
orang anggota Hakim Konstitusi. Untuk itu kesembilan Hakim Konstitusi mengadakan rapat
pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK pada tanggal 19 Agustus 2003 bertempat di ruang
rapat Ketua MA. Dalam pemilihan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi tertua, Letjen TNI
(Purn) H. Achmad Roestandi, S.H., hadir 8 (delapan) Hakim Konstitusi karena Hakim
Konstitusi Dr. Mohamad Laica Marzuki, S.H. berhalangan karena sakit.
Berdasarkan Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK yang sebelumnya telah
disepakati para Hakim Konstitusi, dilakukan dua tahap pemilihan, yaitu tahap pemilihan
Ketua dan tahap pemilihan Wakil Ketua
Setelah terpilih Ketua dan Wakil Ketua MK, sebagai organ konstitusi baru dan
kepemimpinan baru melakukan kunjungan kehormatan kepada jajaran pimpinan lembaga-
lembaga negara pada Agustus-September 2003।Kunjungan kehormatan tersebut
dimaksudkan untuk memperkenalkan diri sekaligus mendorong terjalinnya hubungan baik,
saling pengertian dan kerjasama antarlembaga negara dengan tetap menghormati kemandirian
masing-masing lembaga negara. Kunjungan tersebut dilakukan kepada Presiden Megawati
Soekarnoputri, Wakil Presiden Hamzah Haz, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Prof. Dr. H.M. Amien Rais dan pimpinan MPR lainnya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Ir. Akbar Tanjung dan pimpinan DPR lainnya, serta Ketua Badan Pemeriksan
Keuangan (BPK) Prof. Dr. Satrio Budihardjo Joedono dan anggota BPK lainnya.
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para Hakim Konstitusi membutuhkan
dukungan teknis administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat administrasi umum
maupun administrasi yustisial. Untuk pertama kalinya dukungan teknis administrasi umum
dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris
Jenderal MPR, sejumlah pegawai Sekretariat Jenderal MPR memberikan dukungan terhadap
pelaksanaan tugas konstitusional para Hakim Konstitusi. Kepala Biro Persidangan Majelis
MPR, Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal MK-
RI sejak tanggal 4 September 2003 hingga 31 Desember 2003. Dalam perkembangannya,
pada tanggal 2 Januari 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri secara definitif menetapkan
Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK-RI.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas membantu
kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial. Di bidang ini, Panitera
bertanggung jawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran permohonan, pemeriksaan
kelengkapan permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan
persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Panitera mendampingi Plt. Sekjen
MK adalah Marcel Buchari, S.H. sebagai pejabat sementara yang di kemudian hari secara
definitif digantikan oleh Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Untuk mendukung suksesnya pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK,
dilakukan rekrutmen pegawai, baik honorer maupun tenaga perbantuan sementara, sambil
menunggu pengisian jabatan struktural dan pegawai sesuai ketentuan yang berlaku. Proses
rekrutmen tenaga kepegawaian di lingkungan MK tersebut dilakukan pada awal berdirinya
MK pada 24- 26 September 2003.

Anda mungkin juga menyukai