Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH HUKUM KONSTITUSI

“SEJARAH MAHKAMAH KONSTITUSI’’

DISUSUN OLEH :

Nama NPM

Marieta Arista Ariatna 193300516079

Mata Kuliah : HUKUM KONSTITUSI


Kelas : R.01
Dosen Pengampu : Hamrin, SH., MH., M.Si.

UNIVERSITAS NASIONAL
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM
JAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi
terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bebas  dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi merupakan salah
satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik  Indonesia.
Mahkamah Konstitusi pada awalnya Adalah untuk menjalankan
judicial review . Sedangkan munculnya Judicial review itu sendiri
merupakan perkembangan hukum dan politik Ketatanegaraan modern. 
Dari aspek politik keberadaan Mahkamah Konstitusi dipahami sbg upaya
utk mewujudkan Mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan
negara. Dari aspek hukum keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan
konsekuensi dari  Diterapkannya supremasi konstitusi.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat
dipahami dari dua sisi yaitu dari sisi Politik dan sisi hukum. Dari sisi
politik ketatanegaraan keberadaan Mahkamah Konstitusi  diperlukan utk
mengimbangi kekuasaan pembentukan UU Yang dimiliki oleh DPR dan
Presiden. Hal ini diperlukan agar UU Tidak menjadi legitimasi bagi tirani
mayoritas wakil rakyat di DPR Dan Presiden yg dipilih langsung oleh
mayoritas rakyat.
Disisi lain yaitu perubahan sistem ketatanegaraan yg tidak lagi 
Menganut supremasi MPR maka menempatkan lembaga-lembaga Negara
pada posisi yg sejajar. Hal ini sangat memungkinkan ketika Dalam praktik
terjadi sengketa kewenangan anatar lembaga negara  yg membutuhkan
forum hukum untuk menyelesaikannya, Mahkamah Konstitusi dianggap
lembaga Yang paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dari sisi hukum keberadaan Mahkamah Konstitusi  adalah salah
satu konsekuensi Perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi
konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi terdapat dalam Pasal 1 ayat (2)
Yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat  Dan
dilaksanakan menurut UUD.
Dengan demikian konstitusi menjadi penentu bagaimana dan siapa
Saja yg melaksanakan kedaulatan rakyat dlm penyelenggaraan Negara dgn
batas sesuai dgn wewenang yg diberikan oleh konstitusi Itu sendiri.
Bahkan konstitusi juga menentukan substansi yang Harus menjadi
orientasi sekaligus batas penyelenggaraan Negara Yaitu ketentuan tentang
HAM dan hak konstitusional warga Negara Yang perlindungan,
pemenuhan, dan pemajuannya adalah tanggung Jawab negara.
Agar konstitusi tersebut benar-benar dilaksanakan dan tidak
dilanggar Maka harus dijamin bahwa ketentuan hukum dibawah
konstitusi  Tidak boleh bertentangan dengan konstitusi  itu sendiri dengan 
Memberikan wewenang pengujian serta membatalkan jika memang
Ketentuan hukum tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Dengan latar belakang tersebut, Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dibentuk melalui perubahan  Ketiga UUD 1945 yang diatur
dalam Pasal  24 ayat (2), Pasal 24C Dan Pasal 7B UUD 1945.  kemudian
dibentuklah UU yang mengatur  Tentang Mahkamah Konstitusi yaitu UU
Nomor. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

B. Rumusan Masalah
1) Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi ?
2) Apa Dasar Hukum Pembentukan Mahkamah Konstitusi ?
3) Apa Kewenangan dan Sifat-sifat Mahkamah Konstitusi ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
1) Agar mengetahui sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi
2) Untuk mengetahui dasar hukum pembentukannya Mahkamah
Konstitusi
3) Dapat mengetahui kewenangan serta sifat-sifat Mahkamah
Konstitusi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan


diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001,
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
November 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.5Pada
mulanya memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan,
keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi sendiri di dunia bisa dikatakan relatif
baru. Namun, di kalangan Negara- negara demokrasi baru, terutama di lingkungan
Negara-negara yang mengalami perubahan dari otoriatan menjadi demokrasi pada
perempatan terakhir abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini
menjadi sangat popular. Oleh karena itu, setelah Indonesia memasuki era
reformasi dan demokratis seperti sekarang ini, ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi menjadi sangat luas diterima 1. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga
UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan
Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) menjalankan fungsi MK untuk
sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil
perubahan keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003
dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15
Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003
hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan
sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus
2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA
ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya
kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan
UUD 1945.2
FOOTNOTE
1 : Ni’matul Huda, 2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm. 204.
2: ibid

BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi

Konstitusi merupakan bagian penting dari sebuah negara yang berisikan


dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku di dalam sebuah negara. Konstitusi
ini memiliki dua bentuk, yang pertama adalah konstitusi dalam bentuk tertulis dan
yang kedua adalah konstitusi dalam bentuk yang tidak tertulis. Setiap negara pasti
memiliki yang namanya konstitusi. Layaknya negara lain Indonesia juga memiliki
konstitusi yaitu Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 ini merupakan
konstitusi tertulis sebab peraturannya tertulis di dalam naskah Pembukaan UUD
1945.
Konstitusi pada prinsipnya adalah suatu aturan yang mengandung norma-
norma pokok, yang yang berkaitan kehidupan negara. Konstitusi dapat mengalami
perubahan sesuai dinamika kehidupan masyarakat. Perubahan meliputi hal-hal
berkaitan dengan aturan tentang anatomi struktur kekuasaan, pembatasan
kekuasaan, jaminan perlindungan hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman, dan
pertanggungjawaban kekuasaan kepada rakyat, dan sebagainya.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diperkenalkan pertama kali pada


tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans
Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan
tugas untuk menguji suatu produk hukum konstitusional dan tidak
memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu, perlu
diadakan organ khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (MK). Bila ditelusuri
dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian
undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh
Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah
Agung) diberi wewenang untuk "membanding undang-undang" yang maksudnya
tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin itu disanggah
oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam
UUD yang telah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of
power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua,
tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji Undang-undang;
dan ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang
bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
sehingga ide pengujian undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin
tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.

Selanjutnya, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia,


kebutuhan akan adanya mekanisme judicial review makin lama kian terasa.
Kebutuhan tersebut baru bisa dipenuhi setelah terjadi Reformasi yang
membuahkan perubahan UUD 1945 dalam empat tahap. Pada perubahan ketiga
UUD 1945, dirumuskanlah Pasal 24C yang memuat ketentuan tentang MK. Untuk
merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, pemerintah bersama
DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya rancangan
undang-undang tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan
disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003.
Pada hari itu juga, Undang-Undang tentang MK ini ditandatangani oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari
yang sama, kemudian diberi nomor menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek waktu, Indonesia
merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara
pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13
Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari
lahir MK Republik Indonesia.

B. Dasar Hukum Pembentukkan Mahkamah Konstitusi


Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi memiliki landasan Undang-Undang yaitu
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dicabut dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 066/PUU-II/2004.
Biasanya Permohonan atau permintaan yang diajukan secara tertulis kepada
Mahkamah Konstitusi adalah mengenai:
1. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pembubaran partai politik;
4. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
5. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 13 Agustus 2003 di
Jakarta. Agar setiap orang mengetahuinya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, dan Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor
24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316.
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi
penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang
berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka
menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan
juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa
lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di
samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini
berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga
lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

C. Kewenangan dan Sifat-Sifat Mahkamah Konstitusi


Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip
checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan
setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling
mengoreksi kinerja antarlembaga negara.
Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa
pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar,
Undang-Undang ini mengatur mengenai syarat calon hakim konstitusi secara
jelas. Di samping itu, diatur pula ketentuan mengenai pengangkatan dan
pemberhentian, cara pencalonan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan
hakim konstitusi secara obyektif dan akuntabel.
Adapula putusan sifat Mahkamah Konstitusi bersifat final. Sifat final dalam
putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula
kekuatan hukum mengikat (final and binding). Secara teoritis, final bermakna
putusan MK berkekuatan hukum tetap setelah selesai diucapkan dalam sidang
yang terbuka untuk umum dan tidak terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh
terhadap putusan itu. Sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku
bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adanya Mahkamah Konstitusi itu untuk menjaga konstitusi guna tegaknya
prinsip konstitusionalitas hukum. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi
pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam
ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem
bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.
MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk
hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga
terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.Untuk menguji
apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,
mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan
MK.
Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan
terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan
MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak bolehbertentangan
dengan konstitusi. Melalu kewenangan judicial review ini, MK menjalankan
fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari
koridor konstitusi.
B. Saran
Sebagai konsekuensi yuridis terhadap sifat final and binding putusan
Mahkamah Konstitusi, maka dalam rangka menciptakan kepastian hukum sifat
putusan Mahkamah Konstitusi tetap harus dipertahankan. Terkait adanya judicial
corruption yang di lakukan oleh oknum hakim konstitusi, hal yang perlu
dilakukan adalah dengan melakukan seleksi yang ketat terhadap calon hakim
konstitusi serta adanya pengawasan baik dari internal maupun eksternal lembaga
Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi jangan lagi membuat
putusan-putusan yang melanggar undang-undang serta hukum acara dengan
menjadi positif legislator dan membuat putusan retroaktif karena tidak sesuai
dengan amanat undang-undang dan karakterisitik putusannya.

Anda mungkin juga menyukai