HUKUM KONSTITUSI
TENTANG :
DI INDONESIA
M.ARIFFATURRAHMAN (A01220074)
Andang (A01220095)
M. Wiranto (A01220107)
Alias Rangga (A01220092)
Arif Rajum (A01220090)
Nur Rahmania (A01220267)
M. Andi Afrijal (A01220097)
B. PEMBAHASAN
1. Kedudukan Mahkama Kostitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan
Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
ketatanegaraan dengan adannya Lembaga negara yang ditambakan. sala
satu negara yang ditambakan adalah mahkama konstitusi yang
menyelanggarakan kekuasaan kehakiman bersama mahkamah agung. Reformasi
konstitusi menciptakan pembaharuan dalam struktur Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 24 ayat 2 undang-undang dasar negara republik indonesia tahun
1945 yang menyatakan bahwa: “kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah
mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah
konstitusi”.
Hal ini terkait erat dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam fungsinya
di bidang kehakimana (yudicial) terutama keterkaitan dengan hubungan
kelembagaan dengan lembaga-lembaga negara lainnya sesuai dengan ketentuan
yang diatur didalam UU NO. 24 Tahun 2003 tentang mahkama Konstitusi.
Keterkaitan hubungankelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan lembaga-
lembaga negara lainnya hanya sebatas untuk menjawab eksistensi MK di dalam
struktur ketatanegaraan Indonesia serta amandemen UUD 1945.
a. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Mahkamah Agung Dalam
Kekuasaan Kehakiman
MA bersama MK berkedudukan sebagain lembaga kekuasaan kehakiman
(yudicial power) yang merdeka dan mandiri dengan tugas menyelenggarakan
peradilan dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan. Di mana untuk
melihat pencapaian tujuan dari kedua lembaga kehakiman tersebut (MA dan MK)
adalah sebagai kedua lembaga itu bekerja berdasarkan bedasarkan kekuasaan
dan kewenangannya untuk terpenuhinya penegakan hukum dan keadilan. Sebab
sebgai negara hukum bangsa indonesia harus dapat menegakkan hukum dan
keadilan yang menjadi karakter di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prinsip negara hukum dan demokrasi yang berlandaskan pada paham
konstitusional sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945
menyatakan bahwa : “negara indonesia adalah negara hukum”.
Prinsip ini dilandasi dari paham pembagian kekuasaan negara (separation
of power) yang terbagi menjadi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini
sangat diperlukan di dalam negara yang menganut supermasi hukum dengan
menjujung tinggi nilai-nilai demokrasi.yang berarti segala tindakan lembaga
tinggi negara didasarkan pada UUD 1945 den peraturan perundang-undangan di
bawahnya yang berlaku. Dengan demikian, MK bersama MA melakukan
pembatasan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan (abouse of p[ower),
penegakkan hukum dan konstitusi, serta keadilan hukum. Selain itu melakukan
proses kontrol terhadap penyelenggaraan kehudupan berbangasa dan bernegara
agar tidak menjadi penyimpangan dari eksekutif maupun legislatif yang aspirasi
rakyat oleh lembaga yang ditegaskan pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 disebutkan,
bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
1945”.
Ketentuan ini menunjukan pada kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dijalankan menurut UUD 1945. Sehingga dalam pembagian ketiga lembaga tinggi
negara berdasarkan konsep trias politica dalam menjalakan kekuasaan dan
kewenanganya itu bersumberkan pada ketentuan normatif yang ada pada UUD
1945. Di mana dari ketiga lembaga negara yang terbagi pada badab legislatif,
eksekutif dan yudikatif itu dengan komposisi yang sesuai pada kompetensi dari
masing-masing ketiga lembaga tinggi negara tersebut. Yaitu kekuasaan dan
kewenangan badan legislatif berdasarkan pada konsepsi trias politica untuk
menjalankan fungsi legislasi dan anggaran. Fungsi-fungsi tersebut dijalankan
oleh lembaga legislatif untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif.
Di mana kekuasaan dan kewenangan badan eksekutif ialah untuk menjalakan
peraturan-peraturan pemerintahan yang dijadikan sumber hukum yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah. Sedangkan kekuasaan dan kewenangan pada
bada yudikatif ialah untuk melaksanakan pengawsan terhadap semua peratuaran
hukum yang berlaku tersebut, apakah sudah dilaksanakan atau sebaliknya oleh
badan eksekutif dalam menjalankan pemerintahan negara.
Bunyi pasal 24 ayat 2 UUD 1945 mengaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dibagi ke dalam dua lembaga negara, yaitu : pertama MA yang peradilan
dibawahnya terdiri dari lingkungan peradilam umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha nagara; dan kedua MK yang secara normatif
dari kedua lembaga tinggi negara yang berada pada kekuasaan kehakiman
(yudicial of power) dijalankan bersama oleh MA bersama MK dengan kompetensi
yang berbada. Namun demikian, bunyi pasal 24 ayat 2 tersebut memungkinkan
timbulnya penafsiran hukum yang berbada-beda dari para ahli hukum tata
negara denga melihat ketentuan normatif teks pasal tersebut, karena
memungkinkan dari teks pasal tersebut para hakim agung atau hakim konstitusi
akan melihat dengan sudut pandang yang berbeda/berlainan berdasarkan
kepentingan masing-masing lembaga kehakiman tersebut. Di mana ketentuan
teks pasal tersebut memungkinkan timbulnya penafsiran bahwa MA kedudukanya
lebih tinggi dari pada MK. Dengan alasan bahwa ketentuan pasal 24 ayat 2 UUD
1945 menyebutkan ketentuan tugas, wewenang dan kewajibannya itu
disebutkkan pertama kali baru kemudian MK, sehingga pengaturan yang
demikian itu timbul penafsiran bahwa MK subordinasi dari MA.
b. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Majelis Permusawaratan
Rakyat Dalam Kekuasaan Kehakiman
Seiring dengan pergeseran paradigma ketatanegaraan indonesia setelah
dilakukannya proses politik hukum yang sangat panjang dengan melalui sebuah
proses amandemen konstitusi (UUD 1945), di mana menurut A. Mukhtie Fadjar
perubahan paradigma tersebut ialah : (a) dari paradigma negara ke paradigma
masyarakat dengan semangat penguatan civil society; (b) dari paradigma
integralistik ke paradigma kedaulatan rakyat/demokrasi dengan semangat
penghormatan hak asasi manusia (HAM); dari paradigma kekuasaan
(marchtstate) ke paradigma negara hukum (rechtstate) dengan semangat
supremasi hukum, yang adil dan responsif; (d) dari paradiigma pemusatan
kekuasaan (sentralictic of power) ke paradigma pembagian kekuasaan
(separation of power) dengan prinsip “check and balances” dan “power limits
power” (e) dari paradigma sentralistik ke paradigma desentralistik dengan
semangat pemberdayaan bukan memperdayakan dan kemandirian bukan
ketergantungan; dan (f) dari paradigma monistik ke paradigma pluralistic dengan
semangat non diskriminatif.
Salah satu dari sekian perubahan paradigma di dalam sistem ketatanegaraan
indonesia yang dianut dalam UUD 1945 pasca amandemen ialah tidak
ditempatkannya lagi MPR pada posisi lebih tinggi dari lembaga-lembaga negara
lainnya. Melainkan MPR ditetapkan pada posisi lembaga tinggi negara yang
kedudukannya sejajar dengan semua lembaga tinggi lainnya, tak terkecuali MK.
Perubahan dalam tubuh MPR dapat dilihat dalam beberapa pasal yang ada pada
ketentuan UUD1945, seperti disebutkan dalam pasal 3 ayat 1 UUD dinyatakan,
bahwa “MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD”, dan disebutkan pula
di dalam ayat 3 pasal tersebut, “MPR hanya dapat memberhentikan presiden
dan/atau wakil presiden dal;am masa jabatannya menurut UUD”. Ketentuan lebih
lanjut diatur dalam pasal 10 UU NO.22 Tahun 2003 tentang sususnan dan
kedududkan MPR,DPR,DPD, dan DPRD propinsi atau kabupaten/kota yang
dinyatakan, “MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara”.
c. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Presiden Dalam
Kekuasaankehakiman
Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan
yang dijalankan berdasarkan UUD 1945. Dalam rentan sejarah peyelenggaraan
ketatanegaraan indonesia yang panjang, menunjukan bahwa kekuasaan
pemerintah dalam hal ini presiden, sejak dari pemerintahan orde lama dan orde
baru kekuasan presiden hampir tak terbatas. Pemusatan kekuasaan pada
presidan yang diberikan oleh UUD 1945 sebelum amandemen menjdikkan
kekuasaan perintahan yang tak berimbang dari masing-masing lembaga negara
yang ada pada kekuasaan legislatif danm yudikatif. Sehingga mengakibatkan dari
kedua lembaga tersebut (MPR, DPR dan MA) tidak dapat menjelaskan
sebagaimana mestinya sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan dibidang
legislatif dan yudikatif sistem pemerintah yang tidak berimbang tersebut
mengakibatkan terjadinya penyelengaraan dalam praktek pemerintahan yang
berujung pada penyelenggaraan konstitusi (UUD)hak asasi manusia (HAM), serta
terciptanya pemerintahan yang oteriter dan sentralistik.
Dari latar blakang sejarah yang suram dalam penyelengaraan
pemerintahan yang dilakukan oleh kekuasaan eksekutif (presiden),maka MK
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman (yudicial of power) yang lahir dari
ketidakadilan dan pelangaran konstitusi (UUD 1945) merupakan lembaga mandiri
yang tidak dapat diintervensi oleh lembaga manapun,meskipun keaanggotaan
dari 9 (sembilan) hakim konstitusi berasal dari 3 orang hakim yang di pilih oleh
presiden, dimana tugas, wewenang struktur dan hukum acarany diatur dalam UU
yang notaben disahkan oleh presiden. Meskipun demikian tidak berarti
kedudukan MK subordinasi dari kedudukan presiden, melainkan kedudukan MK
sejajar. Artinya presiden tidak dapat memerintahkan apalagi membubarkan
untuk dimanfaatkan menjadi alat kekuasaan presiden ;sebaliknya MK pun tidak
dapat sekehendaknya sendiri dalam menilai kinerja pemerintahan berdasarkan
dugaan DPR yang diajukan kepanya.
Mk dapat menilai dan memutuskan UU yang sudah disahkan presiden,
apabila benar-benar bahwa UU yang disahkan oleh presiden melanggar
ketentuan normatif peraturan diatasnya (dalam hal ini UUD 1945).sehingga MK
dapat menyatakan UU tersebut batal demi hukum sebagian atau keseluruhan
dari pasa UU yang diajukan untuk dilakukan “judicial review”. Pengujian UU oleh
MK merupakan penilaian terhadap produk politik yang diciptakan antara presiden
dengan DPR/DPD atas materi suatu UU. Agar produk UU yang diciptakan dan
disahkan oleh presiden itu benar-benar tidak bertentang dengs UUD 1945 atau
kepentingan hak-hak masyarakat. Sebagai mana disebutkan dalam pasal 24 C
ayat 1 hurur a disebutkan MK berwenang untuk: menguji UU terhadap UUD
negara republik indonesia 1945.
d. Kedudukan Mahkama Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Rakyat
Dalam Kekuasaan Kehakiman
DPR sebagaimana disebutkan dalam pasal 24 UU no.22 thn 2003 tentang
susunan dan kedudukan MPR,DPR,DPD dan DPRD provinsi atau kabupaten/kota
dinyatakan bahwa: DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga negara. Perlu ditegaskan dalam ketentuan
normatif hukum maupun politis bahwa DPR merupakan lembaga politik ataun
parlemen didalam sistem ketataneggaraan indonesia. Oleh sebab itu, dalam
kesempatan ini kiranya perlu diungkapkan kedudukan MK dalam menjalankan
kewenangannya dibidang judicial terkait dengan kewenangan yang diberikan
UUD 1945 kepada DPR atas usulan untuk melakukan proses impeachment
terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Karena DPR sebagai lembaga
parlemen indonesia berkewenangan untuk menguji dan menilai atas kinerja
presiden sebagai penanggung jawab terhadap prodak pemerintahan yang
dijalankannya.
DPR dan MK dalam menjalankan kewenangannya tersebut pada
kekuasaan impeachment presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan psal
ditas, makan kedudukan MK dan DPR ialah le,baga negara yang kedudukannya
sejajar dan tidak saling subordinasi satu sama lainnya. Dimana kewenangan DPR
sebagai lembaga parlemen indonesia berdasarkan pasa 20 aya (1) UUD 1945
disebutkan bahwa,DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Selain daripada
itu, DPR juga diberikan kewenangan untuk melalukan pengawasan terhadap
presiden dan/atau wakil presiden beserta para pembantunya atas jalanya roda
pemerintahan. Untuk itu apabila DPR telah menemui terjadinya pelanggaran
hukum atas pengawasan dan penilaiannya terhadap presiden atau wakil presiden
berhak untuk melakukan pengujian kepada MK atas dugaannya tersebut.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 7b ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa:
“usul pemberhentian presiden atau wakil presiden dapat diajukan
oleh DPR pada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintan
kepada MK untuk memeriksa,mengadili,dan memutus pendapat DPR bahwa
presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan terhadap negara,korupsi,penyuapan,tindak pidana berat
lainnya,perbuatan tercelah;dan atu pendapat bahwa presiden atau wakil presiden
tidak lagi memenusi syarat sebagain presiden atau waki presiden
e. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Lembaga-Lembaga
Negara Tinggi Lannya Dalam Kekuasaan Kehakiman
Lembaga-lembaga negara yang kedudukanya diakomondasi oleh UUD
1945 paska amanden selai, MA, MPR, DPR presiden dan wakil presiden juga
ada DPD, BPK, KPU, komisi yudisial, DPRD Propinsi, DPRD kabupaten/kota,
serta pemerintahan daerah propinsi atau kabupaten/kota dan TNI/polri. Dari
lembaga-lembaga negara yang belum tersebut diatas memiliki kedudukan yang
sejajar dengan MK selain DPRD Propinsi dan DPRD kabupaten/kota dan atau
pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota, sekaligus juga tidak saling
subordinasi satu sama lainnya. Seperti misilnya, BPK merupakan lembaga tinggi
negara yang mempunyai tugas dan kewenangan dalam menyelamtkan keuanga
negara termasuk kedalamanya mengaudit keuangan lembaga tinggi negara
tarmasuk MK. Di sebutkan dalam pasal 12 UU NO, 24 tahun 2003, dijelaskan
bahwa MK bertanggungjabab untuk mengatur keuanganya sehingga laporan
keuanganya dapat diperikas oleh BPK yang dapat menilai MK. Demikian halnya
dengan hubungan dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Begitu pula MK dengan DPD yang merupakan lembaga perwakilan daera
yang berada pada kekuasaan legislatif. Di mana prinsip dasar yang ingin
dikembangkan pada sistem ketatanegaraan indonesia dengan badan legislatif
yang menggunakan model sistem “bicameralisme” yang mana model system
bicameralisme di tubuh MPR masih bersifat “soft bicameralisme” antara
kekuasaan dan kewenangan DPR dan DPD. padahal prinsip pembagian antara
DPR dan DPD yang ada ditubuh MPR berkeinginan untuk meniru dengan sistem
ketatanegaraan di Amerika serikat atau inggris. Apabila konsepsi pembagian di
MPR itu mau disepadankan dengan sistem legislatif di kedua negara tersebut.
Maka kedudukan DPR dan DPD seharusnya memiliki kekuasaan dan
kewenangan yang sama, dalam artian sistem bicameral yang diaanut pada
tubuh MPR itu bersifat “strong bicameralisme” antara DPR dan DPD.
Karena kedudukan DPD dan DPR merupakan sebuah lembaga yang sama-
sama sebagai lembaga perwakilan yang diambil dari jumlah seluruh rakyat
indonesia dengan pembagian yang berbeda. Kalau DPR sebagai lembaga
perwakilann rakyat, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan dari
daerah-daerah seluruh tanah air indonesia. Maka dengan demikian, antara DPR
sebagai House of Rrepresentative dan DPD sebagai senat dalam prinsip badan
legislative Amerika serikat keduanya memiliki kekuasaan dan kewenangan yang
sama dalam segala hal kopetensi yang adapa pada kekuasaan legislatif
(legislative of power). Namun demikian, kirannya perlu diungkapkan
berdasarkan ketentiuan UU No. 22 tahun 2003 dijelakan pada pasal 40, bahwa
“DPD merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga negara”. Hal ini menyangkut tentang perhitungan hasil perolehan
suara dalam pemilihan umum untuk anggota DPD sebagaimana sudah
dijelaskan tersebut diatas.
Demikian pula kewenangan komisi yudisial (KY) dengan MK kedudukan
dari kedua adalah sederajat dengan tidak ada subordinasi atau sama lainnya
dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab dari masing-masing kedua
lembaga tersebut. Bahkan ada gagasan kewenangan yang dimiliki oleh KY
dalam melakukan pengawasan hakim itu bukan hanya hakim agung melainkan
juga hakim agung melainkan juga hakim konstitusi. Sebagaimana disebutkan
dalam pasal 24B dinyatakan bahwa, “KY bersifat mandiri yang berwenang
mengusung pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabak, serta
perilaku hakim”. Namun pada kenyataannya kewenangan KY dalam
pengawasan hakim agung pun apabila hakim konstitusi tidak dapat dijalankan
sebagaimana seharusnya, karena kewenangan tersebut diajukan oleh para
hakim agung untuk dilakukan judicial reiew dan hal ini dikabulkan oleh MK.
Dengan demikian kewenangan tersebut tidak dapat dijalankan oleh KY.
Dari sekian lembaga yang diakomondasikan keberadaannya oleh UUD
1945 pasca amandemen hanya, sebagai ilustrasi hubungan kelembagaan antara
lembaga tinggi negara berkenaan dengan kedudukan MK dengan lembaga-
lembaga tinggi negara lainnya,
2. MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PERIMBANGAN KEKUKASAAN
LEMBAGA- LEMBAGA NEGARA
C. PENUTUP
1. Dalam keseluruhan hasil pembahasan yang telah penulis uraikan dalam
Makalah ini, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut. Bahwa
keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam konstruksi ketatanegaraan Republik
Indonesia adalah lembaga peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman
yang terpisah dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam pasal 24 Ayat
2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diatur
lebih lanjut dalam pasal 12 undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang
mahkamah konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan undang-undang
nomor 8 tahun 2011.
Putusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis memiliki sifat final dan
mengikat. Sebagaimana diatur dalam pasal 24C undang-undang dasar
negara republik indonesia tahun 1945 dan pasal 10 ayat 1 undang-undang
nomor 24 tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi sebagaimana telah
dirubah dengan undang-undang nomor 8 tahun 2011 kecuali dalam
impeachment terhadap presiden dan/atau wakil presidan putusan mahkamah
konstitusi bersifat relatif tergantung kekuatan politik di majelis
permusyawaratan rakyat.