Anda di halaman 1dari 9

Makhamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dira Nabilah Wiesna


(210202110004)
Hukum Ekonomi Syariah
Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
diranabilaw@gmail.com

Abstrak
Salah satu lembaga negara yang mempunyai kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan merupakan
kedudukan yang dimiliki oleh Makhamah Konstitusi (MK). Konstitusi sebagai
hukum tertinggi ada untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Konstitusi
merupakan keseluruhan peraturan yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur secara mengikat dalam penyelenggaraan pemerintah di Indonesia.
Makhamah Konstitusi (MK) memiliki fungsi yang tidak berbeda dengan fungsi
makhamah konstitusi di negara lain yang memiliki fungsi constitutional review
yang merupakan syarat penting dalam sistem konstitusi. Hal tersebut yang
menyebabkan Makhamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal konstitusi (the
guardian of the constitution). Makhamah Konstitusi (MK) berkewajiban untuk
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
presiden menurut UUD 1945 sesuai dengan Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945.
Makhamah Konstitusi (MK) juga memiliki beberapa wewenang dan memiliki
putusan yang bersifat final dan memiliki kekuatan hukum.
Kata Kunci: Makhamah Konstitusi, Kekuatan hukum, Wewenang

A. Pendahuluan
Makhamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman selain Makhamah Agung (MA), yang dibentuk melalui Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia sendiri merupakan negara ke-78
yang membentuk kelembagaan sebagai fenomena abad ke-20 karena sebelumnya
tidak dikenal lembaga peradilan konstitusi dalam sistem negara. Pembentukan
Makhamah Konstitusi (MK). Pembentukan Makhamah Konstitusi (MK) dipahami
dari sisi politik dan hukum. Dari sisi politik, ketatanegaraan, keberadaan
Makhamah Konstitusi (MK) diperlukan yang bertujuan untuk mengimbangi
kekuasaan pembentukan Undang-Undang yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan presiden agar tidak menjadi legitimasi bagi masyoritas wakil rakyat di

1
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden yang dipilih langsung mayoritas
masyarakat. Selain itu, muncul sengketa antar lembaga negara yang perlu
diselesaikan melalui Makhamah Konstitusi (MK). Adapun Makhamah Konstitusi
(MK) merupakan jawaban atas keinginan agar lembaga yudisial bisa melakukan
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) yang
sebelumnya tidak dapat dilakukan.1 Dari sisi hukum, keberadaan Makhamah
Konstitusi (MK) berkosekuensi perubahan dari supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara
kesatuan, prinsip demokrasi, dan negara hukum. Selama kiprahnya, Makhamah
Konstitusi (MK) menjalankan tugas konstitusional dalam menata sistem
ketatanegaraan Indonesia sekaligus melindungi dan menegakkan hak-hak
konstitusional warga negara, nilai demokrasi melalui mekanisme permohonan
hingga terciptanya ribuan putusan demi keberlanjutan kehidupan demokrasi yang
lebih baik.2 Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga yaitu Makhamah
Konstitusi (MK) dan Makhamah Agung (MA). Kedua lembaga ini memiliki
kedudukan yang setara dan termasuk lemaga negara yang independen.3 Tujuan dari
penelitian ini untuk mengetahui tentang Makhamah Konstitusi secara mendalam
yang diantaranya meliputi wewenang Makhamah Konstitusi (MK), kekuatan
hukum dari putusan Makhamah Konstitusi (MK), kedudukan Makhamah
Konstitusi (MK) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dan kedudukan
Makhamah Konstitusi (MK) terhadapa lembaga-lembaga tinggi.

B. Metode Penelitian
Dalam pemenuhan isi jurnal ini, penulis menggunakan metode studi Pustaka
dari beberapa sumber buku dan juga karya tulis ilmiah yang ditemukan dalam
pencarian global melalui Google. Dalam tulisan ini penulis menggunakan
pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer terdiri dari Undang-undang Dasar, peraturan perundang-undangan
yang terkait dalam penelitian ini dan putusan Mahkamah Konstitusi, sedangkan
bahan hukum sekunder meliputi bukubuku hukum, jurnal hukum, karya ilmiah lain
dan artikel hukum. Teknik penulisan ini menggunakan metode penalaran deduktif
yang menggunakan argumen-argumen deduktif untuk beralih dar premis-premis

1
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Rajawali
Pers, 2011).
2
Ali Safa’at, Hukum Acara Makhamah Konstitusi (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal,
2020).
3
Johansyah, ‘Putusan Makhamah Konstitusi Bersifat Final Dan Mengikat (BINDING)’, ISSN Online,
2021.

2
yang ada, yang dianggap benar, kepada kesimpulan-kesimpulan yang mestinya
benar apabila premis-premisnya benar.

C. Pembahasan
1. Kedudukan Makhamah Konstitusi (MK) Dalam Sistem Keetatanegaraan
Indonesia
Digantikannya sistem divison of power (pembagian kekuasaan) dengan
separation of power (pemisahan kekuasaan) menyebabkan adanya
perubahan yang mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca
amandemen UUD 1945. Berlandaskan division of power yang menjadi
pedoman sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat
dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berada di tempat tertinggi
dalam struktur lembaga tertinggi negara. Pada UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2)
sebelum adanya perubahan menjelaskan bahwa kadaulatan berada di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering
dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR,
kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang
kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga
tinggi negara.
Sistem separation of power yang dijadikan pedoman sebelumnya
mengakibatkan lembaga-lembaga negara tidak terkualifikasi ke dalam
lembaga tertinggi negara. Lembaga-lembaga negara tersebut mempunyai
kekuasaan sesuai UUD tetapi dibatasi juga oleh UUD. Setelah UUD 1945
diamandemen, kedaulatan rakyat tidak fokus dalam satu lembaga negara
melainkan disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada yang diartikan
semua lembaga negara mempunyai kedudukan yang sama. Dalam konteks
tersebut, lembaga negara dibedakan dari fungsi dan perannya yang sudah ada
dalam UUD 1945. Makhamah Konstitusi (MK) menjadi salah satu lembaga
negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan yang sama dengan
lembaga lainnya. Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan
mengedepankan hubungan cek satu sama lain. Selain itu, Makhamah
Konstitusi (MK) diberi otoritas untuk menjadi pengawal konstitusi berarti
menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan menegakkan hukum dan
keadilan. UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum
yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, Makhamah Konstitusi

3
(MK)memiliki kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga
terselenggaranya konstitusionalitas hukum dengan baik.4
2. Wewenang Makhamah Konstitusi
MK seperti yang dikonstruksi dalam UUD 1945 mempunyai 4 (empat)
kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal
24C dan Pasal 7B. Keempat Kewenangan itu adalah mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat fi nal untuk: (1) menguji
Undang-Undang (UU) terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa antar
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutuskan
pembubaran partai politik, dan (4) memutuskan sengketa hasil pemilihan
umum. Adapun kewajibannya adalah memeriksa, mengadili dan
memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dicantumkannya 4 (empat) kewenganan dan 1 (satu) kewajiban MK dalam
UUD 1945 paling tidak telah memenuhi kebutuhan mendasar akan
terwujudnya demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Menurut
Dennis C. Mueller, sistem politik dan ketatanegaraan yang menganut doktrin
demokrasi konstitusional memerlukan adanya: (1) mekanisme memutuskan
sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga negara
yang mempunyai kedudukan yang sederajat, yang kewenangannya diberikan
oleh UUD, (2) pelembagaan peran hukum dan hakim yang dapat mengontrol
proses dan produk kebijakan politik yang mendasarkan pada prinsip “the rule
of majority”, (3) juga mekanisme untuk memutuskan berbagai
persengketaan yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan yang
biasa, seperti sengketa hasil Pemilu, dan tuntutan pembubaran partai politik.
Kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada MK
sebagai lembaga yudikatif, mencerminkan semakin kuatnya prinsip negara
hukum (rechstaat) dalam UUD 1945 setelah amandemen. Hal ini juga
ditegaskan secara fundamental dalam Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan
bahwa: “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
1945”. Dengan penegasan pasal tersebut, semakin nyata bahwa Indonesia
yang menganut asas demokrasi dalam sistem ketatanegaraannya yang
menyandarkan kepada konstitusi, yaitu UUD 1945. Melalui dua modus
fungsi ideal MK, yaitu sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi,
terwujudnya konstitusionalisme demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara menjadi lembaran sejarah baru dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.5

4
Makhamah Konstitusi Republik Indonesia, ‘Sejarah Da Pembentukan, Kedudukan, Serta
Kewenangan Makhamah Konstitusi’, Mkri.Id, 2015
<https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11768>.
5
Soimin, Makhamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Yogyakarta: UII Press,
2013).

4
3. Kekuatan Hukum Putusan Makhamah Konstitusi (MK)
Untuk menentukan produk suatu lembaga negara adalah produk hukum
yang mengikat tidak semata-mata ditentukan oleh logika politik
keterwakilan. Yang mengikat sebagai norma hukum tidak harus selalu lahir
dari proses politik. Yang lebih menentukan adalah apakah produk itu
memang ditempatkan sebagai hukum yang mengikat menurut ketentuan
yang lebih tinggi dan dibuat sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.
Untuk mengetahui apa saja produk hukum dalam sistem hukum nasional,
tentu saja rujukannya adalah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Hal itu
berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan
dalam persidangan MK.
Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Berbeda dengan
putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para pihak, Putusan MK
dalam perkara pengujian UU mengikat semua komponen bangsa, baik
penyelenggara negara maupun warga negara. Dalam perkara pengujian UU,
yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum.
Walaupun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional
pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah
mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi.
Kedudukan pembentuk UU, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau
termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan.
Pembentuk UU hanya sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan
tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal
itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut
pandangan pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU,
sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan
konstitusi. Oleh karena itu yang terikat melaksanakan Putusan MK tidak
hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait
dengan ketentuan yang diputus oleh MK. Dalam Putusan suara terbanyak,
tidak hanya KPU ataupun pemerintah dan DPR yang terikat oleh Putusan
MK, tetapi juga partai politik peserta Pemilu sejak putusan itu dibacakan. 6
4. Kedudukan Makhamah Konstitusi Terhadap Lembaga-Lembaga Tinggi
Lembaga-lembaga negara yang kedudukannya diakomodasi oleh UUD
1945 pasca amandemen selain, MA, MPR, DPR, Presiden dan Wakil
Presiden; juga ada DPD, BPK, KPU, Komisi Yudisial, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/ Kota, serta Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/
Kota dan TNI/Polri. Dari lembaga-lembaga negara yang belum tersebut di
atas memiliki kedudukan yang sejajar dengan MK selain DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota dan/atau Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota,

6
‘Kekuatan Mnegikat Dan Pelaksanaan Putusan MK’, Safaat.Lecture.Ub.Ac.Id, 2014
<http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/Kekuatan-Mengikat-dan-Pelaksanaan-Putusan-
MK.pdf>.

5
sekaligus juga tidak saling subordinasi satu sama lainnya. Seperti misalnya,
BPK merupakan lembaga tinggi negara yang mempunyai tugas dan
kewenangan dalam menyelamatkan keuangan negara termasuk di dalamnya
mengaudit keuangan lembaga tinggi negara termsuk MK. Disebutkan dalam
Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2003, dijelaskan bahwa MK bertanggung jawab
untuk mengatur keuangannya sehingga laporan keuangannya dapat diperiksa
oleh BPK yang dapat menilai MK. Demikian halnya dengan hubungan
dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
Begitu pula MK dengan DPD yang merupakan lembaga perwakilan
daerah yang berada pada kekuasaan legislatif. Di mana prinsip dasar yang
ingin dikembangkan pada sistem ketatanegaraan Indonesia dengan badan
legislatif yang menggunakan model sistem “bicameralisme”, yang mana
model system bicameralisme di tubuh MPR masih bersifat “soft
bicameralism” antara kekuasaan dan kewenangan DPR dan DPD. Padahal
prinsip pembagian antara DPR dan DPD yang ada di tubuh MPR
berkeinginan untuk meniru dengan sistem ketatanegaraan di Amerika Serikat
atau Inggris. Apabila konsepsi pembagian di MPR itu mau disepadankan
dengan sistem legislatif di kedua negara tersebut. Maka kedudukan DPR dan
DPD seharusnya memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sama, dalam
artian sistem bicameral yang dianut pada tubuh MPR itu bersifat “strong
bicameralisme” antara DPR dan DPD. Karena kedudukan DPD dan DPR
merupakan sebuah lembaga yang sama-sama sebagai lembaga perwakilan
yang diambil dari jumlah seluruh rakyat Indonesia dengan pembagian yang
berbeda. Kalau DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, sedangkan DPD
merupakan lembaga perwakilan dari daerah-daerah seluruh tanah air
Indonesia. Maka dengan demikian, antara DPR sebagai House of
Representative dan DPD sebagai Senat dalam prinsip badan legislative
Amerika Serikat keduanya memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sama
dalam segala hal kompetensi yang ada pada kekuasaan legislatif (legislative
of power).
Namun demikian, kiranya perlu diungkapkan berdasarkan ketentuan
UU No. 22 Tahun 2003 dijelaskan dalam Pasal 40, bahwa “DPD merupakan
lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”.
Hal ini menyangkut tentang perhitungan hasil perolehan suara dalam
Pemilihan Umum untuk anggota DPD sebagaimana sudah dijelaskan
tersebut di atas. Demikian pula kewenangan Komisi Yudisial (KY) dengan
MK kedudukan dari kedua adalah sederajat dengan tidak ada subordinasi
satu sama lainnya dalam menjalankan mana prinsip dasar yang ingin
dikembangkan pada sistem ketatanegaraan Indonesia dengan badan legislatif
yang menggunakan model sistem “bicameralisme”, yang mana model
system bicameralisme di tubuh MPR masih bersifat “soft bicameralism”
antara kekuasaan dan kewenangan DPR dan DPD. Padahal prinsip
pembagian antara DPR dan DPD yang ada di tubuh MPR berkeinginan untuk
meniru dengan sistem ketatanegaraan di Amerika Serikat atau Inggris.
Apabila konsepsi pembagian di MPR itu mau disepadankan dengan sistem

6
legislatif di kedua negara tersebut. Maka kedudukan DPR dan DPD
seharusnya memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sama, dalam artian
sistem bicameral yang dianut pada tubuh MPR itu bersifat “strong
bicameralisme” antara DPR dan DPD. Karena kedudukan DPD dan DPR
merupakan sebuah lembaga yang sama-sama sebagai lembaga perwakilan
yang diambil dari jumlah seluruh rakyat Indonesia dengan pembagian yang
berbeda. Kalau DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, sedangkan DPD
merupakan lembaga perwakilan dari daerah-daerah seluruh tanah air
Indonesia. Maka dengan demikian, antara DPR sebagai House of
Representative dan DPD sebagai Senat dalam prinsip badan legislative
Amerika Serikat keduanya memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sama
dalam segala hal kompetensi yang ada pada kekuasaan legislatif (legislative
of power). Namun demikian, kiranya perlu diungkapkan berdasarkan
ketentuan UU No. 22 Tahun 2003 dijelaskan dalam Pasal 40, bahwa “DPD
merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga
negara”. Hal ini menyangkut tentang perhitungan hasil perolehan suara
dalam Pemilihan Umum untuk anggota DPD sebagaimana sudah dijelaskan
tersebut di atas. Demikian pula kewenangan Komisi Yudisial (KY) dengan
MK kedudukan dari kedua adalah sederajat dengan tidak ada subordinasi
satu sama lainnya dalam menjalankan.7

D. Kesimpulan
Makhamah Konstitusi (MK) menjadi salah satu lembaga negara baru yang
oleh konstitusi diberikan kedudukan yang sama dengan lembaga lainnya.
Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan mengedepankan hubungan cek satu
sama lain. Selain itu, Makhamah Konstitusi (MK) diberi otoritas untuk menjadi
pengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan
menegakkan hukum dan keadilan. UUD 1945 adalah hukum dasar yang
melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, Makhamah
Konstitusi (MK)memiliki kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga
terselenggaranya konstitusionalitas hukum dengan baik. Wewenang MK
terdapat dalam PASAL 24C Ayat (1) UUD 1945 yang terdiri daru mengadili
tingakt pertama dan terakhir, memutus sengketa kewenangan lembaga negara,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilu. Putusan yang dimiliki oleh MK INI bersifat final dan berkekuatan
hukum mengikat.
Lembaga-lembaga negara yang kedudukannya diakomodasi oleh UUD
1945 pasca amandemen memiliki kedudukan yang sejajar dengan MK selain
DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan/atau Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten/ Kota, sekaligus juga tidak saling subordinasi satu sama lainnya.
Seperti misalnya, BPK merupakan lembaga tinggi negara yang mempunyai
tugas dan kewenangan dalam menyelamatkan keuangan negara termasuk di

7
Soimin.

7
dalamnya mengaudit keuangan lembaga tinggi negara termsuk MK. Disebutkan
dalam Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2003, dijelaskan bahwa MK bertanggung
jawab untuk mengatur keuangannya sehingga laporan keuangannya dapat
diperiksa oleh BPK yang dapat menilai MK. Demikian halnya dengan
hubungan dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.

8
DAFTAR PUSTAKA
Ali Safa’at, Hukum Acara Makhamah Konstitusi (Jakarta: Kepaniteraan dan
Sekretariat Jenderal, 2020)
Johansyah, ‘Putusan Makhamah Konstitusi Bersifat Final Dan Mengikat
(BINDING)’, ISSN Online, 2021
‘Kekuatan Mnegikat Dan Pelaksanaan Putusan MK’, Safaat.Lecture.Ub.Ac.Id,
2014 <http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/Kekuatan-Mengikat-dan-
Pelaksanaan-Putusan-MK.pdf>
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
Makhamah Konstitusi Republik Indonesia, ‘Sejarah Da Pembentukan,
Kedudukan, Serta Kewenangan Makhamah Konstitusi’, Mkri.Id, 2015
<https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11768>
Soimin, Makhamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
(Yogyakarta: UII Press, 2013)

Anda mungkin juga menyukai