Struktur lembaga perwakilan rakyat (legislatif) secara umum terdiri dari duamodel, yaitu lembaga
perwakilan rakyat satu kamar (unicameral) dan lembaga perwakilan rakyat dua kamar
(bicameral). Dalam ketatanegaraan Indonesia,lembaga legislatif di representasikan pada tiga
lembaga, yakni MPR, DPR, danDPD.
Dari ketiga lembaga legislatif tersebut posisi MPR merupakan lembaga yang bersifat khas
Indonesia. Menurut Asshiddiqie, keberadaan MPR terkandung nilai-nilai historis yang
cenderung dilihat secara tidak rasional dalam arti jika kedudukannya sebagai suatu lembaga
dihilangkan dapat dinilai menghilangkan satu pilar penting dalam sitem ketatanegaraan kita yang
justru dianggap perlu dilestarikan.
Salah satu keberatan pihak yang mempertahankan keberadaan MPR ini berargumentasi
bahwa, jika MPR ditiadakan atau hanya sekadar dianggapnama dari parlemen dua kamar
(bicameral), maka sila ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan’ menjadiberubah. Prinsip permusyawaratan tercermin dalam kelembagaan
MPR, sedangkan prinsip perwakilan dianggap tercermin dalam kelembagaan DPR.
Jadi, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi atau pemegang kedaulatan rakyat yang
lebih tinggi dari lembaga-lembaga lainnya. Tugas dari MPR yaitu mengubah dan menetapkan
UUD 1945. MPR juga bisa
memberhentikan presiden dan wakil presiden apabila tidak mampu menjalankan tugasnya
dengan baik.
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 terjadi pada 19 Oktober 1999,dalam sidang
umum MPR yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober 1999.Dalam perubahan ini, terjadi
pergerakan kekuasaan presiden dalammembentuk undang-undang, yang diatur dalam pasal
5, berubah menjadipresiden berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (pasal20).
Perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislagi nasionalyang semula berada
di tangan presiden, beralih ke tangan DPR. Rumusanpasal 20 (baru) berbunyi sebagai berikut:
Jadi, Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga yang merupakan perwakilan rakyat dan
memegang kekuasaan dalam membentuk undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat jiga meiliki
3 fungsi yaitu sebagai fungsilegislasi, anggaran dan pengawasan. Membentuk undang-undang
terlebih dahulu dibahas dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Lembaga Eksekutif
Pemerintahan memiliki dua pengertian: (1) pemerintahan dalam arti luas yaitu pemerintahan
yang meliputi keseluruhan lembaga kenegaraan (legislatif, eksekutifdan yudikatif); (2) pemerintahan
dalam arti sempit yaitu pemerintahan yang hanyaberkenaan dengan fungsi eksekutif saja.
Menurut perubahan ketiga UUD 1945 pasal 6A, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat. Adapun, sebelum amandemen UUD 1945, presiden
dan wakil presiden dipilih oleh MPR. Sebagai kepala negara, presiden adalah simbol resmi negara
Indonesia di dunia. Adapun wewenang, kewajiban dan hak presiden antara lain:
danAngkatan Udara.
Sistem campuran
Lembaga Yudikatif
Sesuai dengan prinsip pemindahan kekusaan, maka fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan
yudikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yangterpisah satu sama lain. Jika
kekuasaan legislatif berpuncak pada MPR yang terdiri dari dua kamar, yakni DPR dan DPD, maka
kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dipahami mempunyai
dua pintu, yakniMahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan
peradilan tata usaha negara.
Menurut pasal 24A Ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945, Mahkamah Agung memiliki
kewewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang. Disamping itu, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan dalam
hal pemberian grasi dan rehabilitasi oleh presiden, serta mengajukan tiga orang sebagai hakim
konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (Pasal 14 Ayat (1).
Selain kekuasaan yang diatur oleh UUD 1945, dalam undang-undang yang mengatur tentang
Mahkamah Agung ditentukan bahwa Mahkamah Agung mempunyai tugas dan wewenang
untuk:
Mengadakan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Memutus pada tingkat pertama dan terakhir terhadap semua sengketa yangtimbul karena
perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang republik Indonesia.
Komisi Yudisial
Berakhirnya tahun 2015 dan segara mulainya tahun 2016 adalah momentum tepat untuk
mengevaluasi perjalanan negara hukum Indonesia utamanya berkaitan dengan apakah kekuasan
mengatur (membentuk peraturan perundang-undangan) yang dimiliki oleh negara sebagai
sarana mewujudkan keteraturan, ketertiban, keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat telah
tercapai.
Pilihan para pengubah UUD 1945 saat merumuskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
Indonesia sebagai negara hukum bukanlah dalam arti hukum (utamanya peraturan perundang-
undangan) yang semata-mata dibentuk dari, oleh dan untuk penguasa negara melainkan negara
hukum yang dimaksud adalah hukum yang pembentukannya meskipun dari penguasa negara
namun ide dan peruntukannya adalah untuk kepentingan rakyat banyak. Ide negara hukum yang
mencerminkan kehendak rakyat ini diwujudkan dengan dirumuskannya ketentuan Pasal 1 ayat (3)
bersamaan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pada 9 November 2001 yang
menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.
Kombinasi Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 inilah yang kemudian melahirkan istilah
"negara hukum yang demokratis" dan "demokrasi yang berdasarkan nomokrasi (negara hukum)".
Dari cabang-cabang kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif pada dasarnya yang
diberikan kuasa mengatur melalui pembentukan peraturan perundang-undangan adalah cabang
kekuasaan legislatif dan eksekutif. Lembaga legislatif merupakan organ utama pembentuk produk
legislatif (meskipun dalam kasus Indonesia dibentuk dengan persetujuan bersama Presiden
sebagai kepala eksekutif), sementara lembaga eksekutif bertindak sebagai lembaga sekunder
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (utamanya peratuan di bawah undang-
undang). Dalam bahasa A Hamid S Attamimi (1990) kekuasaan mengatur oleh lembaga legislatif
tersebut dinamakan dengan pouvoir legislatif, sedangkan kekuasaan mengatur yang dimiliki oleh
lembaga eksekutif untuk menjalankan atau mengatur bekerjanya UU disebut dengan pouvoir
reglementaire.
Cabang kekuasaan legislatif yang memiliki tugas membentuk undang-undang selama ini ternyata
belum mampu melahirkan aturan hukum yang responsif, partisipatif dan populis.
Dari 39 RUU yang ada dalam Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, DPR hanya
mampu membentuk 3 UU yaitu UU Perubahan UU Pilkada, UU Perubahan UU Pemerintahan
Daerah, dan UU Penjaminan. Terdapat beberapa RUU yang berkaitan dengan kepentingan rakyat
banyak yang gagal diselesaikan di tahun 2015 yaitu RUU perubahan UU Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU Perubahan UU Minyak dan Gas, RUU tentang
Pertambangan, Mineral dan Batubara, RUU Perubahan UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja di Luar Negeri, dan RUU perubahan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dampak tidak terselesaikannya beberapa RUU yang berkategori populis tersebut akan
mempengaruhi pemenuhan hak ekonomi dan sosial rakyat sebagaimana dijamin UUD 1945. Hal
ini dikarenakan meskipun negara hukum bukanlah identik dengan negara UU semata, namun UU
merupakan sumber hukum utama dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia.
Menurut Vincent Crabbe (1994) Sebagai sumber hukum utama UU merupakan alat bagi
penguasa negara untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ekonomi,
budaya, politik dan kebijakan sosial. Selain UU juga memiliki fungsi sebagai sarana perubahan
yaitu UU diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi,
sosial maupun budaya.
Berkebalikan dengan lembaga legislatif, lembaga eksekutif di tahun 2015 boleh dikatakan lebih
baik dalam menjalankan kuasa mengatur meskipun tetap terdapat beberapa catatan. Salah satu
bentuk responsifnya pemerintah dalam menjalankan kuasa mengatur adalah ketika berhasil
mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
Beberapa ketentuan dalam PP 27/1983 yang dirasakan tidak adil dan tidak lagi sesuai
perkembangan kehidupan masyarakat telah diubah, di antaranya ganti rugi salah tangkap/korban
peradilan sesat yang sebelumnya ditetapkan Rp 5 ribu sampai dengan Rp 1 juta, dan sebelumnya
Rp 5 ribu-Rp 3 juta (Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat
luka/cacat/meninggal dunia) oleh PP 92/2015 diubah menjadi Rp 25 juta-Rp 100 juta, Rp 25 juta-
Rp 300 juta (Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat luka/cacat), dan Rp 50
juta-Rp 600 juta (Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat meninggal dunia).
Selain itu, perubahan PP 92/2015 juga memuat beberapa hal penting yaitu maksimal 14 hari uang
ganti rugi harus cair sejak pengadilan pengaju mengajukan ke Kementerian Keuangan, padahal
Sebelumnya tidak dibatasi waktu sehingga bertahun-tahun lamanya eksekusi bisa dilaksanakan.
Dilakukannya perubahan besaran ganti rugi dalam PP 27/1983 setelah hampir 32 tahun
diundangkan merupakan wujud perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia oleh negara sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, mengingat telah banyak korban salah
tangkap/peradilan sesat utamanya rakyat jelata yang tidak mendapat hak sebagaimana mestinya
dari negara. Dipenuhinya tuntutan masyarakat agar negara melalui Presiden besaran ganti
kerugian dan jangka waktu pembayaran dalam PP 27/1983 juga mencerminkan implementasi
prinsip negara hukum yang demokratis dengan ciri utamanya adanya pengakuan atas daulat
rakyat serta partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selain catatan positif, selama tahun 2015 pemerintah juga sempat melakukan 'blunder' dengan
mengundangkan peraturan presiden yang terkesan elitis dan tidak populis yaitu Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat
Negara Untuk Pembelian Kendaraan Perorangan (populer disebut Perpres DP Mobil Pejabat).
Walaupun akhirnya setelah mendapat kritikan tajam dari publik segera dianulir kembali Oleh
Presiden Joko Widodo, namun Perpres yang menaikkan fasilitas uang muka pejabat negara
sebesar 85 persen itu tak urung sempat menunjukkan carut marut prosedur pembentukan
peraturan perundang-undangan di Istana.
Pemerintah juga dianggap tidak responsif saat membiarkan ketidakpastian atas hak konstitusional
para calon tunggal dalam Pilkada yang muncul di beberapa daerah. Meskipun persoalan calon
tunggal telah memenuhi syarat kondisi kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam
Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan dipertegas oleh Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, namun
Presiden nyatanya memilih tidak segera menggunakan hak konstitusional untuk mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengakomodir calon tunggal
dalam Pilkada serentak 9 Desember 2015.
Populis diartikan sebagai para pemegang kuasa mengatur harus menghindari pembentukan
peraturan perundang yang ditujukan hanya untuk melindungi kepentingan lembaga tertentu atau
golongan tertentu yang bertentangan dengan nalar publik yang lebih luas. Pembentukan
peraturan perundang-undangan juga harus dihindarkan dari upaya memberangus hak publik
untuk memberikan kritik terhadap jalannya kekuasaan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif,
mengingat kontrol publik melalui kebebasan menyatakan pendapat secara bertanggung jawab
merupakan bagian dari ciri negara hukum demokratis dan secara jelas dijamin oleh konstitusi.
Sumber: http://news.detik.com/kolom/3107960/kuasa-mengatur-negara
Komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Mahkamah Konstitusi Berhak
memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut.
2352-9000
Jl. Medan Merdeka Barat No.6. Jakarta Pusat 10110 Fax: 021-3520177. Email: office@mkri.id
KIRIM SURAT
TANYA JAWAB
WHISTLEBLOWING
HUBUNGI MK
MEDIA SOSIAL
PENGUNJUNG
abcdefhiklmnopqrstuvwxyzFusionCharts XT Trial
Select LanguageAfrikaansAlbanianArabicArmenianAzerbaijaniBasqueBelarusianBulgarianCatalanChinese
(Simplified)Chinese
(Traditional)CroatianCzechDanishDutchEnglishEstonianFilipinoFinnishFrenchGalicianGeorgianGermanGreekHaitian
CreoleHebrewHindiHungarianIcelandicIndonesianIrishItalianJapaneseKoreanLatvianLithuanianMacedonianMalayMaltese
NorwegianPersianPolishPortugueseRomanianRussianSerbianSlovakSlovenianSpanishSwahiliSwedishThaiTurkishUkrainian
UrduVietnameseWelshYiddish
97.1kShares