PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum formal (procedural law)
memiliki fungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium untuk menegakkan
hukum materiil (handhaving van het materiele recht), yaitu hukum tata negara
materiil (materiele staatsrecht). Hukum tata negara materiil ini meliputi berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku secara formal dalam praktik
penyelenggaraan negara yang berpuncak pada konstitusi atau Undang-Undang
Dasar sebagai the supreme law of the land. Dalam rangka menegakkan hukum
materiil,
mengawal
dan menegakkan
supremasi
konstitusi,
demokrasi,
di Mahkamah
B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa pengertian mahkamah konstitusi dan hukum acara mahkamah konstitusi ?
2. Apa saja asas-asas hukum acara mahkamah konstitusi ?
3. Apa karakteristik dari hukum acara mahkamah konstitusi ?
4. Bagaimana prosedur beracara dalam hukum acara MK ?
5. Apa pengertian dari alat bukti, putusan, dan provisi ?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui pengertian mahkamah konstitusi dan hukum acara
mahkamah konstitusi.
2. Untuk mengetahui asas-asas hukum acara mahkamah konstitusi.
3. Untuk mengetahui karakteristik dari hukum acara mahkamah konstitusi.
4. Untuk mengetahui prosedur beracara dalam hukum acara MK.
5. Untuk mengetahui pengertian dari alat bukti, putusan, dan provisi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengantar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung (MA),
yang dibentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945. Indonesia merupakan
negara ke-78 yang membentuk MK. Pembentukan MK sendiri merupakan
fenomena negara modern abad ke-20. Ide pembentukan MK di Indonesia
muncul dan menguat di era reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap
UUD 1945. Namun demikian, dari sisi gagasan judicial review sebenarnya telah
ada sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK pada tahun 1945. Anggota
BPUPK, Prof. Muhammad Yamin, telah mengemukakan pendapat bahwa
Balai Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding UndangUndang.
Namun
Prof. Soepomo
menolak
pendapat
tersebut
karena
memandang bahwa UUD yang sedang disusun pada saat itu tidak menganut
paham trias politika dan kondisi saat itu belum banyak sarjana hukum dan
belum memiliki pengalaman judicial review.1 Pada masa berlakunya Konstitusi
RIS, judicial review pernah menjadi salah satu wewenang MA, tetapi terbatas
untuk menguji Undang-Undang Negara Bagian terhadap konstitusi. Hal itu
diatur dalam Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS. Sedangkan di
dalam UUDS 1950, tidak ada lembaga pengujian undang-undang karena undangundang dipandang sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dijalankan
oleh pemerintah bersama DPR. Di awal Orde Baru pernah dibentuk Panitia
Ad Hoc II MPRS (1966-1967) yang merekomendasikan diberikannya hak
menguji material UU kepada MA. Namun rekomendasi tersebut ditolak oleh
pemerintah. Pemerintah menyatakan bahwa hanya MPR lah yang dapat
bertindak sebagai pengawal konstitusi.2 Hal itu sudah pernah dilakukan oleh
1
oleh
MPR.
Hal
itu
diatur
dalam
Ketetapan
1945
MPR Nomor
Pasal
Permusyawaratan
ayat
(1)
Rakyat
ketetapan
berwenang
tersebut
menguji
menyatakan Majelis
undang-undang terhadap
dipilih langsung
oleh
mayoritas
rakyat. Di
sisi
lain,
perubahan
memerlukan
forum
Kelembagaan
sebagai kesatuan
pemerintahan.
Di
wilayah
geografis
dan
penyelenggaraan
memiliki sumber
validitas
yang
sama,
yaitu
UUD
1945. Dengan
segala
Konstitusi
pertama
ditetapkan
pada
15
Agustus
2003 dengan
kekuasaan
MA.
MK
adalah
lembaga peradilan
yang
dibentuk
untuk
di bawah
naungan konstitusi.
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh
MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun
fungsi tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi yang
dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang
pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena
itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah
konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai sekumpulan
norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain
prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta
perlindungan hak konstitusional warga negara. Di dalam Penjelasan Umum
UU MK disebutkan bahwa tugas dan fungsi MK adalah menangani perkara
ketatanegaraan
atau
bertanggung
jawab
sesuai
dengan
sebagai
koreksi terhadap
pengalaman
ketatanegaraan
yang
belakang
tersebut
bertentangan
dengan
konstitusi
MK
dapat
Berbeda dengan peradilan di MA yang bersifat inter partes artinya hanya mengikat
para pihak bersengketa dan lingkupnya merupakan peradilan umum. Pengujian
undang-undang di MK merupakan peradilan pada ranah hukum publik.Sifat
peradilam di MK adalah ergaomnes yang mempunyai kekuatan mengikat.Dengan
demikian putusan pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak
yang bersengketa.
e.
Dalam berperkara semua pihak baik pemohon atau termohon beserta penasihat
hukum yang ditunjuk berhak menyatakan pendapatnya di muka persidangan.
Setiap pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam hal mengajukan
pembuktian guna menguatkan dalil masing-masing.
f.
10
suatu
undang-undang.
Wewenang
memutus
sengketa
negara yang
dipersengketakan
konstitusionalitasnya.
Wewenang
11
Yurisprudensi;
12
Dasar
dalam praktik
2)
3)
13
Perkara yang termasuk contentious (ada pemohon dan termohon) adalah perkara
tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi berupa pembubaran partai politik, dan
sengketa Pemilihan Umum.
Menurut Pasal 51 ayat (1) UUMK pihak-pihak yang memenuhi syarat sebagai
pemohon adalah pihak yang hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
a)
b)
d)
Lembaga Negara.
14
dengan
permohonan.
Lembaga
Negara
yang
dimaksud
wajib
15
wajib hadir memenuhi panggilan MK. Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang
sah meskipun sudah dipanggil secara patut menutut hukum, MK dapat minta
bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi secara paksa (Pasal 38 ayat (4)
UUMK).
Keenam, Putusan MK. Mahkamah Konstitusi memberi putusan berdasarkan
kesesuaian alat-alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan harus didasarkan pada
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang bersesuaian. Putusan wajib memuat
fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi
dasar putusan.
Isi Putusan MK antara lain : (a) permohonan tidak dapat diterima, artinya
permohonan tidak memenuhi syarat formal sebagaimana yang diharuskan oleh
undang-undang (Pasal 56 ayat (1), 64 ayat (1), 77 ayat (1), 83 ayat (1) UUMK);
(b) permohonan ditolak, karena permohonan tidak beralasan atau tidak
berdasarkan hukum, misalnya karena undang-undang yang dimohonkan hak uji
tidak bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 56 ayat (3), atau Presiden tidak
terbukti korupsi (pasal 83 ayat (3) UUMK); (c) permohonan dikabulkan, karena
mempunyai alasan/dasar hukum yang kuat, misalnya undang-undang yang
diajukan hak uji bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 56 ayat (2, 3), atau
membatalkan hasil perhitungan suara oleh KPU, dan membenarkan perhitungan
suara oleh pemohon (Pasal 77 ayat (3) UUMK).
Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum (Pasal 47 UUMK) dan bersifat final (Pasal 10 ayat 1
UUMK), artinya putusan MK langsung mengikat para pihak yang bersengketa
sejak diucapkan, sehingga tidak ada upaya hukum lain (banding, kasasi,
peninjauan kembali).
Putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945 wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 57 ayat (3)
UUMK). MK wajib mengirim salinan putusan kepada para pihak dalam jangka
16
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan. (Pasal 49
UUMK).
cara
memperoleh atau mendapatkan alat bukti tersebut. Untuk alat bukti dari
pemohon, biasanya dilakukan dalam sidang pendahuluan. Alat bukti yang
diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 memiliki perbedaan dengan alat bukti
yang
lazim
dalam
proses
peradilan
lain. Menurut
Maruarar
Siahaan,
perbedaan tersebut antara lain, Pertama, tidak dikenal alat bukti pengakuan
para pihak dan pengetahuan hakim yang berlaku pada hukum acara PTUN,
atau
yang
dalam
hukum
17
pengakuan, dan sumpah, serta dalam hukum acara pidana disebut dengan
keterangan terdakwa. Pengakuan pihak yang
berperkara
dipandang
tidak
relevan dalam Hukum Acara Konstitusi karena hal itu tidak menghilangkan
kewajiban
hakim
konstitusi
diperiksa dan akan diputus terkait dengan kepentingan umum dan akan mengikat
semua warga negara, bukan hanya pihak yang berperkara. Namun demikian, ada
pula hal yang tidak termasuk dalam alat bukti namun dalam proses berpekara
ternyata memengaruhi pemeriksaan, yaitu pengetahuan hakim. Hal ini terjadi
terutama dalam perkara pengujian undang-undang di mana salah satu metode
yang dapat digunakan untuk mengetahui makna ketentuan dalam konstitusi
adalah dengan mencari maksud dari pembentuk Undang-Undang Dasar (original
intent). Di antara hakim periode pertama, terdapat beberapa hakim konstitusi yang
mengetahui bahkan terlibat dalam proses pembahasan suatu ketentuan dalam
UUD 1945 karena pada saat itu menjadi anggota PAH BP MPR yang
merumuskan Perubahan UUD 1945. Bahkan pengetahuan hakim konstitusi
dimaksud lebih dalam dan tidak terekam dengan baik dalam risalah rapat
Perubahan UUD 1945.
A. Surat atau Tulisan
Secara umum, alat bukti tertulis pada umumnya berupa tulisan yang
dimaksudkan sebagai bukti atas suatu transaksi yang dilakukan, atau surat dan
jenis tulisan yang dapat dijadikan dalam proses pembuktian, seperti surat
menyurat, kuitansi, dan catatan-catatan. Selain itu juga dikenal adanya akta
sebagai tulisan yang sengaja dibuat untuk membuktikan suatu peristiwa dan
ditandatangani. Dikenal dua jenis akta, yaitu akta di bawah tangan dan akta
otentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang ditandatangani di bawah
tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang
dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum. 4 Akta otentik adalah akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, oleh atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang untuk itu, ditempat akta itu dibuat. 5 Dalam
4
5
18
Hukum Acara MK tentu semua kategori bukti tertulis yang berlaku dalam
hukum perdata, pidana, maupun tata usaha negara juga berlaku, bahkan
lebih luas sesuai dengan jenis perkara yang ditangani. Untuk perkara
perselisihan hasil Pemilu misalnya, keberadaan akta otentik berupa berita acara
penghitungan suara atau rekapitulasi hasil penghitungan suara sangat diperlukan
dalam proses pemeriksaan persidangan. Sebaliknya, dalam perkara pengujian
undang-undang yang penting bukan apakah suatu dokumen undang-undang yang
diajukan sebagai alat bukti merupakan dokumen otentik atau bukan, melainkan
apakah dokumen tersebut adalah salinan dari undang-undang yang otentik, yaitu
undang-undang sebagaimana dimuat dalam lembaran negara dan tambahan
lembaran negara sehingga norma yang diatur di dalamnya memang berlaku
sebagai norma hukum yang mengikat.
B. Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
mengetahui, melihat, merasakan, atau bahkan mengalami sendiri suatu
peristiwa yang terkait dengan perkara yang diperiksa oleh majelis hakim.
Oleh karena itu keterangan saksi diperlukan untuk mengetahui kebenaran tentang
suatu fakta. Dalam persidangan perkara konstitusi, keterangan saksi diperlukan
dalam proporsi
yang
berbeda-beda
sesuai
dengan
jenis
perkara
yang
19
dengan alat bukti lain. Dalam hal ini juga berlaku prinsip satu saksi bukan saksi
(unus testis nullus testis). Walaupun demikian, keterangan seorang saksi tentu
dapat digunakan untuk mendukung suatu peristiwa jika sesuai dengan alat bukti
yang lain.
C. Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah pendapat yang disampaikan seseorang di bawah sumpah
dalam pemeriksaan persidangan mengenai suatu hal terkait dengan perkara yang
diperiksa sesuai dengan keahlian berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki. Dengan demikian keterangan yang disampaikan oleh ahli berbeda secara
prinsipil dengan keterangan yang disampaikan oleh saksi. Keterangan ahli buka
berupa keterangan tentang apa yang dilihat, dirasakan, atau dialami tentang
suatu peristiwa, tetapi pendapat dan analisis sesuai
dengan
keahliannya.
Keterangan ahli dapat disampaikan secara lisan dan/atau tertulis yang akan
menjadi bahan masukan pertimbangan bagi hakim konstitusi dalam memutus
perkara. Dalam pengajuan ahli untuk suatu perkara, pemohon juga harus
menyertakan keterangan keahlian yang dimiliki oleh ahli yang akan diajukan
serta pokok keterangan yang akan disampaikan. Keterangan ahli sangat
diperlukan terutama dalam perkara pengujian undang-undang yang lebih
mengedepankan argumentasi dalam memutus perkara. Selain itu, luasnya
cakupan substansi undang-undang yang diuji juga mengharuskan hakim
konstitusi memperoleh keterangan ahli yang cukup untuk memutus suatu
perkara pengujian undang-undang. Di samping ahli yang diajukan oleh pemohon
pihak terkait pembentuk undang-undang dan pihak terkait lain juga dapat
mengajukan ahli dan saksi agar keterangan yang
disampaikan
dalam
20
sedang
diuji.
Pada
persidangan
Perkara
Nomor
21
terkait
Komnas
HAM
yang
mengemukakan
data
dan
fakta
tentang
yang
mendefinisikan
petunjuk
sebagai
Informasi ini dapat berupa surat atau bentuk tulisan lain, data komunikasi,
angkaangka, suara, gambar, video, atau jenis informasi dan data lain.
Perangkat elektronik yang digunakan dapat berupa laman (website) atau media
perekam lain dalam berbagai bentuk (cakram padat, hard disk, flash disk,
card, dan lain-lain).
22
pelaksanaan
kewenangan yang
dipersengketakan
sampai ada putusan MK. Pada perkembangannya, putusan sela juga dikenal
dalam perkara pengujian UU dan perselisihan hasil Pemilu. Putusan sela dalam
perkara pengujian UU pertama kali dijatuhkan dalam proses pengujian UU Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
KPK), perkara Nomor 133/PUU-VII/2009. Dalam proses persidangan perkara
tersebut atas permohonan dari pemohon, MK memberikan putusan sela yang
pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 30 UU KPK mengenai
pemberhentian
pimpinan
KPK
yang
menjadi
terdakwa
tidak dapat
23
Sela dalam PMK Nomor 16 Tahun 2009 dan PMK Nomor 17 Tahun 2009
diartikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir
berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkaitan
dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir. Salah satu contoh putusan sela pada perkara perselisihan hasil
Pemilu adalah dalam Perkara Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 yaitu Putusan Sela
Nomor 47-81/PHPU.AVII/2009, tanggal 9 Juni 2009. Di dalam putusan sela
tersebut MK memerintahkan kepada Termohon (Komisi Pemilihan Umum),
Turut Termohon I (Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua)
Termohon
II
(Komisi
Pemilihan
Umum
dan
Turut
Kabupaten Yahukimo)
untuk
Distrik
Kayo,
Distrik
24
dimiliki
pengajuannya
oleh
dapat
MK
pada
dilakukan
prinsipnya
oleh
bersifat
individu
publik walaupun
tertentu
yang
hak
bahwa
perkara
ini
menyangkut
kepentingan
umum yang
akibat
hukumnya mengikat semua orang (erga omnes). Larangan ultra petita berlaku
dalam lapangan hukum perdata karena inisiatif untuk mempertahankan atau
tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu tertentu terletak
pada kehendak atau pertimbangan individu itu sendiri dan akibat hukumnya
hanya mengikat pada individu tersebut, tidak kepada individu yang lain.
Bahkan, perkembangan dan kebutuhan pemenuhan tuntutan keadilan telah
menyebabkan larangan tersebut tidak lagi diberlakukan secara mutlak. Dalam
pertimbangan hukum putusan tentang UU KKR, MK menyebutkan adanya
putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa Pasal 178 ayat (2) dan ayat
(3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg tentang larangan ultra
petita tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban hakim bersikap
aktif dan harus berusaha memberikan putusan yang benarbenar menyelesaikan
perkara. Selain itu, dalam setiap gugatan, dakwaan, ataupun permohonan
biasanya selalu dicantumkan permohonan kepada hakim untuk menjatuhkan
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) sehingga hakim memiliki
keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum. MK telah beberapa
kali menjatuhkan putusan yang membatalkan suatu undang-undang secara
25
UU,
pembatalan
menentukan
operasionalisasi
lain
yang
bersumber
pihak
yang
memiliki
hak
atas
26
constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan atau
menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir
adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk
melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum tergugat
membayar sejumlah uang ganti rugi. Secara umum putusan MK bersifat
declaratoir dan constitutief. Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi
hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan
keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian UU, putusan yang mengabulkan
bersifat declaratoirkarena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu
norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat yang
bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma
yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru. Demikian pula
dalam putusan perselisihan hasil Pemilu, putusan MK menyatakan hukum dari
penetapan KPU tentang hasil Pemilu apakah benar atau tidak. Apabila
permohonan dikabulkan, MK membatalkan penetapan KPU itu yang berarti
meniadaan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Menurut
Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki sifat condemnatoir
adalah dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, yaitu
memberi hukuman kepada pihak termohon untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) UU MK menyatakan bahwa dalam hal
permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara, MK menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak
mempunyai
kewenangan
untuk melaksanakan
kewenangan
yang
dipersengketakan.
4. Pengambilan Putusan
Putusan
diambil
pengambilan
dalam
putusan,
rapat
setiap
permusyawaratan
hakim
konstitusi
hakim.
wajib
Dalam
proses
menyampaikan
27
Tahun
2003
ditentukan
bahwa
dalam
sidang
permusyawaratan
karena alasan
sakit. Dalam
kondisi
luar
biasa
tersebut,
28
a.
kepala
putusan
berbunyi:
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
29
amar
opinion,
sebagai
4.Dalam
praktik
putusan
MK,
penempatan
dissenting
dipandang
akan
30
dissenting baru membaca amar putusan yang tentu saja bertolak belakang.
Terlebih lagi apabila dissenting tersebut cukup banyak sebanding dengan
pertimbangan hukum hakim mayoritas. Oleh karena itu penempatan dissenting
tersebut kembali diubah, yaitu setelah amar putusan tetapi sebelum bagian
penutup dan tanda tangan hakim konstituti serta panitera pengganti. Saat ini,
dissenting ditempatkan setelah penutup dan tanda tangan hakim konstitusi namun
sebelum nama dan tanda tangan panitera pengganti.
7. Kekuatan Hukum Putusan
Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum. Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat
putusan MK yang ditentukan oleh UUD 1945 sebagai final. Dengan
demikian MK merupakan peradilan pertama dan terakhir yang terhadap
putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum. Setelah putusan dibacakan, MK
wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka
paling lambat 7 hari kerja sejak putusan diucapkan.
BAB III
31
waktu
PENUTUP
KESIMPULAN
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga Negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dan pasal 24 C UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi sebagai bagian atau pelaku kekuasaan kehakiman yang
menjalankan fungsi peradilan, oleh karena itu mempunyai tatacara dan prosedur
beracara yang pelaksanaannya diatur dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi merupakan hukum formal yang mempunyai
kedudukan dan peranan penting dalam upaya menegakkan hukum material di
peradilan Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya Hukum Acara Mahkamah
Konsitusi, maka Mahkamah Konsitusi mempunyai fungsi untuk menegakkan,
mempertahankan dan menjamin ditaatinya konstitusi oleh lembaga-lembaga
Negara maupun oleh warga masyarakat melalui peradilan konstitusi.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah keseluruhan peraturan atau norma
hukum yang mengatur tata cara orang atau badan pribadi/publik bertindak
melaksanakan dan mempertahankan hak-haknya di Mahkamah Konstitusi; atau
dengan kata lain Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang
mengatur tata cara bersengketa di Mahkamah Konstitusi
DAFTAR PUSTAKA
32
33