Anda di halaman 1dari 6

TUGAS TUTON

UNIVERSITAS TERBUKA

Fakultas: FHISIP

Program Studi: Ilmu Hukum

Nama MK: TEORI PERUNDANG-UNDANGAN

Tugas : 1

Nama : Novrianda Setiawan

NIM : 043425602

1. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia secara konstitusional diamanatkan dalam


Bab IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di
dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah
Konstitusi merupakan wujud dari Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Namun, kemungkinanan ada tafsir yang keliru oleh Komisi Yustisial (KY)
terhadap ketentuan Pasal Pasal 24 b UUD 1945 dalam kerangkan menjaga dan
menegakan kehormatanya keluhuran martabat dan wibawa hakim.
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka mengandung makna, bahwa dalam
melaksanakan tugas dan fungsi yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman
tersebut baik yang bersifat fungsional maupun institusional tidak boleh
diintervensi atau dipengaruhi oleh kekuasaan manapun. Hal tersebut juga
ditegaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan
pelaksanaan ketentuan yang terdapat dalam Bab IX Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman, antara
lain dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan beberapa peraturan
perundang-undangan lainnya yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
ketentuan-ketentuan tersebut.
Salah tafsir inilah kemudian KY ingin memperluar kewenangannya hingga
sampai pada ingin ikut sebagai bagian dalam melakukan seleksi terhadap calon
hakim, padahal tugas KY hanya sebatas melakukan seleksi hakim agung dan
kemudian mengusulkan pengangkatan hakim agung. KY seharusnya fokus dan
konsisten pada tugas dan fungsi utamanya terhadap penegakan kode etik dan
perilaku hakim demi untuk menjaga martabat dan kehormatan hakim, karena
sesungguhnya KY adalah lembnaga yang bertugas mengawasi kode etik dan
perilaku hakim. KY tidak sama sekali memiliki kewenangan pengawasan
terhadap teknis judicial.
2. Di dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, setidaknya ada 2 (dua) periode perubahan konstitusi,
yaitu: pertama, perubahan konstitusi pasca kemerdekaan, di sepanjang periode Orde Lama dan
sebelum masa Orde baru. Konstitusi dimaksud adalah UUD Republik Indonesia Tahun 1945
yang kemudian diganti dengan UUD Republik Indonesia Serikat dan selanjutnya diubah dengan
UUD Sementara Repbublik Indonesia, dan pada akhirnya kembali lagi ke UUD Republik
Indonesia Tahun 1945; kedua, perubahan konstitusi di akhir periode Orde Baru dan/atau di awal
periode Orde Reformasi. Ada sekitar 4 (empat) kali amandemen, yaitu pada tahun 1999 hingga
tahun 2002. Konstitusi hasil amandemen dimaksud yang hingga kini menjadi dasar negara yang
biasa disebut sebagai UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada era reformasi juga telah dilakukan berbagai perubahan dan pembentukan peraturan
perundang-undangan dibidang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan
undang-undang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-
pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasca reformasi dan seperti tersebut di dalam amandemen konstitusi dalam UUD Tahun
1945, kini ada beberapa organ negara lainnya seperti: suatu lembaga bank sentral, suatu komisi
pemilihan umum, alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban dan alat negara yang
bertugas mempertahankan, melindungi, memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

Ada pendapat lainnya yang menyatakan, rumusan UUD Tahun 1945 dapat dikualifikasi
menganut ajaran Trias Politika karena organ negara terpenting hanyalah lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Organ negara lainnya tidak disebut sebagai organ negara utama
sehingga UUD 1945 dikualifikasi sebagai menganut ajaran Trias Politika.

Pasca amandemen UUD Tahun 1945, lembaga legislatif tidak hanya meliputi: Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saja tetapi Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga Yudikatif tidak hanya menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi serta
adanya lembaga yang disebut sebagai Komisi Yudisial.

Kendati tidak menjadi salah satu perdebatan utama tetapi acapkali diajukan pertanyaan,
apakah sistem kekuasaan di Indonsia menganut sistem kekuasaan yang didasarkan pada
“pembagian” kekuasaan, ataukah “pemisahan “ kekuasaan. Secara umum, ahli tata negara di
Indonesia menganut pendapat yang menyatakan bahwa sistem kekuasaan di Indonesia seperti
dirumuskan di dalam konstitusi adalah “pembagian” kekuasaan.
Jika pendapat di atas dikaitkan dan diletakkan dengan dan dalam konteks kekuasaan
kehakiman maka akan timbul pertanyaan, apakah kekuasaan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi adalah kekuasaan yang didasarkan atas pembagian kekuasaan ataukah kekuasaan yang
terpisah dari kekuasaan lainnya.

Pada UUD Tahun 1945 sebelum amandemen dikemukakan “kekuasaan kehakiman


dilakukan sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”.
Lebih lanjut dikemukakan “susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang.

Ketentuan pasal di atas hanya menjelaskan, siapa yang menjelaskan kekuasaan kehakiman
dengan tetap membuka peluang adanya lembaga lain yang juga dapat menjalankan kekuasaan
kehakiman. Selain itu, rumusan pasal di atas tidak secara tegas mengatur dan menjelaskan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan lainnya karena susunan
dan kedudukannya diserahkan pengaturannya dengan undang-undang.

Pada situasi sedemikian, eksekutif dan legislatif mempunyai potensi dan memiliki
keleluasaan untuk manafsirkan dan merumuskan kekuasaan kehakiman menurut interpretasinya
sendiri dan/atau kekuasaan kehakiman yang berpihak pada kepentingannya sendiri.

Ada perbedaan yang cukup tegas jika membandingkan rumusan pasal kekuasaan kehakiman
menurut UUD Tahun 1945 dengan konstitusi pasca amandemen. Rumusan pasal yang
dikemukakan di dalam UUD tahun 1945 pasca amandemen menyatakan secara tegas “kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”.

Pasal dimaksud menjelaskan sifat dan tujuan dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
yaitu: kekuasaan yang merdeka guna menegakkan hukum serta keadilan. Frasa kata “kekuasaan
yang merdeka” dalam pasal tersebut memperlihatkan dan sekaligus menegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan yang terpisah dari cabang kekuasaan lainnya.

Pasal 24 ayat (2) juga telah mengemukakan, siapa penyelenggara kekuasaan kehakiman
karena pasal dimaksud menyatakan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Penyebutan yang tegas tentang siapa penyelenggara kekuasaan kehakiman membuat


kejelasan, siapakah lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Kendatipun demikian,
konstitusi juga menyatakan “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang”.

Frasa seperti dikemukakan di atas akan menarik jika dikaitkan dengan lembaga Komisi
Yudisial yang dikemukakan secara eksplisit didalam Pasal 24B UUD 1945. Tugas wewenang
komisi mempunyai hubungan dan berkaitan erat dengan lembaga yang menjalankan kekuasaan
kehakiman, yaitu: Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya serta
Mahkamah Konstitusi. Tugas dan wewenang dimaksud adalah: kesatu, mengusulkan
pengangkatan hakim agung; dan kedua, menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.

Pertanyaan yang perlu diajukan untuk mendapatkan kajian, apakah Komisi Yudisial dapat
dikualifikasi sebagai salah satu badan dari kekuasaan kehakiman? Ketentuan yang mengatur
perihal Komisi Yudisial berada di dalam Bab IX, Kekuasaan Kehakiman UUD Tahun 1945;
ataukah, Komisi Yudisial adalah sebuah badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman sesuai dengan rumusan wewenangnya seperti telah dikemukakan di atas.

Jika diasumsikan bahwa Komisi Yudisial sebuah badan yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman dengan wewenang tertentu, pertanyaan lainnya yang perlu diajukan, apakah
konstitusi memberikan legitimasi pada undang-undang untuk merumuskan tata cara dan
mekanisme kerja pelaksanaan wewenang tersebut di dalam suatu undang-undang?

Pada Pasal 24B ayat (4) UUD Tahun 1945 dikemukakan “susunan, kedudukan dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Jika berpijak secara rigid dari apa
yang dikemukakan di dalam konstitusi maka pasal dimaksud menjelaskan bahwa yang perlu
dirumuskan di dalam sebuah undang-undang berkaitan dengan Komisi Yudisial adalah mengenai
susunan, kedudukan, dan keanggotaan komisi tetapi tidak dikemukakan agar diatur hal yang
berkaitan dengan tata cara dan mekanisme kerja serta pelaksanaan wewenang komisi atau
mengenai hal lainnya di dalam suatu undang-undang.
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat dikemukakan beberapa hal, yaitu sebagai berikut:

1. Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan konstitusi dan di setiap perubahan
konstitusi dimaksud terjadi perubahan rumusan pasal yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari fakta perubahan pasal dan bagian
kekuasaan kehakiman antara yang dirumuskan di dalam UUD Tahun 1945 sebelum
amandemen dan pasca amandemen;
2. Perubahan rumusan pasal seperti tersebut di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen,
seperti dirumuskan dalam Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C memperlihatkan
adanya perbaikan rumusan pasal yang mempunyai tujuan untuk menjadikan kekuasaan
kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dengan tujuan menegakkan hukum dan
keadilan;
3. Perbaikan lain yang dirumuskan dalam UUD Tahun 1945 meliputi: kesatu, menjelaskan
siapa saja yang melakukan kekuasaan kehakiman; kedua, apa saja wewenang dari
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial; ketiga, adanya perntah
untuk merumuskan susunan, kedudukan dan keanggotaan diatur di dalam undang-
undang; keempat, hukum acara dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga
diminta untuk diatur di dalam suatu undang-undang;
sumber :
BMP HKUM4404
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=598:reformasi-konstitusi-perspektif-kekuasaan-
kehakiman&catid=100&Itemid=180&lang=en
https://bldk.mahkamahagung.go.id/id/pusdiklat-teknis-id/dok-keg-teknis-id/1457-
rekonstruksi-kedudukan-dan-kewenangan-komisi-yudisial-dalam-melakukan-
pengawasan-terhadap-mahkamah-agung-dan-badan-peradilan-di-bawahnya.html

Anda mungkin juga menyukai