Anda di halaman 1dari 4

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI YUDUSIAL

REPUBLIK INDONESIA

Pada era reformasi telah dilakukan perubahan terhadap konstitusi negara, perubahan
dilakukan pada UUD 1945 dikarenakan sejak adanya dekrit presiden untuk kembali kepada
UUD 1945 pada tanggal Pada 5 Juli 1959 sampai dengan era orde Baru belum pernah
dilakukan perubahan. UUD 1945 Seolah olah menjadi undang undang dasar yang sakral ,
Sehingga sangat sulit untuk mengubahnya. UUD 1945 Sebelum diamandemen memberikan
kekuasaan eksekutif yang sangat kuat sehingga penguasa pada waktu itu alergi untuk
mengubahnya bahkan kalau ada pihak pihak yang memper masalahkan atau berkeinginan
untuk mengubahnya hal itu dianggap tindakan subversif.
UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan yang mencakup substansi yang
sangat luas dan mendasar. jumlah ketentuan yang ada dalam UUD 1945 proklamasi tercatat
ada 71 butir ketentuan yang di rumuskan dalam 37 pasal. Perubahan pertama sampai dengan
perubahan keempat undang undang dasar 1945 sudah mencakup semua hal yang menjadi
pokok materi semua undang undang dasar negara modern dimanapun.
Salah satu fungsi kekuasaan yang dilakukan pada Era reformasi adalah kekuasaan
kehakiman seperti diketahui bahwa negara kesatuan republik Indonesia adalah negara hukum
yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka Untuk menjalankan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan undang undang dasar republik Indonesia tahun
1945. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi
Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang
bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apaun, sehingga dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman
kecuali terhadap hukum dan keadilan. Upaya tersebut dilakukan dengan cara:
a) Mengadakan penataan ulang Lembaga yudikatif
b) Peningkatan kualitas hakim, dan
c) Penataan ulang perundang-undangan yang berlaku
Pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman dalan UUD 1945 terdapat
dalam pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C. Implikasi dari ketentuan tersebut maka
hasil amandemen UUD 1945 membagi kekuasaan Lembaga yudikatif dalam dalam 3 kamar
(tricameral) yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi
Yudisial (KY).
Komisi Yudisial (KY) merupakan Lembaga negara yang dibentuk setelah adanya
amandemen ke 3 terhadap UUD 1945. Ide Pembentukan Lembaga semacam Komisi Yudisial
ini sudah lama diwacanakan. Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis
Pertimbangan Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam
mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan
pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan Tindakan/hukuman jabatan para
hakim. Namun demikian ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang
tentang kekuasaan kehakiman. Gagasan tersebut muncul kembali pada akhir tahun 1998 dan
menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan agat pengorganisasian
para Hukum dan HAM.
Seiring tuntutan reformasi peradilan, pada sidang tahunan MPR tahun 2001 yang
membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, disepakati beberapa perubahan
dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya
Komisi Yudusial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim. Perubahan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan merupakan
salah satu Langkah yang perlu ditempuh untuk membangun kembali peradilan Indonesia
dengan tujuan melahirkan peradilan yang independent, tidak memihak, bersih, kompeten dan
efisien.
Langkah dan upaya penting yang lain dalam mensinergikan reformasi peradilan di
Indonesia adalah dengan pembentukan sebuah Lembaga yang bernama Komisi Yudisial
melalui Perubaahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 24B) dan Pengesahan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial jo. Undang-Undang No.18
Tahun 2011 tentang perubahan Atas Undang-Undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Pembentukan Komisi Yudisial merupakan konsekuensi logis yang muncul dari
penyatuan atap Lembaga peradilan pada MA. Ternyata penyatuan atap berpotensi
menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA.
Di Indonesia kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh UUD 1945 sebagai
Lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabar dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati
karena integritas dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh-sungguh ditegakkan
sebagaimana mestinya. Tegaknya rule of law itu justry meruapakan prasyarat bagi tumbuh
dan sehatnya demokrasi yang hendak dibangun sesuai dengan system konstitusi UUD 1945.
Kedudukan Komisi Yudisial ini sangat penting. Secara structural kedudukannya
diposisikan sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tetapi secara
fungsional , perannya bersifat penunjang terhadap Lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi
Yudisial, meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi bukan merupakan
pelaku kekuasaan kehakiman.
Meskipun kedudukannya secara struktural sederajat dengan Mahkamah Agung dan
juga Mahkamah Konstitusi, namun Komisi Yudisial memiliki sifat yang fungsinya khusus
dan penunjang, kedudukan protokolernya tidak perlu diperlakukan sa,a dengan Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi serta DPR,MPR, DPD, dan BPK.
Komisi Yudisial bukanlah Lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan negara
secara langsung. Komisi Yudisial bukan lemabaga yudikatif, eksekutif, apalagi legislatif.
Komisi Yudikatif ini berfungsi menunjang tegaknya kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku hakim sebagai pejabat penegak hukum dan lembaga yang menjalankan fungsi
kekuasaan kehakiman.
Komisi Yudisial terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua yang merangkap
anggota dan lima orang anggota. Keanggotaan terdiri atas unsur mantan hakim, praktisi
hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan DPR, untuk masa jabatran 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih
Kembali untuk satu kali masa jabatan.
Dalam menjalankan tugas dan Kewenangannya, Komisi Yudisial juga bekerja
berdampingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bukan dengan
pemerintah ataupun lembaga Perwakilan Rakyat. Dalam bekerja, Komisi Yudisial harus lebih
dekat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bukan dengan pemerintah
maupu parlemen. Lebih tepatnya, Komisi Yudisial harus mengambil jarang sehingga tidak
menjadi alat politik, baik yang menduduki jabatan eksekutif maupun legislative, pemeintah
ataupun lembaga perwakilan rakyat untuk mengontrol dan mengintervensi independensi
kekuasaan kehakiman.
Menurut ketentuan Bab III Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, Komisi
Yudisial mempunyai wewenang (a) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR,
dan; (b) menegakkan kehormatan dan keluhuran merabat serta menjaga perilaku hakim.
Selanjutnya ditentukan oleh pasal 14 UU No.22 Tahun 2004 dalam melaksanakan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas: (1)
Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung, (2) Melakukan seleksi terhadap calon Hakim
Agung, (3) Menetapkan calon Hakim Agung, dan; (4) Mengajukan calon Hakim Agung ke
DPR.
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara pengawas terhadap perilaku hakim juga
harus mempertanggungjawabkan hasil kerjanya. Hal ini merupakan bentuk dari transparansi
dan akuntabilitas dari lembaga-lembaga negara kepada public. Adapun pertanggungjawaban
Komisi Yudisial kepada public dilaksanakan dengan cara mengikuti Pasal 38 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang No.22 Tahun 2004.
Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada public melalui Dewan Perwakilan Rakyat.
Pertanggungjawaban kepada publik dilaksanakan secara menerbitkan laporan tahunan dan
membuka akses informasi secara lengkap dam akurat, laporan tersebut setidaknya memuat
laporan penggunaan anggaran, data yang berkaitan dengan tugas mengusulkan pengangkatan
hakim melalui DPR, dan Data yang berkaitan dengan menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim. Laporan tersebut disampaikan kepada Presiden.
Komisi Yudisial mempunyai kode etik dan pedoman tingkah laku anggota Komisi
Yudisial. Hal mengenai ini dituangkan dalam peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia
No.5 Tahun 2005 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku anggota Komisi Yudisial.
Dimana disebutkan bahwa kode etik dan pedoman tingkah laku anggota Komisi Yudisial
adalah norma-norma yang bersumber daru nilai agama, moral dan nilai yang terkandung
dalam sumpah jabatan anggota Komisi Yudisial yang harus dilaksanakan oleh Anggota
Komisi Yudisial dalam menjalani kehidupan pribadinya serta dalam menjalankan tugas
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia No. 5
Tahun 2005 ada 4 hal pokok yang diatur yaitu kepribadian, tanggung jawab, konflik
kepentingan dan imbalan atau hadiah.
Seperti halnya di Mahkamah Agung dengan Majelis Kehormatan Hakimnya,
Mahkamah Konstitusi dengan Majelis Kehormatan Konstitusi, maka di Komisi Yudisial pun
ada Dewan Kehormatan Dewan Komisi Yudisial. Dewan Kehormatan Komisi Yudisial
adalah perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menegakkan kode eitk dan
pedoman tingkah laku Anggota Komisi Yudisial.
Dewan Kehormatan Komisi Yudisial yang dibentuk oleh Komisi Yudisial bersifat ad
hoc atau besifat sementara, terdiri atas 3 (tiga) orang anggota Komisi Yudisial yang dipilih
dari dan oleh anggota Komisi Yudisial ditambah seseorang tokoh masyarakat dan seorang
Guru Besar Ilmu Hukum. Anggota Komisi Yudisial yang diduga melakukan pelanggaran
kode etik dan pedoman tingkah laku Anggota Komisi Yudisial tidak berhak memilih Anggota
Dewan Kehormatan Komisi Yudisial, Adapun peraturan tentang Dewan Kehormatan Komisi
Yudisal diatur dalam Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia No.6 Tahun 2005.
ANALISA
MENGENAI KEDUDUKAN DAN WEWENANG KOMISI YUDISIAL
Komisi Yudisial dalam menjalankan tugasnya memiliki kedudukan dibidang yudikatif
yang setara dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Komisi Yudisial bersifat
independent sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial.
Komisi Yudisial bersifat mandiri dan dalam pelaksaaan dan wewenangnya bebas dari
campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya seperti campur tangan lembaga Eksekutif
dan Legislatif walaupun secara pengangkatan Anggota Komisi Yudisial berasal dari kedua
lembaga tersebut yaitu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat tetapi dalam melaksanakan tugasnya Komisi Yudisial tidak berdampingan
dengan Lembaga Eksekutif maupun Legislatif supaya Komisi Yudisial ini tetap menjadi
lembaga yang independent tidak dipengaruhi oleh unsur politik para politisi dan tidak di
kontrol dan diintervensi independensinya sebagai kekuasaan kehakiman.
Komisi Yudisial meskipun tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, tetapi
Komisi Yudisial memiliki kewenangan yaitu mengutus hakim agung dan menyeleksi hakim
yang sesuai dan memiliki integritas, wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta mengawasi perilaku hakim.
Terhadap pelaksanaan pengawasan Komisi Yudisial dapat menerima laporan
masyarakat mengenai perilaku hakim, meminta laporan secara berkala kepada badan
peradilan terkait perilaku hakim, melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran atas
perilaku hakim, memanggil dan meminta keterangan kepada hakim yang diduga melanggar
kode etik dan pedoman perilaku hakim, dan membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa
rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi ,
serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Apabila Komisi Yudisial menemukan penyimpangan atas perilaku hakim terbukti
melanggar kode etik/pedoman perilaku hakim maka dari perundang-undangan Komisi
Yudisial dapat menjatuhkan sanksi sesuai penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga
melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung. Pasal 22D Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 yang
dimana sanksi tersebut memiliki 3 macam sanksi, yaitu sanksi ringan, sanksi sedang, dan
sanksi berat.
Sanksi ringan pada pasal tersebut hanya sekedar peringatan kepada hakim yang
melanggar berupa teguran secara lisan, teguran secara tulisan, dan pernyataan tidak puas
secara tertulis. Sanksi sedang pada pasal tersebut menyatakan sanksi sedang terdiri atas
penundaan kenaikan gaji paling lama 1 (satu) tahun, penurunan gaji berupa sebesar 1 (satu)
kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun, penundaan kenaikan pangkat paling
lama 1 (satu) tahun, atau hakim non palu paling lama 6 (enam) bulan. Sanksi berat pada pasal
ini menyatakan pembebasan dari jabatan structural, hakim non palu lebih dari 6 bulan sampai
dengan 2 tahun, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap dengan hak pensiun, dan
pemberhentian secara tidak hormat
Dalam hal ini sangat jelas sekali kedudukan dan kewenangan Komisi Yudisial dalam
mengawasai dan menindak para hakim yang melanggar kententuan kode etik dan pedoman
perilaku hakim agar terciptanya lingkungan peradilan yang baik dan aman.

Anda mungkin juga menyukai