Latar belakang pmebentukan komisi yudisial di berbagai negara tersebut sebagai akibat dari salah
satu atau lebih dari lima hal berikut :
a. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya
dilakukan secara internal saja
b. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –
dalam hal ini departemen kehakiman- dan kekuasaan kehakiman (judicial power);
c. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam
menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum;
d. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, yang ketat dari sebuah lembaga khusus
e. Pola rekrutmen hakim selama ini terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang
mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik yaitu presiden dan parlemen
Di Indonesia, Lembaga Komisi Yudisial merupakan produk reformasi
yang dibentuk pada perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001
Karena tugas pertama dikaitkan dengan ‘hakim agung’ dan tugas kedua
dengn ’hakim’ saja, maka secara harfiah jelas sekali artinya, yaitu Komisi
Yudisial bertugas menjaga (preventif) dan menegakkan (korektif dan
represif) kehormatan, keluhuran martabat perilaku semua hakim di
Indonesia.
Namun teks Pasal 24B ayat (1) itu sangat tegas, yaitu di satu pihak ada
perkataan ‘hakim agung’ dan dipihak lain ada perkataan ‘hakim’ saja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (4) UUD 1945, dikeluarkan UU
No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta
hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 20
Pasal 21
1. Kewenangan KY diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 24B; dan
2. KY secara tegas dan tanpa keraguan merupakan bagian dari kekuasaan
kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman
yang terdapat dalam UUD 1945.
Menurut Jimly Asshiddiqie
Hakim MK tidak termasuk objek yang dapat diawasi oleh KY. Karena pengertian ‘Hakim’ yang dapat
diawasi oleh KY tidak mencakup hakim MK.
1. secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan “original intent” perumusan ketentuan UUD
1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan
ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. bukti risalah-risalah rapat-rapat
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad
Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD
1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.
2. KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan hanya sebagai supporting
organ, yang secara tegas tidak berwenang melakukan pengawasan yang menyangkut hal-hal yang
bersifat teknis yustisial dan teknis administratif, melainkan hanya meliputi penegakan
kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim