Anda di halaman 1dari 15

KOMISI YUDISIAL

M. Yasin al Arif, S.H., M.H


myasinalarif@gmail.com
https://myasinalarif.wordpress.com/
Pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim merupakan fenomena universal yang terjadi di berbagai negara.

Latar belakang pmebentukan komisi yudisial di berbagai negara tersebut sebagai akibat dari salah
satu atau lebih dari lima hal berikut :

a. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya
dilakukan secara internal saja
b. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –
dalam hal ini departemen kehakiman- dan kekuasaan kehakiman (judicial power);
c. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam
menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum;
d. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, yang ketat dari sebuah lembaga khusus
e. Pola rekrutmen hakim selama ini terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang
mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik yaitu presiden dan parlemen
Di Indonesia, Lembaga Komisi Yudisial merupakan produk reformasi
yang dibentuk pada perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001

Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam


struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat
diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses
pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian
hakim.
Berangkat dari maksud pembentukan tersebut, UUD 1945 merusmuskan kewenangan
Komisi Yudisial sebagaiman tercantum dalam Pasal 24B dengan rumusan

1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan


pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.***)
2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di
bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela.*** )
3) Anggota Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.*** )
4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
undang-undang.*** )
Rumusan wewenang KY dirumuskan dalam Pasal 24B ayat (1) mengandung
arti bahwa tugas pertama KY adalah mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan tugas keduanya adalah menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim

Karena tugas pertama dikaitkan dengan ‘hakim agung’ dan tugas kedua
dengn ’hakim’ saja, maka secara harfiah jelas sekali artinya, yaitu Komisi
Yudisial bertugas menjaga (preventif) dan menegakkan (korektif dan
represif) kehormatan, keluhuran martabat perilaku semua hakim di
Indonesia.

Dengan demikian hakim yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatan,


keluhuran martabat dan perilakunya mencakup hakim agung, hakim
pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negara, dan
pengadilan militer serta termasuk hakim konstitusi
Akan tetapi jika dilacak dalam perdebatan-perdebatan dalam sidang Badan
Pekerja MPR yang mempersiapkan rumusan asli ketentuan Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 (the original intent and the original understanding of the text),
perkataan “ kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim” di situ
dikaitkan dengan pengertian hakim agung, bukan hakim dalam arti luas.

Karena itu, sebetulnya yang dimaksudkan adalah bahwa Komisi Yudisial


itu mempunyai kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mengawasi pelaksanaan tugas hakim agung itu dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku
hakim agung.

Namun teks Pasal 24B ayat (1) itu sangat tegas, yaitu di satu pihak ada
perkataan ‘hakim agung’ dan dipihak lain ada perkataan ‘hakim’ saja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (4) UUD 1945, dikeluarkan UU
No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Wewenang yang dituangkan dalam UUD kemudian


dijabarkan dalam UU No. 22 Tahun 2004, Komisi Yudisial
mempunyai wewenang:

a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada


DPR;dan
b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim.
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:

a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;


b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Di dalam UU No. 22 tahun 2004 ini juga mempertegas pengertian ‘hakim’
yang dimaksudkan dalam Pasal 24B ayat (1)

Pasal 1 angka (5)

Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta
hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 20

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13


huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap
perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim.

Pasal 21

Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan
sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau
Mahkamah Konstitusi.
Pasal 2 UU No. 22 tahun 2004

Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat


mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari
campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur kelembagaan ketatanegaraan
Indonesia
Menurut Ahsin Thohari

Kedudukan KY dalam struktur ketatanegaraan Indonesia adalah termasuk


dalam lembaga negara setingkat dengan Presiden dan bukan lembaga
pemerintahan yang bersifat khusus atau lembaga khusus yang bersifat
independen yang dalam istilah lain disebut lembaga negara mandiri (state
auxiliary institution).

KY berbeda dengan KPU, KOMNASHAM, KPI dan komisi-komisi lainnnya,


karena dua alasan:

1. Kewenangan KY diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 24B; dan
2. KY secara tegas dan tanpa keraguan merupakan bagian dari kekuasaan
kehakiman, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman
yang terdapat dalam UUD 1945.
Menurut Jimly Asshiddiqie

KY kedudukannya secara struktural sederajat dengan MA dan MK. Akan


tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary)
terhadap kekuasaan kehakiman.

Komisi Yudisial, meskipun fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman,


tetapi tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial
bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga
penegak norma etik (code of ethics). Lagi pula komisi ini hanya berurusan
dengan soal kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim, bukan
dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara
institusional.
Resistensi Terhadap Keberadaan dan Fungsi KY
Sepak-terjang KY dalam melakukan pengawasan mendapat perlawana terbuka
dari kalangan hakim. Perlawan itu dimulai dalam bentuk mempersoalkan
kewenangan KY dalam melakukan pengawasan, pengabaian beberapa
rekomendasi KY oleh Mahkamah Agung, dan beberapa tindakan lain yang
menunjukan pembangkangan terhadap KY. Puncak dari itu semua, mayoritas
Hakim Agung (31 orang) mengajukan permohonan hak menguji materiil pasal-
pasal tentang Hakim Agung (dan juga Hakim Konstitusi), serta pasal-pasal
pelaksanaan pengawasan KY kepada hakim.
Sumber pokok yang menjadi keberatan ke-31 orang Hakim Agung
adalah menyangkut kata makna “Hakim” frasa “mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang terdapat dalam
Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945.
Melalui Putusan MK No 005/PUU-IV/2006

Hakim MK tidak termasuk objek yang dapat diawasi oleh KY. Karena pengertian ‘Hakim’ yang dapat
diawasi oleh KY tidak mencakup hakim MK.

Dalam pertimbangan hukum Putusan MK No 005/PUU-IV/2006, MK berpendapat bahwa:

1. secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan “original intent” perumusan ketentuan UUD
1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan
ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. bukti risalah-risalah rapat-rapat
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad
Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD
1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.
2. KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan hanya sebagai supporting
organ, yang secara tegas tidak berwenang melakukan pengawasan yang menyangkut hal-hal yang
bersifat teknis yustisial dan teknis administratif, melainkan hanya meliputi penegakan
kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim

Anda mungkin juga menyukai