Anda di halaman 1dari 6

TUGAS, FUNGSI, DAN KEWENANGAN

KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA

FARID WAJDI
Anggota Komisi Yudisial, Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan
Informasi Komisi Yudisial Republik Indonesia

PENGANTAR
Mengkaji mengenai tugas, fungsi, dan kewenangan Komisi Yudisial (KY) harusnya
dilakukan secara komprehensif. Bukan hanya yang ada diatur dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, tapi juga harus membahasnya mulai dari sejarah hingga kondisi
saat ini. Hal ini penting agar pemahaman cikal bakal pembentukan KY dan dinamika yang
terjadi terkait dengan tugas dan fungsi KY lebih luas.

SEJARAH PEMBENTUKAN KOMISI YUDISIAL


Awal mula pembentukan KY sebenarnya bukan dimulai ketika amandemen ketiga
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD ‘45). Jika menelisik jauh ke belakang,
awal mula munculnya ide pembentukan KY dimulai pada tahun 1968 melalui wacana
Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Bahkan bisa dikatakan MPPH merupaka
cikal bakal pembentukan KY. Ketika itu, MPPH dirancang sebagai lembaga “khusus”
yang bersifat non governmental, dan kedudukannya di MA. Meski kedudukannnya berada
dalam lingkungan MA, ternyata wewenang dan tugas MPPH ini begitu “besar” dalam hal
manajemen hakim.
Hal ini dikarenakan MPPH diusulkan untuk memberikan mempertimbangkan dan
mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenaan
dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan-tindakan/
hukuman-hukuman jabatan para hakim, yang diajukan baik oleh MA maupun Menteri
Kehakiman.1 Tidak hanya itu, yang membuat MPPH “seharusnya” sudah dilembagakan
ketika itu adalah tujuan pembentukannya. Dalam penjelasan RUU itu disebutkan bahwa
pembentukan MPPH dimaksudkan untuk mendapatkan hakim yang jujur, merdeka,
berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.
Pemikiran ini berangkat dari kesadaran bahwa “segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan tersebut baik/buruknya tergantung
dari pada manusia-manusia pelaksananya, in casu para hakim”.2
Selain itu, adanya kekhawatiran akan munculnya monopoli kekuasaan apabila
kewenangan pengangkatan, pemberhentian, promosi, dan persoalan-persoalan administrasi
kehakiman lainnya terpusat pada satu lembaga juga menjadi alasan pembentukan MPPH.

1
Elza Fais dkk., Risalah Komisi Yudisial: Cikal Bakal, Pelembagaan, dan Dinamika Wewenang, Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial, Jakarta, 2012, hlm. 13.
2
Ibid., hlm. 14.

5
Prosiding : Sinergitas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Excellent Court
6 Mei 2017 M/9 Sya’ban 1438 H, Aula A.K. Anshori - Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Namun demikian, wacana ini kemudian tidak disetujui dan akhirnya tidak jadi dimasukkan
ke dalam batang tubuh maupun UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Selang lama setelah itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 (UU No.
35/1999). Jika diperhatikan dengan baik isi UU ini, dapat ditemukan bahwa konsep
MPPH mengemuka kembali. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umumnya, yang pada
intinya menyebutkan bahwa untuk meningkatkan checks and balances terhadap lembaga
peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui
secara terbuka dan transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim
(DKH) yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai
perekrutan, promosi, dan mutasi hakim serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi
para hakim.
Dengan rumusan seperti itu, maka terlihat bahwa ketika Negara “memerdekakan”
lembaga kekuasaan kehakiman dari intervensi penguasa, maka bukan berarti lembaga itu
berdiri sendiri, tanpa ada lembaga lain. Harus checks and balances dalam pelaksanaannya.
Tujuan dari checks and balances itu adalah untuk meminimalisir kesewenang-wenangan
lembaga tersebut. Gayung bersambut, pasca penetapan UU No. 35/1999 wacana adanya
lembaga baru sebagai “penyeimbang” lembaga kekuasaan kehakiman juga mengemuka
dalam rapat pembahasan perubahan UUD 1945. Bahkan dalam pembahasan sempat
mengemuka dua istilah, yaitu “Dewan Kehormatan Hakim” dan “Komisi Yudisial”. Hal ini
disampaikan oleh Hamdan Zoelva dan Agung Gunanjar. Ketika itu Hamdan mengatakan,
KY dibentuk dengan wewenang untuk menghasilkan hakim agung, serta melakukan
penilaian dan memberikan rekomendasi baik atas promosi mauun pemindahan terhadap
hakim-hakim. Di samping itu, untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran
martabat dan perilaku hakim dibentuk DKH.3
Sejalan dengan itu, Agung mengungkapkan usulan pembentukan dua lembaga
eksternal yang berbeda. KY diberi kewenangan pengangkatan dan pemberhentian hakim
agung, sementara DKH melakukan kontrol dalam rangka menegakkan dan menjaga
keutuhan martabat hakim4. Akhirnya usulan-usulan tersebut dijadikan satu menjadi
KY, dan tugas maupun fungsinya menjalankan tugas dan fungsi DKH, yang istilahnya
“dipersempit” menjadi wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dengan berdasar penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tugas, fungsi dan
kewenangan KY sesuai dengan perspektif sejarah/historis adalah:
1. mengusulkan pengangkatan hakim agung;
2. melakukan rekrutmen, promosi, mutasi, dan pengawasan pengawasan kualitas,
integritas, maupun etika hakim. Tugas dan fungsi kedua ini diistilahkan dalam Pasal
24B UUD 1945 menjadi “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.

DINAMIKA TUGAS, FUNGSI, DAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL

3
Ibid., hlm. 32- 33, dikutip dari Buku Kedua Jilid 3 C, Risalah BAP PAH I Sidang Tahunan MPR, hlm.
746.
4
Ibid., hlm. 33, dikutip dari Buku Kedua Jilid 10, Rapat Komisi A, Sidang Tahunan 2000, hlm. 326.

6
Prosiding : Sinergitas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Excellent Court
6 Mei 2017 M/9 Sya’ban 1438 H, Aula A.K. Anshori - Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Kemudian dalam konteks dinamika tugas, fungsi, dan kewenangan KY,


pembahasannya seharusnya dimulai dari pelembagaan KY. Awal mula keberadaan KY
dimulai pada saat pengesahan dan penetapan amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun
2001. Ketika itu, salah satu poin penting yang berhasil diwujudkan adalah pembentukan KY.
Sebagai lembaga baru, keberadaan KY diharapkan dapat memperbaiki kondisi peradilan.
Selain itu, keberadaan KY juga merupakan perwujudan prinsip checks and balances, yaitu
bertindak selaku pengawas “eksternal” Mahkamah Agung (MA). Tujuannya adalah agar
MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang tertinggi di dalam melaksanakan fungsi
organisatoris, administratif, dan finansial tidak bertindak sewenang-wenang dan bisa lebih
berhati-hati di dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut, serta fungsi judisialnya.
Agar pelaksanaan dua kewenangan yang diatur di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
bisa berjalan dengan baik, maka pada tahun 2004 DPR kemudian telah mengesahkan UU
tentang Komisi Yudisial yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004. Pada UU No. 22
Tahun 2004 kewenangan KY diatur dalam Pasal 13 UU No. 22 Tahun 2004, yaitu “Komisi
Yudisial mempunyai wewenang: a) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada
DPR, dan b) menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dijabarkan lebih
lanjut dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 UU No. 22 Tahun 2004.
Untuk wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim dijabarkan dalam ketentuan Pasal 205 Pasal 216 Pasal 227 dan Pasal 238
yang mengatur mengenai tugas KY, mulai dari melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan MA dan/
atau MK, hingga melakukan pengusulan penjatuhan sanksi jika ada hakim pada MA dan/
atau MK yang terbukti melakukan pelanggaran penegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Selain tugas tersebut, KY juga mempunyai tugas melakukan
pengusulan pemberian penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim kepada
MA dan atau MK.9
Dua tahun setelah UU No. 22 Tahun 2004 diundangkan, kewenangan-kewenangan
itu kemudian “dikebiri” melalui Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006. Tepat pada
tanggal 16 Agustus 2006, Majelis Hakim MK melalui Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006
menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian, Pasal 1 angka 5
sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”, Pasal 20, Pasal 21, Pasal
22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat
(5), Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi”,
Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi”, Pasal
25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata “dan/atau Mahkamah Konstitusi”, UU No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

5
Lihat Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2004.
6
Lihat Pasal 21 UU No. 22 Tahun 2004.
7
Lihat Pasal 22 UU No. 22 Tahun 2004.
8
Lihat Pasal 23 UU No. 22 Tahun 2004.
9
Lihat Pasal 24 UU No. 22 Tahun 2004

7
Prosiding : Sinergitas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Excellent Court
6 Mei 2017 M/9 Sya’ban 1438 H, Aula A.K. Anshori - Universitas Muhammadiyah Purwokerto

hukum mengikat.10
Dengan berdasar fakta di atas, pemerintah kemudian mengusulkan kepada DPR
untuk melakukan perubahan terhadap UU No. 22/2004. Perubahan tersebut dimaksudkan
untuk memperkuat kewenangan KY dan dalam rangka melakukan sinkronisasi maupun
harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman.
Belum juga penguatan kewenangan KY dilakukan melalui perubahan UU tentang KY
itu sendiri, di tahun 2009 pemerintah melalui Perubahan UU Kekuasaan Kehakiman dan 3
UU Badan Peradilan yaitu Perubahan UU Peradilan Umum, Perubahan UU Peradilan Tata
Usaha Negara, dan Perubahan UU Peradilan Agama melakukan penguatan kewenangan
KY. Penguatan kewenangan dilakukan dengan memberikan kewenangan tambahan
kepada KY. Kewenangan tambahan itu adalah menganalisis putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi melakukan mutasi
hakim11 dan melakukan seleksi pengangkatan hakim bersama MA.12
Pada tahun 2011 lewat Perubahan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
kewenangan KY kembali bertambah. Jika kita cermati, beberapa pasal yang terdapat dalam
UU perubahan KY yang diberi nama UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial secara tegas memperkuat
kewenangan KY.
Penguatan terhadap kewenangan KY diatur dalam Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011
yang berbunyi,
“Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a) Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan; b) Menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim; c) Menetapkan Kode
Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan d)
Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim”.

Kewenangan tersebut masih diperkuat dengan ketentuan Pasal 20 UU No. 18 Tahun


2011 yang menyatakan:
(1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
b. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim;
c. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim; dan
e. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok

10
Elza Fais dkk, Risalah..., op. cit., hlm. 512-516.
11
KY dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagai dasar rekomendasi melakukan mutasi hakim yang diatur dalamPasal 42 UU No. 48
Tahun 2009, Pasal 13F UU No. 49 Tahun 2009, Pasal 12F UU No. 50 Tahun 2009, Pasal 13F UU
No. 51 Tahun 2009.
12
KY juga diberikan kewenangan melakukan seleksi pengangkatan hakim bersama MA yang
diatur dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU No. 49 Tahun 2009, Pasal 13A ayat (2) dan (3) UU No.
50 Tahun 2009, serta Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU No. 51 Tahun 2009.

8
Prosiding : Sinergitas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Excellent Court
6 Mei 2017 M/9 Sya’ban 1438 H, Aula A.K. Anshori - Universitas Muhammadiyah Purwokerto

orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat;
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas
mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;
(3) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada
aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal
adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;

Pada tahun 2015, tugas KY kembali “dihilangkan” oleh MA. Melalui putusan Nomor
43/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan oleh beberapa hakim agung yang tergabung dalam
IKAHI menyatakan tugas KY dalam melakukan seleksi pengangkatan hakim sebagaimana
diatur dalam 3 UU Badan Peradilan dinyatakan inkonstitusional.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka tugas dan fungsi KY yang terkait dengan
hakim di lingkungan MA adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Tugas, Fungsi, Kewenangan KY

No Tugas, Fungsi, Kewenangan KY


1 Mengupayakan peningkatan kapasitas
2 Menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagai dasar rekomendasi melakukan mutasi hakim
3 Mengupayakan peningkatan kesejahteraan hakim
4 Melakukan pemantauan terhadap perilaku hakim
5 Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
a. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
b. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
c. meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan
penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
d. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/
atau Pedoman Perilaku Hakim.
6 Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan dan keluhuran martabat
7 Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah
Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan

9
Prosiding : Sinergitas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Excellent Court
6 Mei 2017 M/9 Sya’ban 1438 H, Aula A.K. Anshori - Universitas Muhammadiyah Purwokerto

10

Anda mungkin juga menyukai