Anda di halaman 1dari 66

BAB I

A. PENDAHULUAN

Reformasi konstitusi berhasil melahirkan lembaga-lembaga baru untuk


mengendalikan kemungkinan terjadinya tindakan penguasa yang bertentangan
dengan konstitusi. Hal tersebut sejalan dengan Lord Acton yang berpendapat
bahwa, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Hasilnya,
lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK) lahir dengan gagasan
utama untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD NRI Tahun 1945). Sifat pengujian ini pun bersifat mutlak karena
diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945 untuk menjaga hak-hak konstitusional, baik
yang bersifat asasi maupun yang melekat pada jati diri bangsa.

MK sebagai salah satu lembaga yudikatif mempunyai empat wewenang dan satu
kewajiban yang diatur di dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 yaitu, untuk
menguji undang-undang terhadap UUD, menyelesaikan sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus perselisihan hasil
pemilihan umum dan memutus pembubaran partai politik, serta satu kewajiban untuk
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Oleh karenanya, MK juga disebut dengan “the guardian of constitution, the final
interpreter of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s
constitutional right, and the protector of human rights”.
Dalam penyelenggaraan wewenang dan kewajibannya, MK memiliki Hakim
Konstitusi yang pengangkatannya ditetapkan oleh presiden.5 Hakim Konstitusi terdiri
atas Sembilan orang yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung (MA), tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Kemudian, untuk
memilih Hakim Konstitusi tersebut ada conditio sine qua non sebagai syarat yang
harus dimiliki oleh para Hakim Konstitusi. Syarat tersebut seperti negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, berintegritas, tidak tercela dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, untuk mencapai realisasi para Hakim Konstitusi yang
bermartabat, luhur, tidak tercela, akuntabel, dan imparsial perlu adanya pembatasan
perilaku hakim melalui kode etik. Konsekuensi tersebut nantinya akan menghadirkan
unsur pengawasan terhadap kode etik dan perilaku Hakim, baik yang bersifat internal
maupun eksternal.

Dalam perjalanan perubahan konstitusi, Komisi Yudisial (KY) masuk ke dalam


BAB IX UUD NRI Tahun 1945 sebagai lembaga mandiri untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Lebih lanjut,
wewenang KY diatur di dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
(UU KY). Namun, fungsi pengawasan yang ada pada KY sebagai pengawas eksternal
terhadap Hakim Agung, Hakim Konstitusi, dan hakim-hakim badan peradilan yang
berada di bawah MA menuai beragam pendapat.
MA menganggap KY seharusnya hanya mengawasi perilaku hakim
berdasarkan kode etik dan tidak mengganggu hak-hak konstitusional Hakim Agung.
Oleh karenanya, beberapa Hakim Agung MA memutuskan melakukan pengujian UU
No. 22 Tahun 2004. Pada intinya pengujian tersebut tidak menjadikan Hakim
Konstitusi sebagai objek pengawasan KY sebagaimana Putusan MK No. 005/PUU-
IV/2006 dengan beberapa pertimbangan yang di antaranya menyebutkan bahwa,
“Secara sistematis dan dari penafsiran “original intent”, ketentuan Pasal 24B UUD NRI
Tahun 1945 tidak mencakup objek perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945. Hal ini dapat dibuktikan dengan risalah-
risalah rapat-rapat Panitia ad hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para
mantan anggotanya. Pertimbangan lainnya adalah karena Hakim Konstitusi bukanlah
hakim profesi, melainkan hakim karena jabatan. Apabila Hakim Konstitusi diawasi oleh
KY, maka kewenangan MK akan terganggu dan terjebak serta dapat menimbulkan
anggapan bahwa MK tidak dapat bersikap imparsial. Terkhusus, apabila ada masalah
sengketa kewenangan lembaga negara yang salah satunya adalah KY”.11
Sejak saat itu, MK hanya memiliki satu pengawas internal, yaitu Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diatur di dalam Pasal 23 ayat (3)
dan ayat (5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK dan Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) No. 7 Tahun 2005 tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim.
Namun, pengaturan pengawasan mengenai MKMK ini masih belum jelas adanya
dan tidak spesifik.12 Oleh karena itu, UU No. 24 tahun 2003 mengalami perubahan
menjadi UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang
MK. Hadirnya perubahan UU MK mempertegas konstruksi normatif dari adanya
sistem
10
Op.cit., hlm. 9.
11
Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006.
12
Berdasarkan wawancara dengan Bapak
Dr. Wiryanto, S.H., M. Hum. selaku penulis buku “Etik Hakim Konstitusi:
15
Rekonstruksi dan Evolusi Sistem Pengawasan”. Pasal 27 ayat (2) UU No.
8 Tahun 2011.
pengawasan Hakim Konstitusi di dalam Pasal 27A. Pengawasan tersebut
dilakukan oleh MKMK yang terdiri atas satu orang Hakim Konstitusi, satu orang
anggota KY, satu orang dari unsur DPR, satu orang dari unsur Pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum, dan satu orang Hakim
Agung.15 Kemudian, pengaturan keanggotaan MKMK yang terdiri atas anggota KY,
DPR, dan Hakim Agung dicabut dengan Putusan MK No.
49/PUU/2011 dan PMK 10 Tahun 2006 diubah menjadi PMK No. 1 Tahun 2013
tentang MKMK.13
Pada tahun 2013, MK menjadi pusat perhatian karena ketua MK nonaktif Akil
Mochtar tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).14 MK pun
mengeluarkan PMK No. 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi sebagai
perangkat yang menjaga dan menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
(KEPPH) Konstitusi. Seiring berjalannya waktu, oleh karena PMK a quo belum
dilandasi dasar hukum yang jelas, pemerintah pun menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 (Perppu No. 1 Tahun
2013) untuk meningkatkan rasa percaya masyarakat karena wibawa MK yang tercoreng
akibat kasus yang menjerat Ketua MK nonaktif Akil Mochtar.15 Peraturan tersebut pun
disahkan menjadi UU No. 4
Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun
2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK
Menjadi UU No. 4 Tahun 2014. Namun, UU a quo kembali dinyatakan batal melalui
Putusan

13
Wiryanto. (2016). Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim
Konstitusi, Jurnal Konstitusi. 13(4). Hlm.722.
14
Hidayatullah, B.A. (2021). Rekonstruksi
Pengawasan Etik Hakim Mahkamah Konstitusi dalam
Perspektif Hukum Administrasi Negara. Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam.
Hlm. 39
15
Dian Maharani “Mantan Ketua MK Akil
Mochtar Divonis Seumur Hidup”,
https://nasional.kompas.com/read/2014/06/30/
2203501/Mantan.Ketua.MK.Akil.Mochtar.Divon is.S eumur.Hidup. Diakses 26 Juli 2022
MK No. 1-2/PUU-IX/2014, sehingga pengawasan Hakim Konstitusi kembali
berlandaskan UU No. 8 Tahun 2011 (sekarang telah dilakukan perubahan ketiga
menjadi UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun
2003 tentang MK) dan PMK No. 2 tahun
2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi yang diganti dengan PMK No. 2 tahun
2014 tentang MKMK.
Kasus hukum yang menjerat Hakim Konstitusi pun tidak hanya berhenti di
tahun 2013. Hal tersebut berlanjut dengan adanya pelanggaran-pelanggaran KEPPH
yang dilakukan beberapa di antaranya oleh Ketua MK Arief Hidayat dan Hakim
Konstitusi Patrialis Akbar.16 Adanya kode etik yang seharusnya menjadi acuan
batasan sekaligus pengingat bagi Hakim Konstitusi untuk senantiasa menjaga perilaku
dan moralnya tetap saja dilanggar dan seolah tidak mengindahkan adanya lembaga
pengawas internal mereka, yaitu Dewan Etik sebagai pengawas harian (day to day) dan
MKMK sebagai perangkat ad hoc yang diusulkan oleh Dewan Etik saat ada dugaan
pelanggaran berat.17
Selain itu, landasan yuridis Dewan Etik sangat problematik karena
terlahir hanya melalui PMK No. 2 Tahun 2013 dan tidak diatur di dalam UU MK
seperti MKMK. Permasalahan tersebut pun memunculkan kekeliruan yang mengira
bahwa tidak ada landasan hukum dari Dewan Etik.18 Padahal terdapat PMK No.
2
Tahun 2013 yang diganti dengan PMK No.
2 Tahun 2014 sebagai keputusan hakim yang harus dianggap benar, mengingat
asas
hukum Res judicata pro veritate habiteur19 dan pertimbangan isi putusannya.
Dari sisi normatif, Dewan Etik tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan
Hakim Konstitusi terduga/terlapor dan harus mengusulkan pembentukan MKMK
terlebih dahulu. Hal ini tidak efektif dari segi waktu dan berpotensi menghambat kinerja
Hakim Konstitusi dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman.20 Ditambah pada tahun 2022, dua dari tiga anggota Dewan Etik sudah
habis masa jabatannya di tahun 2021. Terhitung saat Penulisan ini dibuat masih belum
ada pengisian kekosongan jabatan Dewan Etik yang ditampilkan di laman website
MK RI.21 Oleh sebab itu, Penulisan artikel ilmiah ini berjudul Reformulasi
Pengawasan Mahkamah Konstitusi Demi Meningkatkan Efektivitas Penegakan
Kode Etik Hakim Konstitusi
.
Adapun tinjauan pustaka yang digunakan dalam Penulisan ini yaitu; Pertama,
tinjauan Teori Pengawasan Hakim, kegiatan pengawasan berhubungan dengan
perencanaan pekerjaan pada sebuah lembaga/organisasi yang menurut pendapat Stoner
dan Wankel diperlukan untuk memastikan sebuah organisasi/lembaga bergerak sesuai
jalurnya.22 Apabila organisasi/lembaga ini tidak berjalan sesuai arah tujuan maka para
manajer akan mengarahkan kepada jalurnya kembali. Dalam konteks ini, hakim
merupakan pejabat peradilan negara yang berwenang

16
Keputusan Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi,
https://www.mkri.id/. Diakses 26 Juli 2022
17
Indra Ramdani. (2020). Pengawasan
hakim Mahkamah Konstitusi oleh Dewan Etik Kaitannya dengan Prinsip Objektivitas:
Studi Keputusan Kewan Etik Nomor 18/lap-v/bap/de/2018. UIN Sunan Gunung
DJATI. Hlm 7–8.
18
Ellydar, Chaidir dan Suparto. (2017)
Perlunya Pengawasan Terhadap Kode Etik dan Prilaku Hakim Konstitusi dalam
rangka menjaga Martabat dan Kehormatannya. Jurnal UIR Law Review
01(02). hlm. 122-123.
19
Sudikno M. (2007). Penemuan Hukum Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 7.
20
Lihat wewenang Dewan Etik Hakim Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
12/PUU-IX/2014.
21
Profil Dewan Etik.
https://testing.mkri.id/peradilan/dewan_etik/profil.
Diakses 25 Juli 2022
22
M. Riza. dkk (2018). Pengawasan terhadap Integritas Hakim Konsitusi dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI. 26.
untuk mengadili menurut undang-undang.23
Menurut Bambang Waluyo, hakim yang mengerti hukum diberikan kewajiban dan
tanggung jawab di pundaknya untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan sesuai
dengan asas yang mengatur serta nilai ketuhanan di sendi peradilan.27
Lebih lanjut, hakim di dalam UU No.
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dibagi menjadi Hakim (hakim
yang badan peradilannya berada di bawah MA), Hakim Agung (Hakim MA), Hakim
Konstitusi (Hakim MK) dan Hakim ad hoc (hakim yang bersifat sementara).
Berdasarkan teori pengawasan hakim di atas, hakim bukanlah malaikat tetapi hanya
seorang manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dalam memutus sebuah
perkara. Pekerjaan hakim itu dilakukannya dengan sifat hakim yang merdeka dan
mandiri. Akan tetapi, ada anggapan bahwa kemerdekaan atau kebebasan hakim itu
tidak bersifat absolut karena hakim harus menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila
dan UUD NRI Tahun
1945.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat 5 UUD NRI Tahun 1945 dan
Pasal 27A UU MK (UU No. 7 Tahun 2020) yang keduanya sama-sama
mengamanatkan bahwa Hakim Konstitusi harus memiliki integritas berdasarkan norma
dan etika yang diatur dalam kode etik dan perilaku Hakim. Oleh karena itu, hakim
dapat bersifat merdeka atau bebas, tetapi kebebasannya tersebut tidak boleh terlepas
dari tanggung jawab yang membatasi kebebasannya (tidak terlepas dari pengawasan).24

23
Pasal 1 Butir 8
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 27 Riko Syahrudin. Kedudukan
Hakim di Indonesia.
http//www.academia.edu/27325847/Kedudukan_Ha kim_ di Indonesia. Diakses 31 Juli 2022
24
A. Ahsin Thohari. (2010). Desain
Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol.7 No. 1, Maret, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-Undangan
Kedua, Teori kode etik dan perilaku hakim, kode etik menurut Shidarta
merupakan norma yang tersusun secara sistematis, berupa prinsip-prinsip moral
25
pada suatu profesi yang keberadaannya melekat dan tidak dapat dipisahkan. Kode etik
profesi mengarahkan anggotanya untuk berbuat sesuai aturan yang mereka terima,
demi menjamin moral profesi di pandangan masyarakat.26 Hal ini sejalan dengan
deklarasi kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi atau Sapta Karsa Utama yang
disusun dengan merujuk The Bangalore Principle Of Judicial Condact27 guna
terpelihara dan terjaganya integritas serta kompetensi Hakim Konstitusi.
Kode etik juga dijadikan landasan moral sekaligus pedoman sikap dan tingkah
laku. Sehingga sanksi yang didapatkan berupa sanksi administratif dan sanksi
moral. Kemudian, tinjauan KEPPH, merupakan panduan moral dan etik bagi setiap
Hakim Konstitusi, baik dalam menjalankan tugas konstitusionalnya maupun dalam
pergaulannya di masyarakat.28 Panduan ini merujuk pada PMK No. 9 Tahun 2006
tentang Pemberlakuan Deklarasi kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi. Kode etik ini
sebagai penuangan konkrit dari aturan etika

Kementrian Hukum dan HAM, 2010). Hlm. 71.


25
A. S. Niru. (2020). Kode Etik Sebagai Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum yang
Baik”, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara. VIX(2). Hlm. 3.
26
M. Abdulkadir. (2006). Etika Profesi Hukum.
Bandung: PT Citra Bakti. Hlm 77.
27
The Bangalore Priciple Of Judicial Condact mengatur mengenai
independence, impartiality, integrity, propriety, equality, and competence and diligent
sebagai tolak ukur penilaian perilaku
hakim,https://www.unodc.or g/res/ji/impor t/inter national_standards/commentar y_on_t
he_bangalo re_principles_of_judicial_conduct/bangalore_ principles_english.pdf.
Diakses 31 Juli
2022; lihat pula PMK Nomor
9/PMK/2006 tentang Deklarasi Kode
Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
28
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2014
dan moral. Hal inilah yang nantinya akan berusaha dijaga dan ditegakkan oleh
pengawas etik.
Ketiga, Teori Efektivitas, efektivitas
berasal dari kata dasar efek yang berarti pengaruh dan kata efektif yang berarti dapat
membawa hasil, manjur, dan mangkus.29
Menurut Siswandi, efektivitas berkaitan dengan proses mengerjakan pekerjaan dengan
benar atau sesuai dengan tugasnya.30
Menurut Kurniawan, efektivitas dijelaskan sebagai kemampuan untuk melaksanakan
fungsi atau tugas dari sebuah organisasi maupun sejenisnya yang mana telah memasuki
tahap tanpa hadirnya ketegangan dalam pelaksanaannya.31 Hal tersebut menjelaskan
bahwa efektivitas merupakan suatu tahap telah tercapainya keberhasilan dari suatu
tujuan.
Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Bastian yang menerangkan bahwa
efektivitas adalah keberhasilan yang dicapai dari sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.32 Konsep ini dapat diidentifikasi melalui sudut pandang
keorganisasian yang membaginya menjadi tiga bagian yaitu individu, kelompok, dan
organisasi.33
Menurut Richard M. Steers yang dikutip oleh Ducan, ada faktor yang dapat

29
KBBI Online, https://kbbi.web.id/efektivitas.
Diakses 03 Agustus 2022.
30
Siswandi. (2011). Aplikasi Manajemen
Perusahaan. Jakarta: Mitra Wacana Media. Hlm.
39.
31
A.Y. Wambrauw. (2013). Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah
Perpajakan dan Retribusi Daerah Dalam Memperoleh Pendapatan Asli Daerah
di Kabupaten Supiori Provinsi Papua. http://ejour nal.uajy.ac.id/id/eprint/4241.
Diakses 03 Agustus 2022
32
D. Suhendri. (2017). Efektivitas Kinerja
Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang Kota dalam Mengelola Taman Kenanga Dusun
Gemulo Kota Batu. Hlm. 19. https://eprints.umm.ac.id/35927/ Diakses
03 Agustus 2022.
33
Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnely Jr. (1996). Organisasi:
Perilaku, Struktur, Proses. (Terjemahan) Edisi Delapan. Jakarta: Binarupa Aksara.
mengukur efektivitas. Faktor ini terdiri dari pencapaian tujuan, integrasi, dan adaptasi.
Pencapaian tujuan dinilai sebagai periodisasi tahapan atau kurun waktu yang ditentukan
untuk mencapai target sasaran. Integrasi dipandang berkaitan dengan proses-proses
yang menyangkut sosialisasi. Sedangkan, adaptasi digunakan sebagai kemampuan
menyesuaikan diri yang digunakan oleh organisasi dengan lingkungannya untuk mengisi
pengadaan dan tenaga kerja.34

Berdasarkan uraian mengenai latar belakang dan keadaan status quo, Penulis akan
mengangkat tiga rumusan masalah, yaitu: Pertama, Bagaimana pengaturan
pengawasan Hakim Konstitusi oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi? Rumusan ini akan menerangkan mengenai sejarah pengawasan Hakim
Konstitusi, komparasi antar peraturan, dan analisis implikasi dari pengaturan normatif
yang berlaku. Kedua, Bagaimana implementasi pengawasan Hakim Konstitusi dan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi? Rumusan ini akan menganalisis
implementasi peraturan terkait Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi, permasalahan/kasus yang timbul selama pelaksanaan pengawasan dikaitkan
dengan pengaturan normatif, serta komparasi lembaga pengawasan etik. Ketiga,
Bagaimana model reformulasi pengawas hakim konstitusi dalam menjaga dan
mengawasi kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi? Rumusan ini memaparkan
bagaimana solusi yang akan Penulis bawa terkait pengawasan Hakim Konstitusi,
termasuk bagaimana formulasinya.
Adapun tujuan Penulisan ini ditujukan secara subyektif untuk mengikuti
Kompetisi Artikel Ilmiah dalam rangkaian acara Constitutional Law Festival 2022 yang
diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Sedangkan, secara obyektif
Penulisan ini ditujukan untuk menganalisis, mengetahui, dan mengkritisi kinerja
Dewan Etik serta untuk merumuskan dan menerapkan reformulasi pengawas Hakim
Konstitusi.

34
Richard M. S. (1985). Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga. Hlm. 53.
Selanjutnya, manfaat Penulisan ini yaitu; Pertama, manfaat teoritis, Penulisan
artikel ini diharapkan bisa memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan hukum
untuk menemukan solusi dalam reformulasi kinerja Dewan Etik. Kedua, Penulis
berharap tulisan ini dapat bermanfaat untuk legislator, akademisi, pemerintah, dan
masyarakat sehingga menambah pemahaman bahwa kondisi Dewan Etik dalam status
quo memerlukan pembaruan untuk dapat menjalankan tugasnya dalam menjaga dan
mengawasi kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini ialah penelitian hukum (legal research) yang tergolong penelitian
hukum normatif35 atau yang disebut sebagai penelitian hukum dogmatis oleh para
ahli. Penelitian ini akan menganalisis norma atau ketentuan hukum yang ada,
membahasnya secara sistematis, menganalisis hubungan antara norma atau ketentuan
yang ada, serta mengkaji permasalahan atau hambatan di status quo.36
Pada penelitian ini, cara pengambilan

data dilakukan melalui studi pustaka37


pendapat yang sedang berkembang.42
Sebagai pembahasan awal, Penulis akan menggambarkan permasalahan pada status
quo yang dilanjutkan dengan menganalisis dan mengkaji untuk mendapatkan
solusi yang tidak hanya untuk mengungkapkan kebenaran tetapi untuk dapat
memahaminya pula.

C. PEMBAHASAN
1. Pengaturan Pengawasan Hakim Konstitusi oleh Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya

A. Sejarah Pengaturan Pengawasan


Hakim Konstitusi
MK sebagai salah satu Lembaga Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diawasi oleh
KY sebagai pengawas eksternal sebagaimana diamanatkan UUD NRI Tahun
1945. Dalam pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, dan
perilaku hakim, KY diberikan wewenang
38

terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi,


lain.
Wewenang ini kemudian diatur lebih

peraturan perundang-undangan terkait, buku, artikel, jurnal online, hasil penelitian,


fakta dan isu hukum akurat serta pendapat para ahli. Pengambilan data tersebut
dilakukan melalui; Pertama, metode pendekatan perundang-undangan yang diperoleh
dengan mencari peraturan perundang-undangan. Kedua, penelusuran publikasi hukum.
Ketiga, melalui penelusuran bahan hukum non-hukum dari fakta dan isu akurat yang
memiliki relevansi.
Semua data ini akan dikumpulkan dan dianalisis melalui pemaparan secara
deskriptif kualitatif untuk menggambarkan, menganalisis, dan mengkaji kondisi, isu,
dan

35
Amiruddin dan Zainal Asikin. (2004). Pengantar Metode Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Hlm. 29.
36
Ibid.. Hlm. 118.
37
Soerjono dan Sri. (2007). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Umum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 23. 42
Ibid.
lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (UU KY). Pasal 13 UU KY dimuat ketentuan bahwa KY berwenang
untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Kemudian dalam Pasal 20
dijelaskan bahwa demi mencapai tujuan dari pasal 13, maka KY dapat melakukan
pengawasan terhadap hakim yang mana jika merujuk pada Pasal 1 angka 5
disebutkan bahwa yang dimaksud oleh hakim dalam UU tersebut adalah hakim agung
dan hakim pada badan peradilan lain di bawah MA, serta Hakim Konstitusi .
Dalam konstruksi pengawasan eksternal oleh KY terhadap MK di atas menjadi
perdebatan tersendiri di kalangan praktisi maupun akademisi. Dalam UU KY Pasal 1
angka 5 menggunakan konsep dan perumusan makna hakim adalah include.39

38
Ellydar Chaidir dan Suparto. Loc.Cit. Hlm. 112.
39
Titik Triwulan Tutik. (2014). Pengawasan
Hakim Konstitusi Dalam Sistem Pengawasan
Penafsiran demikian sejalan dengan apa yang dikemukakan Fajrul Falaakh, Jimly
Asshiddiqie, dan M. Laica Marzuki. Fajrul Falaakh berpendapat bahwa
sebenarnya tidak ada penafsiran spesifik makna hakim pada tingkat konstitusi, tetapi
kita dapat merujuk pada Risalah Sidang MPR dan bahan sosialisasi hasil-hasil
amandemen.40
Berdasarkan kedua sumber tersebut, melalui metode penafsiran semantik dapat
dipahami pemaknaan kata “hakim” ialah sebagaimana dituliskan yaitu mencakup semua
hakim sehingga pemaknaan hakim pada pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
mencakup semua hakim.41 Pernyataan Fajrul Falaakh sejalan dengan pendapat Jimly
Asshiddiqie, Jimly berpendapat bahwa berdasarkan penafsiran harafiah, Hakim
Konstitusi masuk ke dalam pengeritan hakim yang diawasi oleh KY sebagaimana Pasal
24B ayat (1).42 Pendapat kedua ahli di atas didukung pula dengan pernyataan M. Laica
Marzuki, ia menyatakan bahwa amanat Konstitusi kepada KY untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan dan keluhuran hakim adalah termasuk Hakim Konstitusi .43
Berbeda dengan Fajrul Falaakh, Jimly Asshiddiqie, dan M. Laica Marzuki,
Natabaya berpendapat bahwa Hakim Konstitusi bukan termasuk pengertian hakim
yang diawasi oleh KY karena Hakim Konstitusi bukan hakim profesi tetap, layaknya
hakim pada umumnya, melainkan
hanya diangkat untuk jangka waktu lima tahun.44 Pendapat Natabaya ini sejalan dengan
putusan akhir yang diambil oleh MK untuk mengamputasi pengawasan eksternal KY
melalui Putusan MK No.
005/PUU-VI/2006 tentang Judicial Review
UU No. 22 Tahun 2004 dan UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada 23 Agustus 2006.45 Dalam putusan
tersebut salah satunya memutuskan bahwa pencakupan Hakim Konstitusi masuk
dalam pengertian hakim pada UU KY adalah tidak benar dan bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan membatalkan beberapa pasal dan materi hampir
seluruhnya.46
Dengan diamputasinya kewenangan pengawasan eksternal terhadap MK oleh
KY, pembentuk UU dalam hal ini DPR, melalui perubahan UU No. 24 Tahun 2003
tentang MK dengan UU No. 8 Tahun
2011.47 Dalam perubahan UU tersebut DPR
mengonstruksikan adanya pengawasan internal dari MK sebagai pengganti pengawasan
eksternal yang telah diamputasi. Konstruksi pengawasan ini diatur dalam Pasal 27A
bahwa MKMK merupakan perangkat yang dibentuk MK, guna melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap para Hakim Konstitusi dalam hal memantau, memeriksa, dan
merekomendasikan tindakan Hakim Konstitusi yang diduga melanggar KEPPH.53
Berikut perbandingan

Hakim Menurut Undang-Undang Dasar


Negara RI 1945. Jurnal Dinamika Hukum.
12(2). Hlm. 305.
40
Mohammad Fajrul Falaakh. Beberapa Pemikiran untuk Revisi UU Komisi Yudisial
dalam Komisi Yudisial. Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial RI,
Jakarta: Komisi Yudisial RI. Hlm. 218-219.
41
Ibid.
42
Jimly Asshiddiqie. (2005). Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, dalam Mahkamah Konstitusi, Bunga Rampai Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta : Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Hlm. 35.
43
M. Laica Marzuki. (2006). Komisi Yudisial dan
Relevansinya dengan Kekuasaan Kehakiman
Jurnal Konstitusi. 6(2). Hlm. 86.
44
Hukum Online. Hakim MK Tak Mau Diawasi
KY https://www.hukumonline.com/berita/a/hakim-m ktak-mau-diawasi-ky-hol15347. Diakses
22 Juli
2022
45
Achmad Safiudin R. (2016). Pengawasan Komisi Yudisial Terhadap Hakim Mahkamah
Konstitusi Perspektif Fiqh Sifayah. Al-Daulah Jurnal Hukum dan Perundangan Islam 6(1).
Hlm.
83.
46
Moh. Mahfud MD. (2011) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 105.
47
Jimly Asshiddiqie. (2005). Kedudukan
Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, dalam Mahkamah Konstitusi,
Bunga Rampai Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta : Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI. Hlm. 35.
substansi pengawasan antara UU No. 24
Tahun 2003 dengan UU No. 8 Tahun 2011:

Tabel 1 Perbandingan pengaturan MKMK dalam


UU No. 24 Tahun 2003 dan UU No. 11 Tahun
2011

Sumber: Diolah Penulis 2022

Melalui UU No. 8 Tahun 2011 tersebut, semangat pengawasan terhadap Hakim


Konstitusi berkembang dengan baik. Namun, di tengah semangat pengawasan
tersebut, kinerja MKMK dipertanyakan dengan munculnya kasus suap dan
48
pencucian uang oleh hakim ketua MK Akil Mochtar. Akil Mochtar terbukti
menerima suap dari sengketa Pilkada Kab. Gunung Mas sebesar Rp3 M,
Kalimantan Tengah Rp3 M, Lebak Banten Rp1 M, Empat Lawang Rp10 M dan
500.000 dollar AS, dan Palembang Rp3 M.49 Dengan adanya kasus yang menjerat
ketua Hakim Konstitusi di atas, kepercayaan rakyat terhadap negara, khususnya
MK, berbuah kekecewaan. Menurut Penulis, hal ini disebabkan karena dalam
ketentuan UU No. 8 Tahun 2011, tugas MKMK hanya sebatas menegakkan sebagai
langkah represif, tidak adanya upaya preventif untuk mengawasi Hakim Konstitusi
sehingga dengan keadaan yang demikian tidak dapat mencegah adanya potensi
pelanggaran. Oleh karena itu, sebagai upaya pengawasan preventif, MK membentuk
Dewan Etik melalui PMK No.
48
Ibid.
49
Heru Sri Kumoro, Mantan Ketua Mk Akil
Mochtar Divonis Seumur Hidup
https://nasional.kompas.com/read/2014/06
/30/2203501/Mantan.Ketua.MK.Akil.Mochtar
.Divonis.S eum. Diakses 23 Juli 2022.
2 Tahun 2013.50 Adanya peraturan tersebut Dewan Etik diarahkan untuk menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, perilaku, dan KEPPH
Konstitusi.57
Kasus suap yang menjerat ketua MK secara tidak langsung membuat
pemerintah menerbitkan peraturan hukum baru, pemerintah mengeluarkan Perppu
No. 1
Tahun 2013 yang kemudian pada 15 Januari
2014 menjadi UU No. 4 Tahun 2014 yang beberapa ketentuan di dalamnya
mengubah pengaturan terkait MKMK. Berikut adalah perbedaan antara pengaturan
MKMK pada UU No. 8 Tahun 2011 dan UU No. 4 Tahun
2014:
Tabel 2 Perbandingan pengaturan MKMK dalam
UU No. 8 Tahun 2011 dan UU No. 4 Tahun
2014

Sumber: Diolah Penulis 2022

Dari konstruksi pengawasan yang coba dibangun oleh UU No. 4 Tahun


2014, menurut Penulis menunjukkan adanya upaya untuk memberikan kepastian
hukum yang lebih jelas dengan beberapa pengaturan baru dan lebih terperinci
terkait dengan MKMK. Contohnya, pelibatan KY dalam penyusunan
50
Achmad Safiudin R. (2016). Pengawasan Komisi Yudisial Terhadap Hakim
Mahkamah Konstitusi Perspektif Fiqh Sifayah. Al-Daulah Jurnal Hukum dan
Perundangan Islam 6(1). Hlm. 83.
KEPPH serta pembentukan MKMK. Di sini pembentuk UU mencoba
mengakomodir apa yang diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 Pasal 13.
Kemudian, sifat MKMK yang berubah menjadi tetap memberikan jawaban atas
persoalan tidak diamanatkannya pembentukan Dewan Etik oleh UU. Hal ini dapat
dikatakan demikian karena adanya perangkat pengawas etik yang bersifat tetap yang
memiliki dasar yuridis jelas dalam UU dapat memberikan kepastian hukum yang lebih
kuat. Selain itu, UU No. 4
Tahun 2014 juga mengatur hal baru terkait dengan syarat anggota MKMK, masa
jabatan, kewenangan, dan sanksi yang lebih rinci. Oleh karena beberapa ketentuan baru
dan rinci di atas, menurut Penulis UU No. 4
Tahun 2014 ini dapat lebih memberikan kepastian hukum daripada UU No. 8 Tahun
2011.
Adanya perbaikan sistem pengawasan
Hakim Konstitusi melalui UU No. 4 Tahun
2014 di atas tidak serta merta memberikan angin segar. Nyatanya UU tersebut
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan MK No.
1-2/PUU-IX/2014 karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Adanya Putusan
MK tersebut mengembalikan ketentuan pengawasan Hakim Konstitusi merujuk pada
UU No. 8 Tahun 2011.51
Namun, mengingat seperti halnya yang telah tersaji pada tabel 1 dan 2, pengaturan
terkait dengan MKMK terbatas pada ketentuan umum. Oleh karena itu, MK membentuk
PMK No. 2 Tahun 2014 menggantikan PMK No. 2 Tahun 2013. Dalam PMK No. 2
Tahun 2014 dimasukkanlah pengaturan lebih detail mengenai MKMK dan Dewan
Etik. Pemberlakuan kembali UU No. 8
Tahun 2011 di atas berakhir dengan adanya UU No. 7 Tahun 2020. Dalam UU
tersebut, menurut Penulis, pembentuk UU lebih dominan menghapus sebagian besar
ketentuan terkait ketentuan MKMK, menyisakan pengaturan pembentukan MKMK
oleh MK dan keanggotaannya saja. Terkait dengan susunan organisasi dan hal

51
Fajlurahhman Jurdi, dkk. (2020).Optimalisasi Fungsi Pengasawasan Dewan Etik
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50. 3. Hlm. 692.

30
lainnya akan diatur dalam PMK
sebagaimana diamanatkan Pasal 27A ayat 7
UU a quo. Namun, sampai dengan saat ini nyatanya MK belum mengeluarkan PMK
untuk mengatur hal tersebut. Dengan demikian, hingga saat ini pengaturan terkait
Dewan Etik dan MKMK lebih merujuk pada PMK No. 2 Tahun 2014.
B. Perbandingan Pengaturan
Pengawasan Dewan Etik dan MKMK
Berdasarkan PMK No. 2 Tahun 2014, pengawasan terhadap Hakim Konstitusi
dilakukan oleh MKMK dan Dewan Etik, kedua perangkat ini pun memiliki hubungan
keterkaitan. Dewan Etik adalah perangkat yang dibentuk MK secara tetap guna
menjaga dan menegakkan kehormatan hakim terkait dengan laporan dugaan
pelanggaran oleh Hakim Konstitusi, dalam hal ini hakim terlapor/terduga, dari
masyarakat.52 Disisi lain, MKMK merupakan perangkat yang dibentuk MK atas usulan
Dewan Etik apabila terjadi suatu pelanggaran berat oleh hakim terlapor.60
Dengan kata lain MKMK bersifat ad hoc.61
Kemudian, terkait dengan tugas dan wewenang kedua perangkat yang menjadi pokok
bahasan Penulis adalah sebagai berikut :
Tabel 3 Perbandingan Tugas dan Wewenang
Dewan Etik dan MKMK berdasarkan PMK No.
2 Tahun 2014 yang menjadi pokok bahasan penulis

Sumber: Diolah Penulis 2022

Dari tabel yang bersumber dari PMK No. 2 Tahun 2014 di atas dapat tercermin
sistem kerja Dewan Etik dan MKMK secara

31
52
Achmad Safiudin R. Loc.Cit.

32
sederhana. Sistem kerja tersebut dapat tergambar pada bagan berikut:

Bagan 1 Alur Sistem Kerja Dewan Etik dan


MKMK
Sumber: Diolah Oleh Penulis 2022

Dari kondisi adanya dua perangkat yang berbeda sifat, Dewan Etik yang tetap
dan MKMK yang ad hoc, serta gambaran sistem kerja di atas, maka Penulis
berpendapat bahwa terdapat sejumlah
permasalahan yang timbul. Permasalahan tersebut adalah adanya potensi tidak
efisiennya proses penegakan pelanggaran etik. Adanya potensi tidak efisiennya proses
penegakan ini sebagai akibat dari beberapa ketentuan terkait Dewan Etik dan
MKMK. Pertama, adanya potensi tidak efisiennya proses penegakan pelanggaran etik
akibat wewenang Dewan Etik yang terbatas pada pemberian sanksi teguran lisan dan
sifat MKMK sebagai perangkat ad hoc untuk mengisi wewenang pemberian sanksi jika
terdapat pelanggaran berat. Kedua hal tersebut menjadikan penegakan pelanggaran,
khususnya pelanggaran berat, lama dan melalui banyak proses.
Kedua, dalam melaksanakan tugas

33
dan wewenangnya Dewan Etik juga berpotensi tidak independen dan
imparsial

34
subjek pembentuknya adalah sekaligus objek yang diawasi. Ketiga, terkait
dengan

wewenang Dewan Etik dalam upaya menegakkan kehormatan, keluhuran, dan kode
etik hakim terbatas pada jika terdapat aduan dari masyarakat.53 Hal ini menyebabkan
Dewan Etik sebagai perangkat pengawas MK bersifat pasif dalam menjalankan
wewenang tersebut.
2. Implementasi Pengawasan Dewan Etik dan MKMK Terhadap Hakim
Konstitusi
Implementasi pengawasan oleh Dewan Etik dan MKMK terhadap Hakim
Konstitusi dewasa ini telah mengalami dinamika yang kompleks dalam menangani
perkara mulai sejak dibentuk. Di samping itu, Dewan Etik dan MKMK juga menuai
beragam celah permasalahan untuk kemudian diperlukan penguatan keberadaannya
melalui reformulasi. Munculnya permasalahan pada alur pelaksanaan penanganan
perkara oleh Dewan Etik sebagaimana dituangkan pada bagan 1, akan dikaji oleh
Penulis lebih mendalam melalui study case pelanggaran etik oleh Hakim Konstitusi
yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus pelanggaran etik Hakim Konstitusi yang
cukup terkenal di masyarakat yakni ditangkapnya Hakim Konstitusi Patrialis
Akbar pada tahun
54

dalam menegakkan pelanggaran etik yang

35
2017.

36
Dalam kasus a quo Dewan Etik dan

ada. Menurut Penulis, hal ini berkaitan dengan pembentuk Dewan Etik adalah MK dan
berkedudukan pula di internal MK. Dengan keadaan demikian Dewan Etik dalam
menegakkan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim MK berpotensi untuk tidak
independen dan imparsial karena

37
MKMK-lah yang berperan menangani
penegakan kode etik yang telah dilanggar. Berikut disajikan alur penanganan
perkara terhadap kasus Patrialis Akbar.

53
Pasal 13 huruf b PMK No. 2 Tahun 2014.
54
Keputusan MKMK No.
01/MKMK-SPL/II/2017.

38
Bagan 2 Alur penanganan kasus Patrialis Akbar oleh
Dewan Etik dan MKMK
Sumber: Diolah oleh Penulis berdasarkan Keputusan
MKMK Nomor 01/MKMK-SPL/II/2017
Berkaca terhadap fakta empiris yang terjadi pada kasus di atas dan
bagan 1
Penulis menilai alur penanganan perkara yang panjang mulai dari
pemeriksaan oleh Dewan Etik hingga pelimpahan perkara kepada MKMK
terbukti menimbulkan ketidakefektifan waktu.
Ketidakefektifan yang terjadi pada penanganan perkara etik merupakan
implikasi dari 2 (dua) hal yakni Pertama, karena kewenangan Dewan Etik
hanya bisa dalam menangani pelanggaran etik hanya dapat memberikan sanksi
teguran secara lisan atau tulisan kepada hakim terduga atau hakim terlapor jika
terbukti melakukan pelanggaran etik ringan, sedangkan jika terbukti melakukan
pelanggaran etik berat maka perkara akan dilimpahkan kepada MKMK.55 Hal
ini menimbulkan ketidakefektifan waktu akibat alur yang relatif lama,
padahal menurut Wiryanto seharusnya Dewan Etik juga dapat memberhentikan
hakim terlapor yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat tanpa harus
membentuk Majelis Kehormatan terlebih dahulu agar jangka waktu proses
penanganan perkara menjadi lebih singkat dan efisien.56 Kedua, kedudukan
MKMK yang bersifat ad hoc.57

39
Keadaan demikian menimbulkan MKMK tidak dapat berperan dalam upaya preventif
terhadap adanya judicial corruption. Hal ini sejalan dengan pendapat Harjono bahwa
dalam upaya melaksanakan fungsi penegakan etik dan perilaku hakim tidaklah bisa
dilakukan oleh lembaga yang bersifat ad hoc, karena fungsi tersebut adalah fungsi
yang permanen sehingga harus dilaksanakan oleh lembaga yang permanen pula.58 Di
samping itu, mengingat dalam pembentukan MKMK perlu adanya rapat pleno Hakim
Konstitusi terlebih dahulu, maka menimbulkan adanya potensi menghambat efektivitas
pelaksanaan tugas Hakim Konstitusi dalam mengadili perkara.59
Meninjau penanganan perkara etik oleh lembaga etik, Penulis akan melakukan
studi komparatif dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik
Indonesia (DKPP RI) dan lembaga Penegak etik di Mahkamah Agung (MA) serta
lembaga Penegak etik di beberapa negara. Berikut disajikan tabel perbandingan antara
lembaga Penegak etik MK, DKPP RI dan lembaga Penegak etik MA.

55
Lihat Pasal 31 dan 32 PMK No. 2 tahun 2014.
56
M. Riza, dkk. Op.Cit. Hlm. 127.
57
Zihan Syahayani. (2014). Pembaharuan Hukum dalam Sistem Seleksi dan Pengawasan Hakim
Konstitusi. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Hlm. 4.

40
58
Ibid.
59
Wiryanto. Op.Cit. Hlm. 127.

41
Tabel 4 Perbandingan antara lembaga etik MK
dan DKPP KPU

Sumber: Diolah Penulis berdasarkan UU No. 7


Tahun 2020, PMK No. 2 Tahun 2014, jurnal hukum sasana “Rekayasa Sosial Sistem
Integritas Penyelenggara Pemilu”, Peraturan Bersama Ketua KY dan Ketua MA No.
04/SKB/P.KY/IX/2012 dan
04/KMA/SKB/IX/2012, dan Jurnal Konstitusi dan
Demokrasi
dengan judul “Check and Balances Sistem Peradilan
Etik”

42
Tabel 5 Perbandingan lembaga pengawasan etik di negara lain

Sumber: Data dirangkum dari Buku “Etik Hakim Konstitusi: Rekonstruksi dan
Evolusi Sistem Pengawasan” dan jurnal dengan judul “Rekonstruksi
Pengawasan Etik Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perspektif Hukum
Administrasi Negara”

Kemudian permasalahan pengawasan oleh Dewan Etik berikutnya adalah


terkait kedudukan dan pembentukannya. Kedudukannya sebagai pengawas internal
MK tidak memiliki landasan yuridis yang kuat. Hal tersebut karena Dewan Etik
lahir bukan dari perintah UU, tetapi melalui PMK dan dibentuk oleh MK.60
Padahal menurut Hans Kelsen dalam teori (Stufentheorie) bahwa norma itu
berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki, dalam artian suatu norma
yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi.61
Keadaan demikian menimbulkan kerancuan konstruksi dasar hukum pada Dewan
Etik dan kedudukannya di internal MK terkesan dibentuk untuk melindungi
Hakim Konstitusi itu sendiri. Di samping itu, keputusan yang dijatuhkan berpotensi
menimbulkan conflict of interest serta menjadi tidak independen dan imparsial.
Penulis akan mengkaji salah satu keputusan Dewan Etik sebagaimana
dituangkan pada BAHP No.
18/Lap-V/BAP/DE/2018 tanggal 11
Januari 2018 atas kasus Ketua MK Arief

60
Wiryanto. Op.Cit. Hlm. 237.

43
61
Hans Kelsen. (1978)
Pure Theory of Law.
Berkley: University
California Press. Hlm.
35.

44
Hidayat karena ditemukan sebuah kejanggalan. Dalam sidang Dewan Etik, Roestandi
bersilang pendapat dengan anggota Dewan Etik lainnya yakni Salahudin Wahid dan
Bintan Saragih terkait penjatuhan sanksi kepada Arief Hidayat.62 Roestandi menilai
mengingat kedudukan Arief Hidayat sebagai Ketua MK yang mana menjadi teladan
Hakim Konstitusi lain dan bukan sebagai hakim biasa, maka sudah sepantasnya
dijatuhi sanksi berat. Sementara anggota Dewan Etik lainnya seperti Salahudin
berpendapat bahwa perkara Arief Hidayat hanya sebagai pelanggaran etik ringan,
sedangkan Bintan menilai tidak ada pelanggaran kode etik. Namun, mereka pun
akhirnya bermusyawarah dan menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan terhadap Arief
Hidayat.
Menurut Penulis, keputusan yang diambil oleh Dewan Etik di atas
dapat menimbulkan spekulasi negatif yang berujung adanya conflict of
interest dan keputusan yang diterbitkan sulit ditelaah untuk menentukan
independesi dan imparsialitas Dewan Etik. Hal ini berdasarkan fakta-
fakta yang diperoleh selama pemeriksaan berupa, Pertama, bahwa Arief
Hidayat terbukti di pemeriksaan Dewan Etik bertemu dengan sejumlah pimpinan
Komisi III DPR RI di sebuah hotel tanpa undangan resmi. Hal tersebut
merupakan perbuatan tercela dan melanggar prinsip kepantasan serta kehati-hatian.
Oleh karena itu, Penulis sejalan dengan pendapat Roestandi seharusnya dijatuhkan
sanksi berat kepada Arief mengingat kedudukannya sebagai Ketua MK dan teladan
Hakim Konstitusi lainnya.
Kedua, Penulis menemukan fakta bahwa Arief akan dicalonkan menjadi
Hakim Konstitusi di periode berikutnya oleh DPR RI melalui fit and proper test yang
dilakukan dengan panel ahli. Kemudian DPR RI melakukan rapat pleno
dengan

62
Pratiwi, P. S. (2018). Dua Kali Kena Sanksi, Arief Hidayat Masih Pimpin MK. CNN
Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20
180116153601-12-269337/dua-kali-kena
-sanksi-ariefhidayat-masih-pimpin-mk.
Diakses 20 Juli 2022.

45
keputusan sembilan fraksi sepakat Arief Hidayat dipilih kembali dan satu fraksi
Gerindra bukan menolak, tetapi tidak memberikan pendapat. Sementara dalam proses
seleksi di DPR RI Arief merupakan calon Hakim Konstitusi tunggal. Kemudian pada 6
Desember 2018 Arief akhirnya terbukti terpilih kembali sebagai Hakim Konstitusi
periode 2018-2023 berdasarkan fit and proper test melalui panel oleh Komisi III
DPR RI.
Jika Arief Hidayat diputuskan oleh Dewan Etik melakukan pelanggaran berat,
maka DPR RI tidak memiliki calon Hakim Konstitusi yang diusulkan untuk periode
berikutnya. Kemudian apabila keputusan tersebut direalisasikan, maka akan semakin
memperkeruh lamanya proses seleksi internal di DPR RI untuk pemilihan calon
Hakim Konstitusi lainnya yang diusulkan dan mengganggu pelaksanaan tugas
DPR RI. Oleh karena itu, Penulis menilai mengingat kedudukan Dewan Etik sebagai
pengawas internal, maka keputusan yang diberikan berpotensi ditunggangi conflict of
interest agar kinerja DPR RI dalam proses pemilihan calon Hakim Konstitusi lebih
efektif dan Arief Hidayat tetap dapat turut menjadi Hakim Konstitusi yang diusulkan
oleh DPR RI untuk periode berikutnya.
Permasalahan selanjutnya adalah dalam pelaksanaan pengawasan, Dewan Etik
tidak memiliki kewenangan untuk secara aktif mencari fakta-fakta yang terkait
dengan penyebab pelanggaran kode etik oleh Hakim Konstitusi, dengan kata lain
bersifat pasif menunggu laporan dari masyarakat.63 Hal ini karena untuk memeriksa
perkara terkait dugaan pelanggaraan kode etik, Dewan Etik hanya mampu menunggu
laporan dari perseorangan, kelompok orang, lembaga atau organisasi.64 Menurut
Penulis, keadaan ini dapat berimplikasi menimbulkan kurang optimalnya kinerja
pengawasan Dewan Etik karena sepatutnya meskipun tidak dilaporkan masyarakat,
Dewan Etik juga

63
Fajlurahhman Jurdi dkk. Op.Cit. Hlm.
695–696.
64
Lihat Pasal 9 Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi No. 1 Tahun 2014 tentang
Mekanisme Kerja dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan Informasi.

46
dapat melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaraan oleh Hakim
Konstitusi.
Masalah lain juga timbul akibat terbatasnya kewenangan Dewan Etik yang
hanya dapat memeriksa berdasarkan laporan masyarakat berimplikasi pada
ditolaknya laporan dari internal MK itu sendiri. Misalnya pada Tahun 2018,
laporan peneliti MK terhadap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Arief
Hidayat yang ditolak oleh Dewan Etik karena dianggap bukan masyarakat sehingga
tidak memiliki legal standing.65 Pelaporan ini pun kemudian berujung
dibebastugaskannya pegawai pelapor untuk sementara dan menuai reaksi dari
berbagai pihak yang menganggap MK telah melanggar hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara yang sepatutnya dilindungi MK sebagai the guardian of
constition and constitutional rights.75
3. Reformulasi Pengawas Etik Hakim Konstitusi Dalam Menjaga dan
Mengawasi Kode Etik dan Perilaku Hakim.
Reformulasi merupakan salah satu langkah yang dapat memaksimalkan kinerja
dan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Etik. Hal ini dikarenakan
beberapa pertimbangan yang telah diterangkan dalam pembahasan-pembahasan
sebelum ini. Mulai dari dasar hukum Dewan Etik yang terlalu lemah karena hanya
diatur di dalam PMK, hingga permasalahan wewenang Dewan Etik yang
limitatif.
A. Pembentukan Mahkamah
Kehormatan Hakim Konstitusi
Dalam rangka menegakkan supremasi konstitusi diperlukan reformulasi baru
bagi lembaga pengawas kode etik dan perilaku

47
Dalam Penulisan artikel ilmiah ini, Penulis menemukan bahwa secara normatif
lembaga pengawas internal Hakim Konstitusi status quo terdiri dari dua lembaga
pengawas, yaitu yang kedudukannya bersifat permanen (Dewan Etik) dan ad hoc
(MKMK). Lembaga yang bersifat permanen atau Dewan Etik ini memiliki tiga orang
anggota yang terdiri dari Achmad Sodiki, Ahmad Syafii Maarif, dan Sudjito. Akan
tetapi, dua dari tiga orang anggota Dewan Etik tersebut telah habis masa jabatannya
dan hanya menyisakan Sudjito sebagai anggota Dewan Etik dengan masa jabatan
hingga tahun 2023.
Menurut Fajar Laksono sebagai juru bicara MK, Dewan Etik yang ada saat ini
memang sedang tidak optimal dan tidak ideal dikarenakan sedang masa transisi
pembentukan MKMK.66 Hal ini disebutkan pula sebelumnya oleh Fajar Laksono bahwa
Dewan Etik akan bertransformasi menjadi MKMK sebagaimana revisi UU MK
terbaru (UU No. 7 Tahun 2020).77
Di sisi lain, sebenarnya ada hal yang perlu dipertanyakan kembali atas penjelasan
di atas. Jika demikian, siapakah yang berperan menjadi lembaga penegak kode
etik dan perilaku Hakim Konstitusi ketika banyak media yang membicarakan
mengenai pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan saudara presiden saat
Dewan Etik tersisa satu orang anggota? Dugaan adanya pelanggaran kode etik Hakim
Konstitusi tersebut pun dikhawatirkan akan membentuk conflict of interest apabila
ada permasalahan yang berkaitan dengan keluarga saudara presiden.67 Seperti yang
dilansir dari Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas
Hakim Konstitusi. Pelaksanaan perubahan
tersebut dapat dilakukan melalui revisi UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8
Tahun 2011 dan diubah kembali dengan UU No. 7 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Perubahan ini dilakukan
guna mengefektifkan dan mengoptimalkan kinerja lembaga pengawas internal MK
di masa yang akan datang.

65
Achmad Safiudin R. Loc.Cit.

48
66
Andi Saputra. (2022). Bukan Mati Suri, Ini Kata MK soal Anggota Dewan Etik
yang Tinggal 1 Orang. https://news.detik.com/berita/d-6048327/buk
an-mati-suri-ini-kata-mk-soal-ang gotadewan-etik- yang-ting gal-1-orang. Diakses 02
Agustus
2022. 77 Ibid.
67
CNN Indonesia, PBHI Akan Gugat ke Dewan
Etik MK Desak Anwar Usman Mundur,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/2022032
2084150-12-774510/anwar-usman-dimintamundu r-dari-mk-jika-nikah-dengan-adik-jokowi.
Diakses
02 Agustus 2022.

49
Andalas, Feri Amsari, berpendapat jika pernikahan Anwar Usman dengan adik
Presiden Jokowi akan menimbulkan dampak terhadap ketatanegaraan, karena Anwar
selaku Hakim Konstitusi akan menyidangkan perkara-perkara yang berkaitan dengan
kepentingan politik presiden.68
Penulis juga menemukan pernyataan resmi MK dari website mkri.id dengan
judul berita ’Perpisahan Dengan Dewan Etik Hakim Konstitusi’ tertanggal 23
Desember Tahun 2021. Berita tersebut menegaskan bahwa tugas Dewan Etik akan
dilanjutkan oleh MKMK sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang No. 7
Tahun 2020.69
Maka dari itu, dengan adanya kekosongan jabatan di Dewan Etik, muncul
pertanyaan apakah akan ada PMK sebagai pelaksana amanat Pasal 27A UU
MK? Penulis pun berpendapat apabila benar bahwa Pertama, Dewan Etik telah
memasuki masa purnatugas dan mengucapkan perpisahan, Kedua, keberadaan UU a
quo tidak mengatur mengenai Dewan Etik, dan ketiga, belum adanya pencabutan
PMK tentang Dewan Etik. Maka secara otomatis Dewan Etik dapat dikatakan
masih eksis secara normatif,81 tetapi telah terjadi kekosongan jabatan di lembaganya.
Sehingga perkara dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi yang
disangkakan kepada Anwar Usman masih belum ditangani sesuai dengan tupoksi
kewenangan yang tersedia secara normatif oleh tiga orang anggota Dewan Etik. Dari
hal itu, Penulis mengusulkan perlu adanya perubahan lembaga pengawas Hakim
Konstitusi

68
CNN Indonesia, Anwar Usman Diminta Mundur dari MK Jika Nikah dengan Adik Jokowi,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/2022032
2084150-12-774510/anwar-usman-dimintamundu r-dari-mk-jika-nikah-dengan-adik-jokowi.
Diakses
02 Agustus 2022.
69
MKRI. Perpisahan dengan Dewan Etik Hakim
Konstitusi.
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Beri ta&id=17897&menu=2. Diakses 02
Agustus

50
81
2022. Wawancara bersama Faiz Rahman, S.H., LL.M., Dosen Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada.

51
dengan membentuk Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) demi
menguatkan kembali peranan pengawasan Hakim Konstitusi yang luhur dan
bermartabat.
Pembentukan Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK)70 akan
berfokus pada perubahan norma-norma normatif yang memuat penghapusan
Dewan Etik melalui Putusan MK dan/atau PMK, mengalihkan tugas Dewan Etik dan
MKMK kepada MKHK dengan melakukan penyesuaian agar lebih efektif dan tidak
mengganggu kinerja Hakim Konstitusi yang menjadi terduga/terlapor, serta
memberikan kewenangan yang lebih luas bagi fungsi pengawasan MKHK. Oleh karena
itu, nantinya hanya akan ada satu lembaga pengawas internal MK untuk mengawasi
kode etik Hakim Konstitusi.
Sebagai klarifikasi tambahan, pembentukan Mahkamah Kehormatan Hakim
Konstitusi (MKHK) dalam Penulisan artikel ilmiah ini tidak berarti menghidupkan
kembali Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang pernah dibentuk dalam UU
No. 4 Tahun
2014. MKHK dalam Penulisan ini hanya memiliki singkatan yang sama dan
pembentukan MKHK ini diperlukan sebagai penegasan bahwa perlu adanya pembaruan
lembaga pengawas internal demi meningkatkan penguatan kode etik dan perilaku
Hakim Konstitusi yang putusan-putusannya menyangkut kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Pertama, untuk susunan keanggotaan
MKHK dalam artikel ilmiah ini, Penulis menyarankan untuk tidak memasukkan unsur
Hakim Konstitusi aktif. Hal ini demi tidak terjadinya tumpang tindih kekuasaan

70
Nama Mahkamah digunakan dengan merujuk referensi Mahkamah Kehormatan Dewan.
Berdasarkan wawancara dan riset yang dilakukan bersama Fitrah Bukhari, SH.,
MSI., MH. (Tenaga ahli MKD DPR RI) mengenai Mahkamah Kehormatan Dewan,
Penulis mengusulkan pembentukan lembaga ini sebagai Mahkamah. Pemilihan ini
berangkat dari pemikiran the rules of law yang harus diiringi dengan the rules of ethics.

52
karena Hakim Konstitusi aktif juga memiliki peran untuk memeriksa dan mengadili
perkara di MK. Penulis mengusulkan susunan komposisi keanggotaan MKHK terdiri
dari 2 (dua) orang mantan Hakim Konstitusi, 2 (dua) orang praktisi hukum, 2 (dua)
orang guru besar dibidang hukum, dan
1 (satu) orang tokoh masyarakat.
Kedua, pengaturan kedudukan
MKHK secara normatif harus bersifat tetap karena apabila MKHK bersifat ad hoc,
maka tidak efisien dan tidak bersifat berkelanjutan sehingga penanganan laporan day
to day akan mengalami masalah karena tidak ditangani oleh anggota tetap serta
memicu judicial corruption.71 Kemudian, karena kedudukannya bersifat tetap,
anggota KY tidak bisa menjadi anggota MKHK karena objek pengawasan KY
tidak mencakup Hakim Konstitusi sebagaimana diatur di dalam ketentuan Putusan
MK Nomor
005/PUU-IV/2006.
Ketiga, terkait dengan
pembentukannya sendiri, MKHK akan dipilih oleh panel ahli yang akan menyeleksi
secara ketat dan akuntabel. Panel ahli ini terdiri dari 1 (satu) orang mantan Hakim
Konstitusi, 1 (satu) orang guru besar dibidang hukum dan 1 (satu) orang tokoh
masyarakat yang masing-masing diakui dan tidak tercela kepribadiannya, serta
ketiganya masing-masing dipilih oleh MK sehingga kedudukannya masih bersifat
internal. Lebih lanjut, untuk menutup adanya dugaan tidak independen dan dugaan
bahwa Hakim Konstitusi dilindungi oleh lembaga pengawas internalnya, maka
susunan pengisi panel ahli maupun anggota MKHK harus diisi oleh orang-orang
yang memang memiliki track record bagus dan dipercaya oleh publik.
Keempat, keadaan status quo

53
laporan yang masuk tersebut menunjukkan hasil yang baik, tetapi apakah laporan yang
jarang tersebut disebabkan karena kinerja pengawasan Dewan Etik yang memang baik
dan Hakim Konstitusi yang menaati KEPPH dengan patuh? ataukah karena
kurangnya pengetahuan masyarakat umum terkait pengawasan internal MK tersebut?
Oleh karena itu, Penulis memberikan solusi tambahan bahwa MKHK bisa memiliki
kewenangan untuk menyosialisasikan diri mereka seperti DKPP RI.73 Misalnya
menyediakan handbook bahan sosialisasi yang memuat penjelasan fungsi, kewenangan,
alur pemeriksaan, alur pengaduan dan cara pengaduan yang lebih jelas dan terperinci
apabila ada dugaan pelanggaran KEPPH yang bisa diunduh oleh siapa saja melalui
website resmi MK RI.
Kelima, MKHK bisa memiliki sanksi yang lebih tegas dari Dewan Etik dan dapat
bersikap aktif menangani dugaan pelanggaran kode etik (bukan menunggu
perkara/laporan masyarakat). Sebelumnya Dewan Etik hanya memiliki kewenangan
pemberian sanksi terhadap pelanggaran ringan berupa teguran lisan dan mengusulkan
rekomendasi pembentukan MKMK untuk dugaan pelanggaran berat dengan jangka
waktu paling lambat dibentuk tujuh hari sejak rekomendasi pengusulan Dewan Etik
tersebut diterima.74 Oleh karena itu, demi mengefektifkan waktu pemrosesan perkara
maka MKHK diusulkan oleh Penulis memiliki kewenangan pemberian sanksi teguran
tertulis (peringatan dan peringatan keras), pemberhentian sementara dan pemberhentian
tetap seperti sanksi yang ada pada DKPP RI tanpa perlu membentuk lembaga ad hoc
untuk memutus pelanggaran berat.75
mengindikasikan semakin jarangnya laporan
yang masuk ke Dewan Etik.72 Jarangnya

71
Pratiwi, P. S. (2018). Dua Kali Kena Sanksi, Arief Hidayat Masih Pimpin MK. CNN
Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180
116153601-12-269337/dua-kali-kena-sanksi-ar ief- hidayat-masih-pimpin-mk. Diakses 20 Juli
2022.
72
MKRI, Loc.Cit.

54
73
DKPP. https://dkpp.go.id/bahan-sosialisasi/
Diakses 02 Agustus 2022.
74
Lihat Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15
Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi No. 1 Tahun 2014 tentang Mekanisme Kerja
dan dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan Informasi.
75
Lihat Pasal 22 Peraturan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang

55
B. Mengembalikan KY Sebagai
Lembaga Pengawas Eksternal MK
Kekuasaan yang besar dalam ranah kekuasaan kehakiman tanpa diimbangi oleh
pengawasan yang sama besar akan memicu judicial corruption dan penyalahgunaan
kekuasaan lainnya yang dapat menghidupkan penindasan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pertimbangan lain mengapa perlu adanya pengawasan lembaga eksternal
di samping lembaga internal adalah karena meskipun Hakim Konstitusi memiliki sifat
merdeka, kemerdekaan atau kebebasan itu tidak dapat dikatakan mutlak. Hal ini sejalan
dengan pendapat
International Court of Jurists bahwa, “Independence does not mean that judge is
entitled to act in an arbitary manner”. Selain itu, menurut Benny Ramdhany, Dewan
Etik sebagai pengawas internal masih menyimpan masalah sehingga tidak dapat
bekerja secara efektif dan dibentuk sendiri oleh MK melalui PMK. 76 Tidak
adanya pengawasan dan alat kontrol di luar internal MK tersebutlah yang dapat
menciptakan adanya abuse of power, seperti contohnya kasus Akil Mochtar dan
Patrialis.89
Pembentukan lembaga eksternal sejatinya bukanlah ide yang asing dalam
pengawasan suatu lembaga atau organisasi. Dalam sistem ketatanegaraan, hal tersebut
tidak asing karena sebagai contohnya ada banyak lembaga eksternal yang telah
dibentuk seperti KY yang mengawasi MA dan Dewan Pers yang mengawasi
Jurnalistik. Di negara lain pun ada lembaga pengawas eksternal yang mengawasi MK
di negaranya, seperti Korea Selatan dengan Majelis Nasionalnya77, Afrika Selatan
dengan Judicial

Kode Etik dan Perilaku Penyelenggara


Pemilihan Umum.
76
Tempo. Cegah Abuse of Power, Perlu
Lembaga Pengawas Untuk MK.

56
https://nasional.tempo.co/read/1128832/ceg ah-abuse-of-power-perlu-lembaga-
pengawas-unt ukmk. Diakses 03 Agustus 2022.
77
Penjabaran Pasal 65 ayat (1) Konstitusi Korea
Selatan.

57
Service Commision (JSC),78 dan Makedonia dengan The Republican Judicial
Council.79
Dengan demikian, sebagai langkah preventif untuk dapat menekan potensi adanya
abuse of power yang dilakukan oleh MK dan untuk mencegah adanya masalah
perilaku Hakim Konstitusi. Perlu adanya lembaga pengawas eksternal sebagai alat
kontrol dan pengawasan yang tidak dapat dipengaruhi karena posisinya yang sejajar
untuk mengawasi MK. Dengan catatan tanpa mengganggu independensi dan sifat
imparsial Hakim Konstitusi.
Di samping itu, inisiatif pembentukan lembaga pengawas eksternal haruslah
dibentuk melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945 sebagai pilihan utama agar tidak
bertentangan dengan Putusan MK No.
005/PUU-XII/2006 dan PMK No.
1-2/PUU-XII/2014. Adapun lembaga pengawas eksternal yang diusulkan ialah KY
dengan melakukan reformulasi sistematika BAB Kekuasaan Kehakiman UUD NRI
Tahun 1945 agar KY secara yuridis-filosofis saling berkaitan dengan MA dan MK serta
menyatakan secara eksplisit bahwa KY sebagai pengawas Hakim Konstitusi yang
independen. Sehingga kelemahan-kelemahan pengawas internal seperti adanya potensi
semangat membela sesama (esprit de corps)80 dan penilaian subyektif (tidak
obyektif karena menilai dan mengawasi diri sendiri) dapat ditekan oleh kehadiran KY
sebagai pengawas eksternal MK dan berjalan lebih efektif.
Adapun catatan tambahan, KY harus diberi batasan hanya sebagai pengawas
perilaku Hakim Konstitusi dan diberi

78
Pasal 177 The Constitution of South Africa, Amended on 11 Oct 1996 in force since: 7 Feb
1997.
79
Pasal 104 The Constitution of Macedonia, Adopted on: 17 Nov 1991, effective since: 20 Nov
1991, amanded on: 6 Jan 1992.
80
Sarif, H. A., & Firdaus, S. U. (2018).
Pengaturan Fungsi Pengawasan Internal Terhadap Hakim Konstitusi Sebagai Upaya
Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Studi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor
1-2/PUU-XII/2014). Res Publica, 2(1). Hlm. 63. Diakses 04 Agustus
2022

58
tanggungjawab bersama untuk mengawasi penegakkan KEPPH yang dilakukan
oleh pengawas internal MK.
Apabila pengawas internal MK tidak melaksanakan tugas dengan baik,
maka KY dapat mengambil langkah lebih lanjut untuk memberikan peringatan
tertulis kepada pengawas internal MK dan rekomendasi usulan dugaan
pelanggaran kode etik yang tidak secara cepat tanggap dilakukan. Selain itu, KY
berperan bersama MKHK dari pemeriksaan hingga penjatuhan sanksi bagi hakim
terduga atau terlapor.

Bagan 3 Alur mekanisme penegakan perilaku Hakim Konstitusi oleh lembaga


internal dan eksternal MK
Sumber: Diolah oleh Penulis 2022

D. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Berdasarkan rumusan masalah satu, Penulis berpendapat bahwa terdapat
sejumlah permasalahan yang timbul akibat adanya dua perangkat pengawas
etik MK. Pertama, adanya potensi tidak efisiennya proses penegakan
pelanggaran etik akibat wewenang Dewan Etik yang terbatas pada pemberian
sanksi teguran lisan dan adanya MKMK sebagai perangkat ad hoc untuk
mengisi wewenang pemberian sanksi jika terdapat pelanggaran berat. Kedua,
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Dewan Etik juga berpotensi tidak
independen dan imparsial dalam menegakkan pelanggaran etik yang ada.

59
Ketiga, terkait dengan wewenang Dewan Etik dalam upaya
menegakkan

60
kehormatan, keluhuran, dan kode etik hakim terbatas pada jika terdapat aduan dari
masyarakat berakibat pasifnya kewenangan Dewan Etik.
b. Berdasarkan rumusan masalah dua, Penulis berhasil menemukan permasalahan
secara praktis terhadap pengawasan oleh Dewan Etik dan MKMK yakni; Pertama,
Ketidakefektifan mekanisme penanganan perkara yang relatif panjang dan lama,
karena Dewan Etik memiliki kewenangan yang terbatas pada pemberian sanksi
berupa teguran lisan atau tulisan terhadap perkara yang diputuskan sebagai
pelanggaran ringan. Sedangkan ketika terdapat putusan pelanggaran berat maka
akan dilimpahkan pada MKMK. Kedua, Kedudukan dan pembentukan Dewan Etik
yang dibentuk melalui PMK berimplikasi membawa kesan bahwa lembaga etik MK
digunakan untuk melindungi Hakim Konstitusi itu sendiri dan berpotensi memicu
conflict of interest. Ketiga, Dewan Etik bersikap pasif dalam menangani perkara
dugaan pelanggaran etik oleh Hakim Konstitusi, karena kewenangan yang dimiliki
terbatas hanya mampu menunggu laporan dari masyarakat.
c. Berdasarkan rumusan masalah tiga, Penulis telah berhasil memberikan
rekomendasi solusi dan mekanisme dari permasalahan dan pembahasan yang
telah dipaparkan pembahasan satu dan dua. Adapun rekomendasi tersebut adalah:
Pertama, melakukan rekonstruksi normatif pengawas etik Hakim Konstitusi
melalui revisi UU MK. Gagasan ini ditujukan dengan membentuk lembaga baru
bernama MKHK. Kedua, mengembalikan peranan KY yang disesuaikan
kewenangannya untuk melengkapi pengawasan Hakim Konstitusi.
2. Saran
Berdasarkan pemaparan diatas, Penulis merekomendasikan kepada pihak
pemerintah agar mengadopsi gagasan yang Penulis berikan demi menciptakan
efektivitas dan efisiensi pengawasan oleh lembaga etik Hakim Konstitusi agar

61
praktik-praktik tercela yang dilarang sebagaimana diatur kode etik Hakim Konstitusi
dapat dihindari. Sehingga kepercayaan masyarakat kepada MK sebagai the guardian of
constitution dan the final interpreter of constitutionsemakin meningkat.

F. DAFTAR PUSTAKA A. Buku


Amiruddin dan Asikin, Zainal. (2004).
Pengantar Metode Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Asshiddiqie, Jimly. (2005). Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, dalam Mahkamah Konstitusi, Bunga Rampai
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Fajrul Falakh, Mohammad. Beberapa Pemikiran untuk Revisi UU Komisi Yudisial.
dalam Komisi Yudisial. Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial
RI, Jakarta: Komisi Yudisial RI.
Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnely Jr. (1996). Organisasi:
Perilaku, Struktur, Proses. (Terjemahan) Edisi Delapan. Jakarta: Binarupa
Aksara

Huda, Ni’matul dan Nazriyah, Riri. (2011).


Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Yogyakarta:
Nusamedia.
Kelsen, Hans. (1978). Pure Theory of Law, Berkley: University California Press.
Riza, M, dkk. (2018). Pengawasan terhadap Integritas Hakim Konstitusi dalam
Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI.
MD. Moh. Mahfud. (2011) Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

M, Sudikno. (2007). Penemuan Hukum Sebuah


Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

M. S. Richard. (1985). Efektivitas Organisasi.


Jakarta: Erlangga.

Muhammad, Abdulkadir. (2006). Etika Profesi Hukum. Bandung: PT Citra Bakti.

40
Siswandi. (2011). Aplikasi Manajemen Perusahaan. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Soekanto, Soerjonodan dan Mamudji, Sri. (2007). Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syahayani, Zihan. (2014). Pembaharuan Hukum dalam Sistem Seleksi dan
Pengawasan Hakim Konstitusi. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Wiryanto. (2019). Etik Hakim Konstitusi Rekonstruksi dan Evolusi Sistem
Pengawasan. Depok: Rajawali Pers.

B. Disertasi/Thesis/Makalah/Jurnal
B. A, Hidayatullah. (2021). Rekonstruksi Pengawasan Etik Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara. Jurnal Hukum
Kenegaraan dan Politik Islam.
Chaidir, Ellydar dan Suparto. (2017). Perlunya Pengawasan Terhadap Kode Etik dan
Prilaku Hakim Konsitusi dalam rangka menjaga Martabat dan
Kehormatannya, Jurnal UIR Law Review 01(02).
H. A. Sarif, & Firdaus, S. U. (2018).
Pengaturan Fungsi Pengawasan Internal Terhadap Hakim Konstitusi Sebagai
Upaya Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Studi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014). Res Publica, 2(1).
Jurdi, Fajlurahhman dkk. (2020) Optimalisasi Fungsi Pengasawasan Dewan Etik
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum
& Pembangunan Tahun ke-
50. 3.

Marzuki, M. Laica. (2006). Komisi Yudisial dan Relevansinya dengan Kekuasaan


Kehakiman Jurnal Konstitusi. 6(2).
R, Achmad Safiudin. (2016). Pengawasan Komisi Yudisial Terhadap Hakim
Mahkamah Konstitusi Perspektif Fiqh Sifayah. Al-Daulah Jurnal Hukum dan
Perundangan Islam 6(1).
Ramdani, Indra. (2020). Pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi oleh Dewan Etik
Kaitannya dengan Prinsip Objektivitas: Studi Keputusan Kewan

41
Etik Nomor 18/lap-v/bap/de/2018. UIN Sunan Gunung DJATI.
Sinaga, Niru Anita. (2020). Kode Etik Sebagai
Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum yang Baik”, Jurnal Ilmiah Hukum
Dirgantara. VIX(2).
Thohari, A. Ahsin. (2010). Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia. 7(1). Jakarta:
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementrian Hukum dan
HAM.
Tutik, Titik Triwulan. (2014) Pengawasan Hakim Konsitusi Dalam Sistem
Pengawasan Hakim Menurut Undang-Undang Dasar Negara RI
1945. Jurnal Dinamika Hukum. 12(2). Wiryanto. (2016). Penguatan
Dewan Etik
dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim Konsitusi . Konstitusi, 13(4).
Yunaldi, Wendra. (2018) Judicial Review “Satu Atap” Peraturan
Perundang-
Undangan di Bawah Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Pagaruyuang Law
Journal 1(2).
C. E-Jurnal
Suhendri, D. (2017). Efektivitas Kinerja Dinas PU Cipta Karya dan Tata
Ruang Kota dalam Mengelola Taman Kenanga Dusun Gemulo Kota
Batu. https://eprints.umm.ac.id/35927/. Diakses 03 Agustus 2022.
Wambrauw.A.Y. (2013). Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah
Perpajakan dan Retribusi Daerah Dalam Memperoleh Pendapatan Asli
Daerah di Kabupaten Supiori Provinsi Papua.
http://ejour nal.uajy.ac.id/id/eprint/4
241. Diakses 03 Agustus 2022. D. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Perubahan Atas Undang-Undang

42
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2020
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013.

Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang Mekanisme
Kerja dan dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan Informasi.

Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara


Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Perilaku Penyelenggara Pemilihan
Umum.
Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006. Putusan MK No. 49/PUU/2011.
Putusan MK Nomor 1-2/PUU-IX/2014. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
7
Tahun 2005.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 10
Tahun 2006.

43
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9
Tahun 2006.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2013.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2014.
Konstitusi Korea Selatan.
The Constitution of South Africa.
The Constitution of Macedonia.
E. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


005/PUU-VI/2006

44
Putusan MK No. 49/PUU/2011

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2


PUU-IX/2014

Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah


Konstitusi Nomor
01/MKMKSPL/II/2017.
F. Internet

Mahkamah Konstitusi. Perpisahan dengan Dewan Etik Hakim Konstitusi.


https://www.mkri.id/index.php?page=w eb.Berita&id=178 97&menu=2
diakses 02 Agustus 2022.

DKPP.
https://dkpp.go.id/bahan-sosialisasi
/. Diakses 02 Agustus 2022.

KBBI Online, https://kbbi.web.id/efektivitas.


Diakses 3 Agustus 2022.

The Bangalore Priciple Of Judicial Condact mengatur mengenai independence,


impartiality, integrity, propriety, equality, an d competence an diligent
sebagai tolak ukur penilaian perilaku hakim,
https://www.unodc.or g/res/ji/import/inter n ational_standards/
commentar y_on_the_bangalore_principles_of
_judicial_conduct/bang alore_principles_english.pdf. Diakses 31 Juli
2022

Syahrudin, Riko. Kedudukan


Hakim di
indonesia.http//www.academia.edu/273258
47/Kedudukan_Hakim_di Indonesia. Diakses 31 Juli 2022.
G. Artikel
CNN Indonesia, PBHI Akan Gugat ke Dewan Etik MK Desak Anwar Usman Mundur,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/2022

45
0322084150-12774510/anwar-usman-dimin ta-mundur-dari-mk-jika-nikah-
denganadik-jok owi. Diakses 02 Agustus 2022.
CNN Indonesia, Anwar Usman Diminta Mundur dari MK Jika Nikah dengan Adik
Jokowi,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/2022
0322084150-12774510/anwar-usman-dimin ta-mundur-dari-mk-jika-nikah-
denganadik-jok owi. Diakses 02 Agustus 2022.
Dian, Maharani “Mantan Ketua MK Akil Mochtar Divonis Seumur Hidup”,
https://nasional.kompas.com/read/2014/06

46
/30/2203501/Mantan.Ketua. MK.Akil.Mochtar.Divonis.Seumur.Hidup.
Diakses 26 Juli 2022
Hukum Online, Hakim MK Tak Mau Diawasi KY,
https://www.hukumonline.com/berita/a/haki m-mk-tak-mau-diawasi-kyhol15347.
Diakses
22 Juli 2022
Kumoro, Heru Sri, Mantan Ketua Mk Akil Mochtar Divonis Seumur Hidup
https://nasional.kompas.com/read/2014/06
/30/2203501/Mantan.Ketua.MK.Akil.Moc htar.Divonis.Seum. Diakses 23 Juli
2022.
Pratiwi, P. S. (2018). Dua Kali Kena Sanksi, Arief Hidayat Masih Pimpin MK.
CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/2018
011615360112-269337/dua-kali-kena-sank si-arief-hidayat-masih-pimpinmk.
Diakses 20
Juli 2022.
Tempo. Cegah Abuse of Power, Perlu Lembaga Pengawas Untuk MK.
https://nasional.tempo.co/read/1128832/ce gah-abuse-of-power-perlulembaga-
pengawas-un tuk-mk. Diakses 03 Agustus 2022.
Saputra, Andi. (2022) Bukan Mati Suri, Ini Kata MK soal Anggota Dewan
Etik yang Tinggal 1 Orang. https://news.detik.com/berita/d-
6048327/ bukanmati-suri-ini-kata-mk-soal-ang gota-de wan-etik-yang-ting gal-
1-orang.
Diakses 02 Agustus 2022.

H. Wawancara, Diskusi, dan Seminar

Wawancara dengan Bapak Dr. Wiryanto, S.H., M. Hum.

Wawancara dengan Faiz Rahman, S.H., LL.M.

Wawancara bersama Fitrah Bukhari SH., MSI., M.H.


I. Dokumen Lain
Materi Pointers Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat,
S.H., M.S. Dalam Acara Continuing Legal Education,” Peran Mahkamah
Konstitusi Sebagai Penjaga Konstitusi dan Pengawal Demokrasi Dalam

47
Sengketa Pemilu” Jakarta, 3 Mei 2013. Hlm. 2

48
49

Anda mungkin juga menyukai