A. PENDAHULUAN
MK sebagai salah satu lembaga yudikatif mempunyai empat wewenang dan satu
kewajiban yang diatur di dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 yaitu, untuk
menguji undang-undang terhadap UUD, menyelesaikan sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus perselisihan hasil
pemilihan umum dan memutus pembubaran partai politik, serta satu kewajiban untuk
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Oleh karenanya, MK juga disebut dengan “the guardian of constitution, the final
interpreter of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s
constitutional right, and the protector of human rights”.
Dalam penyelenggaraan wewenang dan kewajibannya, MK memiliki Hakim
Konstitusi yang pengangkatannya ditetapkan oleh presiden.5 Hakim Konstitusi terdiri
atas Sembilan orang yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah
Agung (MA), tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Kemudian, untuk
memilih Hakim Konstitusi tersebut ada conditio sine qua non sebagai syarat yang
harus dimiliki oleh para Hakim Konstitusi. Syarat tersebut seperti negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, berintegritas, tidak tercela dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, untuk mencapai realisasi para Hakim Konstitusi yang
bermartabat, luhur, tidak tercela, akuntabel, dan imparsial perlu adanya pembatasan
perilaku hakim melalui kode etik. Konsekuensi tersebut nantinya akan menghadirkan
unsur pengawasan terhadap kode etik dan perilaku Hakim, baik yang bersifat internal
maupun eksternal.
13
Wiryanto. (2016). Penguatan Dewan Etik dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim
Konstitusi, Jurnal Konstitusi. 13(4). Hlm.722.
14
Hidayatullah, B.A. (2021). Rekonstruksi
Pengawasan Etik Hakim Mahkamah Konstitusi dalam
Perspektif Hukum Administrasi Negara. Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam.
Hlm. 39
15
Dian Maharani “Mantan Ketua MK Akil
Mochtar Divonis Seumur Hidup”,
https://nasional.kompas.com/read/2014/06/30/
2203501/Mantan.Ketua.MK.Akil.Mochtar.Divon is.S eumur.Hidup. Diakses 26 Juli 2022
MK No. 1-2/PUU-IX/2014, sehingga pengawasan Hakim Konstitusi kembali
berlandaskan UU No. 8 Tahun 2011 (sekarang telah dilakukan perubahan ketiga
menjadi UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun
2003 tentang MK) dan PMK No. 2 tahun
2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi yang diganti dengan PMK No. 2 tahun
2014 tentang MKMK.
Kasus hukum yang menjerat Hakim Konstitusi pun tidak hanya berhenti di
tahun 2013. Hal tersebut berlanjut dengan adanya pelanggaran-pelanggaran KEPPH
yang dilakukan beberapa di antaranya oleh Ketua MK Arief Hidayat dan Hakim
Konstitusi Patrialis Akbar.16 Adanya kode etik yang seharusnya menjadi acuan
batasan sekaligus pengingat bagi Hakim Konstitusi untuk senantiasa menjaga perilaku
dan moralnya tetap saja dilanggar dan seolah tidak mengindahkan adanya lembaga
pengawas internal mereka, yaitu Dewan Etik sebagai pengawas harian (day to day) dan
MKMK sebagai perangkat ad hoc yang diusulkan oleh Dewan Etik saat ada dugaan
pelanggaran berat.17
Selain itu, landasan yuridis Dewan Etik sangat problematik karena
terlahir hanya melalui PMK No. 2 Tahun 2013 dan tidak diatur di dalam UU MK
seperti MKMK. Permasalahan tersebut pun memunculkan kekeliruan yang mengira
bahwa tidak ada landasan hukum dari Dewan Etik.18 Padahal terdapat PMK No.
2
Tahun 2013 yang diganti dengan PMK No.
2 Tahun 2014 sebagai keputusan hakim yang harus dianggap benar, mengingat
asas
hukum Res judicata pro veritate habiteur19 dan pertimbangan isi putusannya.
Dari sisi normatif, Dewan Etik tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan
Hakim Konstitusi terduga/terlapor dan harus mengusulkan pembentukan MKMK
terlebih dahulu. Hal ini tidak efektif dari segi waktu dan berpotensi menghambat kinerja
Hakim Konstitusi dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman.20 Ditambah pada tahun 2022, dua dari tiga anggota Dewan Etik sudah
habis masa jabatannya di tahun 2021. Terhitung saat Penulisan ini dibuat masih belum
ada pengisian kekosongan jabatan Dewan Etik yang ditampilkan di laman website
MK RI.21 Oleh sebab itu, Penulisan artikel ilmiah ini berjudul Reformulasi
Pengawasan Mahkamah Konstitusi Demi Meningkatkan Efektivitas Penegakan
Kode Etik Hakim Konstitusi
.
Adapun tinjauan pustaka yang digunakan dalam Penulisan ini yaitu; Pertama,
tinjauan Teori Pengawasan Hakim, kegiatan pengawasan berhubungan dengan
perencanaan pekerjaan pada sebuah lembaga/organisasi yang menurut pendapat Stoner
dan Wankel diperlukan untuk memastikan sebuah organisasi/lembaga bergerak sesuai
jalurnya.22 Apabila organisasi/lembaga ini tidak berjalan sesuai arah tujuan maka para
manajer akan mengarahkan kepada jalurnya kembali. Dalam konteks ini, hakim
merupakan pejabat peradilan negara yang berwenang
16
Keputusan Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi,
https://www.mkri.id/. Diakses 26 Juli 2022
17
Indra Ramdani. (2020). Pengawasan
hakim Mahkamah Konstitusi oleh Dewan Etik Kaitannya dengan Prinsip Objektivitas:
Studi Keputusan Kewan Etik Nomor 18/lap-v/bap/de/2018. UIN Sunan Gunung
DJATI. Hlm 7–8.
18
Ellydar, Chaidir dan Suparto. (2017)
Perlunya Pengawasan Terhadap Kode Etik dan Prilaku Hakim Konstitusi dalam
rangka menjaga Martabat dan Kehormatannya. Jurnal UIR Law Review
01(02). hlm. 122-123.
19
Sudikno M. (2007). Penemuan Hukum Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 7.
20
Lihat wewenang Dewan Etik Hakim Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
12/PUU-IX/2014.
21
Profil Dewan Etik.
https://testing.mkri.id/peradilan/dewan_etik/profil.
Diakses 25 Juli 2022
22
M. Riza. dkk (2018). Pengawasan terhadap Integritas Hakim Konsitusi dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI. 26.
untuk mengadili menurut undang-undang.23
Menurut Bambang Waluyo, hakim yang mengerti hukum diberikan kewajiban dan
tanggung jawab di pundaknya untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan sesuai
dengan asas yang mengatur serta nilai ketuhanan di sendi peradilan.27
Lebih lanjut, hakim di dalam UU No.
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dibagi menjadi Hakim (hakim
yang badan peradilannya berada di bawah MA), Hakim Agung (Hakim MA), Hakim
Konstitusi (Hakim MK) dan Hakim ad hoc (hakim yang bersifat sementara).
Berdasarkan teori pengawasan hakim di atas, hakim bukanlah malaikat tetapi hanya
seorang manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dalam memutus sebuah
perkara. Pekerjaan hakim itu dilakukannya dengan sifat hakim yang merdeka dan
mandiri. Akan tetapi, ada anggapan bahwa kemerdekaan atau kebebasan hakim itu
tidak bersifat absolut karena hakim harus menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila
dan UUD NRI Tahun
1945.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat 5 UUD NRI Tahun 1945 dan
Pasal 27A UU MK (UU No. 7 Tahun 2020) yang keduanya sama-sama
mengamanatkan bahwa Hakim Konstitusi harus memiliki integritas berdasarkan norma
dan etika yang diatur dalam kode etik dan perilaku Hakim. Oleh karena itu, hakim
dapat bersifat merdeka atau bebas, tetapi kebebasannya tersebut tidak boleh terlepas
dari tanggung jawab yang membatasi kebebasannya (tidak terlepas dari pengawasan).24
23
Pasal 1 Butir 8
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 27 Riko Syahrudin. Kedudukan
Hakim di Indonesia.
http//www.academia.edu/27325847/Kedudukan_Ha kim_ di Indonesia. Diakses 31 Juli 2022
24
A. Ahsin Thohari. (2010). Desain
Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol.7 No. 1, Maret, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-Undangan
Kedua, Teori kode etik dan perilaku hakim, kode etik menurut Shidarta
merupakan norma yang tersusun secara sistematis, berupa prinsip-prinsip moral
25
pada suatu profesi yang keberadaannya melekat dan tidak dapat dipisahkan. Kode etik
profesi mengarahkan anggotanya untuk berbuat sesuai aturan yang mereka terima,
demi menjamin moral profesi di pandangan masyarakat.26 Hal ini sejalan dengan
deklarasi kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi atau Sapta Karsa Utama yang
disusun dengan merujuk The Bangalore Principle Of Judicial Condact27 guna
terpelihara dan terjaganya integritas serta kompetensi Hakim Konstitusi.
Kode etik juga dijadikan landasan moral sekaligus pedoman sikap dan tingkah
laku. Sehingga sanksi yang didapatkan berupa sanksi administratif dan sanksi
moral. Kemudian, tinjauan KEPPH, merupakan panduan moral dan etik bagi setiap
Hakim Konstitusi, baik dalam menjalankan tugas konstitusionalnya maupun dalam
pergaulannya di masyarakat.28 Panduan ini merujuk pada PMK No. 9 Tahun 2006
tentang Pemberlakuan Deklarasi kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi. Kode etik ini
sebagai penuangan konkrit dari aturan etika
29
KBBI Online, https://kbbi.web.id/efektivitas.
Diakses 03 Agustus 2022.
30
Siswandi. (2011). Aplikasi Manajemen
Perusahaan. Jakarta: Mitra Wacana Media. Hlm.
39.
31
A.Y. Wambrauw. (2013). Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah
Perpajakan dan Retribusi Daerah Dalam Memperoleh Pendapatan Asli Daerah
di Kabupaten Supiori Provinsi Papua. http://ejour nal.uajy.ac.id/id/eprint/4241.
Diakses 03 Agustus 2022
32
D. Suhendri. (2017). Efektivitas Kinerja
Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang Kota dalam Mengelola Taman Kenanga Dusun
Gemulo Kota Batu. Hlm. 19. https://eprints.umm.ac.id/35927/ Diakses
03 Agustus 2022.
33
Gibson, James L., John M. Ivancevich dan James H. Donnely Jr. (1996). Organisasi:
Perilaku, Struktur, Proses. (Terjemahan) Edisi Delapan. Jakarta: Binarupa Aksara.
mengukur efektivitas. Faktor ini terdiri dari pencapaian tujuan, integrasi, dan adaptasi.
Pencapaian tujuan dinilai sebagai periodisasi tahapan atau kurun waktu yang ditentukan
untuk mencapai target sasaran. Integrasi dipandang berkaitan dengan proses-proses
yang menyangkut sosialisasi. Sedangkan, adaptasi digunakan sebagai kemampuan
menyesuaikan diri yang digunakan oleh organisasi dengan lingkungannya untuk mengisi
pengadaan dan tenaga kerja.34
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang dan keadaan status quo, Penulis akan
mengangkat tiga rumusan masalah, yaitu: Pertama, Bagaimana pengaturan
pengawasan Hakim Konstitusi oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi? Rumusan ini akan menerangkan mengenai sejarah pengawasan Hakim
Konstitusi, komparasi antar peraturan, dan analisis implikasi dari pengaturan normatif
yang berlaku. Kedua, Bagaimana implementasi pengawasan Hakim Konstitusi dan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi? Rumusan ini akan menganalisis
implementasi peraturan terkait Dewan Etik dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi, permasalahan/kasus yang timbul selama pelaksanaan pengawasan dikaitkan
dengan pengaturan normatif, serta komparasi lembaga pengawasan etik. Ketiga,
Bagaimana model reformulasi pengawas hakim konstitusi dalam menjaga dan
mengawasi kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi? Rumusan ini memaparkan
bagaimana solusi yang akan Penulis bawa terkait pengawasan Hakim Konstitusi,
termasuk bagaimana formulasinya.
Adapun tujuan Penulisan ini ditujukan secara subyektif untuk mengikuti
Kompetisi Artikel Ilmiah dalam rangkaian acara Constitutional Law Festival 2022 yang
diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Sedangkan, secara obyektif
Penulisan ini ditujukan untuk menganalisis, mengetahui, dan mengkritisi kinerja
Dewan Etik serta untuk merumuskan dan menerapkan reformulasi pengawas Hakim
Konstitusi.
34
Richard M. S. (1985). Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga. Hlm. 53.
Selanjutnya, manfaat Penulisan ini yaitu; Pertama, manfaat teoritis, Penulisan
artikel ini diharapkan bisa memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan hukum
untuk menemukan solusi dalam reformulasi kinerja Dewan Etik. Kedua, Penulis
berharap tulisan ini dapat bermanfaat untuk legislator, akademisi, pemerintah, dan
masyarakat sehingga menambah pemahaman bahwa kondisi Dewan Etik dalam status
quo memerlukan pembaruan untuk dapat menjalankan tugasnya dalam menjaga dan
mengawasi kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini ialah penelitian hukum (legal research) yang tergolong penelitian
hukum normatif35 atau yang disebut sebagai penelitian hukum dogmatis oleh para
ahli. Penelitian ini akan menganalisis norma atau ketentuan hukum yang ada,
membahasnya secara sistematis, menganalisis hubungan antara norma atau ketentuan
yang ada, serta mengkaji permasalahan atau hambatan di status quo.36
Pada penelitian ini, cara pengambilan
C. PEMBAHASAN
1. Pengaturan Pengawasan Hakim Konstitusi oleh Dewan Etik dan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya
35
Amiruddin dan Zainal Asikin. (2004). Pengantar Metode Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Hlm. 29.
36
Ibid.. Hlm. 118.
37
Soerjono dan Sri. (2007). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Umum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hlm. 23. 42
Ibid.
lanjut dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (UU KY). Pasal 13 UU KY dimuat ketentuan bahwa KY berwenang
untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Kemudian dalam Pasal 20
dijelaskan bahwa demi mencapai tujuan dari pasal 13, maka KY dapat melakukan
pengawasan terhadap hakim yang mana jika merujuk pada Pasal 1 angka 5
disebutkan bahwa yang dimaksud oleh hakim dalam UU tersebut adalah hakim agung
dan hakim pada badan peradilan lain di bawah MA, serta Hakim Konstitusi .
Dalam konstruksi pengawasan eksternal oleh KY terhadap MK di atas menjadi
perdebatan tersendiri di kalangan praktisi maupun akademisi. Dalam UU KY Pasal 1
angka 5 menggunakan konsep dan perumusan makna hakim adalah include.39
38
Ellydar Chaidir dan Suparto. Loc.Cit. Hlm. 112.
39
Titik Triwulan Tutik. (2014). Pengawasan
Hakim Konstitusi Dalam Sistem Pengawasan
Penafsiran demikian sejalan dengan apa yang dikemukakan Fajrul Falaakh, Jimly
Asshiddiqie, dan M. Laica Marzuki. Fajrul Falaakh berpendapat bahwa
sebenarnya tidak ada penafsiran spesifik makna hakim pada tingkat konstitusi, tetapi
kita dapat merujuk pada Risalah Sidang MPR dan bahan sosialisasi hasil-hasil
amandemen.40
Berdasarkan kedua sumber tersebut, melalui metode penafsiran semantik dapat
dipahami pemaknaan kata “hakim” ialah sebagaimana dituliskan yaitu mencakup semua
hakim sehingga pemaknaan hakim pada pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
mencakup semua hakim.41 Pernyataan Fajrul Falaakh sejalan dengan pendapat Jimly
Asshiddiqie, Jimly berpendapat bahwa berdasarkan penafsiran harafiah, Hakim
Konstitusi masuk ke dalam pengeritan hakim yang diawasi oleh KY sebagaimana Pasal
24B ayat (1).42 Pendapat kedua ahli di atas didukung pula dengan pernyataan M. Laica
Marzuki, ia menyatakan bahwa amanat Konstitusi kepada KY untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan dan keluhuran hakim adalah termasuk Hakim Konstitusi .43
Berbeda dengan Fajrul Falaakh, Jimly Asshiddiqie, dan M. Laica Marzuki,
Natabaya berpendapat bahwa Hakim Konstitusi bukan termasuk pengertian hakim
yang diawasi oleh KY karena Hakim Konstitusi bukan hakim profesi tetap, layaknya
hakim pada umumnya, melainkan
hanya diangkat untuk jangka waktu lima tahun.44 Pendapat Natabaya ini sejalan dengan
putusan akhir yang diambil oleh MK untuk mengamputasi pengawasan eksternal KY
melalui Putusan MK No.
005/PUU-VI/2006 tentang Judicial Review
UU No. 22 Tahun 2004 dan UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada 23 Agustus 2006.45 Dalam putusan
tersebut salah satunya memutuskan bahwa pencakupan Hakim Konstitusi masuk
dalam pengertian hakim pada UU KY adalah tidak benar dan bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan membatalkan beberapa pasal dan materi hampir
seluruhnya.46
Dengan diamputasinya kewenangan pengawasan eksternal terhadap MK oleh
KY, pembentuk UU dalam hal ini DPR, melalui perubahan UU No. 24 Tahun 2003
tentang MK dengan UU No. 8 Tahun
2011.47 Dalam perubahan UU tersebut DPR
mengonstruksikan adanya pengawasan internal dari MK sebagai pengganti pengawasan
eksternal yang telah diamputasi. Konstruksi pengawasan ini diatur dalam Pasal 27A
bahwa MKMK merupakan perangkat yang dibentuk MK, guna melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap para Hakim Konstitusi dalam hal memantau, memeriksa, dan
merekomendasikan tindakan Hakim Konstitusi yang diduga melanggar KEPPH.53
Berikut perbandingan
51
Fajlurahhman Jurdi, dkk. (2020).Optimalisasi Fungsi Pengasawasan Dewan Etik
Mahkamah Konstitusi. Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50. 3. Hlm. 692.
30
lainnya akan diatur dalam PMK
sebagaimana diamanatkan Pasal 27A ayat 7
UU a quo. Namun, sampai dengan saat ini nyatanya MK belum mengeluarkan PMK
untuk mengatur hal tersebut. Dengan demikian, hingga saat ini pengaturan terkait
Dewan Etik dan MKMK lebih merujuk pada PMK No. 2 Tahun 2014.
B. Perbandingan Pengaturan
Pengawasan Dewan Etik dan MKMK
Berdasarkan PMK No. 2 Tahun 2014, pengawasan terhadap Hakim Konstitusi
dilakukan oleh MKMK dan Dewan Etik, kedua perangkat ini pun memiliki hubungan
keterkaitan. Dewan Etik adalah perangkat yang dibentuk MK secara tetap guna
menjaga dan menegakkan kehormatan hakim terkait dengan laporan dugaan
pelanggaran oleh Hakim Konstitusi, dalam hal ini hakim terlapor/terduga, dari
masyarakat.52 Disisi lain, MKMK merupakan perangkat yang dibentuk MK atas usulan
Dewan Etik apabila terjadi suatu pelanggaran berat oleh hakim terlapor.60
Dengan kata lain MKMK bersifat ad hoc.61
Kemudian, terkait dengan tugas dan wewenang kedua perangkat yang menjadi pokok
bahasan Penulis adalah sebagai berikut :
Tabel 3 Perbandingan Tugas dan Wewenang
Dewan Etik dan MKMK berdasarkan PMK No.
2 Tahun 2014 yang menjadi pokok bahasan penulis
Dari tabel yang bersumber dari PMK No. 2 Tahun 2014 di atas dapat tercermin
sistem kerja Dewan Etik dan MKMK secara
31
52
Achmad Safiudin R. Loc.Cit.
32
sederhana. Sistem kerja tersebut dapat tergambar pada bagan berikut:
Dari kondisi adanya dua perangkat yang berbeda sifat, Dewan Etik yang tetap
dan MKMK yang ad hoc, serta gambaran sistem kerja di atas, maka Penulis
berpendapat bahwa terdapat sejumlah
permasalahan yang timbul. Permasalahan tersebut adalah adanya potensi tidak
efisiennya proses penegakan pelanggaran etik. Adanya potensi tidak efisiennya proses
penegakan ini sebagai akibat dari beberapa ketentuan terkait Dewan Etik dan
MKMK. Pertama, adanya potensi tidak efisiennya proses penegakan pelanggaran etik
akibat wewenang Dewan Etik yang terbatas pada pemberian sanksi teguran lisan dan
sifat MKMK sebagai perangkat ad hoc untuk mengisi wewenang pemberian sanksi jika
terdapat pelanggaran berat. Kedua hal tersebut menjadikan penegakan pelanggaran,
khususnya pelanggaran berat, lama dan melalui banyak proses.
Kedua, dalam melaksanakan tugas
33
dan wewenangnya Dewan Etik juga berpotensi tidak independen dan
imparsial
34
subjek pembentuknya adalah sekaligus objek yang diawasi. Ketiga, terkait
dengan
wewenang Dewan Etik dalam upaya menegakkan kehormatan, keluhuran, dan kode
etik hakim terbatas pada jika terdapat aduan dari masyarakat.53 Hal ini menyebabkan
Dewan Etik sebagai perangkat pengawas MK bersifat pasif dalam menjalankan
wewenang tersebut.
2. Implementasi Pengawasan Dewan Etik dan MKMK Terhadap Hakim
Konstitusi
Implementasi pengawasan oleh Dewan Etik dan MKMK terhadap Hakim
Konstitusi dewasa ini telah mengalami dinamika yang kompleks dalam menangani
perkara mulai sejak dibentuk. Di samping itu, Dewan Etik dan MKMK juga menuai
beragam celah permasalahan untuk kemudian diperlukan penguatan keberadaannya
melalui reformulasi. Munculnya permasalahan pada alur pelaksanaan penanganan
perkara oleh Dewan Etik sebagaimana dituangkan pada bagan 1, akan dikaji oleh
Penulis lebih mendalam melalui study case pelanggaran etik oleh Hakim Konstitusi
yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus pelanggaran etik Hakim Konstitusi yang
cukup terkenal di masyarakat yakni ditangkapnya Hakim Konstitusi Patrialis
Akbar pada tahun
54
35
2017.
36
Dalam kasus a quo Dewan Etik dan
ada. Menurut Penulis, hal ini berkaitan dengan pembentuk Dewan Etik adalah MK dan
berkedudukan pula di internal MK. Dengan keadaan demikian Dewan Etik dalam
menegakkan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim MK berpotensi untuk tidak
independen dan imparsial karena
37
MKMK-lah yang berperan menangani
penegakan kode etik yang telah dilanggar. Berikut disajikan alur penanganan
perkara terhadap kasus Patrialis Akbar.
53
Pasal 13 huruf b PMK No. 2 Tahun 2014.
54
Keputusan MKMK No.
01/MKMK-SPL/II/2017.
38
Bagan 2 Alur penanganan kasus Patrialis Akbar oleh
Dewan Etik dan MKMK
Sumber: Diolah oleh Penulis berdasarkan Keputusan
MKMK Nomor 01/MKMK-SPL/II/2017
Berkaca terhadap fakta empiris yang terjadi pada kasus di atas dan
bagan 1
Penulis menilai alur penanganan perkara yang panjang mulai dari
pemeriksaan oleh Dewan Etik hingga pelimpahan perkara kepada MKMK
terbukti menimbulkan ketidakefektifan waktu.
Ketidakefektifan yang terjadi pada penanganan perkara etik merupakan
implikasi dari 2 (dua) hal yakni Pertama, karena kewenangan Dewan Etik
hanya bisa dalam menangani pelanggaran etik hanya dapat memberikan sanksi
teguran secara lisan atau tulisan kepada hakim terduga atau hakim terlapor jika
terbukti melakukan pelanggaran etik ringan, sedangkan jika terbukti melakukan
pelanggaran etik berat maka perkara akan dilimpahkan kepada MKMK.55 Hal
ini menimbulkan ketidakefektifan waktu akibat alur yang relatif lama,
padahal menurut Wiryanto seharusnya Dewan Etik juga dapat memberhentikan
hakim terlapor yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat tanpa harus
membentuk Majelis Kehormatan terlebih dahulu agar jangka waktu proses
penanganan perkara menjadi lebih singkat dan efisien.56 Kedua, kedudukan
MKMK yang bersifat ad hoc.57
39
Keadaan demikian menimbulkan MKMK tidak dapat berperan dalam upaya preventif
terhadap adanya judicial corruption. Hal ini sejalan dengan pendapat Harjono bahwa
dalam upaya melaksanakan fungsi penegakan etik dan perilaku hakim tidaklah bisa
dilakukan oleh lembaga yang bersifat ad hoc, karena fungsi tersebut adalah fungsi
yang permanen sehingga harus dilaksanakan oleh lembaga yang permanen pula.58 Di
samping itu, mengingat dalam pembentukan MKMK perlu adanya rapat pleno Hakim
Konstitusi terlebih dahulu, maka menimbulkan adanya potensi menghambat efektivitas
pelaksanaan tugas Hakim Konstitusi dalam mengadili perkara.59
Meninjau penanganan perkara etik oleh lembaga etik, Penulis akan melakukan
studi komparatif dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik
Indonesia (DKPP RI) dan lembaga Penegak etik di Mahkamah Agung (MA) serta
lembaga Penegak etik di beberapa negara. Berikut disajikan tabel perbandingan antara
lembaga Penegak etik MK, DKPP RI dan lembaga Penegak etik MA.
55
Lihat Pasal 31 dan 32 PMK No. 2 tahun 2014.
56
M. Riza, dkk. Op.Cit. Hlm. 127.
57
Zihan Syahayani. (2014). Pembaharuan Hukum dalam Sistem Seleksi dan Pengawasan Hakim
Konstitusi. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Hlm. 4.
40
58
Ibid.
59
Wiryanto. Op.Cit. Hlm. 127.
41
Tabel 4 Perbandingan antara lembaga etik MK
dan DKPP KPU
42
Tabel 5 Perbandingan lembaga pengawasan etik di negara lain
Sumber: Data dirangkum dari Buku “Etik Hakim Konstitusi: Rekonstruksi dan
Evolusi Sistem Pengawasan” dan jurnal dengan judul “Rekonstruksi
Pengawasan Etik Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perspektif Hukum
Administrasi Negara”
60
Wiryanto. Op.Cit. Hlm. 237.
43
61
Hans Kelsen. (1978)
Pure Theory of Law.
Berkley: University
California Press. Hlm.
35.
44
Hidayat karena ditemukan sebuah kejanggalan. Dalam sidang Dewan Etik, Roestandi
bersilang pendapat dengan anggota Dewan Etik lainnya yakni Salahudin Wahid dan
Bintan Saragih terkait penjatuhan sanksi kepada Arief Hidayat.62 Roestandi menilai
mengingat kedudukan Arief Hidayat sebagai Ketua MK yang mana menjadi teladan
Hakim Konstitusi lain dan bukan sebagai hakim biasa, maka sudah sepantasnya
dijatuhi sanksi berat. Sementara anggota Dewan Etik lainnya seperti Salahudin
berpendapat bahwa perkara Arief Hidayat hanya sebagai pelanggaran etik ringan,
sedangkan Bintan menilai tidak ada pelanggaran kode etik. Namun, mereka pun
akhirnya bermusyawarah dan menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan terhadap Arief
Hidayat.
Menurut Penulis, keputusan yang diambil oleh Dewan Etik di atas
dapat menimbulkan spekulasi negatif yang berujung adanya conflict of
interest dan keputusan yang diterbitkan sulit ditelaah untuk menentukan
independesi dan imparsialitas Dewan Etik. Hal ini berdasarkan fakta-
fakta yang diperoleh selama pemeriksaan berupa, Pertama, bahwa Arief
Hidayat terbukti di pemeriksaan Dewan Etik bertemu dengan sejumlah pimpinan
Komisi III DPR RI di sebuah hotel tanpa undangan resmi. Hal tersebut
merupakan perbuatan tercela dan melanggar prinsip kepantasan serta kehati-hatian.
Oleh karena itu, Penulis sejalan dengan pendapat Roestandi seharusnya dijatuhkan
sanksi berat kepada Arief mengingat kedudukannya sebagai Ketua MK dan teladan
Hakim Konstitusi lainnya.
Kedua, Penulis menemukan fakta bahwa Arief akan dicalonkan menjadi
Hakim Konstitusi di periode berikutnya oleh DPR RI melalui fit and proper test yang
dilakukan dengan panel ahli. Kemudian DPR RI melakukan rapat pleno
dengan
62
Pratiwi, P. S. (2018). Dua Kali Kena Sanksi, Arief Hidayat Masih Pimpin MK. CNN
Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20
180116153601-12-269337/dua-kali-kena
-sanksi-ariefhidayat-masih-pimpin-mk.
Diakses 20 Juli 2022.
45
keputusan sembilan fraksi sepakat Arief Hidayat dipilih kembali dan satu fraksi
Gerindra bukan menolak, tetapi tidak memberikan pendapat. Sementara dalam proses
seleksi di DPR RI Arief merupakan calon Hakim Konstitusi tunggal. Kemudian pada 6
Desember 2018 Arief akhirnya terbukti terpilih kembali sebagai Hakim Konstitusi
periode 2018-2023 berdasarkan fit and proper test melalui panel oleh Komisi III
DPR RI.
Jika Arief Hidayat diputuskan oleh Dewan Etik melakukan pelanggaran berat,
maka DPR RI tidak memiliki calon Hakim Konstitusi yang diusulkan untuk periode
berikutnya. Kemudian apabila keputusan tersebut direalisasikan, maka akan semakin
memperkeruh lamanya proses seleksi internal di DPR RI untuk pemilihan calon
Hakim Konstitusi lainnya yang diusulkan dan mengganggu pelaksanaan tugas
DPR RI. Oleh karena itu, Penulis menilai mengingat kedudukan Dewan Etik sebagai
pengawas internal, maka keputusan yang diberikan berpotensi ditunggangi conflict of
interest agar kinerja DPR RI dalam proses pemilihan calon Hakim Konstitusi lebih
efektif dan Arief Hidayat tetap dapat turut menjadi Hakim Konstitusi yang diusulkan
oleh DPR RI untuk periode berikutnya.
Permasalahan selanjutnya adalah dalam pelaksanaan pengawasan, Dewan Etik
tidak memiliki kewenangan untuk secara aktif mencari fakta-fakta yang terkait
dengan penyebab pelanggaran kode etik oleh Hakim Konstitusi, dengan kata lain
bersifat pasif menunggu laporan dari masyarakat.63 Hal ini karena untuk memeriksa
perkara terkait dugaan pelanggaraan kode etik, Dewan Etik hanya mampu menunggu
laporan dari perseorangan, kelompok orang, lembaga atau organisasi.64 Menurut
Penulis, keadaan ini dapat berimplikasi menimbulkan kurang optimalnya kinerja
pengawasan Dewan Etik karena sepatutnya meskipun tidak dilaporkan masyarakat,
Dewan Etik juga
63
Fajlurahhman Jurdi dkk. Op.Cit. Hlm.
695–696.
64
Lihat Pasal 9 Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi No. 1 Tahun 2014 tentang
Mekanisme Kerja dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan Informasi.
46
dapat melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaraan oleh Hakim
Konstitusi.
Masalah lain juga timbul akibat terbatasnya kewenangan Dewan Etik yang
hanya dapat memeriksa berdasarkan laporan masyarakat berimplikasi pada
ditolaknya laporan dari internal MK itu sendiri. Misalnya pada Tahun 2018,
laporan peneliti MK terhadap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Arief
Hidayat yang ditolak oleh Dewan Etik karena dianggap bukan masyarakat sehingga
tidak memiliki legal standing.65 Pelaporan ini pun kemudian berujung
dibebastugaskannya pegawai pelapor untuk sementara dan menuai reaksi dari
berbagai pihak yang menganggap MK telah melanggar hak asasi manusia dan hak
konstitusional warga negara yang sepatutnya dilindungi MK sebagai the guardian of
constition and constitutional rights.75
3. Reformulasi Pengawas Etik Hakim Konstitusi Dalam Menjaga dan
Mengawasi Kode Etik dan Perilaku Hakim.
Reformulasi merupakan salah satu langkah yang dapat memaksimalkan kinerja
dan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Etik. Hal ini dikarenakan
beberapa pertimbangan yang telah diterangkan dalam pembahasan-pembahasan
sebelum ini. Mulai dari dasar hukum Dewan Etik yang terlalu lemah karena hanya
diatur di dalam PMK, hingga permasalahan wewenang Dewan Etik yang
limitatif.
A. Pembentukan Mahkamah
Kehormatan Hakim Konstitusi
Dalam rangka menegakkan supremasi konstitusi diperlukan reformulasi baru
bagi lembaga pengawas kode etik dan perilaku
47
Dalam Penulisan artikel ilmiah ini, Penulis menemukan bahwa secara normatif
lembaga pengawas internal Hakim Konstitusi status quo terdiri dari dua lembaga
pengawas, yaitu yang kedudukannya bersifat permanen (Dewan Etik) dan ad hoc
(MKMK). Lembaga yang bersifat permanen atau Dewan Etik ini memiliki tiga orang
anggota yang terdiri dari Achmad Sodiki, Ahmad Syafii Maarif, dan Sudjito. Akan
tetapi, dua dari tiga orang anggota Dewan Etik tersebut telah habis masa jabatannya
dan hanya menyisakan Sudjito sebagai anggota Dewan Etik dengan masa jabatan
hingga tahun 2023.
Menurut Fajar Laksono sebagai juru bicara MK, Dewan Etik yang ada saat ini
memang sedang tidak optimal dan tidak ideal dikarenakan sedang masa transisi
pembentukan MKMK.66 Hal ini disebutkan pula sebelumnya oleh Fajar Laksono bahwa
Dewan Etik akan bertransformasi menjadi MKMK sebagaimana revisi UU MK
terbaru (UU No. 7 Tahun 2020).77
Di sisi lain, sebenarnya ada hal yang perlu dipertanyakan kembali atas penjelasan
di atas. Jika demikian, siapakah yang berperan menjadi lembaga penegak kode
etik dan perilaku Hakim Konstitusi ketika banyak media yang membicarakan
mengenai pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan saudara presiden saat
Dewan Etik tersisa satu orang anggota? Dugaan adanya pelanggaran kode etik Hakim
Konstitusi tersebut pun dikhawatirkan akan membentuk conflict of interest apabila
ada permasalahan yang berkaitan dengan keluarga saudara presiden.67 Seperti yang
dilansir dari Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas
Hakim Konstitusi. Pelaksanaan perubahan
tersebut dapat dilakukan melalui revisi UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8
Tahun 2011 dan diubah kembali dengan UU No. 7 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK. Perubahan ini dilakukan
guna mengefektifkan dan mengoptimalkan kinerja lembaga pengawas internal MK
di masa yang akan datang.
65
Achmad Safiudin R. Loc.Cit.
48
66
Andi Saputra. (2022). Bukan Mati Suri, Ini Kata MK soal Anggota Dewan Etik
yang Tinggal 1 Orang. https://news.detik.com/berita/d-6048327/buk
an-mati-suri-ini-kata-mk-soal-ang gotadewan-etik- yang-ting gal-1-orang. Diakses 02
Agustus
2022. 77 Ibid.
67
CNN Indonesia, PBHI Akan Gugat ke Dewan
Etik MK Desak Anwar Usman Mundur,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/2022032
2084150-12-774510/anwar-usman-dimintamundu r-dari-mk-jika-nikah-dengan-adik-jokowi.
Diakses
02 Agustus 2022.
49
Andalas, Feri Amsari, berpendapat jika pernikahan Anwar Usman dengan adik
Presiden Jokowi akan menimbulkan dampak terhadap ketatanegaraan, karena Anwar
selaku Hakim Konstitusi akan menyidangkan perkara-perkara yang berkaitan dengan
kepentingan politik presiden.68
Penulis juga menemukan pernyataan resmi MK dari website mkri.id dengan
judul berita ’Perpisahan Dengan Dewan Etik Hakim Konstitusi’ tertanggal 23
Desember Tahun 2021. Berita tersebut menegaskan bahwa tugas Dewan Etik akan
dilanjutkan oleh MKMK sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang No. 7
Tahun 2020.69
Maka dari itu, dengan adanya kekosongan jabatan di Dewan Etik, muncul
pertanyaan apakah akan ada PMK sebagai pelaksana amanat Pasal 27A UU
MK? Penulis pun berpendapat apabila benar bahwa Pertama, Dewan Etik telah
memasuki masa purnatugas dan mengucapkan perpisahan, Kedua, keberadaan UU a
quo tidak mengatur mengenai Dewan Etik, dan ketiga, belum adanya pencabutan
PMK tentang Dewan Etik. Maka secara otomatis Dewan Etik dapat dikatakan
masih eksis secara normatif,81 tetapi telah terjadi kekosongan jabatan di lembaganya.
Sehingga perkara dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi yang
disangkakan kepada Anwar Usman masih belum ditangani sesuai dengan tupoksi
kewenangan yang tersedia secara normatif oleh tiga orang anggota Dewan Etik. Dari
hal itu, Penulis mengusulkan perlu adanya perubahan lembaga pengawas Hakim
Konstitusi
68
CNN Indonesia, Anwar Usman Diminta Mundur dari MK Jika Nikah dengan Adik Jokowi,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/2022032
2084150-12-774510/anwar-usman-dimintamundu r-dari-mk-jika-nikah-dengan-adik-jokowi.
Diakses
02 Agustus 2022.
69
MKRI. Perpisahan dengan Dewan Etik Hakim
Konstitusi.
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Beri ta&id=17897&menu=2. Diakses 02
Agustus
50
81
2022. Wawancara bersama Faiz Rahman, S.H., LL.M., Dosen Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada.
51
dengan membentuk Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) demi
menguatkan kembali peranan pengawasan Hakim Konstitusi yang luhur dan
bermartabat.
Pembentukan Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK)70 akan
berfokus pada perubahan norma-norma normatif yang memuat penghapusan
Dewan Etik melalui Putusan MK dan/atau PMK, mengalihkan tugas Dewan Etik dan
MKMK kepada MKHK dengan melakukan penyesuaian agar lebih efektif dan tidak
mengganggu kinerja Hakim Konstitusi yang menjadi terduga/terlapor, serta
memberikan kewenangan yang lebih luas bagi fungsi pengawasan MKHK. Oleh karena
itu, nantinya hanya akan ada satu lembaga pengawas internal MK untuk mengawasi
kode etik Hakim Konstitusi.
Sebagai klarifikasi tambahan, pembentukan Mahkamah Kehormatan Hakim
Konstitusi (MKHK) dalam Penulisan artikel ilmiah ini tidak berarti menghidupkan
kembali Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang pernah dibentuk dalam UU
No. 4 Tahun
2014. MKHK dalam Penulisan ini hanya memiliki singkatan yang sama dan
pembentukan MKHK ini diperlukan sebagai penegasan bahwa perlu adanya pembaruan
lembaga pengawas internal demi meningkatkan penguatan kode etik dan perilaku
Hakim Konstitusi yang putusan-putusannya menyangkut kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Pertama, untuk susunan keanggotaan
MKHK dalam artikel ilmiah ini, Penulis menyarankan untuk tidak memasukkan unsur
Hakim Konstitusi aktif. Hal ini demi tidak terjadinya tumpang tindih kekuasaan
70
Nama Mahkamah digunakan dengan merujuk referensi Mahkamah Kehormatan Dewan.
Berdasarkan wawancara dan riset yang dilakukan bersama Fitrah Bukhari, SH.,
MSI., MH. (Tenaga ahli MKD DPR RI) mengenai Mahkamah Kehormatan Dewan,
Penulis mengusulkan pembentukan lembaga ini sebagai Mahkamah. Pemilihan ini
berangkat dari pemikiran the rules of law yang harus diiringi dengan the rules of ethics.
52
karena Hakim Konstitusi aktif juga memiliki peran untuk memeriksa dan mengadili
perkara di MK. Penulis mengusulkan susunan komposisi keanggotaan MKHK terdiri
dari 2 (dua) orang mantan Hakim Konstitusi, 2 (dua) orang praktisi hukum, 2 (dua)
orang guru besar dibidang hukum, dan
1 (satu) orang tokoh masyarakat.
Kedua, pengaturan kedudukan
MKHK secara normatif harus bersifat tetap karena apabila MKHK bersifat ad hoc,
maka tidak efisien dan tidak bersifat berkelanjutan sehingga penanganan laporan day
to day akan mengalami masalah karena tidak ditangani oleh anggota tetap serta
memicu judicial corruption.71 Kemudian, karena kedudukannya bersifat tetap,
anggota KY tidak bisa menjadi anggota MKHK karena objek pengawasan KY
tidak mencakup Hakim Konstitusi sebagaimana diatur di dalam ketentuan Putusan
MK Nomor
005/PUU-IV/2006.
Ketiga, terkait dengan
pembentukannya sendiri, MKHK akan dipilih oleh panel ahli yang akan menyeleksi
secara ketat dan akuntabel. Panel ahli ini terdiri dari 1 (satu) orang mantan Hakim
Konstitusi, 1 (satu) orang guru besar dibidang hukum dan 1 (satu) orang tokoh
masyarakat yang masing-masing diakui dan tidak tercela kepribadiannya, serta
ketiganya masing-masing dipilih oleh MK sehingga kedudukannya masih bersifat
internal. Lebih lanjut, untuk menutup adanya dugaan tidak independen dan dugaan
bahwa Hakim Konstitusi dilindungi oleh lembaga pengawas internalnya, maka
susunan pengisi panel ahli maupun anggota MKHK harus diisi oleh orang-orang
yang memang memiliki track record bagus dan dipercaya oleh publik.
Keempat, keadaan status quo
53
laporan yang masuk tersebut menunjukkan hasil yang baik, tetapi apakah laporan yang
jarang tersebut disebabkan karena kinerja pengawasan Dewan Etik yang memang baik
dan Hakim Konstitusi yang menaati KEPPH dengan patuh? ataukah karena
kurangnya pengetahuan masyarakat umum terkait pengawasan internal MK tersebut?
Oleh karena itu, Penulis memberikan solusi tambahan bahwa MKHK bisa memiliki
kewenangan untuk menyosialisasikan diri mereka seperti DKPP RI.73 Misalnya
menyediakan handbook bahan sosialisasi yang memuat penjelasan fungsi, kewenangan,
alur pemeriksaan, alur pengaduan dan cara pengaduan yang lebih jelas dan terperinci
apabila ada dugaan pelanggaran KEPPH yang bisa diunduh oleh siapa saja melalui
website resmi MK RI.
Kelima, MKHK bisa memiliki sanksi yang lebih tegas dari Dewan Etik dan dapat
bersikap aktif menangani dugaan pelanggaran kode etik (bukan menunggu
perkara/laporan masyarakat). Sebelumnya Dewan Etik hanya memiliki kewenangan
pemberian sanksi terhadap pelanggaran ringan berupa teguran lisan dan mengusulkan
rekomendasi pembentukan MKMK untuk dugaan pelanggaran berat dengan jangka
waktu paling lambat dibentuk tujuh hari sejak rekomendasi pengusulan Dewan Etik
tersebut diterima.74 Oleh karena itu, demi mengefektifkan waktu pemrosesan perkara
maka MKHK diusulkan oleh Penulis memiliki kewenangan pemberian sanksi teguran
tertulis (peringatan dan peringatan keras), pemberhentian sementara dan pemberhentian
tetap seperti sanksi yang ada pada DKPP RI tanpa perlu membentuk lembaga ad hoc
untuk memutus pelanggaran berat.75
mengindikasikan semakin jarangnya laporan
yang masuk ke Dewan Etik.72 Jarangnya
71
Pratiwi, P. S. (2018). Dua Kali Kena Sanksi, Arief Hidayat Masih Pimpin MK. CNN
Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180
116153601-12-269337/dua-kali-kena-sanksi-ar ief- hidayat-masih-pimpin-mk. Diakses 20 Juli
2022.
72
MKRI, Loc.Cit.
54
73
DKPP. https://dkpp.go.id/bahan-sosialisasi/
Diakses 02 Agustus 2022.
74
Lihat Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15
Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi No. 1 Tahun 2014 tentang Mekanisme Kerja
dan dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan Informasi.
75
Lihat Pasal 22 Peraturan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang
55
B. Mengembalikan KY Sebagai
Lembaga Pengawas Eksternal MK
Kekuasaan yang besar dalam ranah kekuasaan kehakiman tanpa diimbangi oleh
pengawasan yang sama besar akan memicu judicial corruption dan penyalahgunaan
kekuasaan lainnya yang dapat menghidupkan penindasan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Pertimbangan lain mengapa perlu adanya pengawasan lembaga eksternal
di samping lembaga internal adalah karena meskipun Hakim Konstitusi memiliki sifat
merdeka, kemerdekaan atau kebebasan itu tidak dapat dikatakan mutlak. Hal ini sejalan
dengan pendapat
International Court of Jurists bahwa, “Independence does not mean that judge is
entitled to act in an arbitary manner”. Selain itu, menurut Benny Ramdhany, Dewan
Etik sebagai pengawas internal masih menyimpan masalah sehingga tidak dapat
bekerja secara efektif dan dibentuk sendiri oleh MK melalui PMK. 76 Tidak
adanya pengawasan dan alat kontrol di luar internal MK tersebutlah yang dapat
menciptakan adanya abuse of power, seperti contohnya kasus Akil Mochtar dan
Patrialis.89
Pembentukan lembaga eksternal sejatinya bukanlah ide yang asing dalam
pengawasan suatu lembaga atau organisasi. Dalam sistem ketatanegaraan, hal tersebut
tidak asing karena sebagai contohnya ada banyak lembaga eksternal yang telah
dibentuk seperti KY yang mengawasi MA dan Dewan Pers yang mengawasi
Jurnalistik. Di negara lain pun ada lembaga pengawas eksternal yang mengawasi MK
di negaranya, seperti Korea Selatan dengan Majelis Nasionalnya77, Afrika Selatan
dengan Judicial
56
https://nasional.tempo.co/read/1128832/ceg ah-abuse-of-power-perlu-lembaga-
pengawas-unt ukmk. Diakses 03 Agustus 2022.
77
Penjabaran Pasal 65 ayat (1) Konstitusi Korea
Selatan.
57
Service Commision (JSC),78 dan Makedonia dengan The Republican Judicial
Council.79
Dengan demikian, sebagai langkah preventif untuk dapat menekan potensi adanya
abuse of power yang dilakukan oleh MK dan untuk mencegah adanya masalah
perilaku Hakim Konstitusi. Perlu adanya lembaga pengawas eksternal sebagai alat
kontrol dan pengawasan yang tidak dapat dipengaruhi karena posisinya yang sejajar
untuk mengawasi MK. Dengan catatan tanpa mengganggu independensi dan sifat
imparsial Hakim Konstitusi.
Di samping itu, inisiatif pembentukan lembaga pengawas eksternal haruslah
dibentuk melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945 sebagai pilihan utama agar tidak
bertentangan dengan Putusan MK No.
005/PUU-XII/2006 dan PMK No.
1-2/PUU-XII/2014. Adapun lembaga pengawas eksternal yang diusulkan ialah KY
dengan melakukan reformulasi sistematika BAB Kekuasaan Kehakiman UUD NRI
Tahun 1945 agar KY secara yuridis-filosofis saling berkaitan dengan MA dan MK serta
menyatakan secara eksplisit bahwa KY sebagai pengawas Hakim Konstitusi yang
independen. Sehingga kelemahan-kelemahan pengawas internal seperti adanya potensi
semangat membela sesama (esprit de corps)80 dan penilaian subyektif (tidak
obyektif karena menilai dan mengawasi diri sendiri) dapat ditekan oleh kehadiran KY
sebagai pengawas eksternal MK dan berjalan lebih efektif.
Adapun catatan tambahan, KY harus diberi batasan hanya sebagai pengawas
perilaku Hakim Konstitusi dan diberi
78
Pasal 177 The Constitution of South Africa, Amended on 11 Oct 1996 in force since: 7 Feb
1997.
79
Pasal 104 The Constitution of Macedonia, Adopted on: 17 Nov 1991, effective since: 20 Nov
1991, amanded on: 6 Jan 1992.
80
Sarif, H. A., & Firdaus, S. U. (2018).
Pengaturan Fungsi Pengawasan Internal Terhadap Hakim Konstitusi Sebagai Upaya
Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Studi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor
1-2/PUU-XII/2014). Res Publica, 2(1). Hlm. 63. Diakses 04 Agustus
2022
58
tanggungjawab bersama untuk mengawasi penegakkan KEPPH yang dilakukan
oleh pengawas internal MK.
Apabila pengawas internal MK tidak melaksanakan tugas dengan baik,
maka KY dapat mengambil langkah lebih lanjut untuk memberikan peringatan
tertulis kepada pengawas internal MK dan rekomendasi usulan dugaan
pelanggaran kode etik yang tidak secara cepat tanggap dilakukan. Selain itu, KY
berperan bersama MKHK dari pemeriksaan hingga penjatuhan sanksi bagi hakim
terduga atau terlapor.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Berdasarkan rumusan masalah satu, Penulis berpendapat bahwa terdapat
sejumlah permasalahan yang timbul akibat adanya dua perangkat pengawas
etik MK. Pertama, adanya potensi tidak efisiennya proses penegakan
pelanggaran etik akibat wewenang Dewan Etik yang terbatas pada pemberian
sanksi teguran lisan dan adanya MKMK sebagai perangkat ad hoc untuk
mengisi wewenang pemberian sanksi jika terdapat pelanggaran berat. Kedua,
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Dewan Etik juga berpotensi tidak
independen dan imparsial dalam menegakkan pelanggaran etik yang ada.
59
Ketiga, terkait dengan wewenang Dewan Etik dalam upaya
menegakkan
60
kehormatan, keluhuran, dan kode etik hakim terbatas pada jika terdapat aduan dari
masyarakat berakibat pasifnya kewenangan Dewan Etik.
b. Berdasarkan rumusan masalah dua, Penulis berhasil menemukan permasalahan
secara praktis terhadap pengawasan oleh Dewan Etik dan MKMK yakni; Pertama,
Ketidakefektifan mekanisme penanganan perkara yang relatif panjang dan lama,
karena Dewan Etik memiliki kewenangan yang terbatas pada pemberian sanksi
berupa teguran lisan atau tulisan terhadap perkara yang diputuskan sebagai
pelanggaran ringan. Sedangkan ketika terdapat putusan pelanggaran berat maka
akan dilimpahkan pada MKMK. Kedua, Kedudukan dan pembentukan Dewan Etik
yang dibentuk melalui PMK berimplikasi membawa kesan bahwa lembaga etik MK
digunakan untuk melindungi Hakim Konstitusi itu sendiri dan berpotensi memicu
conflict of interest. Ketiga, Dewan Etik bersikap pasif dalam menangani perkara
dugaan pelanggaran etik oleh Hakim Konstitusi, karena kewenangan yang dimiliki
terbatas hanya mampu menunggu laporan dari masyarakat.
c. Berdasarkan rumusan masalah tiga, Penulis telah berhasil memberikan
rekomendasi solusi dan mekanisme dari permasalahan dan pembahasan yang
telah dipaparkan pembahasan satu dan dua. Adapun rekomendasi tersebut adalah:
Pertama, melakukan rekonstruksi normatif pengawas etik Hakim Konstitusi
melalui revisi UU MK. Gagasan ini ditujukan dengan membentuk lembaga baru
bernama MKHK. Kedua, mengembalikan peranan KY yang disesuaikan
kewenangannya untuk melengkapi pengawasan Hakim Konstitusi.
2. Saran
Berdasarkan pemaparan diatas, Penulis merekomendasikan kepada pihak
pemerintah agar mengadopsi gagasan yang Penulis berikan demi menciptakan
efektivitas dan efisiensi pengawasan oleh lembaga etik Hakim Konstitusi agar
61
praktik-praktik tercela yang dilarang sebagaimana diatur kode etik Hakim Konstitusi
dapat dihindari. Sehingga kepercayaan masyarakat kepada MK sebagai the guardian of
constitution dan the final interpreter of constitutionsemakin meningkat.
40
Siswandi. (2011). Aplikasi Manajemen Perusahaan. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Soekanto, Soerjonodan dan Mamudji, Sri. (2007). Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syahayani, Zihan. (2014). Pembaharuan Hukum dalam Sistem Seleksi dan
Pengawasan Hakim Konstitusi. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Wiryanto. (2019). Etik Hakim Konstitusi Rekonstruksi dan Evolusi Sistem
Pengawasan. Depok: Rajawali Pers.
B. Disertasi/Thesis/Makalah/Jurnal
B. A, Hidayatullah. (2021). Rekonstruksi Pengawasan Etik Hakim Mahkamah
Konstitusi dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara. Jurnal Hukum
Kenegaraan dan Politik Islam.
Chaidir, Ellydar dan Suparto. (2017). Perlunya Pengawasan Terhadap Kode Etik dan
Prilaku Hakim Konsitusi dalam rangka menjaga Martabat dan
Kehormatannya, Jurnal UIR Law Review 01(02).
H. A. Sarif, & Firdaus, S. U. (2018).
Pengaturan Fungsi Pengawasan Internal Terhadap Hakim Konstitusi Sebagai
Upaya Mewujudkan Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka (Studi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014). Res Publica, 2(1).
Jurdi, Fajlurahhman dkk. (2020) Optimalisasi Fungsi Pengasawasan Dewan Etik
Mahkamah Konstitusi, Jurnal Hukum
& Pembangunan Tahun ke-
50. 3.
41
Etik Nomor 18/lap-v/bap/de/2018. UIN Sunan Gunung DJATI.
Sinaga, Niru Anita. (2020). Kode Etik Sebagai
Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum yang Baik”, Jurnal Ilmiah Hukum
Dirgantara. VIX(2).
Thohari, A. Ahsin. (2010). Desain Konstitusional Komisi Yudisial dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia. 7(1). Jakarta:
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementrian Hukum dan
HAM.
Tutik, Titik Triwulan. (2014) Pengawasan Hakim Konsitusi Dalam Sistem
Pengawasan Hakim Menurut Undang-Undang Dasar Negara RI
1945. Jurnal Dinamika Hukum. 12(2). Wiryanto. (2016). Penguatan
Dewan Etik
dalam Menjaga Keluhuran Martabat Hakim Konsitusi . Konstitusi, 13(4).
Yunaldi, Wendra. (2018) Judicial Review “Satu Atap” Peraturan
Perundang-
Undangan di Bawah Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Pagaruyuang Law
Journal 1(2).
C. E-Jurnal
Suhendri, D. (2017). Efektivitas Kinerja Dinas PU Cipta Karya dan Tata
Ruang Kota dalam Mengelola Taman Kenanga Dusun Gemulo Kota
Batu. https://eprints.umm.ac.id/35927/. Diakses 03 Agustus 2022.
Wambrauw.A.Y. (2013). Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah
Perpajakan dan Retribusi Daerah Dalam Memperoleh Pendapatan Asli
Daerah di Kabupaten Supiori Provinsi Papua.
http://ejour nal.uajy.ac.id/id/eprint/4
241. Diakses 03 Agustus 2022. D. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
Perubahan Atas Undang-Undang
42
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014
Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi Menjadi Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2020
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang Mekanisme
Kerja dan dan Tatacara Pemeriksaan Laporan dan Informasi.
43
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9
Tahun 2006.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2
Tahun 2013.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2014.
Konstitusi Korea Selatan.
The Constitution of South Africa.
The Constitution of Macedonia.
E. Putusan Pengadilan
44
Putusan MK No. 49/PUU/2011
DKPP.
https://dkpp.go.id/bahan-sosialisasi
/. Diakses 02 Agustus 2022.
45
0322084150-12774510/anwar-usman-dimin ta-mundur-dari-mk-jika-nikah-
denganadik-jok owi. Diakses 02 Agustus 2022.
CNN Indonesia, Anwar Usman Diminta Mundur dari MK Jika Nikah dengan Adik
Jokowi,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/2022
0322084150-12774510/anwar-usman-dimin ta-mundur-dari-mk-jika-nikah-
denganadik-jok owi. Diakses 02 Agustus 2022.
Dian, Maharani “Mantan Ketua MK Akil Mochtar Divonis Seumur Hidup”,
https://nasional.kompas.com/read/2014/06
46
/30/2203501/Mantan.Ketua. MK.Akil.Mochtar.Divonis.Seumur.Hidup.
Diakses 26 Juli 2022
Hukum Online, Hakim MK Tak Mau Diawasi KY,
https://www.hukumonline.com/berita/a/haki m-mk-tak-mau-diawasi-kyhol15347.
Diakses
22 Juli 2022
Kumoro, Heru Sri, Mantan Ketua Mk Akil Mochtar Divonis Seumur Hidup
https://nasional.kompas.com/read/2014/06
/30/2203501/Mantan.Ketua.MK.Akil.Moc htar.Divonis.Seum. Diakses 23 Juli
2022.
Pratiwi, P. S. (2018). Dua Kali Kena Sanksi, Arief Hidayat Masih Pimpin MK.
CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/2018
011615360112-269337/dua-kali-kena-sank si-arief-hidayat-masih-pimpinmk.
Diakses 20
Juli 2022.
Tempo. Cegah Abuse of Power, Perlu Lembaga Pengawas Untuk MK.
https://nasional.tempo.co/read/1128832/ce gah-abuse-of-power-perlulembaga-
pengawas-un tuk-mk. Diakses 03 Agustus 2022.
Saputra, Andi. (2022) Bukan Mati Suri, Ini Kata MK soal Anggota Dewan
Etik yang Tinggal 1 Orang. https://news.detik.com/berita/d-
6048327/ bukanmati-suri-ini-kata-mk-soal-ang gota-de wan-etik-yang-ting gal-
1-orang.
Diakses 02 Agustus 2022.
47
Sengketa Pemilu” Jakarta, 3 Mei 2013. Hlm. 2
48
49