Sebagai salah satu lembaga negara dalam kekuasaan yudikatif dan lahir setelah
masa reformasi, Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu garda terdepan untuk
menjadi the guardian of the constitution, terlebih lagi konstitusi menjadi pondasi dalam
berbangsa dan bernegara, bagaimana hak-hak asasi manusia dijamin dan kekuasaan
pemerintah diberikan kewenangannya dan dibatasi. Dalam konteks sejarah, Mahkamah
Konstitusi lahir dari pemikiran seorang pemikir atau ahli hukum positivis, yaitu Hans
Kalsen yang memberi nama suatu lembaga baru di Austria, yaitu
Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), artinya
sebuah lembaga mahkamah yang berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung. Gagasan atau
pemikiran tersebut diajukan oleh Hans Kalsen ketika dia diangkat menjadi anggota
lembaga pembaru Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919-1920. Setelahnya
Gagasannya tersebut diterima dalam Konstitusi tahun 1920 dan menjadi Mahkamah
Konstitusi pertama di dunia.1
Pasal 24C
(1) Mahkamah Konsituti berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
(2) Mahkama Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar;
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tiga orang oleh
Presiden;
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi;
1
Zainal Arifin Mochtar. 2021. Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Konstitusi dan Diskursus Judicial Activism
Vs Judicial Restraint. Depok: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 30
(5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
menrangkap sebagai pejabat negara;
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-
Undang.
Aturan lebih lanjut yang mengatur tentang kewenangan dan kewajiban dari
Mahkamah Konstitusi, diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari 88 Pasal. Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 3 UU
No. 24 Tahun 2003 menjelaskan kewenangan dan kewajiban dari Mahkamah Konstitusi,
yaitu:
“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah
Konstitusi mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Lalu diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang dimana dalam
UU ini salah satunya ada penambahan angka pada Pasal 1 yakni di angka 4, yaitu
tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk
memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi,
yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Majelis
Kehormatan ini dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Selanjutnya yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Salah satu Pasal
yang ditambahkan dalam UU ini yaitu pada Pasal 1 angka 5 tentang panel ahli, yaitu
perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan
calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Juga
penambahan syarat-syarat calon hakim agung yaitu pada Pasal 15 ayat (2) huruf i, yaitu
calon hakim konstitusi tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling
singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.
Sehingga perubahan yang paling terbaru adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Yang paling menonjol dari Perubahan Ketiga ini adalah dihapusnya Pasal 59
ayat (2) tentang keterikatan DPR dan Presiden yang harus segera menindaklanjuti
Putusan Mahkama Konstitusi, sehingga berimplikasi hukum bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi tidak mengikat DPR dan Presiden walaupun dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
menyatakan bahwa materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan harus
menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi.
PENGHUBUNG KOMISI YUDISIAL KALIMANTAN SELATAN
Komisi Yudisial tidak termasuk ke dalam lembaga yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman menurut konstitusi, namun memiliki peranan penting dalam proses atau
tahap pengusulan hakim agung, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24B Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
Pasal 24B