Anda di halaman 1dari 5

MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA

Sebagai salah satu lembaga negara dalam kekuasaan yudikatif dan lahir setelah
masa reformasi, Mahkamah Konstitusi menjadi salah satu garda terdepan untuk
menjadi the guardian of the constitution, terlebih lagi konstitusi menjadi pondasi dalam
berbangsa dan bernegara, bagaimana hak-hak asasi manusia dijamin dan kekuasaan
pemerintah diberikan kewenangannya dan dibatasi. Dalam konteks sejarah, Mahkamah
Konstitusi lahir dari pemikiran seorang pemikir atau ahli hukum positivis, yaitu Hans
Kalsen yang memberi nama suatu lembaga baru di Austria, yaitu
Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court), artinya
sebuah lembaga mahkamah yang berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung. Gagasan atau
pemikiran tersebut diajukan oleh Hans Kalsen ketika dia diangkat menjadi anggota
lembaga pembaru Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919-1920. Setelahnya
Gagasannya tersebut diterima dalam Konstitusi tahun 1920 dan menjadi Mahkamah
Konstitusi pertama di dunia.1

Mahkamah Konstitusi di Indonesia sendiri diatur dalam Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi di Indonesia, yaitu pada Bab
IX tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu pada Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan


peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungna peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkama Konstitusi”

Dasar hukum yang mengatur kewenangan dari Mahkamah Konstitusi di Indonesia


diatur dalam Pasal 24C yang terdiri dari 6 ayat, yaitu:

Pasal 24C
(1) Mahkamah Konsituti berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
(2) Mahkama Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar;
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tiga orang oleh
Presiden;
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi;

1
Zainal Arifin Mochtar. 2021. Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Konstitusi dan Diskursus Judicial Activism
Vs Judicial Restraint. Depok: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 30
(5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
menrangkap sebagai pejabat negara;
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-
Undang.

Aturan lebih lanjut yang mengatur tentang kewenangan dan kewajiban dari
Mahkamah Konstitusi, diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari 88 Pasal. Lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 3 UU
No. 24 Tahun 2003 menjelaskan kewenangan dan kewajiban dari Mahkamah Konstitusi,
yaitu:
“Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah
Konstitusi mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Lalu diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang dimana dalam
UU ini salah satunya ada penambahan angka pada Pasal 1 yakni di angka 4, yaitu
tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk
memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap Hakim Konstitusi,
yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Majelis
Kehormatan ini dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Selanjutnya yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Salah satu Pasal
yang ditambahkan dalam UU ini yaitu pada Pasal 1 angka 5 tentang panel ahli, yaitu
perangkat yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan
calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Juga
penambahan syarat-syarat calon hakim agung yaitu pada Pasal 15 ayat (2) huruf i, yaitu
calon hakim konstitusi tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling
singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.
Sehingga perubahan yang paling terbaru adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 2020
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Yang paling menonjol dari Perubahan Ketiga ini adalah dihapusnya Pasal 59
ayat (2) tentang keterikatan DPR dan Presiden yang harus segera menindaklanjuti
Putusan Mahkama Konstitusi, sehingga berimplikasi hukum bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi tidak mengikat DPR dan Presiden walaupun dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang
menyatakan bahwa materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan harus
menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi.
PENGHUBUNG KOMISI YUDISIAL KALIMANTAN SELATAN
Komisi Yudisial tidak termasuk ke dalam lembaga yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman menurut konstitusi, namun memiliki peranan penting dalam proses atau
tahap pengusulan hakim agung, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24B Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:

Pasal 24B

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan


hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di
bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-
Undang.
Undang-Undang turunan tentang Komisi Yudisial diatur dalam Undang-Undang No.
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Menurut Pasal 6 nya, Komisi Yudisial
mempunyai 7 (tujuh) orang anggota yang berstatus sebagai pejabat negara dan
keanggotaannya tersebut terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum,
dan anggota masyarakat.
Berdasarkan perkembangannya, UU No. 22 Tahun 2004 diubah dengan Undang-
Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, dimana pada Pasal 3 nya diubah, yaitu pada ayat (2) dan (3)
nya, Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai kebutuhan dan
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja penghubung
Komisi Yudisial di daerah diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial.
Peraturan Komisi Yudisial No. 1 Tahun 2017 tentang Pembentukan, Susunan, dan
Tata Cara Penghubung Komisi Yudisial di Daerah, menjadi aturan turunan sebagaimana
delegasi dari UU No. 18 Tahun 2011. Bahwa definisi menurut peraturan tersebut,
Penghubung Komisi Yudisial adalah unit yang membantu pelaksanaan tugas Komisi
Yudisial di daerah.
Berdasarkan Pasal 4 nya, Penghubung Komisi Yudisial membantu pelaksanaan
tugas Komisi Yudisial, yaitu:
a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik
dan/atau pedoma perilaku hakim;
c. Melakukan verifikasi terhadap laporan dugaan pelanggaran KEPPH secara tertutup;
d. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran
martabat hakim; dan
e. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Komisi Yudisial.
Sejak tahun 2013, Komisi Yudisial telah mengangkat penghubung di beberapa
daerah, diantaranya yaitu:
1. Penghubung Komisi Yudisial Sumatera Utara;
2. Penghubung Komisi Yudisial Riau;
3. Penghubung Komisi Yudisial Sumatera Selatan;
4. Penghubung Komisi Yudisial Jawa Tengah;
5. Penghubung Komisi Yudisial Jawa Timur;
6. Penghubung Komisi Yudisial Kalimantan Timur;
7. Penghubung Komisi Yudisial Kalimantan Barat;
8. Penghubung Komisi Yudisial Sulawesi Selatan;
9. Penghubung Komisi Yudisial Sulawesi Utara;
10. Penghubung Komisi Yudisial Nusa Tenggara Barat;
11. Penghubung Komisi Yudisial Nusa Tenggara Timur;
12. Penghubung Komisi Yudisial Maluku.
Namun, berdasarkan Pengumuman Nomor: 01/PENG/SET/AP.01.01/05/2022
tentang Penerimaan Calon Penghubung Komisi Yudusial Tahun 2022, beberapa daerah
baru yang diangkat, yaitu Penghubung Komisi Yudisial Nanggroe Aceh Darussalam;
Penghubung Komisi Yudisial Sumatera Barat; Penghubung Komisi Yudisial Lampung;
Penghubung Komisi Yudisial Kalimanta Selatan; Penghubung Komisi Yudisial Sulawesti
Tenggara; Penghubung Komisi Yudisial Bali; Penghubung Komisi Yudisial Papua;
Penghubung Komisi Yudisial Papua Barat.

Anda mungkin juga menyukai