Anda di halaman 1dari 9

YAYASAN AMANAH AMPANG KURANJI

UNIVERSITAS DHARMAS INDONESIA


Jalan Lintas Sumatra KM 18 KOTO BARU Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatra Barat 27681

Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator


dalam Penegakan Hukum Tata Negara

ZULKIFLI ARTA
Fakultas Hukum Dan Ekonomi Bisnis, Universitas Dharmas Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum Mahkamah
Diterima Oktober 2012 Konstitusi sebagai Negative Legislator dalam Pengujian Undang-Undang;dan
Disetujui November 2012 untuk mengatahuikonstruksi yuridis penegakan hukum ketatanegaraan yang adil.
Dipublikasikan Januari 2013 Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan pendekatan yuridis
normative.Hasil penelitian menunjukan bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor
Keywords:
8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Constitutional Court;
Tentang Mahkamah Konstitusi dianggap membatasi wewenang Mahkamah Konstitusi
Negative Legislator; dan beberapa Pasal inti yang dirubah dan ditambahkannya. DPR seperti dalam Pasal
Enforcement; 50A. Selanjutnya, akibat dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga
Constitutional law. negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara.
Prinsip pemisahan kekuasaan tegas antara cabang-cabang legislatif, eksekutif dan
yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara
satu sama lain. Sementara konstruksi yuridis penegakan hukum tata negara menuju
keadilan yang substantif terdapat dalam setiap putusan Mahkamah Konstitusi.

Abstract
The study aims are to analyze the legal position of the Constitutional Court as the
legislator Negative Testing Act after the birth of Law No. 8 of 2011 on the Amendment
Act No. 24 of 2003 on the Constitutional Court, and the construction of judicial
enforcement of constitutional justice. The method used is the method of qualitative
and normative juridical approach. The results showed that the enacting of Law
No. 8 of 2011 on the Amendment to Law Number 24 Year 2003 concerning the
Constitutional Court deemed to limit the authority of the Constitutional Court and
Article core changed some and added some Article by Parliament as the Court under
Article 50A. (2) As a result of the belief system of separation of power, state institutions
are no longer qualified to the highest institutions and institutions of the country. The
principle of separation of powers between the branches firmly legislative, executive
and judicial branches of government to promote a relationship of checks and balances
between each other. (3) construction of judicial enforcement of constitutional law
into substantive justice contained in any decision of the Constitutional Court.

Alamat Gmail : © 2023 Universitas Dharmas


ZULKIFLIARTA86@GMAIL.COM Indonesia
1. Pendahuluan power) dan 1 kewajiban konstitusional
(constitutionan obligation) kewajiban
Gagasan negara hukum itu dibangun konstitusional. Keempat kewenangan
dengan mengembangkan perangkat hukum tersebut adalah : (1) Menguji Undang-Undang
itu sendiri sebagai suatu sistem yang terhadap Undang-Undang Dasar 1945; (2)
fungsional dan berkeadilan, dikembangkan Memutus sengketa kewenangan lembaga
dengan menata suprastruktur dan negara yang kewenangannya diberikan oleh
infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi Undang-Undang Dasar 1945; (3) Memutus
dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina pembubaran pertai politik; (4) Memutus
dengan membangun budaya dan kesadaran sengketa hasil pemilihan umum, meliputi
hukum yang rasional dan imperonal dalam pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
bernegara. Untuk itu, sistem hukum itu perlu Kabupaten/kota, Pemilu Kepala Daerah dan
dibangun (law making) dan ditegakkan (law wakil kepala Daerah.
enforcement) sebagaimana mestinya, dimulai Adapun kewajiban dari Mahkamah
dengan konstitusi sebagai hukum yang paling Konstitusi wajib memberikan putusan
tinggi kedudukannya. Untuk menjamin atas pendapat DPR bahwa Presiden atau
tegaknya konstitusi sebagai “the guardian of Wakil Presiden diduga :Telah melakukan
the constitution”. pelanggaran hukum berupa: pengkhianatan,
Seiring dengan momentum perubahan korupsi, penyuapan, tindak pidana, atau
Undang-Undang Dasar 1945 pada masa perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi
reformasi (1999-2002), ide pembentukan syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Mahkamah Konstitusi di Indonesia semakin sebagaimana dimaksud dalam Undang-
menguat. Puncaknya terjadi pada Tahun Undang Dasar 1945.
2001 ketika ide pembentukan Mahkamah Mengingat keberadaannya sebagai
Konstitusi diadopsi dalam perubahan UUD lembaga yang dibentuk untuk mengawal
1945 yang dilakukan oleh MPR sebagaimana konstitusi agar dilaksanakan oleh ketentuan
terumus dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal dibawahnya, Mahkamah Konstitusi adalah
24C Undang-Undang Dasar 1945 dalam lembaga yang menyelenggarakan peradilan
perubahan ketiga. konstitusi (constitutional court). Hal itu juga
Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar tercermin dari dua hal lain. Pertama, perkara-
1945: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan perkara yang menyangkut konsistensi
oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan pelaksanaan norm-norma konstitusi. Kedua,
Peradilan yang berada dibawahnya dalam sebagai konsekuensinya, dasar utama yang
lingkungan peradilan umum, lingkungan digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
lingkungan peradilan tata uasaha negara, dan adalah konstitusi itu sendiri. Walaupun
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” terdapat ketentuan Undang-Undang yang
Pembentukan Mahkamah Konstitusi berlaku dan mengatur bagaimana Mahkamah
diperlukan karena Indonesia telah melakukan Konstitusi menjalankan wewenangnya, jika
perubahan mendasar atas Undang-Undang Undang-Undang tersebut bertentangan
Dasar 1945, Indonesia mengadopsi prinsip- dengan konstitusi Mahkamah Konstitusi
prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, dapat mengesampingkan atau bahkan
yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan membatalkannya jika dimohonkan (Siahaan,
dan “check and balances” sebagai pengganti 2009).
sistem supremasi parlemen yang berlaku Mahkamah Konstitusi memiliki
sebelumnya. kewenangan yang sangat mempengaruhi
Oleh sebab itu, Undang-Undang sistem hukum di Indonesia. Ketika
Dasar 1945 menentukan bahwa Mahkamah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan
Konstitusi memiliki 4 kewenangan yang bersifal final tanpa bisa diganggu gugat
konstitusional (constitutionaly enstrused lagi memunculkan berbagai kontroversi.
Keresahan muncul ketika disahkannya revisi terungkap di dalam persidangan. Dan
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kehadiran revisi dari Undang-Undang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang Mahkamah Konstitusi menyebabkan
semakin mempersempit kewenangan yang Mahkamah Konstitusi hanya sebagai corong
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang Undang-Undang bukan lagi sebagai penegak
berakibat buruk bagi perlindungan konstitusi. keadilan.
Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun Lahirnya Pasal 50A dianggap
2011 tentang Perubahan Atas Undang- mempersempit kewenangan Mahkamah
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Konstitusi karena Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi juga mengalami dalam pengujian Undang-Undang
perubahan dibeberapa Pasal yaitu Pasal 4 terhadap UUD 1945 tidak diperkenankan
Ayat (4), Ayat (4g), dan Ayat (4h), Pasal 10, menggunakan Undang-Undang lain sebagai
Pasal 15 Ayat (2) huruf h sepanjang frasa dasar pertimbangannya. Pasal yang tidak
“dan/atau pernah menjadi pejabat negara”, kalah kontroversial yakni lahirnya Pasal
Pasal 26 Ayat (5), Pasal 27A Ayat (2) huruf c, 57 Ayat (2a) yang menghendaki putusan
huruf d, dan huruf e, Ayat (3), Ayat (4), Ayat Mahkamah Konstitusi tidak memuat amar
(5), dan Ayat (6), Pasal 45A, Pasal 50A, Pasal selain sebagaimana dimaksud pada Pasal
57 Ayat (2a), Pasal 29 Ayat (2), dan Pasal 87. 57 Ayat (1) dan Ayat (2), berisikan perintah
Terdapat beberapa kejanggalan dalam kepada pembuat Undang-Undang, dan tidak
hasil revisi Undang-Undang Mahkamah diperkenankan memuat rumusan norma
Konstitusi yang dilakukan oleh lembaga sebagai pengganti dari Undang-Undang yang
legislatif yakni pada Pasal 10 yang memiliki dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
cacat yuridis karena penjelasan masuk dalam (positive legislator).
batang tubuh sehingga dalam perspektif ilmu Berdasarkan uraian latar belakang diatas
undang-undang keliru, Lahirnya Pasal 27A maka Peneliti mengambil judul : “Mahkamah
Ayat (2) merupakan salah satu Ayat yang Konstitusi sebagai Negative Legislator dalam
sangat menimbulkan kontroversi karena penegakan hukum ketatanegaraan pasca
dibentuknya Majelis Kehormatan Hakim lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Konstitusi yang terdiri atas 1 orang Hakim 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Konstitusi, 1 orang anggota Komisi Yudisial, Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
1 orang dari Unsur DPR, 1 orang dari Mahkamah Konstitusi”.
unsur pemerintah yang menyelenggarakan Masalah penelitian ini adalah: (1)
urusan pemerintahan bagian hukum, dan Bagaimanakah implikasi yuridis pasca
1 orang anggota Hakim Agung. Masuknya lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
keempat unsur tersebut dikhawatirkan 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
akan menganggu independensi Mahkamah Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Konstitusi. sebagimana kita tahu bahwa Mahkamah Konstitusi. (2) Bagaimanakah
Mahkamah Konstitusi telah memiliki kedudukan hukum Mahkamah Konstitusi
peraturan sendiri tentang Majelis Kehormatan sebagai Negative Legislator dalam Pengujian
MK yang diatur dalam PMK Nomor 2/2003 Undang-Undang pasca lahirnya Undang-
yang berisi tentang kode etik dan pedoman Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
tingkah laku Hakim Konstitusi. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Disisipkannya Pasal 45A juga sangat Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. (3)
mempengaruhi independensi Mahkamah Bagaimanakah konstruksi yuridis penegakan
Konstitusi. Bahwa Mahkamah Konstitusi hukum ketatanegaraan yang adil dalam
dilarang melakukan putusan ultra petita fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai Negative
yang artinya Mahkamah Konstitusi tidak legislator pasca lahirnya Undang-Undang
diperkenankan memutus lebih dari yang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
dimohonkan oleh para pemohon, tentu Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
ketentuan tersebut membuat Mahkamah tentang Mahkamah Konstitusi?
Konstitusi menafikan fakta-fakta yang
2. Metode Penelitian pokok Permohonan”.Mahkamah Konstitusi
dilarang mengeluarkan putusan ultra petita
Metode penelitian kualitatif adalah yang dianggap oleh DPR selaku pembentuk
“penelitian yang menghasilkan prosedur undang-undang melanggar konstitusi
analisis yang tidak menggunakan prosedur atau keluar dari wewenang yang telah
analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya” diamanatkan oleh UUD 1945. Akan tetapi
(Moleong 2009:6). Dalam penelitian skripsi Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan
ini, peneliti memilih jenis pendekatan yuridis putusan ultra petita tidak serta merta tanpa
normatif.Menggunakan pendekatan yuridis ada dasar pertimbangan yang matang karena
normatif olehkarena “sasaran penelitian ini putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
adalah hukum atau kaedah (norm). Pengertian berakibat hukum bagi pemohon maupun
kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam pihak terkait saja melainkan seluruh warga
arti sempit(value), peraturan hukum konkret” negara Indonesia.
(Mertokusumo, 1996:29). Dengan lahirnya Pasal 45A pada
Dalam penelitian skripsi mengenai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
“Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Legislator dalam penegakan hukum Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
ketatanegaraan pasca lahirnya Undang- Konstitusi pasti akan sangatlah berpengaruh
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang bagi Putusan Mahkamah Konstitusi. Disatu
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 sisi dengan tidak mengeluarkan putusan
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi” ultra petita maka Mahkamah Konstitusi
peneliti menggunakan pendekatan yuridis tidak melanggar wewenang yang diberikan
normatif yang berobjekkan pada hukum oleh UUD 1945 tapi disisi lain putusan
normatif berupa asas-asas hukum dan sistem Mahkamah Konstitusi tidak dapat mencapai
hukum, yang lebih mengkaji peraturan suatu keadilan yang substantif. (2) Pasal 50A
undang-undang, teori-teori hukum, yang berbunyi:“Mahkamah Konstitusi dalam
dokumen-dokumen, dan artikel-artikel menguji undang-undang terhadap Undang-
terkait Mahkamah Konstitusi. Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tidak menggunakan undang-
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan undang lain sebagai dasar pertimbangan
hukum”.
a. Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi
Dengan lahirnya Undang-Undang sering dalam putusannya mengutip Undang-
Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang lain sebagai dasar pertimbangannya.
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun Misalnya definisi dari undang-undang lain
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, jelas saling berkaitan dengan undang-undang yang
mempengaruhi proses beracara dalam sedang diuji oleh Mahkamah. Mahkamah
pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi melakukan hal ini semata-mata
Konstitusi karena pasal yang terkait untuk mendudukan persoalan dan dalam
dirubah karena dianggap sudah tidak lagi rangka pengharmonisasian peraturan
sesuai dengan perkembangan kebutuhan perundang-undangan, bukan menggunakan
masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan. undang-undang tersebut sebagai batu ujinya.
Berikut ini adalah pasal yang dirubah Batu uji dalam pengujian undang-undang
sehingga mempengaruhi proses beracara tetap Undang-Undang Dasar Negara Republik
dalam pengujian undang-undang dan Indonesia Tahun 1945. Dalam hal ini DPR
independensi Mahkamah Konstitusi: (1) Pasal sebagai pembentuk Undang-Undang kurang
45A yang berbunyi: “Putusan Mahkamah memahami hal tersebut sehingga lahirlah
Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan Pasal 50A yang membatasi dan menghambat
yang tidak diminta oleh pemohon atau proses hakim dalam pengambilan putusan
melebihi Permohonan pemohon, kecuali (dalam menafsirkan suatu undang-undang).
terhadap hal tertentu yang terkait dengan Berdasarkan wawancara dengan
peneliti Mahkamah Konstitusi yaitu Bapak keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan tegas
Irfan Nur Rohman (12 Juli 2012, 11:00 WIB), antara cabang-cabang legislatif, eksekutif dan
terkait dengan Mahkamah Konsitusi sebagai yudikatif dengan mengedepankan adanya
negative legislator pasca Lahirnya Undang- hubungan checks and balances antara satu
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang sama lain.
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Selanjutnya, UUD 1945
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi: memberikan otoritas kepada Mahkamah
“Tidak terjadi perubahan yang signifikan Konstitusi untuk menjadi pengawal
dalam proses perkara Pengujian Undang- konstitusi. Mengawal konstitusi berarti
Undang setelah direvisinya Undang-Undang menegakkan konstitusi yang sama
Mahkamah Konstitusi karena pasal-pasal artinya dengan “menegakkan hukum
terkait telah dibatalkan oleh Mahkamah dan keadilan” atau sebagai judiciary
melalui putusan Nomor 48/PUU-IX/2011 law. Sebab, UUD 1945 adalah hukum
dan 49/PUU-IX/2011”. dasar yang melandasi sistem hukum
Bahwa revisi Undang-Undang Nomor yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi MK memiliki kedudukan, kewenangan
yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah serta kewajiban konstitusional menjaga
telah menyebabkan terganggunya tugas dan atau menjamin terselenggaranya
kewenangan Mahkamah Konstitusi.akan konstitusionalitas hukum.
tetapi dengan diputusnya perkara Nomor Di dalam sistem ketatanegaraan yang
48/PUU-IX/2011 dan 49/PUU-IX/2011 oleh mendasarkan pada prinsip pemisahan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan kekuasaan, kekuasaan kehakiman dalam
bahwa beberapa Pasal yang diajukan telah hal ini adalah Mahkamah Konstitusi
dibatalkan, maka pasal tersebut dinyatakan mempunyai kedudukan hukum yang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dapat di intervensi oleh Lembaga Negara lain
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Lembaga yang independent) seperti DPR
mengikat. Dapat disimpulkan bahwa Lahirnya sebagai pemegang kekuasaan legislatif
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dalam menentukan Undang-Undang,
tentang Perubahan Atas Undang-Undang dan Pemerintah dalam menjalanan
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan
Konstitusi tidak terlalu mempengaruhi proses pelaksana. Undang-Undang Dasar
beracara Dalam Pengujian Undang-Undang Negara Republik Indonesia memberikan
setelah diputusnya perkara Nomor 48/PUU- atribusi pembuatan Undang-Undang
IX/2011 dan 49/PUU-IX/2011. kepada DPR dan pengesahannya
kepada Presiden (Yusdiansyah, 2010).
b. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dampak dari dikeluarkan Putusan
dalam Ketatanegaraan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian
Dalam konteks anutan sistem Undang-Undang kepada DPR adalah
separation of power, lembaga negara segera melaksanakan perubahan terhadap
dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya Undang-Undang yang telah dibatalkan oleh
sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Mahkamah Konstitusi agar tidak terjadi suatu
Mahkamah Konstitusi menjadi salah kekosongan hukum. Dengan dirubahnya
satu lembaga negara baru yang oleh suatu peraturan perundang-undangan maka
konstitusi diberikan kedudukan sejajar juga akan berdampak secara tidak langsung
dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa terhadap aturan pelaksanaannya. Peraturan
mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi perundang-undangan yang dibuat oleh
sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. lembaga eksekutif merupakan materi muatan
Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan delegasian dari Undang-Undang yang dibuat
posisi dan kedudukan Mahkamah Konstitusi oleh lembaga legislatif.
lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga Mahkamah Konstitusi berwenang
negaralainnya, itu adalah pendapat yang menguji Undang-Undang produk politik dari
DPR yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang akan tetapi hanya berlaku
UUD 1945, sehingga ketika suatu Undang- 1 kali sebelum Undang-Undang lebih lanjut
Undang dinyatakan bertentangandengan yang mengatur.
konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan Penegakan hukum adalah proses
hukum mengikat, maka akan terjadi suatu dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
kekosongan hukum apabila tidak segera berfungsinya norma-norma hukum secara
ditindaklanjuti oleh DPR sebagai positive nyata sebagai pedoman perilaku dalam
legislator. Dalam perkembangannya lalulintas atau hubungan-hubungan hukum
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan- dalam kehidupan bermasyarakat bernegara.
putusan yang dianggap melanggar konstitusi (Asshiddiqie, 2005).
atau keluar dari wewenang yang telah Salah satu bentuk penegakkan
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar hukum ketatanegaraan yang dilakukan
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara
ultra petita dan sering disebut sebagai putusan pengujian Undang-Undang adalah melalui
yang bersifat positive. Sebagai contoh putusan putusan-putusan yang tidak hanya terpaku
dengan Nomor perkara: 102/PUU-VII/2009 pada suatu Undang-Undang melainkan
(Putusan Penggunaan KTP) berkaitan dengan pada suatu kondisi tertentu guna mencapai
diperbolehkannya KTP sebagai identitas keadilan karena putusan Mahkamah
pemilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Konstitusi tidak hanya berdampak pada
Presiden Tahun 2009. Putusan Mahkamah pemohon dan /atau termohon saja melainkan
tersebut menimbulkan suatu keadaan hukum berdampak pada masyarakat luas mengingat
baru yaitu diperbolehkannya penggunaan sifat putusan erga omnes yang dimiliki oleh
KTP sebagai syarat untuk menjadi pemilih Mahkamah Konstitusi.
dan putusan ini tidak hanya berdampak pada Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1)
para pihak yang berperkara saja (interpartes) Perubahan ketiga UUD 1945, salah satu
melainkan seluruh warga negara Indonesia. kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
disini dapat dikatakan sederajat dengan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
Tabel 1. Putusan Progresif Mahkamah Konstitusi Sebelum Lahirnya UU No. 8/2011
No. Putusan Progresif Keterangan
1. Putusan Konstitusional Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 perihal pengujian Un-
Bersyarat dang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Putusan Nomor 147/PUU-VIII/2009 perihal Pengujian Un-
dang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
2. Putusan Konstitusional Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Un-
Tidak Bersyarat dang-Undang Nomor 8 Tahun 2003 tentang Advokat.
3. Penundaan Keberlakuan Putusan Nomor 016/PUU-IV/2006 perihal Pengujian No-
Putusan mor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Putusan Nomor 026/PUU-III/2005 perihal Pengujian Un-
dang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun
Anggaran 2006.
4. Perumusan Norma Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 perihal Pengujian
Dalam Putusan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerin-
tah Daerah.
Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 perihal
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
yang putusannya bersifat final untuk menguji peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat
UU terhadap UUD. Berdasarkan Pasal 56 bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 serta pemeriksaan alat-alat bukti elektronik.
tentang Mahkamah Konstitusi, baik dalam Rapat Permusyawaratan Hakim
pengujian formil maupun materiil terdapat (RPH) yang dilakukan secara tertutup dan
tiga jenis amar putusan, yaitu: tidak dapat rahasia dipimpin oleh Ketua Mahkamah
diterima, ditolak, dan dikabulkan. Konstitusi. RPH untuk mengambil putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi dapat adalah sekurang-kurangnya 7 orang Hakim
berupa suatu putusan yang normatif (suatu Konstitusi. Pengambilan Putusan dalam RPH
putusan yang di dasarkan pada legalitas ini menggunakan musyawarah mufakat.
hukum terkait dengan persidangan) dan Hakim Konstitusi bebas menggunakan
putusan progresif (bahwa Mahkamah tidak penafsiran dalam menafsirkan suatu Undang-
hanya terpaku pada Undang-Undang dalam Undang untuk mencapai suatu kebenaran
mengadili suatu perkara untuk mewujudkan meskipun terkadang hasil penafsiran tersebut
keadilan, tidak hanya keadilan prosedural bertentangan dengan hukum positif yang
akan tetapi keadilan yang substantif). ada. Dalam RPH hakim wajib menyampaikan
Pasca lahirnya Undang-Undang pertimbangan dan pendapat secara tertulis
Nomor 8 Tahun 2011 tetang Perubahan Atas terhadap permohonan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Putusan Mahkamah Konstitusi dapat
tentang Mahkamah Konstitusi belum pernah berupa putusan negative (meniadakan
mengeluarkan putusan progresifnya lagi. Undang-Undang) dan positive (menciptakan
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan suatu keadaan hukum baru yang bersifat
untuk Mahkamah Konstitusi mengeluarkan mengatur). Putusan Mahkamah Konstitusi
putusan progresif mengingat lahirnya bersifat negative ketika suatu Undang-Undang
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang dinyatakan bertentangan dengan UUD
terbaru tidak terlalu mempengaruhi proses 1945, mengingat sifat putusan Mahkamah
pengujian peraturan perundang-undangan Konstitusi yang bersifat self executing, final and
karena Pasal-Pasal yang bersangkutan telah binding maka eksekutor terhadap putusan
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah DPR sebagai
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu perwujudan prinsip check and balances
pelaku kekuasaan kehakiman yang diberi untuk segera menindaklanjuti sehingga tidak
kewenangan oleh Undang-Undang Dasar akan terjadi kekosongan hukum, yang akan
1945 untuk menguji konstitusionalitas suatu berdampak juga pada aturan pelaksaan
Undang-Undang apakah bertentangan atau pada Pemerintah, apabila suatu Undang-
tidak dengan UUD 1945. Undang berubah secara otomatis aturan
Pemeriksaan pendahuluan yang pelaksaannyapun berubah.
dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya positive ketika Mahkamah Konstitusi
terdiri 3 orang Hakim Konstitusi yang memberikan putusan diluar wewenang
memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi yang diberikan oleh UUD 1945, sepeti
pemohon meliputi kewenangan Mahkamah adanya ultra petita yang dikeluarkan oleh
Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) Mahkamah Konstitusi demi kepentingan
Pemohon, dan pokok permohonan. bersama. Mahkamah Konstitusi memiliki
Pemeriksaan Persidangan meliputi beberapa macam putusan berdasarkan Pasal
pemeriksaan terhadap pokok permohonan, 56 Undang-Undang 24/2003, akan tetapi
alat-alat bukti tertulis, mendengarkan dalam perkembangannya ada beberapa
keterangan Presiden/Wakil Presiden, putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak
keterangan DPR dan/atau DPD, keterangan hanya terpaku pada Undang-Undang saja
saksi, keterangan ahli, keterangan pihak melainkan pada suatu kondisi hukum
terkait, pemeriksaan rangkaian data, tertentu. Ultra petita merupakan putusan
keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau Mahkamah Konstitusi yang memuat amar
putusan melebihi yang dimohonkan oleh kerancuan dalam masyarakat akan tetapi
pemohon atau dengan kata lain positive putusan hakim tersebut (positive legislator)
legislator. Pembagaian ultra petita secara hanya berlaku 1 kali sampai ada peraturan
umum menjadi 4 jenis (Martitah, 2012) perundang-undangan yang mengatur.
yaitu: (1) membatalkan pasal yang tidak Sehingga Mahkamah Konstitusi
dimintakan; (2) memberi beban tambahan dalam menjalankan wewenangnya untuk
kepada termohon; (3) putusan mengatur; memeriksa, mengadili dan memutus suatu
dan (4) menentukan jangka waktu. perkara pengujian undang-undang tidak
Dalam setiap putusan yang dikeluarkan hanya terpaku secara formal prosedural saja
oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak tetapi boleh mempertimbangkan hukum-
tidak hanya pada pihak-pihak yang hukum yang hidup dalam masyarakat dan
berperkara saja melainkan juga kepada keadaan yang memaksa Mahkamah Konstitusi
semua warga negara mengingat yang diuji untuk mengeluarkan putusan yang bersifat
adalah suatu Undang-Undang dan sifat ultra petita dengan tidak mengenyampingkan
erga omnes yang melekat pada Putusan rambu-rambu pembatas agar Mahkamah
Mahkamah Konstitusi. sehingga ketika Konstitusi dalam menjalankan wewenangnya
Mahkamah Konstitusi akan memutus suatu tidak melampaui batas atau kekuasaan lain.
perkara Pengujian Undang-Undang, banyak
hal yang harus mempertimbangkan seperti 4. Simpulan
hukum tidak tertulis yang berkembang dan
hidup dimasyarakat (living law) mengingat Lahirnya Undang-Undang Nomor
negara Indonesia mengakui keberadaan 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
hukum tidak tertulis sehingga tidak hanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
terpaku pada suatu peraturan perundang- Tentang Mahkamah Konstitusi dianggap
undangan tertentu yang bersifat kaku. membatasi wewenang Mahkamah Konstitusi
Diharapkan dengan Putusan Mahkamah dan beberapa Pasal inti yang dirubah dan
Konstitusi yang normatif maupun progresif ditambahkannya beberapa Pasal oleh DPR
dapat dijadikan acuan DPR agar dalam seperti Pasal 27A Ayat (2), Pasal 45A, Pasal
membentuk suatu Undang-Undang bisa 50A, dan Pasal 57a Ayat (2). Akan tetapai
lebih baik dan dapat diterima oleh masyarakat dengan diajukannya perkaraNomor 48/PUU-
semua kalangan dan masyarakatpun timbul IX/2011 dan 49/PUU-IX/2011 Pasal-Pasal
suatu kesadaran dalam mentaati hukum yang membatasi kewenangan Mahkamah
karena dirasa mewakili kepentingan bersama Konstitusi telah dibatalkan dan Mahkamah
tidak lagi kepentingan politik atau suatu Konstitusi dapat menjalankan wewenangnya
golongan tertentu sehingga masyarakatpun seperti sebelumnya.Sehingga tidak terjadi
mempunyai inisiatif untuk memberikan perubahan yang terlalu signifikan dalam
suatu solusi-solusi akan permasalahan yang Perkara Pengujian Undang-Undang.
timbul dengan begitu akan tercipta suatu Di dalam sistem ketatanegaraan yang
pembaharuan masyarakat. Sehingga putusan mendasarkan pada prinsip pemisahan
Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan kekuasaan, kekuasaan kehakiman dalam hal
sebagai sarana pembaharuan masyarakat. ini adalah Mahkamah Konstitusi mempunyai
Akan tetapi semua itu harus mempunyai kedudukan hukum yang netral (peradilan
rambu-rambu pembatas agar tidak terjadi independent dan imparsial) diantara DPR
suatu penyimpangan dalam melaksanakan sebagai pemegang kekuasaan legislatif
wewenang. Dikemukakan oleh John Henry dalam menentukan Undang-Undang, dan
Merryman dalam Martitah (2012:184) bahwa Pemerintah dalam menjalanan kekuasaan
“terkadang hukum tertulis (Undang-Undang) eksekutif sebagai kekuasaan pelaksana.
itu mengacaukan atau membingungkan” Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi
sehingga putusan Hakim dapat berlaku disini dapat dikatakan sederajat dengan
seperti layaknya Undang-Undang apabila Undang-Undang akan tetapi hanya berlaku
terjadi kekosongan hukum dan terjadi 1 kali sebelum Undang-Undang lebih lanjut
yang mengatur.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah Daftar Pustaka
satu lembaga kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan Asshiddiqie, Jimly, 2005.Konstitusi dan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta. Konstitusi
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan Press.
bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki 4 Martitah. Fungsionalisasi Jaringan Sosial Dalam
kewenangan konstitusional salah satunya Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi
adalah menguji Undang-Undang terhadap Yang bersifat Mengtatur.Disertasi Ilmu
Undang-Undang dasar Tahun 1945. Objek Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro.
pengujian Undang-Undang yang di judicial Semarang. 2012.
review di Mahkamah Konstitusi adalah Mahfud, MD. Rambu Pembatas dan Perluasan
Undang-Undang hasil pemikiran secara Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Makalah
politik atau produk legislatif (legislative acts). disampaikan di depan Komisi II DPR RI dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki rangka mengikuti fit and propertest untuk
dapat berupa putusan negative (meniadakan menjadi Hakim Konstitusi.
Undang-Undang) dan positive (menciptakan Mertokusumo, S. 1996. Penemuan Hukum Sebuah
suatu keadaan hukum baru yang bersifat Pengantar Sudikno Mertokusumo. Yogyakarta.
mengatur). Putusan Mahkamah Konstitusi Liberty.
bersifat negative ketika suatu Undang-Undang Moleong, J.L. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif.
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,
Bandung.PT. RemajaRosdakarya.
mengingat sifat putusan Mahkamah Konstitusi
Siahaan, M, 2009. Peran Mahkamah Konstitusi dalam
yang bersifat self executing, final and
Penegakan Hukum Konstitusi, Jurnal Hukum
binding maka eksekutor terhadap putusan
No. 3 Vol. 16 Juli 2009.
Mahkamah Konstitusi adalah DPR sebagai
Yusdiansyah, E. 2010. Implikasi Keberadaan Mahkamah
perwujudan prinsip check and balances.
Konstitusi Terhadap Pembentukan Hukum
Dalam setiap putusan yang dikeluarkan oleh
Nasional Dalam Kerangka Negara Hukum.
Mahkamah Konstitusi akan berdampak tidak
Bandung. CV Lubuk Agung.
hanya pada pihak-pihak yang berperkara
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
saja melainkan juga kepada semua warga
1945.
negara mengingat yang diuji adalah suatu
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Undang-Undang dan sifat erga omnes
yang melekat pada Putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi.
Konstitusi. sehingga ketika Mahkamah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang
Konstitusi akan memutus suatu perkara Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Pengujian Undang-Undang, banyak hal yang tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
harus mempertimbangkan seperti hukum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
tidak tertulis yang berkembang dan hidup Kekuasaan Kehakiman.
dimasyarakat (living law) mengingat negara PMK Nomor 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Indonesia mengakui keberadaan hukum Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
tidak tertulis sehingga tidak hanya terpaku Putusan Mahkamah Konstitusi pasca lahirnya Undang-
pada suatu peraturan perundang-undangan Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
tertentu yang bersifat kaku. Diharapkan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang Tentang Mahkamah Konstitusi. diakses pada
normatif maupun progresif dapat dijadikan hari minggu tanggal 1 Juli 2012 pukul. 19.00
acuan DPR agar dalam membentuk suatu WIB.

Anda mungkin juga menyukai