Anda di halaman 1dari 14

Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem

Ketatanegaraan Republik Indonesia

Untuk Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Studi


Konstitusi Yang Dibina Oleh Dosen Ibu Sofi Rahma Dewi, S.H., M.H.,

Disusun Oleh :

Triana Sari 201810050311274

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
A. Pendahuluan

Sistem ketatanegaraan sebenarnya mencakup dua aspek, yaitu yang berkaitan


dengan kekuasaan lembaga negara dan hubungannya antara lembaga negara
tersebut dan hubungan antara lembaga negara dengan lembaga negara negara
dengan warga negara. Kedua aspek tersebut dapat dilihat dalam konstitusi suatu
negara. Konstitusi adalah sistem hukum, tradisi, dan konvensi yang kemudian
membentuk sistem ketatanegaraan atau badan pemerintahan suatu negara.
Sistem ketatanegaraan mencerminkan fungsi-fungsi yang terkandung dalam hukum
tata negara. Fungsi-fungsi tersebut meliputi penetapan fungsi kelembagaan,
pembagian wewenang, dan penetapan batas-batas antar kantor, serta hubungan
antara kantor dan warga. Ketiga fungsi tersebut, yaitu fungsi pembentukan,
pembagian dan pengaturan, merupakan fungsi operasional sistem ketatanegaraan
berdasarkan norma dan norma konstitusi, serta atas asas sosialisme,
konstitusionalitas, dan supremasi hukum dalam konstitusi. Fungsi-fungsi ini akan
berjalan ketika tiga kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dijalankan sesuai
dengan prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances.

Sistem ketatanegaraan diatur dalam konstitusi suatu negara dan menurut


rumusan politik yang demokratis serta sistem pemisahan kekuasaan negara dan
prinsip checks and balances yang tidak terpisahkan dari prinsip dan pelaksanaan
hak untuk memeriksa atau memeriksa undang-undang dan peraturan. (peninjauan
kembali). Di beberapa negara demokrasi pada umumnya, kehadiran sistem kontrol
konstitusional sangat disambut baik. Tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi
juga di kalangan praktisi, bahkan di bawah pengawasan yudisial konstitusional, hal
itu dipandang sebagai sarana bagi aturan hukum modern untuk mengontrol dan
menyeimbangkan kekuasaan pejabat pemerintah yang cenderung otoriter. Konsep
judicial review itu sendiri sebenarnya dilihat sebagai hasil dari perkembangan
modern sistem pemerintahan yang demokratis berdasarkan gagasan negara
hukum, prinsip pemisahan kekuasaan, perlindungan dan pemajuan hak asasi
manusia. (melindungi hak-hak dasar). . Pada dasarnya, judicial review hanya bisa
dilakukan dengan baik di negara yang tunduk pada rule of law, bukan supremasi
parlementer. Di negara yang menganut sistem parlementer tertinggi, produk sah
yang diciptakan tidak dapat diganggu gugat, karena parlemen merupakan bentuk
representasi kedaulatan rakyat. Pengawasan yudikatif atau pengawasan
konstitusional meliputi 2 (dua) tugas pokok antara lain: Pertama, menjamin
berjalannya sistem demokrasi dalam hubungan antara peran kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif, hukum sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan oleh
satu cabang. kekuasaan terhadap yang lain; Kedua, melindungi seluruh warga
negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang melanggar hak-
hak dasar konstitusional.

Di dunia di mana ide kontrol konstitusional begitu luas, penerimaan dan praktik
di setiap negara mau tidak mau bervariasi dari negara ke negara, yang jelas
merupakan ide kontrol konstitusional.Metodologi terus berkembang secara teoritis
dan praktis tidak dapat dipisahkan dari perubahan-perubahan sejarah. Tahapan
perkembangan ini dapat diamati selama periode waktu yang berkisar dari ide-ide
tradisional hingga ide-ide yang lebih modern. Di Indonesia, Amandemen UUD 1945
membawa warna baru dalam sistem ketatanegaraan. Salah satu perubahan
mendasar UUD 1945 adalah mengubah Pasal 1 Ayat (2) yang berbunyi sebagai
berikut: “Kedaulatan adalah milik rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang Dasar”. Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kedaulatan
rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh Dewan Rakyat tetapi dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konstitusi.

Selain itu, Amandemen UUD 1945 melahirkan lembaga negara yang berfungsi
melindungi dan menafsirkan konstitusi, yaitu keberadaan Mahkamah Konstitusi.
Secara konseptual, gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Peninjauan
kembali kasus pertama dan terakhir memiliki keputusan akhir atas pertimbangan
undang-undang anti-Konstitusi 1945 dan otoritas lain yang berwenang atas
pertimbangannya sendiri.

Di Mahkamah Konstitusi ini, konstitusi dijamin sebagai hukum tertinggi yang


dapat diterapkan secara wajar, dan dalam menjalankan fungsinya membela
konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dianugerahi tahun kekuasaan.
Empat kewenangannya adalah (i) mengesahkan konstitusionalitas undang-undang
(ii) menyelesaikan sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara, (iii)
menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, (iv) memutus pembubaran. partai
politik, dan kewajiban, khususnya (v) untuk memerintah menurut pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat dengan tuduhan bahwa presiden dan wakil presiden Sistem itu
melanggar atau tidak melanggar undang-undang yang diatur dalam UUD 1945.
Sebagai satu-satunya penafsir konstitusi, MK dalam perkembangannya melalui
aktivis hukum tertentu harus khawatir akan menjadi lembaga yang diberdayakan
kekuasaan dari kekuasaan tertinggi. Khusus dalam menangani perkara yang
berkaitan dengan wilayah hukumnya, MK dapat menafsirkan UUD secara sepihak
tanpa perlu dipertanyakan lagi, selain itu putusan MK bersifat final and binding,
sehingga apabila salah satu pihak kecewa dengan putusan MK tersebut. , dia tidak
bisa melakukannya. Kewenangan penafsiran konstitusi sebagai dasar uji materi
oleh hakim konstitusi dinilai sangat luas, sehingga dapat membuka pintu diskresi
hakim konstitusi dalam menafsirkan undang-undang. menarik. Konstitusi dapat
mengesampingkan penanda hukum ini. Misalnya, dalam perkara uji materi UU No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang dimohonkan oleh hakim
Pengadilan Negeri Padang (Perkara No. 004/PUUI/2003). Mahkamah Konstitusi
tercatat telah memeriksa perkara tersebut, meskipun ternyata Pasal 50 UU MK
mengatur bahwa undang-undang yang dapat diajukan banding adalah undang-
undang yang diundangkan setelah Perubahan UUD 1945

Dalam mengkaji perkara tingkat pertama, hakim konstitusi sering menemui


kendala terkait kurangnya pendokumentasian oleh DPR dalam berita acara
pembahasan RUU, yang menghalangi hakim konstitusi dari pemahaman hukum
konteks pembentukan undang-undang, yang berdampak pada ketidakmampuan
penggugat untuk membuat keputusan secepat dan seakurat yang mereka inginkan,
karena tidak didukung oleh data yang valid yang menjadi dasar keputusan mereka.
Selain hal di atas, MK juga tidak memiliki pengendalian intern yang baik dalam
menjalankan kewenangannya. MK tidak memiliki pengendalian internal yang
mampu mendeteksi pelanggaran atau kelemahan organisasi, hanya mekanisme
pengendalian yang hierarkis dan tanpa partisipasi seluruh komponen organisasi,
pengendalian tidak partisipatif dan efektif. Situasi ini juga diperkuat dengan
gencarnya pemberitaan media tentang kegiatan korupsi terhadap hakim konstitusi
yang diduga berpotensi mempengaruhi putusan dan merongrong wibawa hakim
konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Seperti yang dikatakan Alexander Hamilton,
hakim membutuhkan keberanian luar biasa untuk menjalankan tugasnya sebagai
pembela setia konstitusi, ketika pelanggaran konstitusi dimulai dengan suara
terbanyak. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini adalah
sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia serta landasan filosofis,
hukum dan sosiologis kedudukan dan kekuasaan Mahkamah Konstitusi.
B. Pembahasan

Pelaksanaan kontrol yudisial yang diprakarsai oleh John Marshall memiliki


pengaruh yang sangat penting bagi negara-negara lain di dunia, terutama di
Indonesia dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi Indonesia. Akibatnya,
kehidupan ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang mendasar,
terutama ketika Perubahan UUD 1945 dimulai pada tahun 1999. Perubahan UUD
1945 menjadi catatan sejarah pemerintahan negara Indonesia, karena landasan
konstitusional telah dialami dengan sengit. perubahan. , mencakup sebagian besar
bidang kehidupan yang berbeda. Sejak tahun 2001, Amandemen Ketiga UUD 1945
(melalui sidang tahunan MPR 2001) secara resmi menerima pencantuman MK
dalam UUD. Pembentukan Mahkamah Konstitusi menandai era baru dalam sistem
peradilan di Indonesia. Beberapa bidang yang sebelumnya tidak tersentuh undang-
undang, seperti pengujian undang-undang, kini dapat dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi. Majelis Permusyawaratan Rakyat melakukan perubahan mendasar
terhadap Pasal 2 UUD 1945 dengan mengubah Pasal 2 dan menambahkan Pasal
2A, 2B dan 2C, termasuk dua lembaga baru, yaitu Konstitusi Mahkamah dan Badan
Kehakiman.

Mengenai kewenangan kontrol yudisial Mahkamah Agung dan Mahkamah


Konstitusi dewasa ini, menurut Jimly Asshiddiqie perlu dilakukan pemisahan
kekuasaan, karena pada hakekatnya kedua lembaga tersebut berbeda. Mahkamah
Agung adalah pengadilan, sedangkan Mahkamah lebih mementingkan pengadilan.
Sementara itu, Mahfud MD berpendapat bahwa idealnya kekuasaan kehakiman di
dua lembaga negara, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, harus secara
jelas menggambarkan yurisdiksi antara penyelesaian sengketa perjanjian dan
penyelesaian konflik antara peraturan perundang-undangan. Mahkamah Agung
harus fokus menangani peradilan biasa (antara orang dan/atau lembaga),
sedangkan Pengadilan harus menangani pengadilan yang berurusan dengan
undang-undang dan peraturan yang bertentangan. Berpijak pada pemikiran Jimly
dan Mahfud MD di atas, peneliti memaparkan “pemurnian pengawasan yudisial”
sebagai solusi atas permasalahan yang timbul dalam sistem pengawasan yudisial
dua tingkat Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Secara terminologis, arti
kata “purification” menurut kamus bahasa Indonesia adalah “purification”; atau
“pembersihan”, definisi yang peneliti gunakan adalah “pemurnian”. Istilah
"penyucian" berasal dari akar kata "suci" yang identik dengan kata "murni". Yang
dimaksud dengan “pemurnian” dalam konteks pembahasan adalah pemurnian
kewenangan Mahkamah Agung sebagai “pengadilan” serta pemurnian kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagai “pengadilan”. Purging judicial review berarti, sebagai
bagian dari pemersatu pengawas peraturan perundang-undangan di atap MK
(sebagaimana dikemukakan oleh banyak ahli hukum), kontrol yuridis menjadi
badan “murni” MK. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam konteks pembahasan,
digunakan tiga (tiga) teori untuk menjelaskan argumentasi dasar (legal reasoning)
mengenai urgensi purging judicial review hukum, yaitu teori supremasi konstitusi,
teori tiga kekuasaan, dan teori hukum. Pertama, menurut Muhamad Rakhmat,
melihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan
Undang-Undang Dasar”, bahwa amandemen UUD 1945 UUD 1945 Negara dan
supremasi beralih dari supremasi MPR ke supremasi konstitusi.

Indonesia merupakan negara ke-78 yang mendirikan Mahkamah Konstitusi.


Pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan fenomena negara modern
abad kedua puluh, ketika Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Tahun 1945 bersama dengan
Pasal 24 C Undang-Undang Dasar. Republik Indonesia, diputuskan dalam rapat
paripurna Dewan Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Gagasan tentang
pentingnya MK muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum
kemerdekaan. Saat pembahasan RUU di Badan Penyelidikan Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Gagasan perlunya judicial review, khususnya
review terhadap putusan Konstitusi, kembali mengemuka dalam pembahasan
rancangan undang-undang peradilan yang kemudian diundangkan dalam UU No.
14 1970 menyangkut asas-asas keadilan. Kekuasaan. Dalam pembahasan
Perubahan UUD 1945 pada masa doi moi, pendapat tentang pentingnya MK
kembali mengemuka. Perubahan UUD 1945 terjadi pada masa doi moi yang berarti
bahwa Dewan Permusyawaratan Rakyat tidak lagi memegang kedudukannya
sebagai organ tertinggi dan kekuasaan tertinggi negara, tetapi bergeser dari
kekuasaan tertinggi negara. supremasi konstitusi. Perubahan mendasar ini
menuntut adanya mekanisme konstitusional dan kelembagaan serta kehadiran
lembaga negara untuk mengatasi perbedaan antar lembaga negara yang telah
menjadi setara dan seimbang dan terkendali (check and balance).

Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam menyetujui Perubahan Ketiga UUD 1945


pada sidang tahunan Kongres Rakyat Nasional (2001) merupakan landasan
konstitusional yang kokoh. Artinya keberadaan, kedudukan, wewenang, tugas, dan
susunan hakim Mahkamah Konstitusi diatur secara tegas dalam UUD 1945.

Namun, dengan disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, Mahkamah Konstitusi


tidak serta merta membentuk Mahkamah Konstitusi. . Untuk mengisi kekosongan
tersebut, dalam Perubahan Keempat UUD 1945 diatur dalam Peraturan Peralihan
bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk paling lambat tanggal 17 Agustus 2003.
Sebelum pembentukannya, semua kekuasaan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, khususnya Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 disahkan pada 13 Agustus 2003. Tanggal
pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
ditetapkan pada hari jadi Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan UU MK, pembentukan
MK langsung terjadi melalui rekrutmen hakim konstitusi dari tiga organ negara,
yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. Setelah melalui tahapan seleksi sesuai
mekanisme yang berlaku di masing-masing lembaga, DPR, Presiden, dan
Mahkamah Agung akhirnya memutuskan masing-masing dari ketiga calon hakim
konstitusi tersebut.

Selain itu, Presiden diangkat sebagai hakim konstitusi. Kesembilan hakim


konstitusi pertama diangkat pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keputusan
Presiden Nomor 17/M Tahun 2003. Keberadaan Mahkamah Konstitusi juga
dimaksudkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan negara, dan juga melakukan
penyesuaian terhadap pengalaman administrasi publik masa lalu. disebabkan oleh
penafsiran ganda terhadap konstitusi.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu organ kehakiman akan mampu
mengembalikan citra lembaga peradilan di Indonesia sebagai lembaga peradilan
yang independen yang dapat dipercaya untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Dasar Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis tentang Kedudukan dan


Wewenang Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang independen, bertanggung


jawab atas manajemen administrasi untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin bahwa konstitusi merupakan
hukum tertinggi bagi pelaksanaannya, sehingga Mahkamah Konstitusi disebut
sebagai pengawal konstitusi. Kedudukan Mahkamah Konstitusi sejajar dengan
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan yang independen dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya, termasuk
mempertimbangkan undang-undang yang inkonstitusional, MK juga menafsirkan
konstitusi, sehingga MK juga dikenal sebagai the only interpreting body of the
Constitution. Sebagai satu-satunya penafsir konstitusi, banyak hal dalam arbitrase
memiliki konsekuensi bagi kekuatan lain yang diposisikan saling bertentangan,
terutama legislatif di mana produk mereka diteliti. Kedudukan Mahkamah
Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah lembaga negara yang
menjalankan fungsi peradilan yang berwenang mengadili perkara-perkara
konstitusional.

Eksistensi MK dipahami sebagai pengawal konstitusi guna memperkuat landasan


konstitusionalisme dalam UUD 1945. Dengan demikian, MK memiliki kewenangan
yang berbatas tegas sebagai bentuk penghormatan terhadap konstitusionalisme.
Batasan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
lembaga peradilan merupakan bentuk pelaksanaan sistem checks and balances
antar lembaga negara (checks and balances). Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu organ kehakiman akan mampu mengembalikan citra lembaga peradilan di
Indonesia sebagai lembaga peradilan yang independen yang dapat dipercaya untuk
menegakkan hukum, hukum dan keadilan. Landasan filosofis kekuasaan dan tugas
MK adalah keadilan substantif dan prinsip-prinsip good governance. Selain itu, teori
hukum juga menopang keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara
yang melestarikan dan menafsirkan konstitusi. Kehadiran MK dengan segala
kekuasaan dan tugasnya dianggap telah mengubah doktrin supremasi parlementer
dan menggantikannya dengan doktrin supremasi konstitusional.

Keadilan substantif/keadilan substantif adalah al qist atau bagian yang adil dan
pantas, yang tidak mengarah pada persamaan, melainkan bagian yang tepat, di sisi
kanan. Dalam penerapan keadilan substantif ini, kebaikan akan menang sesuai
dengan pembuktian kebenaran. Teori-teori yang melandasi pentingnya reformasi
konstitusi dan menjadi dasar bagi kekuasaan dan tugas Mahkamah Konstitusi
adalah teori kedaulatan negara, teori konstitusi, teori kedaulatan negara, dan teori
kedaulatan negara. hukum, teori kesejahteraan, keadilan. teori dan teori kepastian
hukum.

Dasar hukum yurisdiksi Mahkamah Konstitusi berakar pada UUD 1945 yang
diatur dalam Pasal 7A, 78, dan 2C dan dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2003. Bagi orang perseorangan, kesatuan masyarakat hukum adat selama
masih hidup, badan hukum publik atau swasta, organisasi publik, partai politik atau
pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat, jika hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dilanggar, dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang dibentuk karena salah urus negara, terutama pada
masa Orde Baru, yang ditandai dengan popularitas yang meluas. korupsi. Pada
masa itu, kolusi dan neoliberalisme, Markus (sang perantara kasus), dan
pengabaian nilai-nilai keadilan hukum menjadi unsur perkembangan di berbagai
bidang, terutama sistem peradilan. Sebagai badan konstitusional, Mahkamah
Konstitusi dirancang untuk menjadi pelindung dan penafsir konstitusi melalui
putusan-putusannya. Dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya, Mahkamah
Konstitusi berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu pembangunan
konstitusi, dalam rangka mewujudkan cita-cita supremasi hukum dan kedaulatan
rakyat untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat. Visi tersebut
menjadi pedoman bagi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan
kehakimannya secara mandiri dan bertanggung jawab sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akibat dari
berlakunya undang-undang tersebut.
C. Kesimpulan

Sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi di Indonesia erat kaitannya dengan


perkembangan peradilan peradilan yang terjadi di sejumlah negara di dunia.
Perkembangan judicial review yang paling berpengaruh terhadap eksistensi MK
terjadi pada saat proses judicial review yang digagas oleh John Marshall di Marbury
v Madison. Gagasan tentang pentingnya MK muncul dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia sebelum kemerdekaan. Dalam pembahasan RUU pada Penyelidikan
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, gagasan perlunya judicial review muncul
kembali dalam pembahasan RUU tentang independensi peradilan (UU No. 1970).
Dalam pembahasan Amandemen UUD 1945 pada masa doi moi, pendapat tentang
pentingnya MK kembali mengemuka. Akhirnya, dengan Perubahan Ketiga UUD
1945 yang dipimpin oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, lahirlah lembaga
negara baru, yaitu Mahkamah Konstitusi, yang fungsinya melindungi konstitusi,
sekaligus bertindak sebagai penafsir konstitusi.

Eksistensi Mahkamah Konstitusi tercermin dalam pelaksanaan fungsi dan


kekuasaannya setelah DPR dan pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar penegakan Mahkamah
Konstitusi. perlindungan konstitusional. pengujian tersebut sesuai dengan amanat
UUD 1945. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia adalah sebagai divisi peradilan dan memiliki status yang setara dengan
Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kekuasaan dan tugas konstitusional,


yaitu mempertimbangkan undang-undang yang inkonstitusional, menyelesaikan
perselisihan yang berkaitan dengan kewenangan organisasi negara yang diberi
wewenang oleh konstitusi, memutuskan pembubaran partai politik; dan mengadili
perselisihan hasil pemilihan umum. Salah satu kewajiban konstitusional MK adalah
mengadili pendapat Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan pelanggaran
Presiden/dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Konstitusi.

Kontrol peradilan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai kontrol antar lembaga


negara dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum yang demokratis. Dalam
menjalankan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi telah memantapkan dirinya
sebagai lembaga negara yang menjamin demokrasi dengan menjunjung tinggi
prinsip-prinsip peradilan yang mendukung keadilan substantif dalam segala
putusan. Keadilan di sini merupakan landasan filosofis bagi pelaksanaan yurisdiksi
Mahkamah Konstitusi. Selain keadilan substantif yang menjadi landasan filosofis
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya berdasarkan ketentuan UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan menerapkan prinsip-prinsip
sebagai berikut: publisitas dan transparansi, sehingga akuntabilitas publik.
Keberadaan MK juga tidak terlepas dari teori-teori hukum, antara lain teori
kedaulatan, teori konstitusi, teori negara hukum yang demokratis, teori
kesejahteraan, teori keadilan dan teori kepastian hukum. Dasar hukum hak MK
untuk menguji undang-undang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
pada intinya mengatur bahwa MK berwenang untuk mempertimbangkan undang-
undang yang bertentangan dengan ketentuan UUD. Konstitusi. Pada tahap akhir,
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi
secara resmi menjalankan kewenangannya berdasarkan UUD 1945. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan hukum, dipicu oleh salah urus
negara, terutama pada masa pemerintahan. Orde Baru yang ditandai dengan
maraknya korupsi, kolusi dan neoliberalisme, oleh Markus (calo perantara),
meninggalkan nilai-nilai keadilan hukum, serta hak konstitusional warga negara
yang dilanggar.
DAFTAR PUSTAKA

Thalib, Abdul Rasyid. "Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan RI." Citra Aditya Bakti, Bandung (2006).

Darmadi, Nanang Sri. "Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Sistem
Hukum Ketatanegaraan Indonesia." Jurnal hukum 28.2 (2020): 1088-1108.

AGUSTIAN, Tomi. Implikasi Pengujian Ketetapan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan


Republik Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 75/PUU-XII/2014. Lex
Renaissance, 2016, 1.1: 1.

Achmad dan Mulyanto, Januari-April 2013. “Problematika Pengujian Peraturan Perundang-


Undangan (Judicial Review) Pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”.
Jurnal Yustisia Volume 2 Nomor 1.

Medcom.id. “Pangkas Kewenangan Kemendagri, Putusan MK Membebani MA”. Terbit di


Medcom.id pada 16 Juni 2017. Diakses pada tanggal 29 Maret 2019 melalui
https://www. medcom.id/nasional/hukum/4bazP03k- pangkas-
kewenangankemendagri-putusan-mk- membebani-ma.

Putra, Antoni. Juli 2018. “Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal


Legislasi Indonesia Volume 15 Nomor 2

Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010. Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi
Republik Indonesia.

FAUZAN, Muhammad. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Proses Impeachment


Presiden Menurut Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jurnal Dinamika
Hukum, 2011, 11.1: 71-86.

SILABAN, Virto, et al. KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM


KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Limbago: Journal of Constitutional Law,
2021, 1.1: 60-76.

NUGROHO, MAHFUD YOGA, Retno Saraswati, and Lita Tyesta ALW. IMPLIKASI PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 86/PUU-XII/2013 TENTANG PENGUJIAN
KETETAPAN MPR aTERHADAP UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945 TERHADAP MARWAH DAN KEWENANGAN MAHKAMAH
KONSTITUSI SEBAGAI GUARDIAN OF CONSTITUTION DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Diss. Universitas Diponegoro, 2019.

Anda mungkin juga menyukai