Anda di halaman 1dari 20

Soal

1. Jelaskan mengapa judicial review begitu penting ?


2. Jelaskan perbedaan istilah judicial review dan constitutional review ?
3. Jelaskan sejarah perkembangan judicial review dalam praktik ketatanegaraan
Indonesia ?
4. Jelaskan keterkaitan gagasan judicial review dengan mekanisme checks and
balances dalam hubungan antar lembaga ?
5. Jelaskan perbedaan hak menguji perundang-undangan (judicial review) antara
mahkamah agung dengan mahkamah konstitusi ?
6. Jelaskan mekanisme pengujian peraturan daerah (executive review), dan
jelaskan lembaga mana yang berwenang melakukan pengujian terhadap
qanun?
7. Jelaskan secara singkat alur beracara dalam pengujian materiil perundangundangan di mahkamah konstitusi dan mahkamah agung ?
8. jelaskan gambaran menurut anda tentang hubungan antara judicial review dan
supermasi parlemen ?

JAWABAN
1. Prinsip utamanya, undang-undang pada dasarnya adalah kristalisasi dari
kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik,
maka patut diduga di dalamnya terdapat muatan kepentingan yang mungkin
saja bertentangan atau melanggar kaidah-kaidah konstitusi. Sesuai prinsip
hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih
rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk itu
perlu tersedia mekanisme untuk menguji apakah suatu undang-undang
bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Mekanisme yang disepakati untuk
menjalankan fungsi tersebut adalah judicial review yang kewenangannya
diberikan kepada MK. Jika oleh MK undang-undang itu kemudian dinyatakan
terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu wajib
dibatalkan. Konstitusi sebagai hukum tertinggi adalah induk dari semua
hukum yang ada di negara. Oleh karena itu, semua produk hukum harus
mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dalam kerangka
demikian, tak bisa tidak, politik hukum nasional harus didesain sesuai dengan
logika konstitusi. melalui kewenangan judicial review yang dimilikinya, MK
merupakan lembaga negara yang mengawal politik hukum nasional agar tidak
lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. MK dengan
segenap kewenangannya menjadi ikhwal penting bagi ikhtiar mewujudkan
konstitusionalitas Indonesia, sehingga patut dan tidaklah berlebihan jika MK
disebut sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution).

2. Peristilahan judicial review dapat dibedakan dengan istilah constitutional


review atau pengujian konstitusional. Pembedaan dilakukan sekurangkurangnya karena dua alasan. Pertama, constitutional review selain
dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau
pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan kewenangan
untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep judicial review terkait pula
pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas
peraturan di bawah UU terhadap UU, sedangkan constitutional review
hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD. Di
setiap negara, konsep judicial review itu sendiri berbeda-beda cakupan
pengertiannya dan batasannya. Karenanya pengertian istilah-istilah itu juga
tidak boleh diidentikkan antara di satu negara dengan negara yang lain.
Misalnya, Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia, meskipun samasama menggunakan bahasa Inggris, tetapi sistem konstitusi dan sistem
pengujian konstitusionalnya berbeda-beda satu sama lain. Meskipun samasama menggunakan istilah judicial review, tidak boleh dipahami seolah-olah
mempunyai pengertian yang sama persis satu sama lain. Konsep
constitutional review itu dapat dilihat sebagai hasil perkembangan gagasan
modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide
negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of
powers), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection
of fundamental rights). dalam sistem constitutional review itu tercakup 2
(dua) tugas pokok. Pertama, menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam
hubungan perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary). Dengan kata lain,
constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan sedemikian rupa
sehingga cabang kekuasaan lainnya; Kedua, melindungi setiap individu warga
negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan
hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi. di dunia saat ini,
sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan constitutional review
berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam di setiap
negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusional itu dalam
lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah Konstitusi. Ada pula yang

mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga yang sudah ada, yaitu
Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas untuk menjalankan
fungsi pengujian itu kepada badan-badan khusus dalam kerangka lembagalembaga lain seperti badan-badan pengadilan yang sudah ada; dan ada pula
yang tidak menerima adanya fungsi pengujian semacam itu sama sekali.
Pengalaman di berbagai negara di dunia memperlihatkan bahwa tradisi yang
mereka ikuti tidak sama dari satu negara ke negara yang lain.

3.Semangat juang untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari para penjajah yang
telah menguasai negeri ini selama kurang lebih tiga setengah abad menghasilkan
sebuah kemerdekaan yang indah ditandai dengan pembacaan proklamasi oleh
Sukarno sebagai wakil Bangsa Indonesia. Cita-cita kemerdekaan Indonesia
tercantumkan dengan megah dalam Preambule Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan pencitraan ideology Pancasila dalam setiap
nafas penulisannya. Dalam perkembangan kemerdekaan Indonesia susunan dan tata
cara pelaksanaan system ketatanegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
yang kemudian dijabarkan selanjutnya oleh undang-undang dan peraturan pelaksana
lainya.
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan lembaga
legislative dan eksekutif yang sarat dengan kepentingan elit politik, walau seharusnya
pembuatan peraturan perundang-undangan ini melibatkan masyarakat yang mengisi
ruang-ruang politik public. Ikut sertanya kepentingan politik dalam mewarnai proses
pembentukan undang - undang memungkinkan timbulnya potensi pertentangan
produk undang-undang yang dihasilkan oleh DPR sebagai lembaga legilatif dan
Presiden sebagai lembaga eksekutif terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang dapat
mencederai hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin penuh oleh UndangUndang Dasar. Dalam konteks ini, perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak
konstitusional warga yang diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik secara

formil maupun materiil merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak
konstitusional warga Negara.Pemahaman mengenai Pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar terkait kedalam system hukum yang diterapkan oleh
suatu negara. Indonesia dipengaruhi oleh system hokum eropa continental (civil law
system), yang mana terdapat penggunaan istilah toetsingsrecht yang secara harfiah
berarti hak menguji. Dalam Praktiknya ada dua jenis hak menguji (toetsingsrecht )
yakni hak menguji formal terkait soal-soal procedural dan legalitas kompetensi
institusi pembuat undang-undang dan hak menguji materil terkait isi dari peraturan
perundang-undangan, apakah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau
tidak. Hak menguji peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh Hakim,
tetapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi kewenangan tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Selain hak menguji yang dimiliki oleh hakim, juga
terdapat hak menguji yang dimiliki legislative dan hak menguji yang dimiliki
eksekutif. Kebutuhan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap undangundang dasar telah lama dirasakan oleh bangsa Indonesia. Dalam risalah sidang
BPUPKI tercantum laporan persidangan yang mengemukakan keinginan M. Yamin
untuk memasukan pengaturan pengujian undang-undang kedalam Undang-Undang
Dasar 1945. Namun hal itu di tolak oleh Soepomo dengan alasan bahwa Indonesia
tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan murni ( separation of powers)
yang diusung oleh Montesquieu dengan konsep trias politikanya, sehingga tidaklah
diperbolehkan kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan membentuk undangundang dan Indonesia masih belum mampu dan siap untuk melakukan pengujian
terhadap undang-undang karena Indonesia masih belum mempunyai ahli dalam
bidang pengujian undang-undang. Sehingga akhirnya gagasan constitutional review
tidak diatur sedikitpun di dalam UUD 1945 sebelum terjadinya perubahan.
Melalui perdebatan panjang, pada tahun 1970 secara resmi akhirnya wewenang
menguji peraturan diberikan kepada Mahkamah Agung melalui Undang-Undang
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (saat
ini sudahdigantikan oleh UU No. 4 Tahun 2004). Namun, wewenang yang diberikan
kepada Mahkamah Agung hanyalah untuk menguji peraturan di bawah undangundang, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan lain-lain. Sementara
itu, undang-undang tidaklah dapat diuji. Padahal hakekat dari judicial review
yang dikenal dalam praktek hokum tata negara secara universal adalah untuk
memberikan wewenang pengawasan oleh lembaga yudikatif kepada pembuat undang-

undang. Selain itu pembahasan mengenai hak menguji undang- undang yang dimiliki
oleh hakim di Indonesia juga telah dikemukakan pada tanggal 12-15 Oktober 1999
dalam Seminar Hukum Nasional VII dengan tema Reformasi Hukum Menuju
Masyarakat Madani yang diselengarakan oleh Badan Pembina Hukum NasionalDepartemen Kehakiman Republik Indonesia di Jakarta. Pembahasan mengenai hak
menguji undang undang ini merupakan lanjutan dari pemikiran yang berkembang
tentang hak menguji (toetsingsrecht ) yang dimiliki hakim Indonesia yang dibahas
dalam Seminar Hukum Nasional II di Semarang tanggal 27-30 Desember 1968 yang
tidak mendapatkan kesepakatan peserta seminar saat itu. Krisis ekonomi yang
mendasari terjadinya reformasi di Indonesia tahun 1998 menggulirkan rezim Suharto
yang berkuasa. Setelah pelengseran Presiden Suharto yang kemudian digantikan oleh
Presiden Bj Habibie dilaksanakanlah pemilihan umum demokratis
tanggal 7 juni 1999. Pengisian anggota legislative yang baru dengan semangat
reformasi melakukan perubahan terus menerus terhadap batang tubuh UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak empat kali
perubahan. Perubahan sistem politik dan kekuasaan negara pasca terjadinya
amandemen UUD 1945 telah membawa angin segar bagi perkembangan cita
demokrasi dan konstitusionalisme Indonesia yang salah satunya menyebabkan
terjadinya pergeseran kekuasaan supremasiparlemen (parliament suprema)
menuju supremasi konstitusi (constitutional supremacy). Kedaulatan rakyat
( peoples sovereignty) yang dahulu berada di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini pun telah berubah menjadi terletak di tangan
rakyat. Perubahan mendasar mengenai kedaulatan rakyat dan supremasi konstitusi
tersebut diwujudkan setelah amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang
kemudian menghadirkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang
kekuasaan kehakiman yang berwenang menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945 sesuai dengan pengaturan Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan
Pasal 24C Undang Undang Dasar 1945 dan sebagai perlindung hak konstitusional
warga negara dalam perwujudan pengakuan atas kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945).Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan
terpisah dari Mahkamah Agung merupakan konsep yang telah berkembang jauh
sebelum negara modern berkembang. Sejarah modren judicial review sebagai ciri dari
kewenangan Mahkamah Konstitusi di Amerika Serikat dilakukan oleh lembaga
kehakiman khususnya Mahkamah Agung yang ditandai dengan terjadinya kasus

Marbury vs Madison (1803). Dikalahkanya Jhon Adams oleh Thomas Jeferson dalam
pemilu Amerika Serikat yang ke IV menimbulkan pelaksanaan trik trik politik dalam
tatanan ketata negaraan Amerika, dimana Jhon Adams menempatkan Jhom Marsal
yang pada masa pemerintahanya menjabat sebagai mentri sekretaris negara menjadi
Ketua Mahkamah Agung sebelum pelantikan presiden terpilih yang baru. Selain
pengangkatan ketua hakim agung Jhon Adams juga mengangkat 42 hakim distrik
yang pengangkatanya dilakukan secara bertahap, dimana pada pukul 12 malam
sebelum pelantikan presiden terpilih Jhon Adams melantik 17 hakim distrik.
Penetapan 17 Hakim distrik tersebut kemudian di tahan oleh Mentri Sekretaris Negara
yang baru sehingga pengangkatanya menjadi terhalang. Hakim-hakim distrik yang
pengangkatanya terhalang oleh penahanan sekretaris negara William Marbury, Dennis
Ramsay, Robert Twonsend Hooe, dan William harper memohonkan kepada
Mahkamah Angung pimpinan Jhon Marshall untuk memerintahkan pemerintah
mengeluarkan write of mandamus dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan
mereka. Tetapi Mahkamah Agung dalam putusanya memutus hal diluar dari yang
dimohonkan pemohon. Mahkamah Agung menyatakan tidak mempunyai wewenang
untuk memaksa pemerintah mengeluarkan surat penetapan hakim distrik
tersebut.Mahkamah Agung berpendapat bahwa apa yang dimintakan oleh penggugat
terkait pengeluaran write of mandamus sebagaimana yang ditentukan section 13 dari
judiciary act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena ketentuan judiciary act
tersebut bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi AmerikaSerikat.
Putusan yang didasarkan kepada pertimbangan konstitusi ini menjadi perdebatan yang
terus berkembang ke daratan eropa dan diadopsi dalam sistematika pengujian undang
undang dalam setiap system hukum yang ada di dunia. Berdasarkan pasal III aturan
Peralihan Undang- Undang Dasar 1945, diperintahkan dibentuknya Mahkamah
konstitusi selambat-lambantya pada tangal 17 Agustus 2003 dan sebelum
pembentukannya kewenangan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Dengan disahkanya Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003 maka pada tanggal 16 Agustus 2003 Hakim
Mahakamah Konstitusi dilantik dan mulai bekerja efektif pada tanggal 19 Agustus
2003. Mahkamah Konstitusitusi yang didirikan dengan semangat reformasi ini
mempunyai fungsi pengawal konstitusi agar pelaksanaan konstitusi oleh
penyelenggara kekuasan Negara ataupun warga negara dapat berjalan sebagai mana
mesitnya sesuai dengan cita cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Selain itu

Mahkamah Konstitusi juga berperan melindungi hak konsitusional warga negara yang
telah di jamin Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hak fundamental warga negara

4. Prinsip checks and balances relatif masih baru diadopsi ke dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, utamanya setelah amandemen UUD 1945, sehingga dalam
prakteknya masih sering timbul konflik kewenangan antar lembaga negara atau pun
dengan/atau antar komisi-komisi negara. Setiap negara pasti akan
mengimplementasikan prinsip checks and balances sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan negaranya. Tidak terkecuali Indonesia. Reformasi politik 1998 yang
disusul dengan reformasi konstitusi 1999-2002, menyepakati diadopsinya prinsip
tersebut ke dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Even simposium internasional dengan tema Constitutional Democratic State yang
diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam rangka
memperingati ulang tahunnya yang ke 8, perlu mendapatkan apresiasi karena kegiatan
tersebut diikuti oleh 23 negara. Melalui ajang tersebut Indonesia dapat bertukar
pikiran dan pengalaman dengan berbagai negara yang juga mempraktekkan prinsip
check and balances dalam kehidupan ketatanegaraannya. Pertemuan tersebut tentu
akan memperkaya hasanah keilmuan dan pengalaman yang sangat berharga bagi
Pemerintah Indonesia dan negara-negara peserta.
Dari pengalaman praktek Indonesia menerapkan prinsip tersebut memang belumlah
sempurna karena disain kelembagaan negara paska reformasi masih sangat banyak
jumlahnya, terkadang tumpang tindih kewenangannya, dan belum ideal untuk
menampung kebutuhan ketatanegaraan Indonesia. Akibatnya, konflik kewenangan
antar lembaga/komisi/badan negara tak terhindarkan.Di sisi lain, konflik kewenangan
antar lembaga/komisi/badan negara juga belum dapat sepenuhnya ditampung oleh
Mahkamah Konstitusi, karena kewenangan Mahkamah Konstitusi baru sebatas pada
konflik antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Ke
depan perlu ada perluasan pemaknaan terhadap lembaga negara sehingga konflikkonflik kewenangan antar kelembagaan negara atau pun daerah ada saluran untuk
menyelesaikannya secara yuridis.
Adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari eksekutif ke
legislatif memberikan satu pertanda ditinggalkannya prinsip pembagian kekuasaan
(distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan
kekuasaan (separation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri
melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk

memperkuat sistem presidensial. Dengan adanya prinsip checks and balances ini
maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaikbaiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara
ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembagalembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaikbaiknya.
Dalam pembentukan undang-undang, belum sepenuhnya ideal. Kehadiran DPR dan
DPD yang oleh UUD 1945 keduanya diberi kewenangan bidang legislasi, praktek
checks and balances belum dapat dijalankan sepenuhnya karena kedudukan dan
kewenangan antara DPR dan DPD tidak seimbang. Sehingga dalam pembentukan
undang-undang lebih didominasi oleh DPR. Andaipun ada usulan RUU dari DPD,
disain UUD 1945 belum memungkinkan DPD ikut membahas RUU tersebut bersamasama DPR dan Presiden.
Dalam pengujian peraturan perundang-undangan juga belum ideal karena terpecahnya
kewenangan untuk menguji peraturan di bawah UU terhadap UU ada pada Mahkamah
Agung, dan Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD. Undang-Undang
sebagai produk DPR dan Presiden, manakala menurut pengujian Mahkamah
Konstitusi norma-norma di dalamnya bertentangan dengan UUD 1945, dapat
dibatalkannya. Bahkan dalam beberapa hal putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
menyatakan norma tertentu atau undang-undang bertentangan dengan UUD, tetapi
juga menambah norma baru, sehingga fungsinya sebagai negative legislator bergeser
menjadi positive legislator.
Pengawasan terhadap perilaku hakim yang kewenangannya dilimpahkan ke Komisi
Yudisial juga belum ideal, karena hakim konstitusi tidak dapat diawasi oleh Komisi
Yudisial. Ke depan harus lebih ditegaskan dalam UUD 1945 apa yang menjadi
kewenangan Komisi Yudisial.
Berbagai perkembangan ketatanegaraan Indonesia setelah 13 tahun reformasi sudah
sepatutnya menjadi bahan pencermatan MPR untuk mengkaji kembali disain UUD
1945 dan kelembagaan kenegaraannya agar lebih efektif dan efisien. Sebagai
Mekanisme Check and Balances Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain
ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan

kekuasaan. Sebagai Mekanisme Check and Balances


Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check
and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan
adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakantindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak
terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip
negara hukum, maka system kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial.

3. Penyelenggaraan Negara yang Bersih


Sistem pemerintahan yang baik meniscayakan adanya penyelenggaraan negara yang
bersih, transparan dan partisipatif.

4. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia


Kekuasaan yang tidak terkontrol seringkali melakukan tindakan semena-mena dalam
penyelenggaraan negara dan tidak segan-segan melakukan pelanggaran terhadap
HAM.
Selain itu berdirinya lembaga konstitusi merupakan konsekwensi dianutnya Rechstaat
dalam ketatanegaraan di Indonesia. Otomatis akan terjadi pemisahan kekuasaan dan
mekanisme check and balance antar lembaga. Mahkamah Konstitusilah yang akan
melakukannya terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif

5. MA):
1. permohonan kasasi
Henry P. Panggabean dalam bukunya yang berjudulFungsi Mahkamah Agung
dalam Praktik Sehari-harimenjelaskan bahwaperadilan kasasi dapat diartikan
memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan
karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukum. Fungsi dari kasasi
itu sendiri adalah membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar
semua hukum dan UU di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil (hal.
82).

2. sengketa tentang kewenangan mengadili


MA memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa kewenangan
mengadili:
a.

Antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di


lingkungan peradilan yang lain

b.

Antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat
banding yang berlainan dalam lingkungan peradilan yang sama

c.

Antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama


atau antar lingkungan peradilan yang berlainan (Pasal 33 UU MA)

3. permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah


memperoleh kekuatan hukum tetap

Permohonan peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini
MA mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung
ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan hakim

4. pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang


terhadap undang-undang. (Pasal 31 UU 5/2004)
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk (Pasal 10 ayat [1] UU MK):
1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945
3. memutus pembubaran partai politik
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

6. Model pengujian executive review berlaku untuk semua perda, lain halnya dengan
mekanisme executive preview. Akibat pengujian perda melalui executive review
diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 145. Apabila dilakukan pengujian dengan
executive review dan bila hasil pengujian menyatakan bahwa perda tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang- undangan
yang lebih tinggi, maka Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
Keputusan pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60
(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah
keputusan pembatalan, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan
selanjutnya DPRD bersama kepala daerah rnencabut Perda dimaksud. Apabila
provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan
alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila keberatan)
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan
Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila
Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda, Perda
dimaksud dinyatakan berlaku.
Khusus untuk Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana diatur dalam
Pasal 157 UU No. 28 Tahun 2009, apabila dilakukan pengujian dengan executive
review dan bila hasil pengujian menyatakan bahwa perda tersebut bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
maka Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Penyampaian rekomendasi
pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri dilakukan paling
lambat 20 (duapuluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah.
Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan,
Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah
dimaksud kepada Presiden. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya
Peraturan Daerah. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan,
Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya
DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. Jika

provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan


Daerah dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundangundangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Jika keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung
tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum. Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan
Peraturan Daerah sebagaimana Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.
Lembaga yang melakukan pengujian terhadap qanun :
Pengujian Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung (Judicial Review)
Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengatur tentang pelaksanaan
syariat Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung. (5)
Sebelum disetujui bersama antara Gubernur dan DPRA serta bupati/walikota dan
DPRK, pemerintah mengevaluasi rancangan Qanun tentang APBA dan Gubernur
mengevaluasi rancangan APBK. (6) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) bersifat mengikat Gubernur dan bupati/walikota untuk dilaksanakan

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang, dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan kehakiman
sebagai kewenangan atributif yang ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945;
Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan; Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman; Pasal 31 ayat (2) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1985,
tentang Mahkamah Agung; Pasal 31A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah
Agung; dan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak
Uji Materiil. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang
melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undangundang.

Poses Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif


Permasalahan tentang Dualisme pengaturan pembatalan
Perda di Indonesia yaitu, yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai
badan administrasi dan pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung terjadi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dualisme ini terlihat dalam
ketentuan Pasal 145 ayat (2) Undang -Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan Perda
dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

7. mahkama agung
KewenanganMahkamah Agung (MA) terkait dengan judicial review adalah sebagai
berikut:

a. MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah


undang-undang terhadap undang-undang.
b. MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undangundang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(Lihat Pasal 31 ayat [1] dan [2] UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung UU 5/2004)

Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang


terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada
MA dan dibuat secara TERTULIS dan rangkap sesuai keperluan dalam Bahasa
Indonesia (lihat Pasal 31A ayat [1] UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Keduaatas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung UU 3/2009).

Permohonan judicial review hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap
haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undangundang
mahkama konstitusi
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi (MK) adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Pemohon judicial review adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (Pasal 51 ayat [1]
UU MK):
a.

perorangan warga negara Indonesia;

b.

kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang


diatur dalam undang-undang;
c.

badan hukum publik atau privat; atau

d.

lembaga negara.

Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(lihat Pasal 30 ayat [1] UU MK).

8. Prinsip supremasi parlemen yang dianut sebelumnya, yang dilambangkan dengan


kedudukan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai lembaga tertinggi
negara, diubah dengan prinsip supremasi konstitusi dimana semua lembaga negara
dan semua cabang kekuasaan negara mempunyai kedudukan yang sama-sama tunduk
kepada konstitusi dalam hubungan checks and balances antara satu dengan yang
lain. Perubahan dari prinsip supremasi institusi ke supremasi konstitusi tersebut
memperkuat kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan
negara dan mengharuskan konstitusi itu dijalankan dengan sungguh-sungguh dalam
praktik penyelenggaraan negara sehari-hari. Konstitusi tidak lagi hanya bernilai
simbolik atau semantik, yang hanya ada dalam pidato-pidato para pejabat, tetapi
sebagai kontrak sosial benar-benar harus dapat diwujudkan dalam kenyataan.

Mekanisme Check and Balances Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain
ditandai adanya mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan
kekuasaan. Sebagai Mekanisme Check and Balances
Sebuah sistem pemerintahan yang baik, antara lain ditandai adanya mekanisme check
and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan. Check and balances memungkinkan
adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindarkan tindakantindakan hegemoni, tirani, dan sentralisasi kekuasaan, untuk menjaga agar tidak
terjadi tumpang tindih antar kewenangan yang ada. Dengan mendasarkan pada prinsip
negara hukum, maka system kontrol yang relevan adalah sistem kontrol judicial.

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&ved=0CFk
QFjAH&url=http%3A%2F%2Famandaayu507.files.wordpress.com%2F2012%2F12
%2Fhukum-acara-mk1.ppt&ei=sWOWU8yUHMyyuAT50oLYBg&usg=AFQjCNFFglNsIekqTkpTcMjqkd
75twZ-jA&bvm=bv.68445247,d.c2E
http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2011/03/UjiPerda.pdf
http://metode1.blogspot.com/2013/10/peran-mahkamah-konstitusi.html
http://www.scribd.com/doc/48144861/Ujian-Hak-Menguji-Peraturan-PerundangUndangan-Fakultas-Hukum-Universitas-Andalas
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt518228f47a2e9/perbedaan-mahkamahagung-dengan-mahkamah-konstitusi
http://blogperadilan.blogspot.com/2011/05/antara-judicial-review-mahkamah.html

Anda mungkin juga menyukai