Anda di halaman 1dari 5

Nama : Mohammad Fachri Haekal

NIM : B011191167

Sengketa Ketatanegaraan dan Judicial Review

No Judul Artikel Intisari


1 Rekonstruksi Penyelesaian Sengketa internal partai politik merupakan sebuah persoalan yang sangat
Sengketa Internal Partai sistematis dalam sistem ketatangeraan khususnya di Indonesia. Hal
Politik Dalam Sistem tersebutpun menjadi permasalahan yang sering terjadi dan tentu saja setiap
Ketatanegaraan Indonesia partai politik pernah mengalaminya. Meskipun menjadi suatu permasalahan
Penulis : Ahmad Gelora yang rutin dalam sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia, peraturan
Mahardika ataupun regulasi yang mengatur terkait sengketa internal ini tidak terlalu jelas,
bahkan dalam sengketa tersebut biasanya banyak dari pejabat negara atau
lembaga tinggi turut andil dalam penyelesaian sengketa internal dari partai
politik. Hal terserbut tentu saja bukan hal yang wajar dan bisa dikatakan
permasalahan sengketa internal partai politik di Indonesia belumlah selesai.
Dasar hukum terkait partai politik sebenarnya ada pada Undang-undang
nomor 2 tahun 2011 yang merupakan perubahan atas undang-undang nomor 2
tahun 2008 tentang partai politik. Pada dasarnya di Indonesia banyak terdapat
putusan pengadilan yang mengatur terkait partai politik yang telah
berkekuatan tetap. Tetapi dikasus lain juga biasa terdapat banyak pejabat Tata
Usaha Negara yang kadang tidak mau mematuhi putusan pengadilan tersebut
yang dimana ini membuktikan bahwa keputusan pengadilan tersebut belum
tentu dapat menyelesaikan sengketa internal partai politik ini dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Dengan hal tersebut tentu saja peraturan terkait
sengketa internal partai politik harus diatur dengan lebih jelas dalam undang-
undang, hal tersebut tentunya menjadi upaya dalam meminimalisir sengketa
internal partai politik yang berasaskan demokratis dan dapat menjunjung
kepastian hukum yang ada.
2 Judicial Review Judicial review pada negara yang menganut sistem hukum common law
Di Mahkamah Konstitusi seringkali dipahami sebagai upaya pengujian peraturan perundang-undangan
Penulis : Prof. Dr. H. M. yang dilakukan oleh badan peradilan, walaupun dalam konteks cakupan
Laica Marzuki, SH., MH kewenangan yang lebih luas, karena kadangkala menguji pula produk
administrasi (administrative Acts). Judicial review atau Pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar ditetapkan dalam Pasal 24 C UUD
NRI Tahun 1945 (Perubahan ketiga) sebagai salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi RI mempunyai wewenang untuk
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang mempunyai putusan bersifat
final guna antara lain menguji undang-undang terhadap UUD. Putusan final
Mahkamah, sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tidak
membuka peluang bagi upaya hukum banding, kasasi ataupun upaya hukum
lainnya. Pengujian undang-undang atau judicial review yang menjadi
kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah menguji secara
konstitusionalitas suatu undang-undang, menguji sejauh mana undang-undang
yang bersangkutan bersesuai atau bertentangan (tegengesteld) dengan UUD
NRI 1945. Namun apabila Mahkamah Konstitusi memandang suatu undang-
undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 maka undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pengujian undang-undang terdapat dua macam pengujian yang
dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi, hal tersebut tertulis dalam pasal 51
ayat (3) Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yakni :
A. Pengujian undang-undang secara formal (formele toetsing), yakni
pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena proses
pembentukan undang-undang tersebut dianggap pemohon tidak
memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar
B. Pengujian undang-undang secara materiil (materieele toetsing), yakni
pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena terdapat
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
3 Politik Hukum Judicial Salah satu esensi utama paham konstitusionalisme adalah konsep perlindungan
Review Di Indonesia hakhak sipil warganegara. Kebebasan warga-negara dijamin oleh konstitusi.
Penulis : Kartono Kekuasaan negara pun dibatasi konstitusi, dan kekuasaan itu hanya
memperoleh legitimasinya dari konstitusi. Formulasi ini mengindikasi
dianutnya gagasan supremasi konstitusi (supremacy of constitution) di
Indonesia. Pengujian konstitusionalitas kewenangan MK dalam UUD 1945
dibatasi hanya pada pengujian undang-undangan terhadap UUD. Oleh karena
itu sepatutnya secara konstitusional peraturan perundang-undangan di bawah
UU tidak dibenarkan bertentangan dengan konstitusi negara. Peraturan
perundangan-undangan di bawah undang-undang hanya logis bertentangan
dengan undangundang atau peraturan perundang-undangan di atasnya. Tidak
dengan konstititusi. Politik hukum negara telah mengakomodasi sistem ini
melalui prosedur hak uji materiil yang menjadi kompetensi Mahkamah Agung.
Pengujian konstitusional hanya terhadap UU (formal) tanpa kemungkinan
pengujian peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UU terhadap
konstitusi dapat terjadi, jika sistem norma berjenjang peraturan perundangun-
dangan bersifat tertutup. Hal tersebut berarti produk peraturan di bawah UU
hanya merupakan pelaksanaan dari undang-undang atau peraturan di atasnya,
maka pengujian dapat dilakukan secara langsung terhadap peraturan di
atasnya. Namun pada kenyataannya sistem penormaan tertutup hanya berhenti
di tingkat peraturan pemerintah saja.
Politik hukum secara singkat diartikan sebagai kebijakan hukum. Kebijakan
berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana
dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Politik
hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Kebijakan ini dapat berkaitan dengan
pembentukan hukum, penerapan hukum, atau penegakan hukum itu sendiri.
4 Kewenangan Mahkamah Pasca Undang-Undang Dasar Amandemen, terdapat beberapa pergeseran
Konstitusi Dalam lembaga Negara yang semula terdapat lembaga tertinggi Negara dalam hal ini
Menyelesaikan Sengketa adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini lembaga Negara yang
Hasil Pemilihan Umum ada memiliki kedudukan yang semuanya sama sebagai lembaga yang memiliki
Kepala Daerah tugas dan fungsi yang berbeda. Hal tersebut sesuai dengan prinsip “check and
Penulis : Irwan Syafi’ie balance” yang dimana berfungsi sebagai pengontrol terhadap kewenangan
/Faris Ali Sidqi /Yusran bin regulatif baik yang dimiliki oleh Presiden/Pemerintah serta lembaga-lembaga
Darham lain yang mendapat kewenangan regulatif dari UndangUndang. Mahkamah
Konstitusi yang merupakan lembaga baru pasca UUD 1945 amandemen
memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
selain berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman serta memiliki
kedudukan terhadap Mahkamah Agung dan lembaga Negara lainnya.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia setiap daerah berhak
untuk mengurus segala apa yang menjadi urusan daerahnya masing-masing.
Setiap daerah mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang telah
diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Selain diberikan kewenangan
yang luas dari pemerintah pusat, hal yang baru dengan diberlakukannya
otonomi daerah adalah pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung
oleh rakyat. Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan yang
menjalankankekuasaan kehakiman, terpisah dari Mahkamah Agung,
sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011. Berdasarkan Pasal 7A jo Pasal 7B Jo Pasal
24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai pelaku kekusaan kehakiman
dalam sistem ketatanegaan Republik Indonesia dimaksud sebagai lembaga
yang mandiri untuk melaksanakan peradian dalam perkara-perkara
ketatanegaraan tertentu.
5 Analisis Penyelesaian Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan
Sengketa Kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, di samping
Lembaga Negara Oleh melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD, pada dasarnya
Mahkamah Konstitusi merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk dengan tujuan untuk
Penulis : Kosariza, Netty, menegakkan ketentuan yang terdapat dalam UUD. Ini disebabkan karena dari
Meri Yarni dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul. Fungsi Mahkamah
Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin dalam (2) dua kewenangan
tersebut, yaitu :
A. Kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD; dan
B. Kewenangan untuk memutus SKLN yang kewenangannya bersumber dari
UUD.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan tentang sengketa lembaga negara
di atur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang Telah Diubah
Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi. masalah sengketa kewenangan lembaga Negara di
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 diatur dalam Bagian Kesembilan
“Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan
oleh Undang-Undang Dasar” dari Pasal 61 sampai dengan Pasal 67.
Iimplikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang
sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing-
masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau perselisihan dalam
menafsirkan amanat UndangUndang Dasar. Jika timbul persengketaan
pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk
memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah
diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa
kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yang
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Mah-kamah
Konstitusi. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam sistem ketatanegaraan yang
diadopsikan dalam ketentuan UUD 1945 sesudah Perubahan Pertama (1999),
Kedua (2000), Ketiga (2001), dan Keempat (2002), mekanisme hubungan
antarlembaga negara bersifat horisontal, tidak lagi bersifat vertikal. Jika
sebelumnya kita mengenal adanya lembaga tinggi dan lembaga tertinggi
negara, maka sekarang tidak adalagi lembaga tertinggi negara. MPR bukan
lagi lembaga yang paling tinggi kedudukannya dalam bangunan struktur
ketatanegaraan Indonesia, melainkan sederajat dengan lembagalembaga
konstitusional lainnya, yaitu Presiden, DPR, DPD, MK, MA dan BPK

Anda mungkin juga menyukai