1 Rekonstruksi Penyelesaian Sengketa internal partai politik merupakan sebuah persoalan yang sangat Sengketa Internal Partai sistematis dalam sistem ketatangeraan khususnya di Indonesia. Hal Politik Dalam Sistem tersebutpun menjadi permasalahan yang sering terjadi dan tentu saja setiap Ketatanegaraan Indonesia partai politik pernah mengalaminya. Meskipun menjadi suatu permasalahan Penulis : Ahmad Gelora yang rutin dalam sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia, peraturan Mahardika ataupun regulasi yang mengatur terkait sengketa internal ini tidak terlalu jelas, bahkan dalam sengketa tersebut biasanya banyak dari pejabat negara atau lembaga tinggi turut andil dalam penyelesaian sengketa internal dari partai politik. Hal terserbut tentu saja bukan hal yang wajar dan bisa dikatakan permasalahan sengketa internal partai politik di Indonesia belumlah selesai. Dasar hukum terkait partai politik sebenarnya ada pada Undang-undang nomor 2 tahun 2011 yang merupakan perubahan atas undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik. Pada dasarnya di Indonesia banyak terdapat putusan pengadilan yang mengatur terkait partai politik yang telah berkekuatan tetap. Tetapi dikasus lain juga biasa terdapat banyak pejabat Tata Usaha Negara yang kadang tidak mau mematuhi putusan pengadilan tersebut yang dimana ini membuktikan bahwa keputusan pengadilan tersebut belum tentu dapat menyelesaikan sengketa internal partai politik ini dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Dengan hal tersebut tentu saja peraturan terkait sengketa internal partai politik harus diatur dengan lebih jelas dalam undang- undang, hal tersebut tentunya menjadi upaya dalam meminimalisir sengketa internal partai politik yang berasaskan demokratis dan dapat menjunjung kepastian hukum yang ada. 2 Judicial Review Judicial review pada negara yang menganut sistem hukum common law Di Mahkamah Konstitusi seringkali dipahami sebagai upaya pengujian peraturan perundang-undangan Penulis : Prof. Dr. H. M. yang dilakukan oleh badan peradilan, walaupun dalam konteks cakupan Laica Marzuki, SH., MH kewenangan yang lebih luas, karena kadangkala menguji pula produk administrasi (administrative Acts). Judicial review atau Pengujian undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar ditetapkan dalam Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945 (Perubahan ketiga) sebagai salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi RI mempunyai wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang mempunyai putusan bersifat final guna antara lain menguji undang-undang terhadap UUD. Putusan final Mahkamah, sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tidak membuka peluang bagi upaya hukum banding, kasasi ataupun upaya hukum lainnya. Pengujian undang-undang atau judicial review yang menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah menguji secara konstitusionalitas suatu undang-undang, menguji sejauh mana undang-undang yang bersangkutan bersesuai atau bertentangan (tegengesteld) dengan UUD NRI 1945. Namun apabila Mahkamah Konstitusi memandang suatu undang- undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 maka undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pengujian undang-undang terdapat dua macam pengujian yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi, hal tersebut tertulis dalam pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yakni : A. Pengujian undang-undang secara formal (formele toetsing), yakni pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena proses pembentukan undang-undang tersebut dianggap pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar B. Pengujian undang-undang secara materiil (materieele toetsing), yakni pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena terdapat materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. 3 Politik Hukum Judicial Salah satu esensi utama paham konstitusionalisme adalah konsep perlindungan Review Di Indonesia hakhak sipil warganegara. Kebebasan warga-negara dijamin oleh konstitusi. Penulis : Kartono Kekuasaan negara pun dibatasi konstitusi, dan kekuasaan itu hanya memperoleh legitimasinya dari konstitusi. Formulasi ini mengindikasi dianutnya gagasan supremasi konstitusi (supremacy of constitution) di Indonesia. Pengujian konstitusionalitas kewenangan MK dalam UUD 1945 dibatasi hanya pada pengujian undang-undangan terhadap UUD. Oleh karena itu sepatutnya secara konstitusional peraturan perundang-undangan di bawah UU tidak dibenarkan bertentangan dengan konstitusi negara. Peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang hanya logis bertentangan dengan undangundang atau peraturan perundang-undangan di atasnya. Tidak dengan konstititusi. Politik hukum negara telah mengakomodasi sistem ini melalui prosedur hak uji materiil yang menjadi kompetensi Mahkamah Agung. Pengujian konstitusional hanya terhadap UU (formal) tanpa kemungkinan pengujian peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UU terhadap konstitusi dapat terjadi, jika sistem norma berjenjang peraturan perundangun- dangan bersifat tertutup. Hal tersebut berarti produk peraturan di bawah UU hanya merupakan pelaksanaan dari undang-undang atau peraturan di atasnya, maka pengujian dapat dilakukan secara langsung terhadap peraturan di atasnya. Namun pada kenyataannya sistem penormaan tertutup hanya berhenti di tingkat peraturan pemerintah saja. Politik hukum secara singkat diartikan sebagai kebijakan hukum. Kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Kebijakan ini dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, atau penegakan hukum itu sendiri. 4 Kewenangan Mahkamah Pasca Undang-Undang Dasar Amandemen, terdapat beberapa pergeseran Konstitusi Dalam lembaga Negara yang semula terdapat lembaga tertinggi Negara dalam hal ini Menyelesaikan Sengketa adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini lembaga Negara yang Hasil Pemilihan Umum ada memiliki kedudukan yang semuanya sama sebagai lembaga yang memiliki Kepala Daerah tugas dan fungsi yang berbeda. Hal tersebut sesuai dengan prinsip “check and Penulis : Irwan Syafi’ie balance” yang dimana berfungsi sebagai pengontrol terhadap kewenangan /Faris Ali Sidqi /Yusran bin regulatif baik yang dimiliki oleh Presiden/Pemerintah serta lembaga-lembaga Darham lain yang mendapat kewenangan regulatif dari UndangUndang. Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga baru pasca UUD 1945 amandemen memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, selain berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman serta memiliki kedudukan terhadap Mahkamah Agung dan lembaga Negara lainnya. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia setiap daerah berhak untuk mengurus segala apa yang menjadi urusan daerahnya masing-masing. Setiap daerah mempunyai wewenang untuk mengatur hal-hal yang telah diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Selain diberikan kewenangan yang luas dari pemerintah pusat, hal yang baru dengan diberlakukannya otonomi daerah adalah pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan yang menjalankankekuasaan kehakiman, terpisah dari Mahkamah Agung, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011. Berdasarkan Pasal 7A jo Pasal 7B Jo Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai pelaku kekusaan kehakiman dalam sistem ketatanegaan Republik Indonesia dimaksud sebagai lembaga yang mandiri untuk melaksanakan peradian dalam perkara-perkara ketatanegaraan tertentu. 5 Analisis Penyelesaian Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan Sengketa Kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, di samping Lembaga Negara Oleh melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD, pada dasarnya Mahkamah Konstitusi merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk dengan tujuan untuk Penulis : Kosariza, Netty, menegakkan ketentuan yang terdapat dalam UUD. Ini disebabkan karena dari Meri Yarni dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin dalam (2) dua kewenangan tersebut, yaitu : A. Kewenangan untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD; dan B. Kewenangan untuk memutus SKLN yang kewenangannya bersumber dari UUD. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan tentang sengketa lembaga negara di atur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi. masalah sengketa kewenangan lembaga Negara di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 diatur dalam Bagian Kesembilan “Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan oleh Undang-Undang Dasar” dari Pasal 61 sampai dengan Pasal 67. Iimplikasi adanya mekanisme checks and balances pada hubungan yang sederajat itu, ada kemungkinan dalam pelaksanaan kewenangan masing- masing lembaga negara timbul perbedaan dan/atau perselisihan dalam menafsirkan amanat UndangUndang Dasar. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan tata negara, yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama Mah-kamah Konstitusi. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam sistem ketatanegaraan yang diadopsikan dalam ketentuan UUD 1945 sesudah Perubahan Pertama (1999), Kedua (2000), Ketiga (2001), dan Keempat (2002), mekanisme hubungan antarlembaga negara bersifat horisontal, tidak lagi bersifat vertikal. Jika sebelumnya kita mengenal adanya lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara, maka sekarang tidak adalagi lembaga tertinggi negara. MPR bukan lagi lembaga yang paling tinggi kedudukannya dalam bangunan struktur ketatanegaraan Indonesia, melainkan sederajat dengan lembagalembaga konstitusional lainnya, yaitu Presiden, DPR, DPD, MK, MA dan BPK