Anda di halaman 1dari 6

1) 1.

Mengapa suatu undang-undang dimohonkan untuk diuji atau dianggap bertentangan


dengan konstitus? Pembentukan MK tidak terlepas dari pengalaman masa lalu yang terwarnai
oleh penyelenggaraan kekuasaan secara otoriter, tertutup, dan tidak menghormati HAM.
Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak lain merupakan dorongan dalam
penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik, Terdapat sekurang-kurangnya
4 (empat) hal yang melatarbelakangi dan mempunyai pijakan dalam pembentukan Mahkamah
Konstitusi yaitu: (1) sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme; (2) mekanisme check
and balance; (3) penyelenggaraan negara yang bersih; (4) perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Ketentuan tentang lingkup wewenang MK dalam Undang-Undang Dasar 1945 diatur
dalam ketentuan Pasal 24 huruf C ayat (1), ayat (2), dan ayat (6) sebagai hasil Perubahan
ketiga UUD 1945, Rumusan lengkapnya sebagai berikut.
Ayat (1): Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemitihan umum,
Ayat (2): Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden danvatau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.
Ayat (6): Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Penyelenggaraan wewenang MK menguji undang-undang secara organik diturunkan
pengaturannya dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 yang pada dasarnya adalah penegasan Kembali rumusan dalam UUD. Rumusan
lengkapnya adalah “Mahkamah Kontitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusnya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Dalam bagian kajian komparatif ini penulis menguraikan terlebih dahulu basis teoritik dahulu
basis teoritik “kewenangan” dan “wewenang” untuk menafsirkan fungsi pengujian undang-
undang pada MK sesuai UUD 1945 dan UUD tersebut di atas. Istilah kewenangan seiring
disejajarkan begitu saja dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk
kata benda dan mempunyai kesepadanan dengan istilah bevoegheid dalam istitah hukum
Belanda. Menurut Philipus M. Hadjono, jika dicermati istilah kewenangan ada sedikit
perbedaan dengan istilah bevoegheid. Perbedaan terletak pada terletak pada karakter
hukumnya. Istilah bevoegheid digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam
konsep hukum privat.
Dalam sistem hukum Indonesia, istilah kewenangan atau wewenang seharusnya hanya
digunakan dalam konsep hukum publik.

2. Contoh bentuk pengujian materiil dan formil dari judicial review UU Cipta Kerja
Judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian
secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dalam hal yang hendak diuji
adalah materi muatan undang-undang terhadap UUD 1945, maka permohonan judicial review
diajukan ke MK. Sedangkan dalam hal peraturan perundang-undangan yang hendak diuji
adalah materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, maka permohonan judicial review diajukan ke MA. secara praktik pernah
dilakukan MK ketika membatalkan UU No. 20 Tahun 2020 tentang Ketenagalistrikan. Dalam
Putusan 001-021-022/PUU-I/2003, pemohon mengujikan Pasal 16 dan Pasal 17, serta Pasal 68
yang secara konseptual menegasikan domain pemerintah dalam menyelenggarakan usaha
ketenagalistrikan, yang merupakan hajat hidup warga negara, melalui sistem unbundling.
Lebih lanjut, dalam ratio decidendie (pertimbangan hukum) MK menyatakan:

Menimbang bahwa meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada
dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68, khususnya yang menyangkut unbundling dan
kompetisi, akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun
2002...

Menimbang bahwa oleh karena Pasal 16 dan 17 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
yang berakibat UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.

Adapun mengenai uji formil, hal ini dilakukan dengan melihat ketentuan formal lahirnya
sebuah UU, baik wewenang pembentuk UU, format dan struktur UU, hingga prosedur (proses)
dalam pembentukan UU. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa berdasarkan Putusan MK
No. 27/PUU-VII/2009, uji formil dibatasi secara selama 45 hari sejak disahkannya UU.

Mengingat bahwa UU Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020, maka berdasarkan tenggang
waktu, hal tersebut masih relevan untuk diajukan dalam Judicial Review. Namun terdapat
pertimbangan lain, yaitu dalam praktiknya, sepanjang berdirinya MK, ternyata belum ada satu
pun permohonan mengenai uji formil yang dikabulkan dan berdampak pada hilangnya
kekuatan hukum mengikat sebuah UU.

Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari beberapa putusan MK, seperti Putusan 27/PUU-
VII/2009 mengenai UU No. 4 Tahun 2009 tentang MA, Putusan 79/PUU-XII/2014 mengenai
UU 17 Tahun 2014 tentang MD3, dan Putusan MK No. 001-020-021/PUU-I/2003 tentang
Ketenagalistrikan, yang secara keseluruhan sepanjang mengenai uji formil, mahkamah
menolak secara tegas.

jika uji formil demikian ternyata dikabulkan dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, maka dapatkah UU tersebut diajukan kembali? uji formil tidak secara spesifik
menyatakan materi UU bertentangan, melainkan hanya berdasarkan prosedur dan proses.
Sehingga, jika uji formil dikabulkan, pemerintah masih memiliki wewenang untuk kembali
membahas dan mengesahkan UU dengan catatan bahwa telah sesuai dengan prosedur formil
yang sesuai dengan delegasi Pasal 22 UUD 1945.

Mengenai uji materiil, perlu diperhatikan bahwa pengujian materiil dilakukan dengan melihat
kesesuaian/ketidaksesuaian (ketentuan) pasal UU (objek gugatan) dalam UU Cipta Kerja,
dengan norma pasal UUD 1945 sebagai batu uji. Dengan demikian pengujian materiil akan
sangat terfokus pada pasal-pasal yang diujikan dengan mempertimbangkan kerugian
konstitusional pemohon, untuk selanjutnya dipertimbangkan berdasarkan kadar
konstitusionalitas sebuah pasal, apakah bertentangan atau tidak, bukan menentukan UU secara
keseluruhan.

Tentu hal ini akan berdampak pada pembatalan atau tidaknya sebagian pasal/ayat dalam UU
(Cipta Kerja) yang diujikan, dan bukan kepada seluruh materi muatan UU. Di satu sisi, hal ini
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengevaluasi dan menyempurnakan berbagai
ketentuan norma (pasal) yang dirasa belum secara holistik dipertimbangkan ketika penyusunan
UU Cipta Kerja.

Namun, di sisi lain UU Cipta Kerja yang memuat berbagai kluster jika disandingkan dari sudut
pemohon, maka pengujian materi semacam ini relatif akan memakan waktu yang lama,
mengingat substansi dari UU Cipta Kerja akan sangat terfokus pada pasal-pasal. Sedangkan,
semua kluster yang dimuat dalam RUU Cipta Kerja relatif hampir menjadi objek dari gugatan.
2) Peraturan (regeling) merupakan hasil tindakan pengatuan dari penyelenggara negara
danketetapan atau keputusan. Secara otentik merupakan Peraturan Perundang-
undangan yangmana merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umumdan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melaluiprosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang- undangan
(Pasal 1 angka 2 UU12/2011).Kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan
(regeling) pada dasarnya merupakandomain kewenangan lembaga legislatif, di Indonesia,
mengambil bentuk Undang-Undang (Pasal20 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 7 ayat (1) huruf c
UU 12/2011). Kewenangan untuk menguji aturan (regeling) didasarkan pada Pasal 24C ayat 1
UUD 1945yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yangputusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar,memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan olehUndang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran
partai politik, dan memutuskan perselisihantentang hasil pemilihan umum.”Selain itu judicial
review atau uji materiil juga diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Amandemen IIIUUD 1945,
sebagai berikut:“Mahkamah Agung berwenang menjadi pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
dan mempunyai wewenanglainnya yang diberikan oleh undang-undang.”Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa permohonan judicial review
UUterhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dapat dimohonkan ke
MahkamahKonstitusi (“MK”), sedangkan judicial review peraturan perundang-
undangan dibawah UUterhadap UU menjadi wewenang Mahkamah Agung (“MA”).
3) a. Lembaga pembuat peraturan perundang-undangan dimungkinkan menguji produk
hukumnya sendiri. Apabila kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan
dilekatkan pada legislatif maka control normative pengujian tersebut lazim disebut
legislativereview yang objeknya adalah undang-undang dan undang-undang dasar dan produk
hukumyang setara dengan itu. Executive review diartikan sebagai penilaian atau pengujian
peraturan perundangundangan olehpihak executive. Segala bentuk produk hukum executive
diuji oleh executive baik kelembagaanmaupun kewenangan yang bersifat hierarkis. Objek
executive review adalah keputusan yangbersifat abstrak dan mengatur, serta mengikat secara
umum atau dikenal dengan regeling’. Di‟luar itu yakni yang bersifat ‟beschikking
menjadi objek ‟legal control Peradilan Tata UsahaNegara.b. Judicial review (hak uji materil)
merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk mengujikesahihan dan daya laku
produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif legislatif maupun yudikatif di
hadapan konstitusi yang berlaku. Oleh karena itu kewenangan untuk melakukan
judicial review itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan
padapejabat lain (legislatif, eksekutif). Menurut Jimly Asshiddiqie, judicial review merupakan
upaya pengujian oleh lembaga judicialterhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang
kekuasaan negara legislatif, eksekutif,ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip
checks and balances berdasarkan sistempemisahan kekuasaan negara (separation of
power).batasLegislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga
lain yang memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-
undangan. Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta
legislative review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah untuk mengubah UU
tertentu. Dalam legislative review, setiap orang bisa meminta agar lembaga legislasi
melakukan revisiterhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan, misalnya
peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat
dengannya.Executive review adalah segala bentuk produk hukum pihak executive
diuji oleh baikkelembagaan dan kewenangan yang bersifat hierarkis. Dalam konteks ini
yang diperkenalkanistilah “control internal” yang dilakukan oleh pihak itu sendiri
terhadap produk hukum yangdikeluarkan baik yang berbentuk regeling maupun
beschikking.Sasaran objek “executive review” adalah peraturan yang bersifat
regeling melalui prosespencabutan atau pembatalan. Pengujian yang disebut “executive
review” ini dilakukan untukmenjaga peraturan yang diciptakan oleh pemerintah (eksekutif)
tetap sinkron atau searah, danjuga konsisten serta adanya kepastian hukum untuk keadilan bagi
masyarakat.Pemberlakuan executive review ini telah diatur dalam Pasal 145 ayat
(2) Undang-undangNomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Proses
executive review PeraturanDaerah dilakukan dalam bentuk pengawasan oleh
pemerintah melalui Kementerian DalamNegeri.

Anda mungkin juga menyukai