Anda di halaman 1dari 4

LANDASAN YURIDIS

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Zafrullah Salim

A. Pengantar
1. Agenda Permasalahan Pembentukan Per-UU:
a. Prosedur
b. Substansi
c. Teknik Penyusunan
Ketiga unsur tersebut saling terkait.
2. Pembahasan yuridis pembentukan per-uu termasuk permasalahan teknik
penyusunan (legislative drafting).

B. Landasan Yuridis yang Dicantumkan dalam Konsiderans “Mengingat”.

1. Pengertian Landasan Yuridis:


- Dasar hukum yang memberi kewenangan pada pembentuk per-uu, yang
dicantumkan pada konsiderans “menginga”.
- Dasar hukum dibedakan pada:
(1) Dasar hukum yang memberi kewenangan (atribusi)
(2) Dasar hukum yang memerintahkan pembentukan peraturan per-uu.
- Landasan yuridis (dasar hukum) diuraikan dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun
2011, B.4 angka 28 s/d 52, yang dirinci atas dasar hukum bagi pembentukan:
(1) Undang-Undang yang berasal dari DPR adalah Pasal 20 dan Pasal 21 UUD
NKRI Tahun 1945.
(2) Undang-Undang yang berasal dari Presiden adalah Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 20 UUD.
(3) Undnag-Undang yang berasal dari DPR atas usul DPD adalah Pasal 20 dan
Pasal 20D ayat (1) UUD.
(4) Yang diperintahkan langsung oleh UUD NKRI dengan mencantumkan
pasal dan ayat UUD yang memerintahkan.
(5) Jika merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal UUD NKRI
Tahun 1945, dicantumkan semua pasal UUD yang memerintahkan.
(6) Peraturan Pemerintah Pengganti UU adalah Pasal 22 ayat (1) UUD
(7) Penetapan Perpu menjadi UU adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal
22 ayat (22) UUD.
(8) Pencabutan Perpu adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (3)
UUD.
(9) Peraturan Pemerintah adalah Pasal 5 ayat (2) UUD.
(10) Peraturan Presiden adalah Pasal 4 ayat (1) UUD
(11) Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) UD, UU tentang Pembentukan
Daerah, dan UU tentang Pemerintahan Daerah
(12) Peraturan perundang-undangan yang memerintahkan secara lansung
pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Yang dicantumkan sebagai dasar hukum hanya per-uu yang tingkatannya sama atau
lebih tinggi.
3. Teknik pencantuman dasar hukum berpedoman pada B.4 angka 42 s/d 52.

C. Pemahaman tentang Kewenangan Pembentukan Per-UU

1. Sesuai dengan prinsip negara hukum yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, maka setiap perbuatan hukum (rechtshandeling) yang dilakukan harus
berlandaskan pada hukum yang berlaku, termasuk perbuatan pemerintahan. Oleh
karena itu pembentukan peraturan per-uu harus memiliki landasan yuridis (juridische
grondslag) yang jelas dan dicantumkan dalam konsiderans “mengingat”.
2. Pencantuman dasar hukum mengingat dalam kerangka per-uu, bagian pembukaan
mengandung pengertian pertanggungjawaban formal pembentuk per-uu bahwa
produk hukum yang dihasilkan sudah sesuai dengan ketentuan UUD NKRI Tahun
1945. Kompetensi yuridis seperti itu, sewaktu-waktu harus dapat
dipertanggungjawabkan di hadapan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung,
apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukan permohonan pengujian formil,
seperti sekarang ini sedang berlangsung pengujian formil terhadap UU tentang Cipta
Kerja.
3. Mengapa demikian? Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam buku Pengujian Formil
Undang-Undang di Negara Hukum menguraikan bahwa upaya pengujian formal
atau konstitusionalitas undang-undang dapat dilakukan pada tiga aspek:
- Aspek formal (formal aspects);
- Aspek procedural (procedural aspects); dan
- Aspek substantive (substantive aspects)
4. Beberapa kategorian obyek pengujian yang bukan berkenaan dengan materi muatan
(substansi) undang-undang adalah:
- Bentuk hukum peraturan (forms);
- Format susunan peraturan;
- Keberwenangan lembaga yang terlibat;
- Proses yang terjadi dalam setiap tahapan
5. Prof. Jimly Asshiddiqiet mengutip ahli hukum Hans A. Linde: “It not a new thought
that to guarantee the democratic legitimacy of political decisions by establishing
essential rules for the political process in the central functions of judicial review.
Bagian aturan esensial dimaksud, untuk konteks di Indonesia, adalah bentuk hukum
(format) seperti ditegaskan dalam konsiderans “menimbang” UU No. 12 Tahun 211
bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan cara dan
metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Pencantuman “dasar
hukum” atau landasan yuridis bagi suatu undang-undang dalam konsiderans
“mengingat”merupakan hal yang sudah baku. Pengabaian terhadap ketentuan teknis
mengenai pencantuman dasar hukum dapat berpotensi produk peraturan
perundang-undangan kehilangan legitimasi demokratis seperti dikemukakan Hans A.
Linde.
6. Lebih jauh dapat dilihat unsur “keberwenangan dan keterlibatan kelembagaan” dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 UU No. 12
Tahun 2011), ditengarai kemungkinan terdapat tiga macam varian penyimpangan
procedural, yaitu:
- Peraturan ditetapkan oleh lembaga yang tidak berwenang untuk itu;
- Peraturan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang tetapi dengan mengabaikan
kewenangan lembaga lain yang terkait; atau
- Peraturan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang tetapi dengan melibatkan
lembaga lain yang tidak seharusnya dilibatkan.

7. Dengan memperhatikan 12 macam tipe dasar hukum (landasan yuridis) yang


disebutkan pada angka 3, potensi penyimpangan procedural bisa terjadi. DPR,
Presiden. DPD, Pemerintah Daerah, dan DPRD, serta lembaga lain yang diberi
kewenangan membentuk regulasi (Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011), penting
dilibatkan dalam proses dalam proses pembentukan per-uu (norma hukum yang
baru, perubahan, pencabutan atau penetapan/ratifikasi).
8. Selain dari alasan keabsahan produk per-uu dan untuk menghindari kemungkinan
adanya permohonan pengujian formal, masih terdapat penjelasan lain tentang
pencantuman pasal atau ayat yang memuat kewenangan atribusi dan delegasi,
yaitu:
- Adanya garansi bahwa pembentuk peraturan perundang-undangan memiliki
kewenangan atribusi yaitu kewenangan membentuk peraturan yang memiliki
kekuatan hukum menginkat bagi umum (regelgevende bevoegdheid) yang
diberikan atau diakui oleh UUD 1945 dan/atau undang-undang (Pasal 8 ayat (1)
UUD No. 12 Tahun 2011).
- Dengan hierarki norma yang dianut dalam system per-uu di Indonesia, disadari
bahwa norma hukum tidak mungkin dimuat secara lengkap dan menyeluruh
dalam UUD dan UU, melainkan penjabarannya harus diserahkan kepada norma
hukum yang lebih rendah tingkatannya. Oleh karena itu perlu diberikan
kewenangan delegasi kepada organ pemerintahan atau menteri, lembaga,
komisi, badan, dan lain-lain untuk membentuk peraturan pelaksanaannya. Sistem
kewenangan delegasi ini menyebabkan adanya dua macam tipe perundang-
undangan, yaitu:
(1) Perundang-undangan yang dibentuk oleh pembentuk peraturan
perundang-undangan utama (primair wetgevers atau originair e
wetgevers), yaitu DPR bersama Presiden dan DPRD bersama Kepala
Daerah. Produk legislasinya adalah undang-undang dan peraturan
daerah, atau disebut juga sebagai undang-undang bersfat formil (wet in
formele zin).
(2) Peraturan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan kewenangan
delegasi, yaitu produk turunan berupa PP, Perpres, Permen, Peraturan
lembaga, badan, komisi, dll yang dibentuk dengan undang-undang atau
Pemerintah atas perintah undang-undang. Produk regulasinya disebut
juga undang-undang dalam arti materiil (wet in materiele zin).
9. Legislasi dan regulasi yang dibentuk berdasarkan prosedur, substansi dan teknik
penyusunan memiliki daya laku dan daya ikat bagi umum (Pasal 87 UU No. 12 tahun
2011).
10. Mencantumkan pasal-pasal delegasian yang akan menjadi landasan yuridis bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah dengan pertimbangan yang
cermat dan teliti. Sebab kewenangan delegasi pada dasarnya merupakan pengalihan
suatu kewenangan (overdracht van bevoegdheid) yang berakibat penerima
kewenangan bertindak sama seperti memiliki kewenangan asli. Sebelum
mencantumkan pasal atau ayat pendelegasian, perlulah dipertimbangkan beberapa
substansi, antara lain sebagai berikut:
- Perizinan;
- Tugas pembantuan (medebewind);
- Pembentukan organ pemerintahan yang baru;
- Perlindungan hukum;
- Sanksi administrative;
- Pengawasan atau penyelidikan
- Hak dan kewajiban secara timbal balik
- Prosedur jaminan bagi warga Negara, pada saat Pemerintah menggunakan
haknya (rules by law) seara menyimpang.
- Tanggungjawab keuangan

Demikian beberapa catatan untuk bahan dibahas dalam tema landasan yuridis
pebentukan peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai