Zafrullah Salim
A. Pengantar
1. Agenda Permasalahan Pembentukan Per-UU:
a. Prosedur
b. Substansi
c. Teknik Penyusunan
Ketiga unsur tersebut saling terkait.
2. Pembahasan yuridis pembentukan per-uu termasuk permasalahan teknik
penyusunan (legislative drafting).
1. Sesuai dengan prinsip negara hukum yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945, maka setiap perbuatan hukum (rechtshandeling) yang dilakukan harus
berlandaskan pada hukum yang berlaku, termasuk perbuatan pemerintahan. Oleh
karena itu pembentukan peraturan per-uu harus memiliki landasan yuridis (juridische
grondslag) yang jelas dan dicantumkan dalam konsiderans “mengingat”.
2. Pencantuman dasar hukum mengingat dalam kerangka per-uu, bagian pembukaan
mengandung pengertian pertanggungjawaban formal pembentuk per-uu bahwa
produk hukum yang dihasilkan sudah sesuai dengan ketentuan UUD NKRI Tahun
1945. Kompetensi yuridis seperti itu, sewaktu-waktu harus dapat
dipertanggungjawabkan di hadapan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung,
apabila pihak yang merasa dirugikan mengajukan permohonan pengujian formil,
seperti sekarang ini sedang berlangsung pengujian formil terhadap UU tentang Cipta
Kerja.
3. Mengapa demikian? Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam buku Pengujian Formil
Undang-Undang di Negara Hukum menguraikan bahwa upaya pengujian formal
atau konstitusionalitas undang-undang dapat dilakukan pada tiga aspek:
- Aspek formal (formal aspects);
- Aspek procedural (procedural aspects); dan
- Aspek substantive (substantive aspects)
4. Beberapa kategorian obyek pengujian yang bukan berkenaan dengan materi muatan
(substansi) undang-undang adalah:
- Bentuk hukum peraturan (forms);
- Format susunan peraturan;
- Keberwenangan lembaga yang terlibat;
- Proses yang terjadi dalam setiap tahapan
5. Prof. Jimly Asshiddiqiet mengutip ahli hukum Hans A. Linde: “It not a new thought
that to guarantee the democratic legitimacy of political decisions by establishing
essential rules for the political process in the central functions of judicial review.
Bagian aturan esensial dimaksud, untuk konteks di Indonesia, adalah bentuk hukum
(format) seperti ditegaskan dalam konsiderans “menimbang” UU No. 12 Tahun 211
bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan cara dan
metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Pencantuman “dasar
hukum” atau landasan yuridis bagi suatu undang-undang dalam konsiderans
“mengingat”merupakan hal yang sudah baku. Pengabaian terhadap ketentuan teknis
mengenai pencantuman dasar hukum dapat berpotensi produk peraturan
perundang-undangan kehilangan legitimasi demokratis seperti dikemukakan Hans A.
Linde.
6. Lebih jauh dapat dilihat unsur “keberwenangan dan keterlibatan kelembagaan” dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2 UU No. 12
Tahun 2011), ditengarai kemungkinan terdapat tiga macam varian penyimpangan
procedural, yaitu:
- Peraturan ditetapkan oleh lembaga yang tidak berwenang untuk itu;
- Peraturan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang tetapi dengan mengabaikan
kewenangan lembaga lain yang terkait; atau
- Peraturan ditetapkan oleh lembaga yang berwenang tetapi dengan melibatkan
lembaga lain yang tidak seharusnya dilibatkan.
Demikian beberapa catatan untuk bahan dibahas dalam tema landasan yuridis
pebentukan peraturan perundang-undangan.