Anda di halaman 1dari 41

Kuliah ke VII

Landasan Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan Berdasarkan
UU Nomor 12 Tahun 2011.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan
pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Landasan Sosiologis.
Landasan sosiologis merupakan
pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.

Landasan Yuridis.
Landasan yuridis merupakan
pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang

www.djpp.kemenkumham.go.id
dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah
ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan
hukum yang berkaitan dengan substansi
atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-
Undangan yang baru. Beberapa persoalan
hukum itu, antara lain, peraturan yang
sudah ketinggalan, peraturan yang tidak
harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan yang lebih rendah dari
Undang-Undang sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya
sudah ada tetapi tidak memadai,
atau peraturannya memang sama sekali
belum ada.

Landasan Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan Secara Teori.

 Landasan Filosofis (filosofische


grondslag)
o Rumusan atau norma-
normanya mendapatkan
pembenaran (rechtvaardiging)
jika dikaji secara filosofis; dan
Sesuai dengan cita kebenaran
(idee der waar-heid), cita
keadilan (idee der gerechtigheid),
dan cita kesusilaan (idee der
zedelijkheid)

Landasan Sosiologis
(Sociologische grondslag)
Dikatakan mempunyai landasan
sosiologis bila ketentuan-ketentuannya
sesuai dengan keyakinan umum atau
kesadaran hukum masyarakat. Hal ini
penting agar UU efektif berlaku
dimasyarakat.

Landasan Yuridis (Rechtsgrond )


mempunyai landasan hukum
atau dasar hukum (legalitas) bila
terdapat dasar hukum yang lebih
tinggi derajatnya.
Yang dimaksudkan dengan
Konsideran (menimbang),
Mengingat dan Diktum:

Konsideran/ menimbang
(grondslag) dikenal juga dengan
istilah konsiderans factual, yang
berisikan pertimbangan-
pertimbangan , filosofis dan
sosiologis,yuridis.
Konsideran mengingat
(rechtgrond) dikenal juga dengan
istilah konsiderans yuridis,
berisikan dasar-dasar hukum
tertinggi dan sederajat yang
dipergunakan untuk pijakan
legalitas.
Diktum : Keputusan Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan
setelah menjelaskan maksud dan
tujuan dibentuknya perautan
tersebut.

Kuliah ke VIII

Kekuatan Peraturan
Perundang-undangan
Kekuatan Hukum
Suatu perudang-undangan
mempunyai kekuatan hukum
adalah pada saat Rancangan
peraturan perundang-undangan
tersebut disahkan menjadi
peraturan perundang-undangan
oleh Presiden.
Kekuatan Mengikat
Peraturan perundang-undangan
mempunyai kekuatan mengikat
adalah pada saat ditempatkan
dalam LN atau LD (diundangkan)
oleh Sekretaris Negara atau
Sekretaris Daerah.
Kekuatan Berlaku
Per-uu-an mempunyai kekuatan
berlaku adalah sejak tanggal
ditempatkan dalam LN atau LD,
kecuali ditentukan lain oleh per-
uu -an itu sendiri.

Sifat Mengikat Pasal


dan Penjelasan
 Sifat Mengikat
Pasal
Sifat mengikat pasal / batang
tubuh adalah karena sifat
normatifnya.
 Sifat Mengikat
Penjelasan
Sifat mengikat penjelasan
(memorie vantoelichting) adalah
karena sifat interpretative
autentic. Penjelasan tidak bisa
dijadikan sebagai dasar hokum,
karena penjelasan hanya sebagai
penjelasan resmi (interpretative
authentic) dari pasal-pasal saja.

Kuliah ke IX

DALAM UU NO 12 TAHUN 2011 DIATUR


MATERI MUATAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN:

Pasal 10

(1) Materi muatan yang harus diatur dengan


UndangUndang berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai


ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk
diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional
tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau
Presiden.

Pasal 11

Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti


UndangUndang sama dengan materi muatan
Undang-Undang.

Pasal 12

Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi


untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya.

Pasal 13

Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi


yang diperintahkan oleh Undang-Undang,
materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Pasal 14

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan


Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.

Pasal 15

(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana


hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa
ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).

(3) Peraturan Daerah Provinsi dan


Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dapat memuat ancaman pidana
kurungan atau pidana denda selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan yang diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Kuliah ke X

PENGUNDANGAN DAN DAYA IKAT


SERTA PENYEBARLUASAN
Landasan bagi perlunya pengundangan :

Setiap orang dianggap mengetahui UU (teori fictie


hukum = een ieder wordt geacht de wet te kennen,
nemo I us ignorare consetur= in dubio proreo, latin).
Alasannya adalah karena UU dibetuk oleh atau dgn
persetujuan wakil2 rakyat maka rakyat dianggap
mengetahui UU.

Pengundangan :

Ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan


negara dgn penempatannya dlm suatu penerbitan resmi
yg khusus utk maksud itu sesuai dgn ketentuan yg
berlaku.
Dengan pengundangan maka :

1. Peraturan negara itu telah memenuhi prinsip


pemberitahuan formal,
2. Peraturan negara itu telah memenuhi ketentuan
sbg peraturan negara,
3. Prosedur pembentukan yg disyaratkan bagi
peraturan negara itu sudah dicukupi
4. Peraturan negara itu sudah dpt dikenali (kenbaar)
sehingga dengan demikian peraturan negara
tersebut mempunyai kekuatan mengikat.

Tujuan pengundangan :

1. Agar secara formal setiap orang dapat dianggap


mengenali peraturan negara,
2. Agar tidak seorangpun berdalih tidak
mengetahuinya,
3. Agar ketidaktahuan seseorang akan peraturan
hukum tsb tdk memaafkannya.

Pengumuman :
Adalah pemberitahuan secara material suatu peraturan
negara kpd khalayak ramai dgn tujuan utama
mempermaklumkan isi peraturan tsb seluas-luasnya.
Pengumuman dpt dilakukan dgn berbagai cara, dengan
menyebarluaskannya, dan dgn cara lain sbgnya.
Tujuan pengumuman adalah agar secara material
sebanyak mungkin khlayak ramai mengetahui
peraturan negara tsb dan memahami isi serta maksud
yg terkandung didalamnya.
Dalam sejarah perUUan negara RI peralihan istilah
“pengumuman” ke “pengundangan” terjadi pada
sekitar beralihnya negara RIS dengan konstitusi RIS
kepada negara Indonesia kesatuan dengan UU Dasar
Sementara 1950. Lembaran negara tahun 1950 No. 62
yang memuat PP No. 24 tahun 1950 yg ditetapkan
tanggal 14 Agustus 1950 dan diundangkan tanggal 16
Agustus 1950 oleh Menteri Kehakiman Lembaran
Negara tahun 1950 No. 63 yg memuat UU Darurat No.
31 tahun 1950 yg ditetapkan tanggal 23 Agustus 1950
dan diundangkan tanggal 25 Agustus 1950 oleh
menteri Kehakiman yang sama Supomo, sudah
menggunakan istilah diundangkan. Perubahan istilah
tersbeut sudah berlaku sampai sekrang.
Begitu juga dengan berlakunya UU No 12 tahun 2011
maka juga menggunakan istilah diundangkan dan
pelaksanaan pengundangan beralih dari Menteri
Sekretaris Negara menjadi Menteri yg bertugas
dibidang perundang-undangan dan tidak ada lagi
mengenal istilah pengumuman.

Tempat pengundangan dan jenis peraturan


yg diundangkan menurut UU No. 12 tahun
2011 :
1. Lembaran negara RI (UU,PERPU, PP,
PERPRES dan Lain )
2. Berita Negara RI( Peraturan perundangan yang
ditetapkan oleh MPR,DPR,DPD,MA,MAK,KY
dll)
3. Lembaran Daerah (PERDA)
4. Berita Daerah (PERGUB,PERBUB,PERWAL)
Pengundangan ialah pemberitahuan secara

formal suatu peraturan negara dengan

penempatannya dalam suatu penerbitan resmi

yang khusus untuk maksud itu sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Dengan pengundangan

peraturan negara itu telah memenuhi prinsip

pemberitahuan formal, peraturan negara itu telah

memenuhi ketentuan sebagai peraturan negara,

prosedur pembentukan yang diisyaratkan bagi

peraturan negara itu sudah dicukupi, dan peraturan

negara itu sudah dapat dikenal ( kenbaar) sehingga

dengan demikian peraturan negara tersebut

mempunyai kekuatan mengikat. Sedangkan tujuan

pengundangan ialah agar secara formal setiap orang

dapat dianggap mengenali peraturan negara (een

ieder wordt geacht de wet te kennen), agar tidak

seorang pun berdalih tidak mengetahuinya (opdat

niemand hiervan onwetendheid voorwende), dan agar

ketidaktahuan seseorang akan peraturan hokum


tersebut tidak memaafkannya (ignorantia iuris

neminem excusat) Hamid S. Attamimi dalam Maria

Farida Indrati Soeprapto ( 1996:177).

Pengundangan atau pengumuman dalam

Lembaran Negara (LN) atau Berita Negara (BN)

merupakan syarat formal untuk mempunyai

kekuatan mengikat dari perundang-undangan

maksudnya , apabila sudah diundangkan dalam

LN atau diumumkan dalam BN maka perundang-

undangan tersebut mempunyai kekuatan

mengikat . Setelah diundangkan atau diumumkan

secara resmi tersebut, maka orang dianggap sudah

tahu isinya . Ini suatu fiksi hokum yaitu orang

dianggap mengetahui isi undang-undang (ieder een

wordt geacht de wet te kennen). Fiksi hokum tersebut

sekarang berubah menjadi “setiap orang terikat pada

suatu undang-undang sejak ia dinyatakan berlaku” .

Ini terdapat dalam yurispridensi yaitu dalam putusan


Mahkamah Agung pada tahun 1955) wirjono

Projodikoro dalam Amiroeddin Sjarif (1997:75-76).

Peraturan perundang-undangan dibentuk untuk

diberlakukan oleh karenanya harus diketahui oleh umum

(rakyat/masyarakat) . Terhadap hal tersebut agar dapat

diketahui oleh umum maka peraturan perundang-undangan

harus diundangkan dalam lembaran resmi. Adapun

pengertian daripada pengundangan menurut ketentuan

Pasal 1 angka (12) UU No 12 Tahun 2011 yaitu “

Pengundangan adalah penempatan Peraturan

Perundang-undangan dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia ,

Tambahan Berita Negara Republik Indonesia ,

Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau

Berita Daerah”. Kemudian didalam Pasal 81 UU No 12

Tahun 2011 ditegaskan bahwa “Agar setiap orang

mengetahuinya , Peraturan Perundang-undangan harus

diundangkan dengan menempatkannya dalam :

a. Lembaran Negara Republik Indonesia;

b. Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia;

c. Berita Negara Republik Indonnesia;


d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;

e. Lembaran Daerah;

f. Tambahan Lembaran Daerah atau;

g. Berita Daerah.

Selanjutnya berkenaan dengan pentingnya

pengundangan terhadap peraturan perundang-

undangan , didalam pasal 87 UU No 12 Tahun

2011 secara tegas dikatakan bahwa “ Peraturan

Perundang-undangan mulai berlaku dan

mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal

diundangkan , kecuali ditentukan lain di dalam

Peraturan Perundang-undangan yang

bersangkutan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

setiap peraturan perundang-undangan harus

memiliki kekuatan mengikat agar dapat

diberlakukan kepada rakyat/masyarakat dengan


cara mengundangkannya terlebih dahulu sebelum

diberlakukan atau disebarluaskan.

Kuliah ke XI

Hak Menguji / Judicial review

Dalam kontek ilmu perundang-undangan

kita mengenal istilah hak menguji

(toetsingrecht) dan juga dikenal istilah judicial

review. Jika diartikan secara etimologis

(Etimologi )adalah cabang ilmu linguistik yang

mempelajari asal usul suatu kata. Misalkan kata

etimologi sebenarnya diambil dari bahasa Belanda

etymologie yang berakar dari bahasa Yunani; étymos


(arti sebenarnya adalah sebuah kata) dan lògos (ilmu).

dan terminilogis (Terminologi (bahasa Latin:

terminus) atau peristilahan adalah ilmu tentang

istilah), toetsingsrecht berarti hak menguji

tentunya terhadap peraturan-perundang-

undangan khususnya undang-undang dan

peraturan lain di bawah undang-undang.

Sebaliknya judicial review berarti peninjauan

terhadap peraturan perundang-undangan oleh

lembaga pengadilan. Pada dasarnya kedua

istilah itu mengandung substansi /ensensi

yang sama yaitu kewenangan menguji atau

meninjau eksistensi suatu produk

perundang-undangan. Perbedaanya , yang

mana istilah judicial review sudah secara

spesifik menetapkan bahwa kewenangan

menguji /meninjau peraturan perundang-


undangan tersebut menjadi kewenangan

lembaga pengadilan, I Gde Pantja Astawa dalam

Nomensen Sinamo (2016: 157).

UU Nomor 12 Th 2011 pasal 9 :

Ayat (1) Dalam hal suatu Undang-Undang di

duga bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi.

Ayat (2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-

undangan dibawah Undang-Undang diduga

bertentangan dengan Undang-Undang ,

pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Selain itu juga kewenangan Mahkamah

Konstitusi (MK) menguji Undang-Undang yang

diduga bertentangan dengan UUD 1945,

ditegaskan dalam pasal 24 C ayat 1 UUD 1945


berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji

undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar” ( Erga Omnes , mempunyai kekuatan

mengikat dan harus ditaati oleh semua warga ),

Mahkamah Agung berwenang menguji

peraturan perundang-undangan dibawah

undang-undang terhadap undang-undang

ditegaskan dalam pasal 24 A ayat (1) UUD 1945

berbunyi “Mahkaman Agung berwenang

mengadili pada tingkat kasasi , menguji

peraturan perundang-undangan dibawah

undang-undang terhadap undang-undang , dan

mempunyai wewenang lainnya yang diberikan

oleh undang-undang.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman (UU No 48 Th 2009)

pasal 29 ayat (1) hurup a berbunyi “Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final”.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi (UU No 24 Th 2003)

pasal 10 ayat (1) hurup a. Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Kewenangan Mahkamah Agung (MA)

menguji peraturan perundang-undangan juga

ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14


Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU No

14 Th 1985) pasal 31 ayat (1) berbunyi

“Mahkamah Agung mempunyai wewenang

menguji secara materil hanya terhadap peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang”.

UU No 14 Th 1985 tersebut telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (UU No

5 Th 2004) dan terakhir diubah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Mahkamah Agung (UU No 3 Th 2009) , dan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman UU No 48 Th 2009)

pasal 20 ayat (2) hurup b berbunyi “Mahkamah

Agung berwenang” :

b. Menguji peraturan perundang-undangan

dibawah undang-undang terhadap undang-

undang.
Dikenal dua macam hak menguji yaitu:

1. Hak menguji formal (formale toetsing

recht) dimana wewenang untuk menilai

suatu produk legislatif seperti undang-

undang misalnya terjelma melalui cara-cara

(procedure) sebagaimana telah ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan.

Pengujian secara formal biasanya terkait

dengan masalah procedural dan berkenaan

dengan legalitas kompetensi instansi yang

membuatnya.

2. Hak menguji secara materil (materiele

toetsing recht) adalah suatu wewenang

untuk menyelidiki dan menilai apakah isi

suatu peraturan perundang-undangan


bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi derajatnya serta

apakah suatu kekuasaan tertentu

(verordenende macht) berhak

mengeluarkan suatu peraturan tertentu,

R.Sri Sumantri M dalam Nomensen

Sinamo (2016: 158).

Dari pendapat tersebut dapat diketahui

bahwa menguji formal terkait mengenai

prosedur pembuatan undang-undang ,

sebaliknya hak menguji materil terkait

mengenai kewenangan pembuat undang-

undang dan apakah isinya sesuai atau

bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi.

Pada dasarnya fungsi hak menguji materil

adalah berupa fungsi pengawasan yaitu agar


materi muatan peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah derajatnya tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Ini penting agar

peraturan perundang-undangan dibawah UUD

tidak bertentangan dengan UUD sebagai “the

supreme law” yang dalam hal ini agar UUD

dapat dilindungi (diproteksi) atau menurut

konsepsi Hans Kelsen keberadaan hak

menguji materil sebagai bagian dari “the

guarantees of constitutions”. Ini sejalan

dengan salah satu fungsi MK yaitu

mengawasi UUD atau sebagai garda terdepan

pengawal UUD 1945. UUD sebagai hukum

tertulis tertinggi harus menjadi sumber dari

pembentukan peraturan perundang-undangan

dibawahnya bahkan secara a contrario


peraturan perundang-undangan dibawah UUD

tidak boleh menyimpang , bertentangan atau

tidak konsisten dengan UUD , Rosjidi

Ranggawijaya dalam Nomensen Sinamo

(2016: 158-159).

Toetsing recht tersebut, dimana berbeda

halnya dengan toetsing recht yang banyak

dikenal dalam tradisi hukum Eropah

Kontinental (civil law tradition) yang acapkali

dipahami sebagai upaya pengujian peraturan

perundang-undangan yang dilakukan oleh

badan peradilan , walaupun dalam konteks

cakupan kewenangan yang lebih luas , karena

kadangkala menguji pula produk administrasi

(administrative act), HM Laica dalam

Nomensen Sinamo (2016: 159).


Menurut I Gde Pantja Astawa dalam

Nomensen Sinamo (2016: 159-160), judicial

review pada prinsipnya adalah kewenangan

hakim pengadilan untuk menilai apakah

legislative act, executive act, administrative

act dan judgment bertentangan atau tidak

dengan undang-undang atau konstitusi.

Menurut Jimly Asshiddiqie dalam

Nomensen Sinamo (2016: 160) dalam

prakteknya dikenal ada 3 macam norma

hukum yang dapat diuji atau bisa disebut

sebagai “norm control mechanism”.

Ketiganya merupakan bentuk norma hukum

sebagai hasil dari proses pengambilan

keputusan hukum yaitu:

1. keputusan normative yang berisi dan

bersifat pengaturan (regeling);


2. keputusan normative yang berisi dan

bersifat penetapan administrative

(beschikking);

3. keputusan normative yang berisi dan

bersifat penghakiman (judge ment) yang

biasa disebut vonis.

Ketiga keputusan normative inilah yang dapat

mengalami (mendapatkan) proses judicial

review atau pengujian oleh lembaga judicial

atau pengadilan.

Kuliah ke XII

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 96

(1) Masyarakat berhak memberikan


masukan secara lisan dan/atau
tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar .
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan
Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat diakses dengan
mudah oleh masyarakat.

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN


PERDA DIATUR DALAM PASAL 166 PERMENDAGRI
NO: 80 TH 2015.

www.djpp.kemenkumham.go.id
Dalam UU NO 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undamgan

Pasal 43

(1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari


DPR atau Presiden.
(2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berasal dari DPD.
(3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari
DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah
Akademik.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang
mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang menjadi Undang-Undang;
atau
c. pencabutan Undang-Undang atau
pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
(5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) disertai dengan
keterangan yang memuat pokok pikiran dan
materi muatan yang diatur.
Pasal 44

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan


UndangUndang dilakukan sesuai dengan teknik
penyusunan Naskah Akademik.

Pasal 56

(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat


berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur.

(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan penjelasan atau keterangan dan/atau
Naskah Akademik.
(3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi;
b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya
terbatas mengubah beberapa materi,
disertai dengan keterangan yang memuat pokok
pikiran dan materi muatan yang diatur.

Pasal 57

(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan


Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai
dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah
Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Kuliah ke XIII

TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN


UNDANG-UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH
PROVINSI, DANRANCANGAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

1. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkaj ian


hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan
masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan
hukum masyarakat.

2. Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut:

JUDUL

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN TERKAIT

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS


BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN
DAERAH PRO VINSI, ATAU PERATURAN DAERAH
KABUPATEN/ KOTA
BAB VI PENUTUP
-2-

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Uraian singkat setiap bagian:

1. BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan
diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta
metode penelitian.

A. Latar Belakang
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan
perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan
memerlukan suatu kaj ian yang mendalam dan komprehensif
mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan
materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut
mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis
serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya
penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah.

B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah
apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah
Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam
suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah,
yaitu sebagai berikut:

1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,


bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan
tersebut dapat diatasi.

www.djpp.kemenkumham.go.id
-3-

2) Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan


Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut,
yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam
penyelesaian masalah tersebut.

3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,


sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang
atau Rancangan Peraturan Daerah.

4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup


pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik


Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik
dirumuskan sebagai berikut:

1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan


berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara
mengatasi permasalahan tersebut.

2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai


alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,


yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah.

4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup


pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik


adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan
pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah.

www.djpp.kemenkumham.go.id
-4-

D. Metode
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode
penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode
penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat
dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis
empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian
sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa
Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian,
kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian,
hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif
dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group
discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris
atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian
normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-
undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang
mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan
data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh
terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti.

2. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS


Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis,
asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial,
politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah
Kabupaten/ Kota.

Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut:


A. Kajian teoretis.
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan
norma.
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan
berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan
Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil
penelitian.
C. Kajian . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id
-5-

C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta


permasalahan yang dihadapi masyarakat.

D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan


diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap
aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek
beban keuangan negara.

3. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG -


UNDANGAN TERKAIT

Bab ini memuat hasil kaj ian terhadap Peraturan Perundang-


undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan
Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan
Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan
horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang
ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang
masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang-
Undang atau Peraturan Daerah yang baru.

Kaj ian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini


dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau
materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari
Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat
menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan
Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan
Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi
penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.

4. BAB IV . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id
-6-

4. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa
Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. Landasan Sosiologis.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat
dan negara.

C. Landasan Yuridis.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang
akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis
menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi
atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan
Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu,
antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang
tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih
rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah,
peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau
peraturannya memang sama sekali belum ada.

5. BAB V . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id
-7-

5. BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP


MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH
PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan


ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini,
sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan
sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan.
Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab
sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada
dasarnya mencakup:

A. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai


pengertian istilah, dan frasa;

B. materi yang akan diatur;


C. ketentuan sanksi; dan

D. ketentuan peralihan.

6. BAB VI PENUTUP

Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran.

A. Simpulan
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang
berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori,
dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.

B. Saran
Saran memuat antara lain:
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu
Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-
undangan di bawahnya.
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan
Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam
Program Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah.

3. Kegiatan . . .

www.djpp.kemenkumham.go.id
-8-

3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung


penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.

7. DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang -


undangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan
Naskah Akademik.

8. LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN

www.djpp.kemenkumham.go.id

Anda mungkin juga menyukai