Anda di halaman 1dari 5

Calvin Garry Eben Haezer

2015-050-251

1.
Perbedaan antara UU No. 10 Tahun 2004 dengan UU. No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Baik dari sisi hierarki, substansi, proses, dan
teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:
1. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan:
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011:


 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
 Peraturan Pemerintah;
 Peraturan Presiden;
 Peraturan Daerah Provinsi; dan
 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

2. Substansi Undang-Undang berisi hal-hal:

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004:

 Mengaturlebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 yang meliputi:
 Hak-hak asasi manusia
 Hak dan kewajiban warga negara;
 Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
 Wilayah negara dan pembagian daerah;
 Kewarganegaraan dan kependudukan;
 Keuangan negara, diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan
Undang-Undang.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011:

 Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
 Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
 Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
 Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
 Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

3. Sistematisasi materi pokok dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang


Pembentukan

 Peraturan Perundang-Undangan adalah:


 Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
 Jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan;
 Perencanaan Peraturan Perundang-undangan;
 Penyusunan Peraturan Perundang-undangan;
 Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan
Rancangan Undang-Undang;
 Pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
 Pengundangan Peraturan Perundang-undangan;
 Penyebarluasan;
 Partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
 Dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan
lembaga negara serta pemerintah lainnya.

2.
a. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui UU
adalah:
1. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;
2. Perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;
3. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
4. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
b. Karena Proses legislasi juga membutuhkan campur tangan dan suara masyarakat Indonesia
sebagai negara Demokrasi. Maka dari itu proses legislasi juga merupakan bagian dari proses
sosial.

3.
a. Dalam rangka melakukan kajian teoritis tersebut maka metode yang digunakan harus ilmiah
sehingga dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Dalam konteks inilah metode penelitian
hukum sangat penting peranannya sebagai cara menggali dan menganalisis bahan hukum
primer maupun sekunder dalam sebuah penelitian hukum normatif dan/atau empiris.
b. Tujuan dilakukannya evalusi dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan materi suatu Rancangan Undang-Undang hakikatnya adalah guna memperoleh
suatu gambaran kondisi hukum yang ada. Kegiatan ini berguna untuk menilai apakah materi
muatan dari suatu Rancangan Undang-Undang sudah sesuai atau tidak dengan aspirasi hukum
yang berkembang dalam masyarakat terutama untuk menegakkan supremasi hukum dalam
kehidupan bermasyarakat. Selain itu kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya mensinkronisasi
dan mengharmonisasikan (baik secara vertical maupun horizontal) materi muatan terkait
dengan peraturan perundang-udangan yang telah ada. Hal ini dilakukan dengan mengkaji
sinkronisasi dan harmonisasi materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang
dengan dengan UUD NRI Tahun 145 dan sinkronisasi dan harmonisasi dengan beberapa
UndangUndang (termasuk mengkaji peraturanpelaksanaannya).

4.
a.
Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian
atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat.
b.
Tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:

 Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara,


dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.
 Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan RUU
atau RAPERDA sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
 Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
RUU atau RAPERDA.
 Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan,
dan arah pengaturan dalam RUU
c. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Pengertian tersebut menunjukkan
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya. Penggunaan istilah pengkajan dipengaruhi oleh pandangan bahwa penelitian hukum
tidak memerlukan data sebagaimana layaknya penelitian, karena itu lebih tepat disebut
pengkajian hukum.
5.
a.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa
peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut
persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara
lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih,
jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah,
peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum
ada.
b. Pemberlakuan penempatan kebuerlakuan Undang – Undang secara filosofis, sosiologis, dan
yuridis sangatlah berlaku diluar dengan melihat segala efek yang dihasilkan dari landasan –
landasan tersebut yang dijadikan acuan untuk suatu RUU

Anda mungkin juga menyukai