Anda di halaman 1dari 19

TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL


NASIONAL DI INDONESIA
 Aina Mulyana  Saturday, January 18, 2020  materiPPKn

A. Makna Peraturan Perundang-undangan Nasional


Peraturan perundangan-undangan berbeda dengan Undang-Undang, karena Undang-
Undang hanya merupakan salah satu bagian dari peraturan perundang-
undangan. Peraturan Peundang-Undangan itu sendiri adalah semua pertauran tertulis
yang dibentuk dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan
dalam bentuk tertulis.
Menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang - Undangan, dinyatakan bahwa Peraturan Perundang - undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, fungsi peraturan perundang-undangan,
antara lain sebagai berikut:
a) sebagai norma hukum bagi warga negara karena beisi peraturan untuk membatasi
tingkah laku manusia sebagai warga negara yang harus ditaati, dipatuhi, dan
dilaksanakan. Bagi mereka yang melanggar diberi sanksi atau hukum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, sehingga terjamin rasa keadilan dan kebenaran.
b) Menentukan aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam menjalankan hubungan
antar sesama manusia sebabagi warga negara dan warga masyarakat
c) untuk mengatur kehidupan manusia sebagai warga negara agar kehidupannya
sejahtera. aman, rukun, dan harmonis;
d) untuk menciptakan suasana aman, tertib, tenteram dan kehidupan yang harmonis
rasa.
e) untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara.
f) untuk memberikan perlindungan atas hak asasi manusia.

Untuk memahami perundang-undangan yang berlaku, kita harus memahami susunan


tata urutan perundang-undangan. Ini disebabkan susunan tata urutan perundangan-
undangan mengajar prinsip-prinsip:
a) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan
landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
atau berada di bawahnya.
b) Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki
dasar hukum dari peraturan perundangan-undangan tingkat lebih tinggi.
c) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya.
d) Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan
yang sederajat.
e) Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama,
perturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas
dinyatakan bahwa peraturan yang lama dicabut.
f) Peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.

Adapun azas-azas dalam pembentukan peraturan perundangan sesuai Undang-


undang Nomor 12 tahun 2011 adalah sebagai berikut :
a. Kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat , adalah setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk
peraturan perundang-undangan yang berwenang. peraturan perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga yang
tidak berwewenang
c. Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, adalah bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan
d. Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap peraturan perundang
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
f. Kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
g. Keterbukaan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam pembentukan.

Terkait materi yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan menurut


Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 juga harus mencerminkan asas :
a. Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketentraman
masyarakat.
b. Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap
menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
g. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum.
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara

B. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia


Dalam kajia hukum, tata urutan peraturan perundang-undangan disusun berdasarkan
pandangan bahwa sistem hukum merupakan sistem hierarki dengan kaidah berjenjang
dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang
lebih tinggi. Hal ini sesuai Teori Stufenbau (Stufen Theory) atau yang dipopulerkan oleh
ahli ilmu hukum yang bernama Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang
paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah
hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang
paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar
(grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak) .Contoh norma hukum paling dasar
abstrak adalah Pancasila.
Bagaimana susunan tata urutan perundang-undangan di Indonesia? Berdasarkan Tap
MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib
hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia.
Tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah (PP);
5) Keputusan Presiden;
6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Catatan: Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Undang-Undang, Tata urutan peraturan perundang-undangan RI yaitu :
1) UUD 1945;
2) Tap MPR;
3) Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
5) Peraturan Pemerintah (PP)
6) Keppres;
7) Peraturan Daerah;
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan., Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah sebagai berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Catatan: Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah sebagai berikut:
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
4) Peraturan Pemerintah (PP)
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi;
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Lalu, aturan mana terkait Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di


Indonesia yang saat ini berlaku? Tentunya aturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011. Ketentuan ini sesuai asas dan prinsip hukum bahwa peraturan atau Undang-
Undang terbaru yang mengatur persoalan yang sama menggantikan peraturan atau
Undang-Undang yang ada sebelumnya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 102 dimana
berbunyi : “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 ini menggantikan
Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 dan peraturan
yang ada sebelumnya.
Penjelasan lebih lanjut mengenai urutan perundangan-undangan ini adalah sebagai
berikut:
1. UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar tertulis Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi.
Menurut. L.J. van Apeldom, Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari suatu
konstitusi. Sementara itu E.C.S. Wade menyatakan, bahwa Undang-Undang Dasar
adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dan badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan
tersebut. Miriam Budiardjo, menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar memuat
ketentuan-ketentuan mengenai organisasi negara, hak-hak asasi manusia, prosedur
mengubah UUD dan memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-
Undang Dasar.
Dalam tata peraturan perundang-undangan di negara Indonesia, menurut
Miriam Budiardjo (1981: 106-107) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai
kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan undang-undang lainnya, hal ini
dikarenakan
a) UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan pembentukan
UU biasa
b) UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap sesuatu yang luhur.
c) UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan
merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa

2. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah ketetapan yang dikeluarkan MPR sebagai konsekuensi
dari tugas, kedudukan dan kewenangan MPR sesuai UUD 1945.
Adapun yang dimaksud Ketetapan MPR yang menjadi sumber hukum
menurut penjelasan UU No 12 tahun 2011 adalah adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7
Agustus 2003.
3. Undang-Undang
Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan UUD 1945. Yang berwenang membuat UU adalah DPR bersama
Presiden. Adapun kriteria agar suatu masalah diatur dengan UU antara lain :
a) UU dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945,
b) UU dibentuk atas perintah Ketetapan MPR,
c) UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu,
d) UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang
sudah ada,
e) UU dibentuk karena berkaitan dengan hak sasai manusia,
f) UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang
banyak.

Adapun materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:


a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)


Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPPU) dibentuk oleh
presiden tanpa terlebih dahulu rnendapat persetujuan DPR. Hal ini dikarenakan
PERPU dibuat dalam keadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul harus
segera ditindaklanjuti. Namun demikian pada akhirnya PERPU tersebut harus
diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. ladi bukan berarti presiden dapat
seenaknya mengeluarkan PERPPU, karena pada akhirnya harus diajukan kepada
DPR pada persidangan berikutnya. Sebagai lembaga legislatif DPR dapat menerima
atau menolak PERPPU yang diajukan Presiden tersebut, konsekwensinya kalau
PERPPU tersebut ditolak, harus dicabut, dengan kata lain harus dinyakan tidak
berlaku lagi
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan
materi muatan Undang-Undang, yakni:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

5. Peraturan Pemerintah (PP)


Untuk melaksanakan suatu undang-undang, maka dikeluarkanlah Peraturan
Pemerintah. Jadi peraturan pemerintah tersebut merupakan bentuk pelaksanaan dari
suatu undang-undang. Itulah sebabnya materi muatan Peraturan Pemerintah (PP)
berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Adapun kriteria untuk dikeluarkannya Peraturan pemerintah adalah sebagai
berikut :
a) PP tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya,
b) PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana. Jika UU induknya tidak
mencantumkan sanksi pidana,
c) PP tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya.
d) PP dapat dibentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebut secara tegas,
asal PP tersebut untuk melaksanakan UU,

6. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk
Presiden berdasarkan pasal 4 UUD 1945. Dilihat dari sifatnya Presiden dapat
membuat dua macam keputusan yaitu yang bersifat pengaturan dan yang bersifat
penetapan. Yang termasuk jenis peraturan perundang-undangan adalah keputusan
presiden yang bersfat pengaturan atau yang dikenal dengan Peraturan Presiden .
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi
untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
7. Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah daerah
Propinsi dan daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota. Masuknya Peraturan Daerah
dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang¬undangan yang lebuh tinggi. Selain
itu Peraturan daerah inijuga dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah.
Dengan demikian kalau Peraturan Daerah terse but dibuat sesuai kebutuhan daerah,
dimungkinkan Perda yang berlaku di suatu daerah KabupatenlKota belum tentu
diberlakukan di daerah kabupaten/ kota lain.
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

C. Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Indonesia


1. Proses pembentukan Undang-Undang
Undang-undang adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya
Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD
1945 Pasal 5 Ayat 1 "Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang
kepada DPR", Pasal20 Ayat 1 "DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan
Pasal 20 Ayat 2 "Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama".
Dalam pembentukan suatu undang-undang, sebagaimana diatur dalam undang-
undang nomor 12 tahun 2011, maka tahap-tahapnya meliputi:
a. Tahap penyusunan Rancangan Undang-Undang meliputi:
1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden.
2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.
3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD
harus disertai Naskah Akademik. Terdapat 3 jenis RUU yang tidak harus
disertai Naskah Akademik namun haruss disertai dengan keterangan yang
memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur yakni: a) RUU
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b) penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau c)
pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
4) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun
Presiden serta Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD kepada
DPR disusun berdasarkan Prolegnas (Program Legislasi Nasional).
Adapun Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD berkaitan
dengan: a) otonomi daerah; b) hubungan pusat dan daerah; c)
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d) pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e)
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
5) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR,
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi atau DPD. Kemudian dilakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
6) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai
dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan
Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau
antarnonkementerian. Kemudian dilakukan Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang
berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
7) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh
pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah
Akademik. Usul Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan
oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang.
Untuk selanjutnya Alat kelengkapan DPR dalam melakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD
yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk
membahas usul Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD.
8) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat
pimpinan DPR kepada Presiden. Presiden menugasi menteri yang
mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat
pimpinan DPR diterima. Kemudian Menteri yang mendapat tugas dari
Presiden mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
9) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden
kepada pimpinan DPR. Surat Presiden tersebut memuat penunjukan
menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan
Rancangan Undang-Undang bersama DPR. DPR mulai membahas
Rancangan Undang-Undang yang diajukan presiden dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR,
menteri atau pimpinan lembagapemrakarsa memperbanyak naskah
RancanganUndang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
10) Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan
Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas
adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan
Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan
sebagai bahan untuk dipersandingkan.

b. Tahap penyusunan Pembahasan Rancangan Undang-Undang meliputi:


1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama
Presiden atau menteri yang ditugasi.
2) Khusus Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan:
a) otonomi daerah; b) hubungan pusat dan daerah; c) pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; d) pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e) perimbangan keuangan pusat dan
daerah, pada pembicaraan tingkat I dilakukan dengan mengikutsertakan
DPD yang diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi
muatan Rancangan Undang-Undang yang dibahas.
3) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-
Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,
dan agama.
4) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua)
tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi,
rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran,
atau rapat Panitia Khusus; dan pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
6) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatansebagai berikut: a)
pengantar musyawarah; b) pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c)
penyampaian pendapat mini
7) Dalam pengantar musyawarah a) DPR memberikan penjelasan dan
Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang
berasal dari DPR; b) DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan
DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari DPD; c) Presiden
memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika
Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau d) Presiden
memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan
jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan
DPD berasal dari Presiden.
8) Daftar inventarisasi masalah diajukan oleh: a) Presiden jika Rancangan
Undang-Undang berasal dari DPR; atau b) DPR jika Rancangan Undang-
Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD
sepanjang terkait dengan kewenangan DPD
9) Penyampaian pendapat mini disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat
I oleh: a) fraksi; b) DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan
dengan kewenangan DPD; dan c. Presiden.
10) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat
paripurna dengan kegiatan: a) penyampaian laporan yang berisi proses,
pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat
I; b) pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan
anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c)
penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang
ditugasi.
11) Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk
mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
12) Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh
diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
13) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas
bersama oleh DPR dan Presiden. Rancangan Undang-Undang yang
sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan
bersama DPR dan Presiden.

c. Tahap Pengesahan Rancangan Undang-Undang


Tahap Pengesahan Rancangan Undang-Undang adalah sebagai berikut:
1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi Undang-Undang.
2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
3) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden.
4) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak ditandatangani oleh
Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan
Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan.
5) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang kalimat pengesahannya
berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
6) Kalimat pengesahan tersebut harus dibubuhkan pada halaman terakhir
Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
2. Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh
presiden yang dibuat dalam keadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul
harus segera ditindaklanjuti.
Adapun Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1) Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh
presiden yang dibuat dalamkeadaan "darurat" dalam arti persoalan yang muncul
harus segera ditindaklanjuti.
2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR
dalam persidangan yang berikut.
3) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilakukan dalam
bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
4) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat
persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat
persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
7) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut
dan harus dinyatakan tidak berlaku, DPR atau Presiden mengajukan
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang mengatur segala akibat hukum dari pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
9) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat
paripurna.
10) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme
yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
11) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan dengan tata cara: a)
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden; b) Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR
tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c) Pengambilan keputusan
persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat
paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut.

3. Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah


Berikut ini Proses Penyusunan Peraturan Pemerintah sesuai UU nomor 11 Tahun
2012 adalah sebagai berikut:
1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk
panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.
2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.

4. Proses Penyusunan Peraturan Presiden


Berikut ini Proses Penyusunan Peraturan Presiden sesuai UU nomor 11 Tahun
2012 adalah sebagai berikut:
1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk
panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian,
2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
5. Proses Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
a. Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan
Peraturan Daerah Provinsi
Berikut ini Proses Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sesuai
UU nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi
atau Gubernur.
2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi disertai dengan penjelasan atau
keterangan dan/atau Naskah Akademik.
3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai a) Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b) Pencabutan Peraturan Daerah
Provinsi; atau c) perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas
mengubah beberapa materi, tidak disertai naskah akademik namun harus
disertai keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang
diatur.
4) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
5) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi
dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus
menangani bidang legislasi.
6) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan
oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.
7) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota,
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang
khusus menangani bidang legislasi.
8) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD
Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada
Gubernur.
9) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur
disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD
Provinsi.
10) Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur
menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi
yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan.

b. Proses Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan


Peraturan Daerah Provinsi
1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD
Provinsi bersama Gubernur.
2) Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.
3) Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ badan/
alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang
legislasi dan rapat paripurna.
4) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum
dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
5) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat
ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan
Gubernur.

c. Proses Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Proses Penyusunan


Peraturan Daerah Provinsi
1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh
DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD
Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah
Provinsi.
2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan bersama.
3) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui
bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
4) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tidak ditandatangani
oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan
Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.
5) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, kalimat
pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
6) Kalimat pengesahan tersebut harus dibubuhkan pada halaman terakhir
Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan
Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah

6. Proses Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota


Pada prinsipnya proses penyusunan rancangan, pembahasan dan penetapan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota sesuai UU nomor 11 Tahun 2012 sama seperti penyusunan,
pembahasan dan penetapan rancangan Peraturan Daerah Provinsi.

Anda mungkin juga menyukai