Anda di halaman 1dari 15

Nama : Ibnu Aji Saputro

NPM : 2007350459
Kelas : A.89.S1
Mata kuliah : Ilmu Perundang-Undangan
Nama dosen : Arif Awangga, SH., MH.

1. Uraikan persamaan dan perbedaan teori perundang-undangan dengan ilmu


perundang-undangan.
Teori perundang-undangan yaitu berorientasi pada mencari kejelasan dan
kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif,
Ilmu perundang-undangan yaitu berorientasi pada melakukan perbuatan dalam
hal pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.

2. Apa yang dimaksud dengan konsep peraturan perundang-undangan?


Konsep pembentukan peraturan perundangundangan merupakan rencana atau
plan dalam membentuk hukum. Hukum pada hakekatnya adalah produk
penilaian akal-budi yang berakar dalam hati nurani manusia tentang keadilan
berkenaan dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan manusia.
Penghayatan tentang keadilan memunculkan penilaian bahwa dalam situasi
kemasyarakatan tertentu, orang seyogyanya berperilaku dengan cara tertentu,
karena hal itu adil atau memenuhi rasa keadilan. Keadilan merupakan nilai
abstrak yang perlu perwujudan dalam bentuk norma hukum sebagai sarana
untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.
Perwujudan nilai-nilai norma hukum dalam masyarakat terbentuk melalui aturan
perundang-undangan. Aturan perundangundangan yang dibentuk harus
memenuhi rasa keadilan. Menurut Sajipto Rahardjo, dalam proses pembuatan
rancangan undang-undang harus memperhatikan peran dari asas hukum.
Sistem hukum termasuk peraturan perundang-undangan yang dibangun tanpa
asas hukum hanya akan berupa tumpukan undang-undang. Asas hukum
memberikan arah yang dibutuhkan. Di waktu-waktu yang akan datang masalah
dan bidang yang diatur pasti semakin bertambah. Maka pada waktu hukum atau
undangundang dikembangkan, asas hukum memberikan tuntunan dengan cara
bagaimana dan ke arah mana sistem tersebut akan dikembangkan. Dalam
kenyataan empiris telah terbukti bahwa suatu undang-undang, bahkan
kodifikasi, tidak akan pernah lengkap dalam mengatur segala persoalan yang
terjadi maupun yang akan terjadi di tengah-tengah dinamika perkembangan
masyarakat. Pembentukan perundang-undangan belum sesuai dengan
Pancasila dikarenakan masih banyak perbedaan paradigma tentang Pancasila
dan perdebatan-perdebatan tentang kebenaran Pancasila sehingga jelas,
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak akan sesuai dengan
substansi Pancasila yang mencerminkan keadilan. Terbukti banyaknya judicial
review terhadap produk Undang-Undang yang telah diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia. Diperlukannya persamaan visi, misi,
tujuan dan persepsi dalam memahami Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum. Salah satu hal yang penting dalam sebuah pemerintahan, baik
dalam tingkat nasional maupun daerah adalah pembentukan produk hukum
yang sangat diperlukan karena diperlukan untuk merespon kepentingan
masyarakat. Dalam membentuk hukum, diperlukan pedoman sehingga produk
hukum yang diterbitkan nantinya akan kuat demi hukum dan dapat
diimplementasikan di kemudian hari. Berawal dengan dibentuknya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
PerundangUndangan yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dan diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2011, maka setiap pembentukan
produk hukum mempunyai dasar dan pedoman. Pembentukan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
tersebut merupakan pelaksanaan perintah Pasal 22 A Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan undang-undang ini
didasarkan pada pemikiran bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum.
Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan harus berdasarkan sistem
hukum nasional. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah dasar hukum
bagi pembentukan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun
daerah. Undang-undang ini dibentuk untuk menciptakan tertib pembentukan
peraturan perundang-undangan, agar konsepsi dan perumusan normanya
mantap, bulat, dan harmonis, tidak saling bertentangan, dan tumpang tindih satu
sama lain. Melalui undang-undang tersebut, diharapkan semua lembaga yang
berwenang membentuk peraturan perundang-undangan memiliki pedoman
khusus yang baku dan terstandarisasi dalam proses dan metode membentuk
peraturan perundang-undangan secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan syarat dalam rangka
pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung
oleh metode yang baik, yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membuat peraturan perundangundangan. Indonesia merupakan negara hukum
yang mempunyai kewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang
baik, yang dilakukan secara terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam sistem
hukum nasional. Sistem hukum tersebut diharapkan dapat menjamin
perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia dengan berdasarkan
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemenuhan kebutuhan
masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik tidak luput dari
bagaimana pembuatan suatu UndangUndang dilakukan dengan metode yang
baik pula. Peraturan Perundang-undangan tersebut mempunyai peranan yang
sangat penting dalam pembangunan hukum di Indonesia karena fungsinya
adalah untuk mewujudkan ketertiban masyarakat dan kepastian hukum serta
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam membentuk dan menerapkan
sebuah peraturan perundangan di pegang beberapa prinsip: Pertama, Peraturan
yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah atau Asas lex
superior derogat legi inferiori, apabila terjadi konflik atau pertentangan antara
peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang
tinggilah yang harus didahulukan. Kedua, Peraturan yang lebih baru
mengalahkan peraturan yang lebih lama atau Lex posterior derogat legi priori
adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru
atau posterior mengesampingkan hukum yang lama atau prior. Asas ini
biasanya digunakan baik dalam hukum nasional maupun internasional. Ketiga,
Peraturan yang mengatur masalah khusus mengalahkan peraturan yang bersifat
umum atau Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum
yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus atau lex specialis
mengesampingkan hukum yang bersifat umum atau lex generalis; Pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi kriteria-kriteria yang
terkandung di dalam nilai-nilai Pancasila yaitu prinsipprinsip keadilan dalam
Pancasila. Mendasarkan pendapat Lili Rasidji, dalam pelaksanaan
perundangundangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan
sebagaimana mestinya, hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu
sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran sociological Jurisprudence
yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat digali dan dirumuskan
menjadi sebuah dasar Negara yaitu Pancasila. Oleh karena itu seperti pendapat
Rasidji, hukum yang baik harus mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila yang merupakan adaptasi nilai yang bersumber dari hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Pancasila merupakan satusatunya pedoman dasar
bagi bangsa Indonesia dalam membentuk hukum yang baik yang memberikan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan kata lain, keadilan diwujudkan
dalam bentuk kepastian hukum yang mengadopsi nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila yang berupa prinsip-prinsip keadilan. Dasar pembentukan
peraturan perundangundangan muncul dari prinsip dan nilai yang diambil dari
Pancasila sebagai Staatfundamentalnorm bangsa Indonesia, mengadopsi dari
nilai-nilai Pancasila yang lahir dari bangsa Indonesia itu sendiri yang digagas
oleh Founding Father/Mother Bangsa Indonesia. Hal ini memberikan landasan
bagi terwujudnya suatu peraturan perundang-undangan yang baik. Prinsip dan
nilai dari Pancasila mencerminkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
dengan tujuan terciptanya keadilan. Berdasar teori negara hukum, tentunya
bangsa Indonesia harus mengedepankan supremasi hukum guna terwujudnya
keadilan. Keadilan dalam kaitannya dengan pembentukan peraturan
perundangundangan tidak dapat dipisahkan karena tujuan dari hukum itu sendiri
untuk memberikan keadilan. Dalam teori perundang-undangan, pembentukan
perundang-undangan yang baik harus berpedoman pada Staatfundamentalnorm
yaitu Pancasila. Dasar dari pembentukan peraturan perundang-undangan
tersebut mengadopsi prinsip dan nilai-nilai Pancasila guna terwujudnya keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia yaitu perlindungan Hak Asasi Manusia dalam
memperoleh keadilan. Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai
bagian dari konsep politik hukum berada dalam ruang lingkup nilai. Nilai tidak
dapat dipisahkan dalam pembentukan peraturan perundangundangan. Nilai-nilai
yang berasal dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan
sebagainya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya dan
merupakan satu kesatuan dalam membentuk perundang-undangan. Dalam
negara hukum, konsep yang tepat adalah mengedepankan hak asasi manusia.
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan konsep
negara hukum Pancasila yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang di
dalamnya menganut perlindungan HAM. Pancasila mempunyai perbedaan
dengan norma dasar yang lainnya yaitu Pancasila menganut prinsip non sekuler
dalam menciptakan kepastian, keadilan, dan manfaat. Pancasila berasal dari
NKRI sedangkan norma dasar yang ada menganut sistem barat yaitu dengan
prinsip negara sekuler. Konsep negara hukum yang mencerminkan keadilan
yang harus dianut oleh bangsa Indonesia adalah konsep negara hukum
Pancasila yang memberikan keadilan berupa prinsip-prinsip keadilan
berdasarkan Pancasila. Pancasila merupakan staatfundamentalnorm bagi
bangsa Indonesia. Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan
yang baik adalah dengan menganut prinsip-prinsip yang terkandung di dalam
nilai-nilai Pancasila. Dalam pembentukan suatu peraturan perundangundangan
yang baik harus memenuhi beberapa konsep. Konsep pembentukan peraturan
perundangundangan harus sesuai dengan konsep negara hukum Pancasila
yaitu merealisasikan prinsip-prinsip keadilan berupa nilai-nilai yang terkandung
di dalam Pancasila ke dalam norma hukum, penjelasan tentang konsep tersebut,
mengharuskan nilai-nilai Pancasila yang mengandung kebenaran tentang
keadilan harus direalisasikan ke dalam norma hukum yang menghasilkan
kepastian, keadilan, dan manfaat. Kepastian hukum akan berdiri seimbang
dengan keadilan karena kepastian hukum sudah mengadopsi nilai-nilai
kebenaran tentang keadilan Pancasila. Oleh sebab itu, distribusi manfaat akan
tercapai sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia. Konsep pembentukan
peraturan perundangundangan yang baik harus mengedepankan perlindungan
Hak Asasi Manusia terutama perlindungan hak dalam memperoleh keadilan.
Konsep pembentukan peraturan perundang-undangan harus mengedepankan
perlindungan Hak Asasi Manusia karena hukum ada dari manusia dan untuk
manusia sebagai subyek hukum. Hukum dibentuk untuk manusia sehingga Hak
Asasi Manusia harus diwujudkan dalam perlindungannya yang dilakukan oleh
hukum. Pembentukan peraturan perundangundangan yang baik tentunya
mengedepankan Hak Asasi Manusia agar kepastian hukum memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi termasuk perlindungan terhadap hak
dalam memperoleh keadilan. Di dalam nilai-nilai Pancasila, Hak Asasi Manusia
tercermin dari sila ketiga yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Memanusiakan manusia sebagai makhluk yang beradab sebagai manusia dan
memberikan keadilan seluas-luasnya bagi manusia dalam perlindungan hak dan
kewajibannya yang dilakukan oleh negara. Konsep pembentukan peraturan
perundangundangan yang baik harus mengedepankan persamaan di hadapan
hukum sesuai dengan asas equality before the law. Persamaan di hadapan
hukum merupakan hak bagi manusia dalam memperoleh keadilan hukum.
Hukum tidak memandang strata sosial seseorang di dalam hukum, akan tetapi
hukum harus memberikan persamaan bagi semua manusia dalam memperoleh
keadilan. Pembentukan peraturan perundang-undangan tentunya harus
mengedepankan persamaan di hadapan hukum karena hukum dibentuk untuk
melindungi manusia dari kesewenangwenangan sehingga dalam proses
perlindungannya, hukum tidak memandang kondisi strata sosial seseorang
dalam memperoleh perlindungan hukum. Pembentukan peraturan perundang-
undangan jika mengedepankan asas equality before the law akan mewujudkan
peraturan perundang-undangan yang mampu melindungi seluruh rakyat
Indonesia dalam memperoleh perlindungan hukum termasuk perlindungan
dalam memperoleh keadilan. Konsep pembentukan peraturan
perundangundangan yang baik harus sesuai dengan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh undang-
undang. Asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan merupakan
asas yang digunakan dalam membentuk suatu aturan perundang-undangan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sudah menjadi kewajiban dalam
pembentukannya untuk menggunakan asas-asas peraturan
perundangundangan agar peraturan perundang-undangan yang dibentuk
mempunyai kepastian yang memiliki keadilan dan manfaat bagi orang banyak.
Asas-asas peraturan perundang-undangan merupakan landasan bagi
terbentuknya peraturan perundang-undangan yang baik, jika suatu peraturan
perundang-undangan dibentuk dengan mengindahkan asas-asas peraturan
perundang-undangan tersebut, maka peraturan perundang-undangan tidak akan
memberikan tujuan hukum yang baik, tidak memberikan keadilan dan manfaat
bagi orang banyak. Oleh karena itu, asas-asas peraturan perundang-undangan
sangat dibutuhkan dalam membentuk peraturan perundang-undangan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga yang
kredibel yang dipilih secara demokrasi oleh rakyat Indonesia. Lembaga kredibel
ini meliputi pemegang kekuasaan yang mempunyai kewenangan untuk
membentuk peraturan perundang-undangan. Berdasar modal demokrasi, maka
konsep pembentukan perundang-undangan dibentuk oleh pemegang kekuasaan
yang sah, yang dipilih oleh rakyat, dan dengan mandat yang sah dari rakyat
memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan,
sehingga peraturan perundang-undangan yang dibentuk memiliki kekuatan
hukum yang sah yang diakui oleh seluruh masyarakat dalam memberikan
kepastian, keadilan, dan manfaat.

3. Uraikan dan jelaskan bagaimana maksud landasan filosofis, landasan


politis/sosiologis, dan landasan yuridis.
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek, serta menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan Yuridis
Pengertian landasan yuridis adalah pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Unsur yuridis adalah menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-
undangan yang baru.
Adapun unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut menjadi pertimbangan
dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan
dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Unsur filosofis diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945.
Alasan sosiologis dibentuknya peraturan perundang-undangan adalah
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek.
Kemudian unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

4. Uraikan dan jelaskan tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap


pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Sebuah peraturan perundang-undangan dibentuk melalui 5 tahap sebagai
berikut:
1. Perencanaan
Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan melalui program legislasi
nasional yang biasa disebut prolegnas, yang merupakan skala prioritas program
pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum
nasional. Prolegnas memuat program pembentukan undang-undang dengan
judul rancangan undang-undang, materi yang akan diatur, dan keterkaitannya
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Penyusunan prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah yang
dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi. Penyusunan prolegnas di lingkungan DPR
dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR,
DPD, dan/atau masyarakat.
Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala
prioritas pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan dan penetapan
prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR.
Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah disepakati menjadi
prolegnas dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Prolegnas ditetapkan
dengan Keputusan DPR.
2. Penyusunan
Sebuah rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR atau Presiden.
Rancangan undang-undang harus disertai naskah akademik. Naskah akademik
adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan
undang-undang sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat.
Rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta
yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. Rancangan
Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan
tanggung jawabnya. Dalam penyusunan rancangan undang-undang, menteri
atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, membentuk panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal
dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
Setelah selesai dilakukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi, rancangan undang-undang diajukan dengan surat Presiden kepada
pimpinan DPR. Surat tersebut memuat penunjukan menteri yang ditugasi
mewakili Presien dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang
bersama DPR. DPR mulai membahas rancangan undang-undang dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima.
3. Pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang
Pembahasan rancangan undang-undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan
komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia
Khusus. Pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
Pembicaraan tingkat I, dilakukan dengan kegiatan pengantar musyawarah, yaitu
Presiden memberikan penjelasan, fraksi dan DPD memberikan pandangan
terhadap rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden. Dalam
pembicaraan tingkat I juga dilakukan kegiatan pembahasan daftar inventarisasi
masalah yang diajukan oleh DPR. Setelah pembahasan daftar inventarisasi
masalah selesai, dilakukan penyampaian pendapat mini oleh fraksi, DPD dan
Presiden, sebagai akhir pembicaraan tingkat I.
Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat
paripurna yang terdiri dari kegiatan penyampaian laporan yang berisi proses,
pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I,
pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap fraksi dan anggota secara lisan
yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna, dan penyampaian pendapat akhir
Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat,
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Apabila
rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR
dan Presiden, maka rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan
lagi dalam masa persidangan DPR masa itu.
Rancangan undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama
oleh DPR dan Presiden. Rancangan undang-undang yang sedang dibahas
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan
Presiden.
Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan
menjadi Undang-Undang. Penyampaian dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan
undang-undang disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan
dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak rancangan
undang-undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak ditandatangani oleh Presiden
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan
Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang
tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
4. Pengundangan
Agar setiap orang mengetahuinya, peraturan perundang-undangan harus
diundangkan. Untuk undang-undang dilakukan pengundangan dengan
menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengundangan dilaksanakan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
5. Penyebarluasan
Penyebarluasan undang-undang yang telah diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan partisipasi
masyarakat. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Masukan secara tertulis dapat dilakukan
melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar,
lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat disini adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan
peraturan perundang-undangan tersebut dan untuk memudahkan masyarakat
dalam memberikan masukan, setiap rancangan peraturan perundang-undangan
harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

5. Tafsirkan menurut saudara ketentuan sebagai berikut.


a. Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan:
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229
ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena


kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban
luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena


kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban
luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).

Dalam pasal tersebut, disebutkan tentang kecelakaan yang diakibatkan


oleh kelalaian. Ancaman hukuman maksimal yang dikenakan dalam
pasal tersebut adalah enam tahun penjara dan denda Rp 12 juta.
Kecelakaan lalu lintas dengan luka ringan, baru dapat ditindak jika
disertai dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana
diatur dalam Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ

Pasal 310 ayat [4] UU LLAJ diatur bahwa setiap orang yang karena
kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka
berat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp10 juta

b. Pasal 311 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor
dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau
barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan
dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2),
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta
rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)


mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling
banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Jadi kecelakaan lalu lintas yang diatur dalam Pasal 311 UU LLAJ
disebabkan karena orang sengaja mengemudikan kendaraan bermotor
dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau
barang.

Situasi kecelakaan yang dapat dikenakan Pasal 311 UU LLAJ adalah


apabila pengemudi kendaraan sengaja mengemudikan kendaraan
bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa
atau barang.

Tetapi sayangnya dalam Pasal 311 UU LLAJ tidak ada penjelasan lebih
lanjut mengenai bagaimana bentuk kesengajaan mengemudikan
Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan
bagi nyawa atau barang.

Namun kesengajaan tersebut dapat dilihat pada situasi-situasi di


antaranya sebagai berikut:

1. Berkendara melebihi batas kecepatan yang dibolehkan

Pengemudi Kendaraan Bermotor di jalan dilarang:

a. mengemudikan kendaraan melebihi batas kecepatan paling tinggi


yang diperbolehkan; dan / atau

b. berbalapan dengan Kendaraan Bermotor lain.

Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan


secara nasional. Batas kecepatan paling tinggi ditentukan berdasarkan
kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan
bebas hambatan. Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan
khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan
paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas,
hal tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.

Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan


dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi
arus bebas.

Jika dikaitkan dengan sengaja membahayakan nyawa atau barang,


misalkan seseorang berkendara di area kawasan perkotaan, namun
melebihi batas kecepatan maksimal yang ditentukan (lebih dari
50km/jam). Berarti hal tersebut sudah termasuk membahayakan, karena
pada dasarnya pengemudi telah dilarang untuk mengemudikan
kendaraan melebihi batas kecepatan yang ditentukan.

2. Tidak memperhatikan rambu lalu lintas saat pindah jalur/ berbelok/


berbalik arah

Apabila pengemudi yang berpindah jalur/ berbelok/ atau berbalik


arah namun tidak memberikan isyarat, hal ini dapat dikatakan
dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara
atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang.

Anda mungkin juga menyukai