Anda di halaman 1dari 4

Pancasila dan Implementasinya dalam Penegakan

Hukum dan HAM di Indonesia


Oleh : Evan Ewaldo Suputro Sitorus

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sudah semestinya menjadi


landasan dasar bagi masyarakat Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa
dan bernegara. Namun, apakah dalam keberjalanan 74 tahun Indonesia merdeka
Pancasila sudah dijiwai dan diimplementasikan sebagaimana mestinya? Untuk
dapat menjawab pertanyaan besar diatas, izinkan penulis untuk membedah satu
persatu dalam esai ini. Jika dikaitkan dalam konteks hukum, hubungan Pancasila
dan hukum dapat dibaca dengan jelas dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urut Perundang-
undangan (TAP NO. III/MPR/2000) dan Undang-undang tentang Pembentukan
Peraturan dan perundang-undangan (UU No.12/2011). Dalam TAP No.
III/MPR/2000 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa Pancasila merupakan “sumber
hukum dasar nasional”. Yang dimaksud sumber hukum di sini, seperti dinyatakan
dalam Pasal 1 TAP ini, adalah “sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan
peraturan perundang-undangan”. Menggunakan ungkapan yang sedikit berbeda
UU NO.12/2011 Pasal 2 menyatakan bahwa “Pancasila merupakan sumber
segala sumber hukum negara”. Dalam penjelasan undang-undang ini dinyatakan
bahwa Pancasila merupakan “dasar dan ideologi negara”. Karena itu, semua jenis
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya.1 Hal ini dengan
terang memastikan bahwa Pancasila merupakan pondasi utama dalam
merumuskan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Sehingga secara normatif, segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia sudah mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Namun, ketika ada peraturan perundang-undangan yang substansinya

1
Petrus C.K.L Bello, Ideologi Hukum, Refleksi Filsafat atas Ideologi di Balik Hukum (Bogor: Insan
Merdeka, 2013), hal 116.
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila maka ada
mekanisme yang telah dibuat oleh negara untuk dapat membatalkan dan/atau
meniadakan keberadaan dari peraturan perundang-undangan tersebut.

Ketika secara normatif keberadaan peraturan perundang-perundangan


sudah dapat dipastikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di
dalam Pancasila. Pertanyaan yang kembali muncul adalah bagaimanakah dengan
penegakan hukumnya? Jika berbicara masalah penegakan hukum, maka kita
berbicara mengenai realita yang terjadi di lapangan. Unsur yang sangat
menentukan baik buruknya penegakan hukum adalah aparat penegak hukum.
Hingga pada hari dimana esai ini ditulis, masih banyak masalah-masalah dan
problematika yang muncul dalam penegakan hukum di Indonesia. Salah satu
contohnya adalah kasus salah tangkap anak jalanan di bawah jembatan ciputat
yang beberapa bulan yang lalu sempat menjadi topik pembicaraan yang hangat
di beberapa media nasional. Hal ini memberikan bukti nyata bahwasanya aparat
penegak hukum masih dapat lalai dalam menjalankan procedural yang sudah ada
dalam menindak sebuah tindak kejahatan. Ketika terjadi kelalaian seperti itu,
maka semua pihak yang terkait akan dirugikan, baik dalam bentuk materiil
ataupun immateriil. Kenyataan ini dengan sangat jelas menyatakan bahwa
penegakan hukum di Indonesia masih buruk. Keterpurukan penegakan hukum
yang ada saat ini diawali oleh terpuruknya dekadensi moral aparat penegak
hukum, konsep atau metode berpikir “Money Oriented” sedianya dapat diubah
menjadi mindset “Service Oriented without Money”. Sehingga dibutuhkan
reformasi hukum tidak hanya dalam hal pembaruan Undang-Undang atau
substansi hukumnya (legal substance reform), tetapi juga pembaruan struktur
hukum (legal structure reform) dan pembaruan budaya hukum (legal ethic and
legal science / education reform), bahkan dalam situasi saat ini, pembaruan
aspek immateriil dalam hukum yaitu pembaruan budaya hukum, etika / moral
hukum, aparatur penagak hukum, serta ilmu / pendidikan hukum dapat
dilakukan pembaruan untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan (ius
constituendum).2 Yang dimaksud dengan hukum yang dicita-citakan dalam
konteks ini adalah hukum yang berlandaskan pada Pancasila.

Untuk mencapai hukum yang berlandaskan pada Pancasila, terutama


dalam penegakan hukumnya masih diperlukan waktu yang cukup panjang karena
untuk dapat mendekatkan realita dengan keadaan yang ideal tidaklah mudah.
Untuk mencapai hal tersebut, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pembaruan hukum. Hakikat Pembaruan hukum bukan terletak pada
aspek formal dan lahiriah (seperti terbentuknya Undang-Undang baru, struktur
kelembagaan baru, bertambahnya bangunan / sarana peradilan, mekanisme /
prosedur baru) melainkan justru terletak pada aspek immateriil, yaitu bagaimana
membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan dalam hukum sehingga melahirkan
penegak keadilan yang berintegritas baik dan memiliki sifat kemanusiaan dan
rasa keadilan dalam dirinya, yang akan mendorong terciptanya penegakan
hukum yang lebih baik menuju ke arah hukum responsif yang bersendikan nilai-
nilai Pancasila. Strategi pembangunan hukum responsif dimulai dengan
membangun supremasi hukum sebagai pintu utama sebuah bangsa dalam
melahirkan suatu konsesi, bahwa hukum menjadi garda depan dalam
menciptakan keamanan dan stabilitas suatu bangsa. Namun hukum yang ada
saat ini hanya dipahami sebagai suatu aturan yang bersifat kaku, dan
menekankan pada aspek the legal system, tanpa melihat kaitan antara hukum
dengan persoalan-persoalan yang hidup dalam suatu masyarakat.3 Teori
pemikiran hukum responsif dihadirkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick
yang secara garis besar mengupas tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam
masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif),
hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represif dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari

2
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan (Jakarta: Kencana Pranada Media Grup, 2010).
3
Yadyn, Abdul Razak, Aswanto, Problematika Penegakan Hukum di Indonesia Menuju Hukum
yang Responsif Berlandaskan Nilai-Nilai Pancasila (Makassar: E-Journal Pascasarjana Universitas
Hasanuddin), diakses pada 14 November 2019.
berbagai respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat (hukum responsif).4 Sebenarnya konsep hukum
responsif ini memiliki kesamaan ciri dengan hukum progresif yang digagas oleh
Satjipto Rahardjo, yang dimana penekanannya bahwa hukum itu bersifat dinamis
sehingga hukum harus selalu bergerak dan beradaptasi dengan kebutuhan
manusia.

Namun, yang menjadi poin utama agar penegakan hukum dan HAM di
Indonesia dilandasi dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah
dengan pengembangan karakter dan penanaman nilai integritas dari aparat
penegak hukum itu sendiri. Karena sistem hukum sebaik apapun jika aparat
penegak hukumnya tidak dapat menjalankannya dengan baik, maka hukum yang
dicita-citakan tidak akan tercapai juga sehingga penulis mengajak pembaca yang
mungkin adalah calon penegak hukum untuk bersama-sama menanamkan nilai
integritas dalam kehidupan sehari-hari agar ketika sampai pada waktunya sudah
menjadi aparat penegak hukum dapat menjalankan peraturan perundang-
undangan sesuai koridornya sehingga implikasi yang diharapkan adalah
implementasi dari Pancasila dalam penegakan hukum dan HAM di Indonesia
bergeser dari yang sebelumnya merupakan suatu kemustahilan, menjadi
keniscayaan.

4
Phillipe Nonet dan Phillip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, 1978.

Anda mungkin juga menyukai