Anda di halaman 1dari 15

REVIEW JURNAL HUKUM

UAS PASCASARJANA UNIVERSITAS JAYABAYA


Judul : Paradigma Filsafat Positivisme Hukum di Indonesia.
Jurnal : AL-DAULAH: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam.
Volume dan Halaman : Volume 7, Nomor 2, Oktober 2017 p-ISSN 2089-0109;
e-ISSN 2503-0922, Halaman 322-341.
Penulis : Ramlani Lina Sinaulan
Reviewer : Farid Teguh Prasetiawan. NPM: 2020010262047
Tanggal : 31 juli 2021

REVIEW JURNAL:
A. PENDAHULUAN
Dengan dipergunakannya paradigma (filsafat) positivisme hukum,
khususnya dalam ranah pengembangan ilmu hukum praktis oleh para
penegak hukum, telah menepiskan daya nalar dan hilangnya rasa
kemanusiaan terhadap manusia-manusia yang memiliki persoalan-persoalan
sosial. Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-
ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar
dan menolak nilai kognitif dari suatu filosofis atau metafisik. Dapat pula
dikatakan positivisme ialah aliran yang bependirian bahwa filsafat itu
hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa
positif artinya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh manusia.
Pancasila, baik sebagai cita hukum (rechtsidee) maupun cita negara
(staatsidee), tidak mengalami pendistilasian dengan baik oleh pembentuk
undang-undang. Sehingga sebagai suatu philosophische grondslag
(filsafat/filosofi dasar bangsa Indonesia), Pancasila hanya berada dalam
tataran ide dan wacana.
Moeljatno, dalam sebuah makalahnya melontarkan suatu kritik berupa
pertanyaan, yaitu atas dasar atau asas-asas apakah hendaknya hukum pidana
Indonesia dibangun? Frase asas-asas yang dimaksud oleh Moeljatno lebih
mengarah kepada pertanyaan atas ketiadaan landasan falsafah sebagai dasar
pembentuk hukum di Indonesia. Landasan falsafah memiliki arti penting
dalam suatu proses pembentukan hukum. Secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa setiap pengemban hukum selalu bekerja berdasarkan kerangka dasar
umum (general basic framework) dan asumsi yang merupakan pedoman
bagi setiap kegiatan ilmiahnya.
Refleksi kefilsafatan tentang Ilmu Hukum yang lengkap akan
mempersoalkan aspek ontologi, epistemologi dan aspek aksiologi dari Ilmu
Hukum. Hukum yang dibuat harus sesuai atau memperhatikan kesadaran
hukum masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan pidana
hendaknya tidak bersifat individualistik, yang dianut dan ditularkan melalui
kolonialisme, namun kolektif kemasyarakatan, karena hukum merupakan
gejala sosial. Apakah penggunaan Pancasila sebagai suatu paradigma
(filsafat) hukum telah tepat untuk menggeser hegemoni paradigma (filsafat)
positivisme hukum dalam proses pembaharuan hukum pidana di Indonesia?

B. BERKEMBANGNYA PARADIGMA RASIONAL DI INDONESIA


Setelah memperoleh kemerdekaan dari kolonialisme, maka telah terjadi
kesepakatan secara nasional untuk meninggalkan sistem hukum warisan
kolonialisme secara utuh, termasuk semua produk turunannya, sebagaimana
termuat di dalam proklamasi. Namun demikian, kehidupan bernegara pada
saat itu tidak serta merta dapat menggunakan sistem hukum yang sesuai
dengan keinginan bangsa Indonesia. Beberapa penyebab timbulnya
kesulitan-kesulitan tersebut, diantaranya adalah:
1. Perubahan drastis akan menyebabkan kekosongan hukum;
2. Berhasilnya politik penjajahan untuk memarginalkan sistem
hukum yang pernah ada yaitu hukum adat dan hukum Islam
selama masa penjajahan;
3. Minimnya referensi dan/atau kajian-kajian ilmiah yang
dituangkan dalam bentuk tulisan untuk disosialisasikan.
Para ahli-ahli hukum pada masa lalu hingga masa kini sudah seringkali
mempertanyakan tentang perkembangan paradigma rasional yang bersifat
positivistik-legalistik yang masuk ke Indonesia yang selalu dipertentangkan
dengan hukum yang hidup (the living law) di Indonesia. Terhalangnya
hukum asli Indonesia muncul ke permukaan, dibahas oleh beberapa ahli
diantaranya sesuai dengan yang tertulis dalam jurnal ini adalah: Khudzaifah
Dimyati & Kelik Wardiono dalam bukunya yang berjudul: ‘Paradigma
Rasional Dalam Ilmu Hukum. Basis Epistemologis Pure Theory of Law
Hans Kelsen’ dan Bernard Arief Sidharta dalam bukunya yang berjudul:
‘Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi
Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan
Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia’ yang hasilnya memiliki
kemiripan dengan tulisan seperti yang telah diungkapkan di atas. Juga
dideskripsikan oleh R. Soepomo dalam bukunya yang berjudul: ‘Bab-Bab
Tentang Hukum Adat’.
Perubahan hukum yang sesuai dengan cita-cita untuk menggunakan
sistem hukum yang sesuai dengan keinginan bangsa Indonesia, menuntut
perubahan budaya hukum yang mengakar di masyarakat Indonesia.
Perubahan budaya hukum tersebut bukan saja yang ada pada institusi
negara, namun juga perubahan cara pandang masyarakat terhadap geraknya
institusi tersebut. Kaitannya dengan hal tersebut, pengaruh perkembangan
terhadap penghormatan hak asasi manusia dalam taraf internasional turut
mempengaruhi kehidupan bernegara. Pengaruh hubungan-hubungan hukum
yang telah terjadi secara meluas, bahkan melewati batas-batas negara, atau
lebih dikenal dengan istilah globalisasi, pengaruh filsafat hukum dalam
membentuk politik hukum dan sistem hukum suatu negara, dapat pula
dikatakan sebagai salah satu unsur yang mempengaruhi pola pikir dalam
pembentukan hukum.

C. PANCASILA DAN MANUSIA INDONESIA


Cita negara dan tujuan bernegara tiap bangsa adalah sesuatu yang unik
dan khas sehingga tidak pernah sama bagi setiap bangsa. Struktur
ketatanegaraan yang dinegasikan dari tiap cita negara dan tujuan negara
yang berbeda, dengan sendirinya juga akan selalu berbeda bagi setiap
bangsa. Jadi, untuk mencapai tujuan negara sebagai tujuan bersama bangsa
perlu dilakukan pengorganisasian kekuasaan negara yang bertitik tolak dari
cita negara.
Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan dalam konteks Negara
Hukum menjadi sangat penting. Hal tersebut dikarenakan, negara dijalankan
oleh manusia-manusia, dalam praktik sehari-hari, segala tindakan negara
dilakukan oleh manusia-manusia. Maka, jikalau orang yang diberi
kekuasaan dalam negara itu tidak dapat menjalankan kekuasaan dengan jiwa
perikemanusiaan dan keadilan, maka tak akan mungkinlah dicapai suatu
negara hukum. Dengan demikian, setiap corak asas negara hukum yang
dianut suatu negara akan tercermin dalam politik hukum, baik terkait
pembentukan perundangan-undangan pidananya ataupun penegakan
hukumnya.
Pandangan hidup, dalam konteks ke-Indonesia-an adalah Pancasila,
merupakan suatu kesepakatan bersama atau konsensus umum dari mayoritas
masyarakat pada negara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila itu menjadi ruh dari
hukum yang akan dibentuk, sehingga hukum yang berlaku memuat
kesadaran akan bertuhan, memuliakan manusia, mempersatukan beragam
golongan, mengutamakan musyawarah, dan adil. Jimly Asshiddiqie
berpendapat, jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi
kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara
(civil war) atau revolusi dapat terjadi. Secara teoretis, pandangan Jimly
Asshiddiqie tersebut merupakan justifikasi terhadap posisi Pancasila dalam
suatu pengkajian hukum.
Berkaitan dengan penegakan hukum pada ranah hukum pidana, maka
menurut Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa tidak ada artinya hukum
pidana (KUHP) diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak
disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya criminal law reform atau
legal substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan ‘ilmu
pengetahuan’ tentang hukum pidananya (legal/criminal science reform).
Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat
(legal culture reform) dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya
(legal structure reform).
Pancasila memiliki objek kajiannya yaitu manusia Indonesia. Ketika
berbicara mengenai pandangan Pancasila terhadap manusia, maka
hakikatnya tidak akan terlepas dari pendapat Notonagoro yang menjelaskan
bahwa manusia Indonesia adalah makhluk monopluralis, yaitu pertama,
berdasarkan ‘kedudukan kodrat’, manusia Indonesia yang terdiri dari
manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk
Tuhan; kedua, berdasarkan ‘susunan kodrat’ Manusia Indonesia, yang
terdiri dari unsur raga dan unsur jiwa; ketiga, berdasarkan ‘sifat kodratnya’,
manusia Indonesia, yang terdiri dari unsur individual dan unsur sosial.
Titik tolak pandangan hidup bangsa Indonesia adalah keyakinan bahwa
manusia itu diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya; individu dan
kesatuan pergaulan hidupnya (masyarakat) merupakan suatu
kedwitunggalan. Jadi, kebersamaan dengan sesamanya atau pergaulan hidup
itu adalah unsur hakiki dalam eksistensi manusia. Unsur raga, rasa, dan
rasio bersama-sama mewujudkan aspek individualisme dari manusia, dan
unsur rukun mewujudkan aspek sosialitas dari manusia; aspek
individualisme dan aspek sosialitas tersebut merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lainnya.
Asas kerukunan atau ‘rukun’, merupakan alat perlengkapan bagi
manusia, selain ‘raga’, ‘rasa’, dan ‘rasio’, dalam kehidupan berkelompok,
dan tidak sebagai makhluk yang terpisah satu sama lain, dan kemudian,
karena sesuatu hal ingin hidup bersama, berdasarkan Asas Kekeluargaan
yang merupakan inti jiwa dari Pancasila.
Dengan asas kerukunan inilah manusia akan mencapai kebahagiaan
dalam kehidupannya. Kalau manusia Indonesia melihat tujuan hidup
manusia adalah hidup bahagia seperti dibentangkan tadi, maka caranya
mencari jalan untuk sampai hidup bahagia itu, jalan untuk mempergunakan
alat-alat perlengkapan hidupnya sebaik-baiknya, ialah cara musyawarah,
cara mufakat. Cara musyawarah atau mufakat ini sebagai cara memperoleh
kebahagiaan mengandung arti, diakui adanya atau mungkin adanya
perbedaan antara manusia yang hidup berkelompok itu dalam mencari jalan
menuju hidup bahagia.
Mengakui adanya perbedaan ini berarti mengakui adanya perbedaan
dalam kepribadian masing-masing manusia yang berkelompok itu. Dan
dengan tidak menyatakan bahwa salah seorang; jadi pendapat salah seorang
itu akan menguasai (pendapat) orang-orang lainnya, melainkan harus
diadakan muyawarah, mufakat; maka menurut pemikiran Bangsa Indonesia
itu kepribadian individu, tidak saja diakui, tetapi juga dilindungi.

D. METODE PARADIGMA FILSAFAT HUKUM PANCASILA


Konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam suatu
penelitian memainkan peran yang sangat signifikan, agar ilmu hukum
beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan
aktualitasnya.
Keluasan dari cakupan konsep ilmu hukum menyebabkan kesulitan
untuk dipahami. Hal tersebut diperparah dengan perdebatan penggunaan
metodologi yang tak pernah kunjung usai. Pertentangan tersebut bukan
hanya sekedar, apakah living law patut diakui ataukah tidak diakui saja,
namun pada prinsipnya merupakan tarik menarik antara kajian yang
berlandaskan kepada ilmu hukum dan ilmu sosial dalam memandang
hukum. Adanya usaha untuk menjadikan ilmu hukum sebagai kajian yang
bersifat empiris dengan menggunakan analisa statistik dalam pemecahan
masalah. Maka, pendekatan ilmu hukum hendaknya menggunakan metoda
analitis atau positivisme. Dimana dalam menangani ilmu hukum positif ini
kita akan berurusan dengan ilmu yang normatif, artinya ilmu mengenai
kaidah-kaidah bagaimana orang seharusnya berperilaku (das sollen) dalam
masyarakat, bukan bagaimana sebenarnya mereka berperilaku (das sein)
dalam masyarakat.
Ilmu hukum atau dogmatik hukum adalah ilmu yang kegiatan ilmiahnya
mencakup kegiatan menginventarisasi, memaparkan, menginterpretasi dan
mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan hukum positif yang
berlaku dalam suatu masyarakat atau negara tertentu, dengan bersaranakan
konsep-konsep, kategori-kategori, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi, dan
metode-metode yang dibentuk dan dikembangkan khusus untuk melakukan
semua kegiatan tersebut, yang keseluruhan kegiatannya itu diarahkan untuk
mempersiapkan upaya menemukan penyelesaian yuridik terhadap masalah
hukum, baik mikro maupun makro, yang mungkin terjadi di dalam
masyarakat. Sehingga, ilmu hukum secara langsung terarah untuk
menawarkan alternatif penyelesaian yuridik terhadap masalah konkret.
Dalam melakukan pengembanan ilmu hukum, maka harus melalui
kegiatan ilmu hukum, yaitu tahap pemaparan yang berintikan interpretasi
dan tahap sistematisasi terhadap material (bahan-bahan) hukum. Pada tahap
sistematisasi material hukum kemudian dibagi menjadi 3 (tiga) tataran, yaitu
tataran teknis, tataran teleologis, dan sistematisasi eksternal. Dimana pada
sistematisasi eksternal ini memanfaatkan produk berbagai ilmu manusia,
yang dikenal dengan metode interdisipliner atau transdisipliner. Kegiatan
ilmu hukum tersebut di atas dipergunakan untuk menyelesaikan
permasalahan pokok ilmu hukum yang didasarkan kepada objek kajiannya
yaitu fakta kemasyatakatan dan kaidah hukum. Dalam proses, kedua aspek
itu berinteraksi atau harus diinteraksikan.
Karena itu, putusan yang dihasilkan harus dapat ditempatkan dalam
tatanan hukum yang berlaku dan ke dalam tatanan kemasyarakatan yang di
dalamnya tatanan hukum itu merupakan salah satu subsistemnya, disebut
sebagai sistematisasi-eksternal material hukum yang menjadi entry point
bagi pendekatan deskriptif-nomologis dan masukan dari ilmu-ilmu manusia
lainnya khususnya Ekonomi, Sosiologi, Antropologi, Politik dan Sejarah
yang merupakan “ingredients” yang harus diolah menjadi “adonan” bagi
pengembanan ilmu hukum untuk memproduksi proposisi yuridis dan teori
hukum.
Ilmu hukum dalam pengembanannya selalu harus mengacu dan
berintikan rasionalitas-nilai dan rasionalitas-berkaidah tanpa mengabaikan
rasionalitas-efesiensi dan rasionalitas-kewajaran. Dapat dikatakan
sesungguhnya dalam pengembanan ilmu hukum itu sekaligus
mengakomodasikan ke dalam dirinya yaitu sejarah hukum, sosiologi
hukum, antropologi hukum, psikologi hukum dan teori keadilan.

CRITICAL REVIEW:
Tulisan pada pendahuluan secara umum dapat dipahami dan dimengerti
dengan cukup mudah, alur penulisan juga runut berawal dari penjelasan secara
detail mengenai positivisme hukum dan kaitannya dengan pembahasan R-KUHP
Buku I, yang telah digagas mulai dari Seminar Hukum Nasional I Tahun 1963
yang memunculkan R-KUHP versi 1964, hingga dilaksanakan Seminar Hukum
Nasional II tahun 1968, artinya R-KUHP versi 1964 telah berjalan selama 4
(empat) tahun dan masih dalam pembahasan sekitar Buku I R-KUHP. Dan bahkan
hingga saat ini KUHP juga masih terus dibahas dengan adanya RUU KUHP yang
menuai berbagai kontroversi di masyarakat.
Juga disinggung mengenai Pancasila sebagai cita hukum maupun cita negara
tidak mengalami pendistilasian dengan baik oleh pembentuk undang-undang. Ada
baiknya perlu ditambahkan sekilas mengenai Pancasila, seperti dalam tulisan Fais
Yonas Bo’a dalam tulisannya yang berjudul: ‘Pancasila sebagai Sumber Hukum
dalam Sistem Hukum Nasional’ yang diterbitkan dalam Jurnal Konstitusi, Volume
15, Nomor 1, Maret 2018, halaman 30-31 yang menyebutkan: “Pada Sidang
Pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) 1 Juni
19454, untuk pertama kalinya Soekarno memperkenalkan dasar negara Indonesia
yang kelak merdeka yang disebut Pancasila. Soekarno menyebutnya sebagai
filosofishe gronslag atau pandangan hidup bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Pancasila memiliki dua kepentingan yaitu: pertama,
Pancasila diharapkan senantiasa menjadi pedoman dan petunjuk dalam menjalani
keseharian hidup manusia Indonesia baik dalam berkeluarga, bermasyarakat
maupun berbangsa. Kedua, Pancasila diharapkan sebagai dasar negara sehingga
suatu kewajiban bahwa dalam segala tatanan kenegaraan entah itu dalam hukum,
politik, ekonomi maupun sosial masyarakat harus berdasarkan dan bertujuan pada
Pancasila. Apabila dicermati, Pancasila sebenarnya bukanlah hasil konstruksi baru
pemikiran Soekarno melainkan kenyataan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia
yang telah lama berTuhan, beradad, berkekeluargaan, bermusyawarah untuk
mufakat dan berkeadilan. Untuk itu, tidak mengherankan jika Soekarno
menegaskan Ia bukanlah penemu Pancasila tetapi hanyalah sebagai salah satu
penggali Pancasila.” Dengan demikian pembaca dapat lebih baik dalam
memahami dan mendapat gambaran mengenai pendahuluan dalam jurnal tersebut.
Dalam bab Berkembangnya Paradigma Rasional di Indonesia, menurut hemat
saya, perlu ditambahkan bahwa dalam paradigma rasional dalam pembangunan
hukum di Indonesia, ternyata tidak seluruhnya memberikan hasil yang baik dalam
kehidupan berhukum di Indonesia, berbagai kritik pun acapkali mencuat
kepermukaan, yang kemudian diikuti dengan berbagai ide “baru” sebagai
alternatif perbaikannya.
Hal ini antara lain terlihat dari pendapat Satjipto Rahardjo dalam tulisannya
yang berjudul: ‘Beberapa Catatan Mengenai Pengembangan Konsep dan
Kerangka Teoretik Hukum’ yang diterbitkan dalam Majalah Ilmiah Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, No.6 - 1983, yang menyarankan agar ilmuwan
hukum seharusnya memiliki kemampuan untuk melakukan “theory building yang
khas Indonesia, serta tipe penegakan hukum yang progresif.
Pada bagian lain Shidarta dalam bukunya yang berjudul: ‘Karakteristik
Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan’ yang memadukan antara
pemikiran madzhab hukum sejarah (volksgeist), yang ter-saneer oleh cita hukum
Indonesia, dengan kebiasan-kebiasaan yang terus berkembang, serta mendasarkan
pada logika formal konstruktivisme kritis dan hermeneutik, melakukan kritik
terhadap model penalaran yang didasarkan pada madzhab positivistik, dan sebagai
alternatifnya menawarkan sebuah model penalaran hukum yang diharapkan sesuai
dengan keadaan di Indonesia.
Munculnya kritik terhadap paradigma rasional dalam ilmu hukum ini, tidak
dapat dilepaskan dari adanya kritik terhadap paradigma Galilean yang didukung
oleh para ilmuan dan filosof dari madzhab positivisme dalam ilmu sosial. Dengan
demikian semakin lengkap dalam jurnal tersebut bahwa terdapat pertentangan-
pertentangan mengenai paradigma rasional di Indonesia.
Dalam bab Pancasila dan Manusia Indonesia telah jelas disebutkan bahwa
Pancasila merupakan suatu kesepakatan bersama atau konsensus umum dari
mayoritas masyarakat pada negara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila itu menjadi ruh
dari hukum yang akan dibentuk, sehingga hukum yang berlaku memuat kesadaran
akan bertuhan, memuliakan manusia, mempersatukan beragam golongan,
mengutamakan musyawarah, dan adil. Asas kerukunan dan asas kekeluargaan
merupakan inti jiwa dari Pancasila, namun alangkah baiknya apabila asas gotong
royong juga turut disertakan dalam jurnal tersebut, karena asas gotong royong
juga merupakan roh dan penyatuan atas lima nilai, yaitu: nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan, dan nilai keadilan sosial.
Sebagaimana yang ditulis oleh Fokky Fuad dalam tulisannya yang berjudul:
‘Filsafat Hukum Pancasila: Antara Cita Ideal Hukum dan Nilai Praksis’ yang
diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, Volume 13, Nomor 1,
berikut ringkasan mengenai asas gotong royong tersebut: “Jika Pancasila menjadi
sumber dari segala sumber hukum, maka Pancasila ditempatkan sebagai landas
etik dari hukum. Pancasila tergali dari beragam nilai budaya bangsa dan kemudian
menjadi bahan dasar pembentuk hukum yang ideal. Pancasila mengandung lima
sila sebagai landasan falsafah bangsa Indonesia, yang terdiri atas lima nilai, yaitu:
nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan, dan
nilai keadilan sosial. Jika kesemua nilai menyatu menjadi sebuah nilai utama yaitu
gotong-royong. Hukum yang tercipta akan diartikan sebagai hukum gotong-
royong, sebuah hukum yang membangun segenap komponen bangsa dalam
sebuah kerjasama tradisional berupa gotong-royong.
Gotong-royong bermakna adanya kebersamaan dan sikap saling tolong-
menolong diantara individu dalam masyarakatnya. Manusia memahami bahwa
dirinya tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, manusia akan selalu
hidup bersama dengan manusia yang lain. Ketika ia menyadari bahwa dirinya
tidak dapat hidup sendiri dan bergantung pada orang lain, maka ia wajib menjalin
hubungan baik dengan sesamanya. Dalam berbuat ia berbuat bersama dengan
orang lain terdorong oleh jiwa yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Hukum yang terbentuk tentunya mencerminkan nilai-nilai gotong-royong yang
telah dianut selama berabad-abad ini. Hukum yang bersumber dari Pancasila
tentunya secara logis mengutamakan sifat komunal dibandingkan sifat individual.
Penciptaan hukum bertujuan untuk melindungi masyarakat luas dan bukan
mengutamakan kepentingan individu. Jika kepentingan individu diutamakan maka
nilai itu bertentangan dengan landasan etik hukum Pancasila yaitu gotong-royong.
Hukum yang tercipta menjadi gugur, ketika ia bertentangan dengan landas etik
utamanya. Nilai-nilai komunal berupa kebersamaan yang kuat bermuara pada
sebuah perasaan yang sama sederajat pada sesama.” Dengan adanya penambahan
asas gotong royong yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia
diharapkan semakin memperjelas isi tulisan mengenai Pancasila dan Manusia
Indonesia.
Dalam bab Metode Paradigma Filsafat Hukum Pancasila disebutkan bahwa
dalam menangani ilmu hukum positif ini kita akan berurusan dengan ilmu yang
normatif, artinya ilmu mengenai kaidah-kaidah bagaimana orang seharusnya
berperilaku (das sollen) dalam masyarakat, bukan bagaimana sebenarnya mereka
berperilaku (das sein) dalam masyarakat. Dengan demikian alangkah baiknya
apabila turut disertakan pendekatan-pendekatan yang diigunakan dalam metode
penulisan hukum normatif, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis
terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-
undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan
penelitian hukum.
Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian
ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari
segi normatifnya. Pada umumnya pendekatan masalah yang digunakan dalam
penulisan Penelitian hukum normatif adalah terdiri dari 5 (lima) pendekatan yakni
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
Kasus (case approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan penelitian
yang mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan
sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. Pendekatan perundang-
undangan (statute approach) biasanya di gunakan untuk meneliti peraturan
perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau
malah menyuburkan praktek penyimpangan baik dalam tataran teknis atau dalam
pelaksanaannya dilapangan. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua
peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu
hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya
dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-Undang
Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan
Undang-Undang yang lain.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan jenis pendekatan
dalam penelitian hukum yang memberikan sudut pandang analisa penyelesaian
permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari aspek konsep-konsep hukum
yang melatarbelakanginya, atau bahkan dapat dilihat dari nilai-nilai yang
terkandung dalam penormaan sebuah peraturan kaitannya dengan konsep-konsep
yang digunakan. Sebagian besar jenis pendekatan ini dipakai untuk memahami
konsep-konsep yang berkaitan dengan penormaan dalam suatu perundang-
undangan apakah telah sesuai dengan ruh yang terkandung dalam konsep-konsep
hukum yang mendasarinya. Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini
menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang
dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum
ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan
memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep
hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.
Pendekatan historis (historical approach) adalah pendekatan yang digunakan
untuk mengetahui nilai-nilai sejarah yang menjadi latar belakang serta yang
berpengaruh terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah peraturan
perundang-undangan. Pendekatan historis (historical approach) ini banyak
digunakan untuk meneliti dan menelaah tentang sejarah kaitannya dengan
pembahasan yang menjadi topik dalam pembahasan dalam penelitian hukum.
Biasanya peneliti menginginkan kebenaran tidak hanya berdasar pada kebenaran
yang bersifat dogmatik, akan tetapi menginginkan kebenaran yang bersifat
kesejarahan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan
ini dilakukan dalam kerangka untuk memahami filosofi aturan hukum dari waktu
ke waktu, serta memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi
aturan hukum tersebut. Cara pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar
belakang dan perkembangan pengaturan mengenai isu hukum yang dihadapi.
Pendekatan Kasus (case approach) adalah salah satu jenis pendekatan dalam
penelitian hukum normatif yang peneliti mencoba membangun argumentasi
hukum dalam perspektif kasus konkrit yang terjadi dilapangan, tentunya kasus
tersebut erat kaitannya dengan kasus atau peristiwa hukum yang terjadi di
lapangan. Untuk itu biasanya jenis pendekatan ini tujuannya adalah untuk mencari
nilai kebenaran serta jalan keluar terbaik terhadap peristiwa hukum yang terjadi
sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Pendekatan ini dilakukan dengan
melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang
dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap
putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan
sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum
yang dihadapi.
Pendekatan perbandingan (comparative approach) merupakan jenis
pendekatan yang peneliti mencoba untuk membandingkan baik dengan negara-
negara lain maupun dengan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam satu
negara. Untuk itu dalam penelitian ini dikenal dengan 2 Pendekatan perbandingan
(comparative approach), yakni pendekatan perbandingan makro (macro
comparative approach) serta pendekatan perbandingan mikro (micro comparative
approach). Pendekatan perbandingan makro (macro comparative approach)
digunakan untuk membandingkan suatu kejadian atau peristiwa hukum yang
terjadi diberbagai negara, sedangkan pendekatan perbandingan mikro (micro
comparative approach) hanya membandingkan dalam suatu negara tertentu dalam
periode waktu tertentu.

KESIMPULAN REVIEW:
Penggunaan bahasa dan analisis yang dilakukan oleh penulis mudah
dipahami, penulisan yang runut dan dapat mengarahkan pembacanya ke arah
kesimpulan yang didapat oleh penulis. Teori dan model analisis yang digunakan
oleh penulis sudah tepat sehingga dapat membuat pembaca dengan mudah
menemukan alur yang diinginkan oleh penulis. Abstrak ditulis cukup menyeluruh,
juga mudah dipahami oleh pembaca. Penulis cukup detail dalam memberikan
hasil pemikirannya dalam melakukan penulisan jurnal ini.
Jurnal Paradigma Filsafat Positivisme Hukum di Indonesia secara garis besar
dapat dipahami dan dimengerti, namun ada beberapa hal pada setiap bab
penulisan yang dapat ditingkatkan sesuai seperti yang disebutkan dalam critical
review di atas.

Anda mungkin juga menyukai