Anda di halaman 1dari 22

FILOSOFIS KEKUASAAN DALAM NEGARA HUKUM DI

INDONESIA BERDASARKAN ASPEK ONTOLOGI,


EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI

Disusun Sebagai Tugas Filsafat Hukum

Yang Diampu Oleh : Prof. Dr. H. Gunarto, SH, SE, Akt., M.Hum

Disusun oleh :

MARGO LELONO, SH
NIM. 20302100056

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul : Filosofis Kekuasaan Dalam
Negara Hukum Di Indonesia Berdasarkan Aspek Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi ”
ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Filsafat Hukum. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang 
Filosofis Kekuasaan Dalam Negara Hukum Di Indonesia Berdasarkan Aspek Ontologi,
Epistemologi Dan Aksiologi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pengajar selaku dosen yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
Penulis tekuni. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari,
makalah yang Penulis tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan Penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Wonosobo, Oktober 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ide tentang “Negara Hukum” telah muncul dalam bentuk yang bervariasi dalam
sistem hukum yang berbeda-beda. Secara historis, ada dua istilah atau konsep yang
sangat berpengaruh di dunia terkait ide negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu
konsep “rechtsstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental (abad XIX) dan konsep
“rule of law” yang berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Kedua konsep tersebut
berkaitan dengan tipologi negara dipandang dari segi hubungan antara negara
(pemerintah) sebagai pihak yang memerintah atau yang mengusai dan warga negara
sebagai pihak yang diperintah atau yang dikuasai.
Konsep rechtsstaat yang bertumpu pada sistem civil law lahir dari suatu perjuangan
panjang menentang absolutisme kekuasaan negara (machtstaat), sedangkan konsep rule
of law bertumpu pada sistem common law yang bersifat memutus perkara yang
didelegasikan kepada hakim berdasarkan hukum kebiasaan di Inggris (common custom of
England). Meskipun, antara konsep rechtsstaat dan rule of law mempunyai perbedaan
latar belakang historis, tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan
atas hak-hak kebebasan sipil warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-
wenang kekuasaan negara.1
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang mana telah disepakati dan
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945). “Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum
lahir dan berkembang dalam situasi dan kesejarahan.”Oleh karena itu, meskipun konsep
negara hukum dianggap sebagai konsep universal, tetapi pada dataran implementasi
ternyata memiliki karakteristik beragam. Hal ini karena pengaruh-pengaruh situasi
kesejarahan tadi, di samping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara dan lain –lain.2”
“Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model
seperti negara hukum menurut Al-Qura’an dan Sunah atau nomokrasi Islam, negara
hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtstat, negara hukum
menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara

1
A. Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans, Malang, 2003,
hlm. 8-9.
2
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2016), hlm. 1.
hukum Pancasila.3” Melihat jauh kebelakang, ide dasar mengenai konsep negara hukum
Indonesia sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945,
tentu saja tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Pancasila sebagai dasar negara dan
sumber dari segala sumber hukum dan jiwa bangsa Indonesia. 4
Tulisan singkat ini secara filosofis mendiskusikan tentang negara hukum Indonesia
serta kekuasaan dalam konteks negara hukum ditinjau dari aspek ontologis (mengenai
hakikat dan sumber kekuasaan), aspek epistemologis (tentang rule of law sebagai cara
atau metode untuk membatasi kekuasaan), dan dari aspek aksiologis (mengenai
pandangan kaum idealis dan empiris tentang hubungan hukum dan kekuasaan).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis dapat merumuskan perumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep negara hukum di Indonesia?
2. Bagaimana hakikat kekuasaan dalam konteks negara hukum ditinjau dari aspek
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis?
C. Tujuan Penulisan
Bertitik tolak dari paparan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana
diuraikan dan dikemukakan di atas, tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis :
1) Untuk mengetahui konsep negara hukum di Indonesia.
2) Guna mengetahui hakikat kekuasaan dalam konteks negara hukum ditinjau dari
aspek Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis.
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan

yang ingin dicapai, diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis
Hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bernilai ilmiah
bagi pengembangan khazanah ilmu pengetahuan tentang keadilan yang benar dalam
perspektif filsafat ilmu hukum .
2. Manfaat Praktis

3
Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.63.
4
Yopi Gunawan & Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum Pancasila,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2015), hlm.82.
Secara praktis hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengetahuan
kepada para pembaca pada umumnya mengenai bagaimana fungsi moral dalam
mewujudkan keadilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Konsep Negara Hukum

Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan


menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep
negara hukum dikembangkan dengan sebutan “The Rule of Law” yang dipelopori oleh A.V.
Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie)
yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.5
Konsep negara hukum yang disebut A.V. Dicey dan Stahl dapat dikatakan sebagai
konsep negara hukum generasi pertama yang menjadi pemikiran ahli hukum pada abad ke 19.
Konsepsi negara hukum berdasarkan design yang dirancang dua ahli di atas telah melahirkan
negara hukum formil, dimana peranan pemerintah sangat sedikit dan sempit dalam
menjalankan pemerintahan. Sempitnya peranan pemerintah tidak hanya dibidang politik,
tetapi juga dibidang ekonomi yang dijalankan berdasarkan dalil laissez faire (keadaan
ekonomi negara akan sehat jika setiap manusia dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya
masing-masing. Dari sisi politik ekonomi, tugas negara adalah melindungi kedudukan
ekonomi kelompok yang menguasai alat-alat produksi dan pemerintah).
Berangkat dari berbagai dampak negatif yang timbul dari penerapan konsep negara
hukum formil yang hanya melindungi kepentingan sekelompok orang dalam sebuah negara
saja, maka pemikir-pemikir hukum abad dua puluh, akhirnya memikir ulang tentang konsep
negara ini. Pemikiran negara hukum abad 19 mulai digugat. Salah satunya disampaikan oleh
Wolfgang Friedman. Ia menyatakan bahwa dalam konsep negara hukum itu, keadilan tidak
serta-merta akan terwujudkan secara substantif.4 Salah satu penyebabnya bahwa prinsip
negara hukum cenderung memperkecil peranan negara dalam mengurus masalah sosial
ekonomi. Prinsip bahwa pemerintahan dilarang campur tangan dalam urusan sosial ekonomi
warga negara yang dianut konsep negara hukum formil bergeser ke arah sebuah gagasan
baru. Gagasan tersebut adalah pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks ini, Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil atau
Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materil atau Negara Hukum Modern. Negara
Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam
arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan Negara Hukum Materil mencakup
5
https://pusdik.mkri.id/uploadedfiles/materi/Materi_2.pdf
pula pengertian keadilan di dalamnya. Gugatan terhadap konsep negara hukum formil inilah
kemudian yang melahirkan konsep negara hukum materil yang merupakan generasi kedua
dari konsep negara hukum, sebagai konsepsi negara hukum abad 20. Dimana dalam konsep
ini, negara hukum yang demokratis mesti juga mencakup dimensi ekonomi dalam rangka
mensejahterakan rakyat. Dimensi negara hukum materil ini ditujukan untuk memperkecil
disparitas ekonomi melalui intervensi pemerintah dalam mendistribusikan kekayaan negara.
Dengan adanya perkembangan konsep negara hukum dari konsep negara hukum formil
pada abad 19 menuju konsep negara hukum meteril pada abad 20 dan 21, maka konsep
negara juga tidak saja untuk sekedar membatasi kekuasaan negara saja, melain juga untuk
mengawal pemerintahan negara agar melaksanakan kewajibannya untuk mensejahterakan
rakyat. Agar kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyat dapatdipenuhi, maka negara
tersebut juga harus kuat. Dalam arti, tidak berada di bawah intervensi dari kekuasaan apapun
yang tidak menghendaki keberpihakan negara pada pencapaian kesejahteraan rakyatnya.

BAB III
PEMBAHASAN

1. Konsep Negara Hukum Indonesia Yang Prismatik


Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan pemerintah harus
mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada dasar legalitasnya, baik berdasarkan hukum
tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum dalam hal ini menjadi faktor penentu bagi
keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, politik di suatu negara. 6 Dalam
lapangan administrasi negara, dikenal asas tindakan pemerintah berdasarkan atas hukum
“wet matigheid van bestuur”. Keabsahan negara memerintah berdasarkan konsepsi
kenegaraan, karena negara memiliki kekuasaan atau kedaulatan tertingi lembaga yang
tidak memihak (netral), tidak berpihak, berdiri diatas semua golongan masyarakat dan
abdi pada kepentingan umum.7
Secara Teoretis suatu negara baru dapat disebut negara hukum jika dalam negara
tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut :8
a) Dalam negara hukum, pemerintahan berdasarkan undang-undang (asas legalitas)
dimana kekuasaan atau wewenang yang dimiliki pemeritah itu hanya semata-mata
ditentukan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) dan Undang-Undang (UU);
b) Dalam negara, hak-hak manusia diakui dan dihormati oleh penguasa;
c) Kekuasaan pemerintahan dalam negara tidak dipusatkan dalam satu tangan, tetapi
harus dibagi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu melakukan
pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu keseimbangan antarlembaga
negara; dan
d) Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan dimungkinkan untuk
diajukan ke peradilan yang tidak memihak yang diberi wewenang menilai tindakan
atau perbuatan pemerintah.
Istilah negara hukum merupakan terjemahan dari the rule of law maupun rechstaat.
Keduanya memiliki karakter dan perbedaan sendiri-sendiri, hal tersebut dilihat dari latar
belakang belakangnya. Rechstaat berkembang dari pemikiran dalam sistem hukum
continental, sedangkan the rule of law berkembang dari sistem hukum anglo saxon.
Kedua system tersebut seakan membedakan system dunia dalam dua kubu yang mana
Rechstaat mengedepankan kepastiam hukum, sedangkan mengedepankan keadilan.

6
Jimly Assiddiqie, Mahakamah Konstitusi dan Cita Negara Hukum Indonesia, Orasi Ilmiah Dies Natalis
Fak. Hukum Unand, 6 September 2004.
7
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Raja Grafindo, 2007), hlm. 1
8
Ibid, hlm. 59
C.F. Marbun9 menguraikan unsur-unsur the rule of law menurut A.V. Dicey
sebagai berikut :
1) Supremasi aturan-aturan hukum (the absolute supremacy or predominance of law);
2) Kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law or the equal
subjection of all classes to the ordinarylaw of the land administrated by ordinary
law courts); dan
3) Adanya jaminan hak terhadap hak-hak asasi manusia (a formulating expressing that
fact that with us the law constitution, the rules wich in foreign countries naturally
form parts of a constitutional code, are not the source but the consequence of the
individuals as defined and enforce by the countries).
Pandangan dan pemikiran dari Dicey kemudian yang berpengaruh di negara-negara
yang menganut system hukum anglo saxon. Sistem hukum Anglo Saxon memosisikan
bahwa semua orang dipandang sama (equal) dihadapan hukum, maksudnya yaitu bahwa
siapapun yang bersalah di hadapan hukum harus diadili oleh pengadilan yang sama
(ordinary court). Peradilan yang sama untuk semua warga tanpa membedakan
kedudukan orang di lapangan pemerintahan yang akhirnya melahirkan pemikiran yang
dikenal dengan common law system.
Sistem hukum continental yang muncul dari pandangan Friedrich Julius Stahl
berwatak revolusioner dengan karakter adminitratif yang dipengaruhi oleh latar belakang
pemikiran tentang kekuasaan raja di Roma dan Eropa Barat. Dalam system ini raja
sering mengeluarkan dekrit yang akhirnya berubah pada kekuasaan para menteri. Oleh
karena itu, kekuasaan para menteri atas nama raja perlu dikontrol atau diawasi agar tidak
muncul kesewenang-wenangan (abus of power).
Untuk melakukan control tersebut, akhirnya lahirlah suatu pemikiran bahwa
perlunya peradilan tersendiri yang dikenal dengan peradilan Adinistrasi Negara
(administrative judiciary) Pandangan F.J. Stahl dikutip oleh Oemar Seno Adji,
mengemukakan unsur-unsur rechsstaat adalah sebagai berikut :
1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
2) Pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak asasi
manusia;
3) Pemerintahan berdasarkan peraturan; dan
4) Adanya peradilan administrasi.
Pemikiran negara hukum dengan system continental ini yang mempengaruhi
system hukum di Indonesia, karena latar belakang sejarah Indonesia yang pernah dijajah

9
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasif di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
Cetakan Kedua, 2003), hlm.7-8
Belanda, sedangkan Belanda menganut system hukum continental, yang dikenal juga
dengan negara Hukum Roma Modern. Unsur-unsur yang terdapat pada kedua tipe
negara hukum tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan.
Persamaan pokok antara the rule of law dan rechtsstaat adalah sama-sama
memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Adapun
perbedaan utama kedua tipe negara hukum tersebut adalah terletak pada Anglo Saxon
penekanan pada prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) yang
lebih diutamakan sehingga tidak perlu menyediakan peradilan khusus untuk pejabat
administrasi. Prinsip equality before the law pada negara hukum tipe Anglo Saxon
menghendaki agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara
harus juga tercermin dalam lapangan penyelenggaraan administrasi negara.
Perbedaan antara kedua tipe negara hukum tersebut adalah terdapatnya unsur
peradilan administrasi negara pada negara hukum tipe continental (rechsstaat).
Eksistensi Peradilan Administrasi Negara dalam tipe negara hukum continental tersebut
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap
sikap pemerintah yang melanggar hukum (onrechtsmatig overheidsdaad) ataupun
melanggar asas-asas pemerintahan yang baik, kecuali peradilan administrasi memberikan
perlindungan hukum yang sama kepada administrasi negara agar tidak bertindak sesuai
dengan hukum (rechtmatigheid). Dalam hal ini, rechsstaat memosisikan perlindungan
yang sama antara warga masyarakat dengan pejabat administrasi.
Berbicara mengenai negara hukum di Indonesia , maka tidak bisa dikatakan bahwa
Indonesia dikatakana menganut secara penuh rechsstaat, namun ada beberapa bagian
yang mengadopsi dari the rule of law. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas mengatur bahwa Negara Indonesia adalah
negara hukum. Konstruksi UUD NRI 1945 sekarang telah terjadi pergeseran pengaturan
negara hukum, di mana sebelum amandemen UUD 1945 konsepsi negara hukum
ditegaskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 dengan kalimat “Indonesia adalah
negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat).
Jadi, tipe negara hukum ini menganut paham positivistik legalistic. Adapun negara
hukum tipe Anglo Saxon mengutamakan keadilan yan mana sumber utama hukumnya
adalah yirisprudensi yang digali oleh hakim melalui hukum yang hidup di masyarakat.
Indonesia merupakan negara hukum yang mendasarkan pada Pancasila. Pancasila
menjiwai seluruh kehidupan negara hukum di Indonesia, hal ini dikarenakan karena
Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia dan filsafat itu merupakan pemikiran
yang meliputi “de zein van wereld en leven” (makna dari dunia dan kehidupan) serta
dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia harus berpangkal pada
Pancasila.10Hukum Nasional Indonesia haruslah satu atau jalin-menjalin dengan cita-cita
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.11
Mahfud MD menyatakan bahwa konsep negara hukum Pancasila merupakan
konsep negara hukum yang prismatik. Konsep Prismatik diartikan sebagai konsep
penggabungan unsur-unsur yang terdapat dalam berbagai konsep negara hukum (the rule
of law maupun rechtstaat) yang berbeda ke dalam satu konsep yang menyatu (negara
hukum Indonesia yang implementasinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan
zaman.12 Konsep Prismatik dalam negara hukum pancasila ini memadukan unsur
kepastian hukum yang terdapat dalam rechstaat dan unsur keadilan yang terdapat dalam
the Rule of Law.
2. Hakikat Kekuasaan Dalam Konteks Negara Hukum Ditinjau dari Aspek Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis.
a. Aspek Ontologi: Hakikat dan Sumber Kekuasaan
Istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht (dalam bahasa
Belanda) dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis). Dalam Black’s Law
Dictionary, istilah kekuasaan (power) berarti: “The right, ability, authority, or
faculty of doing something. . . . A power is an ability on the part of a person to
produce a change in a given legal relation by doing or not doing a given act”.13
Istilah kekuasaan berbeda maknanya dengan kewenangan. Dalam literatur
berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang disebut authority atau
competence, sedang dalam bahasa Belanda disebut gezag atau bevoegdheid.
Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau
kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubungan-hubungan hukum.14

10
ibid, hlm.82.
11
Lihat Aang Achmad, Aspek Hukum Perdata dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia (Tinjauan
Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia Berdasarkan Hukum Pidana Positif dan Pemanfaatan Hukum
Perdata terhadap Pengembalian Kerugian Negara Hasil Korupsi dalam Kasus BLBI), Disertasi, (Bandung:
Universitas Katholik Parahyangan, 2010), hlm. 283.
12
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Press,
2011), hlm. 24-27.
13
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th ed., West Publishing Co., St. Paul Minn., 1990,
page. 1169.
14
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997, hlm. 153.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, kekuasaan secara sosiologis adalah
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang
kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa. Sedangkan, kewenangan
adalah kekuasaan yang diformalkan (secara hukum) baik terhadap segolongan orang
tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu.
Apakah hakikat kekuasaan (power) itu? Apakah kekuasaan itu identik dengan
kekuatan (force)? Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering bersumber dari wewenang
formal (formal authority) yang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada
seseorang dalam suatu bidang tertentu.
Hal ini berarti kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-
ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi. Mengingat bahwa
hukum itu memerlukan paksaan bagi penaatan ketentuan-ketentuannya, maka dapat
dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi penegakannya. Tanpa
kekuasaan, hukum itu tak lain akan merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran
belaka.
Hubungan hukum dan kekuasaan dalam masyarakat, oleh Mochtar
Kusumaatmadja digambarkan sebagai berikut: “hukum memerlukan kekuasaan bagi
pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh
hukum. Secara populer, kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam slogan
bahwa: “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum
adalah kelaliman”.15 Secara analitik dapatlah dikatakan bahwa kekuasaan merupakan
suatu fungsi dari masyarakat yang teratur. Kekuatan fisik (force) dan wewenang
resmi (formal authority) merupakan dua sumber kekuasaan.
Persoalannya, apakah kekuasaan itu adalah wewenang dan kekuatan fisik?
Tidak, wewenang formal dan kekuatan fisik bukan satu-satunya sumber kekuasaan.
Memang dalam kenyataan, orang yang memiliki pengaruh politik atau keagamaan
dapat lebih berkuasa dari pada orang yang berwenang atau memiliki kekuatan fisik.
Kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber
kekuasaan yang penting, sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu kejujuran,
moral yang tinggi dan pengetahuan pun tak dapat diabaikan sebagai sumber-sumber
kekuasaan.

15
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Binacipta, Jakarta, t.t., hlm. 4-5.
Jadi, kekuasaan adalah fenomena yang beraneka ragam bentuknya dan banyak
macam sumbernya. Hanya, pada hakekatnya kekuasaan itu tetap sama, yaitu
kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain.
b. Aspek Epistemologi: Rule of Law Sebagai Cara Membatasi Kekuasaan
Menurut pengamatan sejarah, kekuasaan itu mempunyai suatu sifat yang
khas, yakni ia cenderung untuk merangsang bagi yang memilikinya untuk lebih
berkuasa lagi. Kekuasaan haus akan lebih banyak lagi kekuasan.16 Dalam kaitannya
dengan kekuasaan (power), Lord Acton telah memperingatkan bahwa: “Power tends
to corrupt; and absolute power tends to corrupt absolutly” (Semakin besar
kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk disalahgunakan).17
Karena itu, dalam konsep negara hukum, sumber untuk memperoleh dan
menggunakan kekuasaan serta batas-batasnya harus secara jelas diatur dan
dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan. Inilah esensi
kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule of law; rechtsstaat). Oleh karena itu,
dalam perspektif sosiologis, ide rule of law mengandung makna bahwa otoritas
harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan dengan cara-
cara hukum.18
Secara epistemologis, baik atau buruknya kekuasaan itu sendiri sangat
tergantung dari bagaimana cara menggunakan kekuasaan. Artinya, baik buruknya
kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu
tujuan yang sudah ditentukan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting
dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak
masyarakat.
Mengingat sifat dan hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap
orang dengan begitu saja dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu.
Seorang pemegang kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi kepentingan
umum (sense of public service). Sebaliknya, mengenai sikap orang yang dikuasai, di
satu pihak ia mempunyai kewajiban tunduk pada penguasa (the duty of civil
obedience), tetapi di pihak lain ia pun harus sadar akan haknya untuk memperoleh
perlindungan hukum terhadap diri19 dan harta bendanya. Yang dimaksud “penguasa”

16
Ibid., h. 6.
17
file:///C:/Users/Doni%20Hernawan/Downloads/filsafat%20hukum.pdf
18
A.A.G. Peters dan Koesriani S., Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1990, h. 52.
19
Ibid., hlm. 7.
dalam hal ini tidak lain adalah pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintahan
dalam suatu negara.
Adapun tugas “penguasa” menurut van Apeldoorn, dibagi dalam empat
bidang perundang-undangan, peradilan, polisi, dan pemerintahan. Tugas penguasa di
bidang perundang-undangan adalah membentuk undang-undang dalam arti materiil,
yakni menentukan peraturan-peraturan yang umum mengikat. Di bidang peradilan,
menetapkan hukum dalam hal-hal yang konkrit.
Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law), maka hukum
ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahannya (supremasi hukum). Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedaulatan
hukum” yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan
guiding principle bagi segala aktivitas organ-organ negara, pemerintahan, pejabat-
pejabat beserta rakyatnya. Pemerintahan yang berdasarkan hukum merupakan
pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum dan tidak berdasarkan kepada
kemauan manusianya.
Kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam konteks rule of law oleh Roberto
M. Unger didefinisikan lewat gagasan tentang sifat netral (neutrality), seragam
(uniformity), dan dapat diprediksikan (predictability). Penggunaan kekuasaan
pemerintah harus berlangsung di dalam batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi
cukup banyak kategori orang dan tindakan. 20 Segenap peraturan ini, apapun
bentuknya, harus diberlakukan secara seragam. Kehendak pembuat undang-undang
(lawgiver) harus diwujudkan lewat peraturan-peraturan umum.
Pembuat undang-undang (legislator) tidak dapat menghukum ataupun
memihak individu-individu tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari
melakukan kontrol personal secara langsung. Pelaksana undang-undang
(administrator) berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-aturan yang
ditentukan, dan aturan-aturan ini bukan dia yang membuatnya.
Maka, berdasarkan pemikiran ini, pelaksana undang-undang terhindar dari
upaya penggunaan kekuasaan publik untuk mencapai tujuan pribadi. Sebab, untuk
bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang harus ada orang
lain dengan kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, dan dalam

20
Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusamedia,
Bandung, 2007, hlm. 234.
pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda dengan metode administratif.
Pejabat ini adalah hakim (judge).21
Jika pelaksana hukum juga merangkap sebagai hakim, maka mungkin saja
makna aturan-aturan hukum yang wajib dilaksanakannya malah “dipelintir”
sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan-tujuan pribadinya. Selain itu, bisa pula
timbul kekacauan dalam metode administratif dan metode peradilan, sebab masing-
masing metode memiliki keutamaan sendiri dan tidak bisa diabaikan demi
penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya.
Supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada
tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum juga
disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan (separation of power), di
samping peradilan yang bebas, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan
supremasi hukum.
Pada abad ke-17 dan 18, pandangan John Locke mengenai hak-hak asasi
manusia dan asas pemisahan kekuasaan semakin diperkuat oleh pemikiran
Montesquieu yang menghendaki pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke dalam
organ legislatif, eksekutif dan yudisial, serta pemikiran J.J. Rousseau tentang paham
“kedaulatan rakyat”.
Asas pemisahan kekuasaan dan paham kedaulatan rakyat dari ketiga ahli
pikir tersebut boleh dikatakan sangat besar pengaruhnya terhadap berdirinya negara-
negara modern di Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon pada abad ke-17 sampai ke-
19, tentu saja perjuangan politik yang panjang dan revolusi kerakyatan berdasarkan
paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang kemudian dituangkan dalam
konstitusi negara-negara hasil dari revolusi tersebut.22
Terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, baik John Locke maupun
Montesquieu sama-sama membagi kekuasaan negara menjadi tiga bidang, tetapi ada
perbedaannya. John Locke mengatakan bahwa kegiatan negara bersumber dari tiga
kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan
eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Sedang
Montesquieu melalui ajaran Trias Politica membelah seluruh kekuasaan negara
secara terpisah-pisah (separation of power; separation du pouvoir) dalam tiga

21
Ibid., hlm. 235.
22
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 45.
bidang (tritochomy), yakni bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.23 Ajaran Trias
Politika didasarkan pada pemikiran bahwa kekuasaan negara harus dipisahkan
(separation of powers) dan tidak boleh berada dalam satu tangan (concentration of
powers).
Berbeda dengan Montesquieu, Hans Kelsen membagi segenap unsur “power”
dalam negara itu dalam dua bidang pokok, yakni: “legislatio” yang meliputi “law
creating function”; dan “legis executio”, yang meliputi: (1) legislative power dan (2)
judicial power.24
Tugas “legis executio” menurut Kelsen bersifat luas, yakni melaksanakan
“the constitution” beserta seluruh undang-undang yang ditetapkan oleh kekuasaan
legislatif. Dengan demikian, ia mencakup selain kekuasaan administratif juga
seluruh “judicial power”. Selanjutnya Kelsen membagi kekuasaan administratif itu
dalam dua bidang, yaitu:
(a) “political function” yang disebutnya “government” dan meliputi tugas
kepolisian; serta
(b) “administrative function” (Verwaltung; Bestuur). Pembagian kekuasaan negara
dalam dua bidang ini disebutnya “dichotomy”.25
Negara Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politika sebagaimana
dikemukakan oleh Montesquieu yang menghendaki adanya pemisahan kekuasaan
(separation of power). Berdasarkan UUD 1945, Negara Indonesia hanya mengenal
sistem “pembagian kekuasaan” (division of powers)26 yang menekankan adanya
pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada pemisahan organ-organnya.
Adapun UUD 1945 menggunakan istilah-istilah yang berasal dari ajaran
Trias Politika dari Montesquieu seperti legislative power, executive power dan
judicial power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa UUD 1945 menganut ajaran
tersebut. Penggunaan peristilahan itu sekedar memberikan penjelasan dan
perbandingan semata mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti
oleh UUD 1945.27
Meskipun Montesquieu hanya membagi dalam tiga cabang kekuasaan, tetapi
dalam praktek ada negara-negara tertentu yang mempunyai lebih dari tiga cabang
23
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi
Negara, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 20.
24
Ibid. hlm. 5
25
Ibid., hlm. 20-21.
26
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 15-16.
27
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelengga-raan
Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 116.
kekuasaan yang dimaksud. Di antaranya adalah Indonesia yang ternyata mempunyai
6 (enam), bahkan lebih, cabang kekuasaan negara yang tercermin dalam lembaga-
lembaga negara yang ada (MPR, DPR, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Presiden). 28 Di samping itu, dalam
amandemen UUD 1945 juga dikenal lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
Komisi Yudisial (KY).
c. Aspek Aksiologi: Pandangan Kaum Idealis dan Empiris tentang Hubungan
Hukum dan Kekuasaan
Pandangan tentang hubungan hukum dan kekuasaan itu sebenarnya tidaklah
tunggal. Antara kaum idealis yang berorientasi pada das sollen dan kaum empiris
yang lebih melihat hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang berbeda.
Namun, kedua pandangan itu sama-sama sependapat bahwa dalam konteks
rechtsstaat atau rule of law (“negara hukum”) seharusnya hukum itu supreme atas
kekuasaan.
Ketika kita melihat teori yang ditawarkan oleh Roscue Pound, bahwa “law as
a tool as social engineering”, maka kita akan melihat bahwa hukum harus
mempengaruhi kehidupan masyarakat. Tetapi, manakala kita mengacu ajaran Von
Savigny, yang mengatakan bahwa “hukum berubah jika masyarakatnya berubah”,
maka hukum semestinya harus mampu mengikuti perkembangan dan memenuhi
tuntutan masyarakat.
Kenyataan-kenyataan di lapangan secara empirik menunjukkan juga betapa
hukum seringkali tidak memiliki otonomi yang kuat, karena energinya lebih lemah
dari pada energi sub-sistem politik, sehingga dapat dilihat bukan hanya materi
hukum itu yang sarat dengan cerminan “konfigurasi kekuasaan”, melainkan juga
penegakannya kerapkali dintervensi oleh kekuasaan, sehingga hukum sebagai
penunjuk atau rel menjadi terabaikan.
Dari kenyataan empirik yang seperti itulah kemudian muncul teori tentang
“hukum sebagai produk politik”, yang menurut Mahfud MD materi hukum itu tidak
lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan
yang kemudian dimenangkan oleh pemegang kekuasaan politik yang dominan atau
kompromi politik antar faksi-faksi yang bersaing.29

28
Bagir Manan, Op. Cit., hlm. 11.
29
Moh. Mahfud MD, “Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokrasi”, dalam Dahlan Thaib dan
Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, FH-UII, Yogyakarta, 1998, hlm. 48.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka bagi orang yang melakukan
telaah tentang hukum akan menemukan minimal dua model yang dapat digunakan
untuk menilai hubungan hukum dan kekuasaan, yaitu: pertama, hukum menentukan
dan mempengaruhi kekuasaan (politik) yang menyertai wawasan negara hukum
yang das sollen; di sini hukum, terutama hukum dasar (konstitusi) menjadi pemberi
batas yang tegas atas lingkup kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Kedua, hukum dipengaruhi, ditentukan, bahkan diintervensi oleh politik (kekuasaan)
seperti yang sering terlihat di dalam kenyataan empirik (das sein); di sini hukum
lebih dijadikan sebagai alat justifikasi (pembenar) atas kehendak-kehendak
pemegang kekuasaan politik yang dominan, sehingga hukum tidak dapat memainkan
perannya sebagai alat kontrol dan penjaga batas kekuasaan.
Dalam kajian ini, tidak perlu dipertentangkan mana yang benar di antara
kedua model ini. Sebab, yang namanya teori biasanya hanya memotret apa yang ada
dan terjadi secara ajeg. Dalam konteks inilah dua model atau pandangan mengenai
hubungan hukum dan kekuasaan dapat diberi tempat. Sehingga kebenarannya
menjadi benar menurut model dan asumsi yang dipergunakan oleh sang analisis;
tinggal model mana yang akan dipergunakan. Idealnya, memang hukum dan
kekuasaan, paling tidak, saling melengkapi. Dalam arti, hukum harus ditegakkan
dengan kekuasaan, agar daya paksanya bisa efektif.
Sebaliknya, kekuasaan harus dijalankan di atas prinsip-prinsip hukum, agar
tidak sewenang-wenang. Dalam konteks inilah bisa dipahami pernyataan, bahwa
“hukum tanpa kekuasaan ibarat burung tanpa sayap” (artinya tak bisa bergerak),
sedang “kekuasaan tanpa hukum ibarat buldozer tanpa rem” (artinya liar dan tanpa
kendali).30 Tetapi, apa yang ideal itu kerapkali tidak realistik, sehingga kerapkali
pula terlihat bahwa kekuasaan menjadi supreme atas hukum.
Dari aspek aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-
mata karena diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui
kekuatan fisik, melainkan sebagaimana yang diajarkan oleh Spinoza terletak dalam
kekuasaan terhadap suara hati manusia. Hukum dapat timbul dari kekuasaan,
termasuk kekuatan fisik, asal saja ia berkembang menjadi kekuasaan susila
(kekuatan moral), yakni kekuasaan yang berkuasa atas suara hati orang.

30
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2005, hlm. 8.
Kekuasaan susila tersebut membentuk hukum, karena ia bercita-citakan
keadilan, artinya bercita-cita memberi pada tiap-tiap orang apa yang menjadi
bagiannya. Mengapa dikatakan “bercita-citakan”, karena keadilan yang sungguh-
sungguh tak dapat dicapai oleh hukum, karena pertama, hukum terpaksa
mengorbankan keadilan sekedarnya untuk mencapai tujuannya (bersifat kompromi),
dan kedua, hukum itu dibuat manusia yang tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui
apa yang adil dan tidak adil secara mutlak. Keadilan, menurut falsafah bangsa
Romawi, adalah kehendak yang tetap dan yang tak ada akhirnya, untuk memberi
pada tiap-tiap orang apa yang menjadi haknya (Justitia est constans et perpetua
voluntas ius suum cuique tribuere).31

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa :
1. Indonesia merupakan negara hukum yang mendasarkan pada Pancasila. konsep
negara hukum Pancasila merupakan konsep negara hukum yang prismatik. Konsep
31
Ibid., hlm. 67.
Prismatik diartikan sebagai konsep penggabungan unsur-unsur yang terdapat dalam
berbagai konsep negara hukum (the rule of law maupun rechtstaat) yang berbeda ke
dalam satu konsep yang menyatu (negara hukum Indonesia yang implementasinya
disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman.
2. Kekuasaan dalam konteks hukum ditinjau dari segi ontologis yaitu pada hakekatnya
kekuasaan itu adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas
pihak lain. Dalam konteks negara hukum, sumber dan batas-batas kekuasaan
ditentukan oleh hukum dan harus dipergunakan dalam koridor hukum; dari segi
epistemologis yaitu supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang dapat
mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara
hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan; dan dari segi
aksiologis yaitu kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena
diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik,
melainkan terletak dalam kekuasaan terhadap suara hati nurani manusia.
B. Saran
Dengan konsep Negara hukum yang saat ini digunakan Negara Indonesia yang
berdasarkan pancasila, maka sebaiknya konsep Negara ini tetap dijalankan agar tidak terjadi
tumpang tindih dalam kekuasaan yang dapat mengancam kedaulatam Negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Mukthie Fadjar, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans,


Malang, 2003.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2016)
Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Yopi Gunawan & Kristian, Perkembangan Konsep Negara Hukum & Negara Hukum
Pancasila, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2015)
Jimly Assiddiqie, Mahakamah Konstitusi dan Cita Negara Hukum Indonesia, Orasi
Ilmiah Dies Natalis Fak. Hukum Unand, 6 September 2004.
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Raja Grafindo,
2007)
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administrasif di Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, Cetakan Kedua, 2003)
Lihat Aang Achmad, Aspek Hukum Perdata dalam Penanggulangan Korupsi di
Indonesia (Tinjauan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia Berdasarkan Hukum
Pidana Positif dan Pemanfaatan Hukum Perdata terhadap Pengembalian Kerugian Negara
Hasil Korupsi dalam Kasus BLBI), Disertasi, (Bandung: Universitas Katholik Parahyangan,
2010)
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali Press, 2011)
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th ed., West Publishing Co., St. Paul
Minn., 1990
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1997
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, Binacipta, Jakarta,
A.A.G. Peters dan Koesriani S., Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1990
Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern,
Nusamedia, Bandung, 2007
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan
Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985
Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelengga-raan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990

19
Moh. Mahfud MD, “Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokrasi”, dalam
Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, FH-UII, Yogyakarta, 1998
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
https://pusdik.mkri.id/uploadedfiles/materi/Materi_2.pdf
file:///C:/Users/Doni%20Hernawan/Downloads/filsafat%20hukum.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai