Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM


(EQUALITY BEFORE THE LAW)

DISUSUN OLEH :

NAMA KELOMPOK :

1. ANTONIUS RUMAPEA
2. NELSON AGUSTINUS SITUMORANG
3. NURUL HUDA SARAGIH
4. RAHAYU PUTRI YANA
5. RAYHANA RIYANI SAFITRI

KELAS : XII. IPS 2

SMAN 5 TUALANG

2021/202
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul
“Persamaan di hadapan Hukum (Equality Before The Law)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
konstruktif untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Perawang, 15 November 2021

    Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua orang sama di depan
hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang
juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perundang-undangan
Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek (KUHPerdata) dan
Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada 30 April 1847 melalui Stb. 1847
No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini tidak sepenuhnya diterapkan karena politik
pluralisme hukum yang memberi ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping
hukum kolonial.
Sejatinya, asas persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang berlaku
umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh diantara dimensi
sosial lain (misalkan terhadap ekonomi dan sosial). Persamaan “hanya” dihadapan hukum seakan
memberikan sinyal di dalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak
mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum,
wilayah sosial dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas Persamaan dihadapan hukum
tergerus ditengah dinamika sosial dan ekonomi.
UUD 1945 secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 27 ayat (1). Pasal ini memberikan makna
bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal
dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum
yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.
Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama
dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam
berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’,
artinya  tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek
hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas
hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) ?


2. Bagaimana Persamaan di Hadapan Hukum?
3. Bagaimana Kasus Pelanggaran Hukum vs Persamaan di Hadapan Hukum?

BAB II
PEMBAHASAN
A.        Konsep Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law)
1.  Konsep Equality Before The Law dalam negara hukum
Di belahan seantero bumi ini, terkenal dalam kalangan penggiat ilmu hukum. Ditambah
lagi kedua aliran besar berasal dari negara-negara yang menjajah pada abad kolonialisasi. 
Kedua aliran itu diantaranya;
a.       Civil law
Pemikiran timbulnya negara hukum timbul sebagai reaksi dari adanya konsep
negara polis (polizei staat). Polizei staat berarti negara menyelenggarakan keamanan dan
ketertiban serta memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya. Tetapi konsep negara ini
lebih banyak diselenggarakan oleh penguasa. Seperti yang dikatakan oleh Roberto Von
Mohl “sebagai polisi yang baik melaksanakan fungsinya berdasarkan hukum serta
memperhatikan masyarakat. Tetapi yang banyak ialah polisi yang tidak baik, yang
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat yang memanfaatkan kekuasaan demi
kepentingan sendiri atau kelompoknya.
Konsep negara hukum Imanuel Kant yang ditulis dalam karya ilmianya yang
berjudul “Methaphysiche Ansfangsgrunde”. “sebagai dikemukakan bahwa pihak yang
bereaksi teehadap negara Polizei ialah “orang-orang kaya dan cendikiawan”. Orang kaya
(borjuis) dan cendikiawan ini menginginkan agar hak-hak kebebasan pribadi tidak
diganggu, yang mereka inginkan ialah hanya ingin kebebasan mengurusi kepentingannya
sendiri. Konkritnya ialah agar permasalahan perekonomian menjadi urusan mereka dan
negara tidak ikut campur dalam penyelenggaraan tersebut”.
Jadi negara dalam konteks ini hanya menjaga ketertiban dan keamanan, karena
konsep ini biasanya disebut dengan negara hukum penjaga malam (Nacht wachter Staat).
Dan dikenal konsep negara hukum yang ditawarkan oleh Kant ialah negara hukum
liberal.
Selain imenuel Kant, konsep negara hukum Eropa oleh Frederich Julius Stahl,
dalam karya ilmiah yang berjudul “philosopie des rechts”, diterbitkan pada tahun 1878.
Sama halnya dengan kant, hanya memperlihatkan unsur formalnya saja dan mengabaikan
unsur materialnya. Karena itu konsep negara ini dinamakan konsep negara formal. Stahl
berusaha menyempurnakan negara hukum liberal milik Kant. Dengan pengaruh paham
liberal dari JJ. Rousseau, Stahl menyusun negara hukum formal dengan unsur-unsur
sebagai berikut;
1. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia.
2. Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, maka penyelenggaraan negara
haruslah berdasarkan theory atau konsep trias politica.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah dibatasi oleh undang-undang
(wetmating bestuur).
4. Apabila dalam melaksanakan tugas pemerintah masih melanggar hak asasi,
maka ada pengadilan administrasi yang mengadilinya.
Dari konsep Stahl ini dapat sambil keimpulan bahwa negara hukum bertujuan
untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan membatasi kekuasaan terhadapnya.
Pada abad ke XX negara hukum mengalami perkembangan yang mendapat perhatian dari
para pemikir dari berbagai bangsa yang menginginkan kehidupan yang demokratis,
berkemanusiaan dan sejahtera. Diantaranya ialah konsep yang diutarakan oleh Paul
Scholten, ada unsur utama dalam membahas Negara Hukum. Pertama; adanya hak warga
negara terhadap Negara/ Raja.  Kedua; adanya pembatasan kekuasaan, dengan mengikuti
Montesquieu, Scholten mengemukakan adanya tiga kekuasaan yang harus terpisah satu
sama lain, yaitu kekuasaan pembentukan undang-undang (legeslatif), kekuasaan
pelaksana Undang-undang (eksekutif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif).

b.      Comman law
Di Inggris ide negara hukum sedah terlihat dalam pemikiran Jhon locke, yang
membagi kekuasaan negara menjadi tiga bagian. Antara lain dia membagi kekuasaan
membuat undang-undang dan kekuasaan pelaksana undang-undang, dan ini berkaitan erat
dengan konsep the Rule of Law yang sedang berkembang di Inggris pada waktu itu. Di
Inggris the rule of law dikaitkan dengan hakim dalam rangka menegakannya.
Albert Van Dicey, adalah seorng pemikir Inggris yang masyur, menulis buku yang
berjudul “Introduktion to the study of the law of the constitution”, mengemukakan tiga
hal unsur utama the rule of law:
1. Supremacy of law adalah mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
ialah hukum (kedaulatan hukum).
2. Equality before the law  ; kesamaan bagi kedudukan hukum didepan hukum untuk
semua warga negara, baik selaku pribadi maupun statusnya sebagai pejabat
negara.
3. Constitusional based on individual right; constitusi itu ialah tidak merupakan
sumber dari hak asasi manusia dan jika hak asasi itu diletakan dalam konstitusi itu
hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi manusia itu harus dilindungi.

Konsep the rule of law yang dikemukakan Albert Van Dicey pada tahun 1885
sudah mengalami perubahan sepanjang perjalanan. Dilain pihak the rule of law  dapat
disalah tafsirkan, karena the rule of law dapat pula diartikan “dari hukum yang baik
berdiri diatas penguasa yang baik dan dihormati penguasa dan dapat juga diartikan
sebagai rule yang buruk dibuat secara sewenang-wenang dan dilaksanakan sewenang-
wenang pula oleh seorang tirani.
Berikut ini penelitian yang dilakukan oleh Wade dan Philips yang dimuat
dalamConstitusional law. Ia berpendapat bahwa the rule of law yang dilaksanakan pada
tahun 1955 sudah berbeda dibandingkan dengan waktu awalnya. Mengenai unsur
pertama the rule of law  yaitu supremasi hukum, sampai hari ini masi menjadi unsur
yang terpenting dalam kostitusi Inggris. Hanya ada kelompok yang taat pada hukum yang
khusus pada kelompoknya dan keadilan atas ketaatan kelompok tersebut diadili secara
khusus pula, seperti kelompok militer yang berada diluar yuridiksi pengadilan militer,
kelompok Gereja yang diadili oleh pengadilan gereja. Walaupun supremasi hukum masih
merupakan unsur esensial, namun negara turut campur dalam berbagai bidang individu
warga negara. Karena itu dengan syarat kepentingan umum, negara atau pemerintah
dapat mengambil tindakan yang tidak mungkin dapat dibayangkan terlebih dahulu.
Tindakan ini sudah barang tentu didasarkan apa yang disebut freies ermessen. Hal ini
tentunya mengurangi kadar supreasi hukum.
Mengenai unsur kedua yaitu kesamaan dihadapan hukum. Hal ini tidaklah berarti
bahwa kekuasaan warga negara dapat disamakan dengan kekuasaan pejabat negara,
pemberiaan kekuasaan khusus kepada pejabat negara untuk melaksanakan tugas
kenegaraan dianggap tidak melanggar the rule of law. Selai itu, ada pula yang merupakan
pengecualian, diantaranya; (a) hak imunitas bagi raja, (b) wakil negara lain juga
mempunyai hak kekebalan, (c) persatuan dagang dapat mengatur sendiri urusannya
kedalam, dan (d) adanya kekuasaan arbitase.
Hal diatas dianggap oleh sebahagian ahli adalah mengurangi makna dari the rule
of law.Selain kedua sarjana tersebut, pada tahun 1976, Roberto Mangaberia, menulis
karya law in modern society; bahwa dewasa ini terjadi; pertama; meluasnya arti
“kepentingan umum”, seperti pengawasan terhadap kontrak-kontrak yang curang,
penimbunan barang, monopoli, hal ini menunjuka bahwa campur tangan pemerintah
menjadi lebih luas. Kedua;adanya peralihan dari gaya formalitas dari the rule of law ke
orientasi prosedural yang subtantif dari keadilan. Hal ini terjadi karena dinamika negara
kesejahteraan (the welfare state). Hal terakhir ini biasanya disebut due proses of law.
Negara Inggris lebih mengutamakan bagaimana agar keadilan benar-benar dinikmati oleh
warganya.  

2.     Konsep Equality Before The Law didalam negara pancasila


Begitu juga dengan negara hukum Indonesia yang telah meratifikasi konsep dan
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang tertuang didalam Konstitusi dan semangat
pancasilaisme. Instrumen Hak Asasi Manusia induk yang telah diratifikasi tercermin
didalam  UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005
Tentang Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya serta UU No. 12 Tahun 2005
Tentang Konvenan Hak Sipil Politik, dan kenvensi-konvensi maupun norma-norma PBB
yang lainnya. Tetapi Indonesia telah berubah dalam prilaku maupun penegakan hukum
itu sendiri. Terlebih lagi menyangkut tentang  Equality Before The Law didalam aktivitas
hukum Indonesia pancasila. Ada beberapa segi yang perlu ditinjau dari konsep Equality
Before The Lawpunyanya pancasila dengan tidak meninggalkan sejengkalpun prinsip-
prinsip Hak Asasi Manusia, penjelasan yaitu
Keadilan Sosial
Berbicara kedilan sosial, tidak ada pemisahan antara hak sipil politik dengan hak
ekonomi sosial dan budaya. Kedua induk HAM ini harus selajan beriringan. Tidak ada yang
diprioritaskan dalam pelaksanaannya. Tentang Equality Before The Law bukan hanya dalam satu
sisi diatas. Hak dibidang politik misalnya; hak dasar dibidang politik tercermin dalam pasal 28
“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan tulisan maupun lisan
ditetaipan dalam Undang-undang”. Selanjutnya pasal 27 Ayat 1, “segala warga negara
bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintah tidak ada kecualinya:. Penjelasan
pasal itu menegaskan prinsip penting bahwa Indonesia adalah negara hukum dan diperkuat
dalam amandemen Pasal 1 Ayat 3 berbunyi “negara Indonesia adalah negara hukum”.
Kritikan penulis, walaupun negara Indonesia adalah negara hukum seperti yang telah
dijelaskan dan tertuang didalam kostitusi. Tetapi harus diingat bahwa tujuan negara adalah
beranjak kepada keadilan sosial yang tertuang didalam konstitusi juga. Saya kutif pernyataan
konstitusi yang terdapat di preambul UUD Tahun 1945 dari awal berlaku sampai Amanden ke-4
masi h berlaku;
“kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara
Republik Indonesia, yang berbentuk dalam susunan Negara Repuplik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang Adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh himkat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perperwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Maka dari itu, Robeerto M. Unger “Law and Modren Society: Toward a Criticism Of
Social Theory” menjelaskan tentang Rule Of Law dalam; pertama; Rule Of Law dalam arti
luas. Rule Of Law  didefenisikan lewat gagasan tentang sifat netral (neutrality), seragam
(uniformity), dan dapat diprediksiakan (predictability). Penggunaan pemerintah harus
berlangsung didalam batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi cukup banyak kategori orang
dan tindakan. Segenap peeraturan ini, apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam.
Dengan demikian dipahami Rule Of Law tidak ada hubungannya dengan muatan norma-norma
hukum. Kedua; Rule Of Law dalam arti bebas. Maka ideal tersebut dalam versi yang lebih ketat
mengajukan tuntutan-tuntutan kepada metode legislasi sendiri. Ideal Rule Of Law menghendaki
agar hukum dibuat menurut prosedur yang dapat diterima setiap orang turut menyumbangkan
peran sertanya dalam proses pembuatan hukum. Karena itu, diharapkan tatanan hukum akan
memiliki sifat yang digambarkan sebagai otonomi Subtantif; mewakili keseimbangan diantara
golongan-golongan yang saling bersaing, bukan perwujudan kepentingan dan cita-cita faksi
tertentu

B.      Persamaan di Hadapan Hukum


Sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”; maka negara harus
menjamin persamaan setiap orang di hadapan hukum serta melindungi hak asasi manusia.
Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa semua orang memiliki hak untuk
diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Persamaan perlakuan di hadapan
hukum bagi setiap orang berlaku dengan tidak membeda-bedakan latar belakangnya (ras, agama,
keturunan, pendidikan atau tempat lahirnya), untuk memperoleh keadilan melalui lembaga
peradilan.
Persamaan di hadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara
statis. Artinya, kalau ada persamaan di hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi
juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang
bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim
tersebut (audi et alteram partem).
Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan
memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua
orang tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan
oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan
sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama
untuk memperoleh akses kepada keadilan.
Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal
counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh karena itu
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang (justice for all).
Kalau seorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang atau lebih
advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong tidak mampu juga
harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang atau lebih pembela
umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum (legal aid institute) untuk
membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak adil kiranya bilamana orang yang
mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan oleh advokat dalam menghadapi masalah
hukum. Sedangkan fakir miskin tidak memperoleh pembelaan hanya karena tidak sanggup
membayar uang jasa (fee)seorang advokat yang tidak terjangkau oleh mereka. Kalau ini sampai
terjadi maka asas persamaan di hadapan hukum tidak tercapai.
Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan
dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial (social
upheaval) antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum sebagaimana
dinyatakan Von Briesen sebagai berikut:
“Legal aid was vital because it keeps the poor satisfied, because it establishes and protects their
rights; it produces better workingmen and better workingwomen, better house servants; it
antagonizes the tendency toward communism; it is the best argument against the socialist who
cries that the poor have no rights which the rich are bound to respect.”
Keadaan ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang karena masih melihat fakir miskin
di sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat
memperoleh bantuan hukum secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang
Advokat telah diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan hukum
sebagai suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud
dengan bantuan hukum dan bagaimana memperolehnya. Yang terjadi selama ini adalah adanya
kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang
mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan
memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan
kewajiban dari advokat.  Selain kantor advokat mengaku sebagai organisasi bantuan hukum juga
ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik komersial dengan memungut fee untuk pemberian
jasa kepada kliennya dan bukan diberikan kepada fakir miskin secara pro bono publico.
   
C.      Kasus Pelanggaran Hukum vs Persamaan di Hadapan Hukum
Kasus kecelakaan maut (01/01/2013) yang melibatkan Rasyid Amrullah Rajasa, putra
bungsu Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, menjadi ujian bagi para penegak
hukum dalam menjunjung tinggi asas persamaan di depan hukum (equality before the law).
Mobil BMW X5 jenis SUV yang dikemudikan Rasyid menabrak angkutan umum pelat hitam
Daihatsu Luxio, tabrakan itu mengakibatkan dua orang tewas dan tiga orang lain terluka.
Usai kecelakaan terjadi, pejabat Polda Metro Jaya tampak sangat berhati-hati dalam
menyampaikan informasi. Tidak ada keterbukaan seperti kasus ‘Xenia maut’ Afriyani Susanti
yang menewaskan sembilan orang di Tugu Tani Jakarta beberapa waktu lalu. Kala itu polisi
langsung membeberkan fakta terkait kecelakaan tersebut, dari data pengemudi hingga penetapan
tersangka. Sementara dalam kasus Rasyid, polisi seakan ragu dan menunggu ‘lampu hijau’ dari
Hatta Rajasa terlebih dahulu yang beberapa jam kemudian melakukan konperensi pers.
Lihat saja kasus Lanjar Sriyanto, pria asal Karanganyar, Jawa Tengah. Ia dijebloskan ke
penjara dengan tuduhan telah ‘membunuh’ istrinya. Mulanya, ia berboncengan sepeda motor
dengan anak dan istrinya dari suatu kunjungan Lebaran tahun lalu. Di tengah perjalanan, istrinya
terpental ke sisi lain jalan lantaran Lanjar tak mampu menguasai motornya setelah mobil di
depannya berhenti mendadak. Nahas, dari arah berlawanan melaju mobil yang dikemudikan oleh
anggota kepolisian setempat. Tanpa bisa dicegah, istri Lanjar pun tergilas mobil itu dan
meninggal dunia seketika.
Kelanjutan kasus itu kita semua tahu. Tidak cukup kehilangan istri, Lanjar pun mesti
mendekam di penjara. Sebab, ‘hukum’ mengatakan, dialah yang menyebabkan istrinya tewas,
bukan supir yang anggota kepolisian itu. Lanjar yang lemah, miskin, buta hukum, tak punya
koneksi pejabat, dan tidak mampu membayar pengacara itulah yang mesti bertanggung jawab.
Supir anggota kepolisian yang menabrak istri Lanjar hingga tewas itu justru terlepas dari jeratan
hukum. Ironis.
Tak mengherankan bila apa pun slogan penegakan hukum yang dicanangkan
penyelenggara negeri ini, hanya dianggap angin lalu oleh masyarakat. Ketidakpercayaan publik
terhadap kinerja aparatur penegak hukum kian menguat, melebihi berbagai upaya yang dilakukan
untuk memperbaiki citra aparatur penegak hukum yang mengalami keterpurukan.
Penegakkan hukum dianggap tidak berlaku terhadap semua orang, tapi hanya terhadap
golongan tertentu yang memiliki keterbatasan sumber daya dan dana. Persamaan di depan
hukum (equality before the law) belum sepenuhnya terwujud. Sebaliknya, ketidaksamaan di
depan hukum (unequality before the law) seakan telah menjadi praktik keseharian
kita.  Fenomena pelanggaran hukum yang terjadi seperti ungkapan di atas tersebut
disebabkan masih lemahnya perangkat hukum (legal substance) dan aparat penegak hukum
(legal structure) serta budaya hukum (legal culture) kita hari ini.

BAB III
PENUTUP

      A.     Kesimpulan
Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan dimana
persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang
meminta keadilan kepadanya. Diharapkan dengan adanya asas ini tidak terjadi suatu diskriminasi
dalam hukum di Indonesia dimana ada suatu pembeda antara penguasa dengan rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA

http://mylittlefairy.blogspot.com/2011/02/equality-before-law.html
http://sutantoaray.wordpress.com/2013/02/28/equality-before-the-law-dalam-presfektif/
http://fadilabidin75.blogspot.com/2013/05/ujian-bagi-asas-persamaan-di-depan-hukum.html
http://aminahhumairoh.wordpress.com/2010/03/10/persamaan-dihadapan-hukum/
http://dwiyana94.blogspot.com/2014/03/persamaan-di-hadapan-hukum-equality_1794.html

Anda mungkin juga menyukai