Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AZAS-AZAS FIQIH JINAYAT

(AZAS LEGALITAS HUKUM PIDANA ISLAM)

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK IV
MUH. SALEH 151.141.182

MUAKID AHADI 151.141.197

NURWAHIDAH 151.141.257

SAPARI 151.141.256

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

TAHUN AJARAN 2017

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur panjatkan kehadirat Allah swt atas


petunjuk dan kekuatan yang di anugrahkan kepada penulis,
sehingga makalah ini akhirnya terselesaikan juga. Sholawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kehambaan Rasulullah
saw yang telah memberikan petunjuk bagi kebenaran iman,
ilmu dan amal bagi umat manusia sehingga berbahagialah
mereka yang sadar dan ikhlas mengikutinya .
Kami menyadari bahwa makalah ini amat sangat sederhana
dalam arti kami masih dalam tahap belajar dalam arti masih
jauh di kategorikan sebagai karya ilmiah. Kami hanya mampu
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa tugas makalah ini masih banyak
yang memiliki kekurangan. Oleh karena itu segala saran dan
kritik yang membangun penulis harapkan untuk kemajuan
masa-masa mendatang.
Harapan dari kami semoga makalah ini dapat diambil
manfaatnya oleh pembaca.

Mataram, April 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................ i

KATA PENGANTAR...................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................. 1

A. Latar Belakang...................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................. 1
C. Tujuan............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.................................................. 3

A. Pengertian Azas Legalitas..................................................3


B. Landasan Kaidah Azas Legalitas Dalam Pidana Islam........5
C. Kaidah Azas Legalitas........................................................6
D. Penerapan Azas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam......8
E. Azas Legalitas Dalam Syara Dan Hukum Positif..............12

BAB III PENUTUP...................................................... 14

A. Kesimpulan..................................................................... 14
B. Saran....................................................................................

14

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
perbuatan yang dapat dipidana, siapa yang dapat dipidana,
dan apa macam sanksi yang dijatuhkan. Hukum pidana
memiliki efek jera bagi pelakunya. Hukum pidana ini termasuk
kepada hukum publik, karena dalam penyelesaiannya
membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara
pidana ini tanpa bantuan negara ataupun pengadilan.
Agama Islam adalah agama yang menggunakan hukum
yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits, karena keduanya
merupakan pedoman hidup dan semua aspek hukum sudah
terkandung didalamnya, baik tindakan maupun hukumannya.
Al-Quran yang masih bersifat global perlu adanya penafsiran
untuk menemukan segala bentuk hukum dan sanksi yang
terdapat didalamnya. Hal ini memberikan ruang kepada
manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya
hukum dan sanksi itu sendiri.
Suatu tindakan dapat dikenakan sanksi apabila terpenuhi
syaratnya yaitu, legalitas. Asas legalitas bermaksud
membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Ketika pelanggaran
sudah terjadi, tetapi hukumnya belum ditetapkan, maka orang
tersebut tidak dapat dikenai sanksi atau pidana karena tidak
termasuk kepada pelanggaran hukum serta didalam hukum
islam juga berlaku asas legalitas.
Pemberlakuan Asas Legalitas bertujuan untuk melindungi
Hak Asasi Manusia, karena Hak Asasi Manusia adalah hak yang
paling hakiki, yang tidak boleh dikurangi sedikitpun.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Azas Legalitas
2. Apa Landasan Kaidah Azas Legalitas Dalam Pidana Islam
3. Apa Sajakah Kaidah Azas Legalitas
4. Bagaimanakah Penerapan Azas Legalitas Dalam Hukum
Pidana Islam

1
5. Bagaimanakah Azas Legalitas Dalam Syara Dan Hukum
Positif

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini agar mahasiswa dan mahasiswi
dapat memahami tentang materi azas legalitas dalam fiqih
jinayah hukum pidana islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Azas Legalitas
Kata azas secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu
asasun yang artinya dasar, basis atau pondasi. Kalau
dihubungkan dengan sistem berfikir, yang dimaksud dengan
asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar. Jika kata
asas dihubungkan dengan hukum, yang dimasksud dengan

2
asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan
berpikir dan alasan pendapat, terutama dalam penegakan dan
pelaksanaan hukum.1
Adapun pengertian legalitas secara etimologi berasal dari
bahasa latin yaitu lex yang berarti undang-undang atau kata
lain legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan
undang-undang.2 Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah
asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak
ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alquran Surah al-Isra
ayat 15 dan Surah al-Anam ayat 19. Dalam kaitannya dengan
hukum pidana Islam, asas legalitas berarti keabsahan
mengaplikasikan hukuman atas melampaui batas (hudud)
yang dapat merugikan orang lain, yang bersumber dari Al-
Quran dan Al-Hadits.3
Istilah aszas legalitasdalam syariat islam ditentukan secara
jelas sebagaimana terdapat dalam kitab undang-undang
hukum pidana positif (KUHP). Meskipun demikian bukan berarti
syariat islam (hukum pidana islam) tidak mengenal azas
legalitas. Bagi pihak yang menyatakan bahwa hukum pidana
islam tidak mengenal azas hukum legalitas hanyalah mereka
yang belum meneliti secara detail berbagai ayat secara
substansial menunjukkan adanya azas legalitas.
Asas legalitas dengan semboyan yang tercermin dari
ungkapan dalam bahasa latin: nullum delictum nulla poena

1 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, cet.
20, h.126

2 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta:


Teras, 2009, h. 21

3 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet. 9,
h5

3
sine preavia lege poenali, yang artinya tidak ada tindak pidana
tidak ada hukuman, kecuali ada undang-undangnya lebih
dahulu. Hal ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang
menyatakan: Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum,
melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang
yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu. (geen
feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane
wettelijke strafbepaling). Terjemahanya bebas tidak ada
perbuatan pidana apabila tidak diatur lebih dahulu dalam
undang-undang.
Ketentuan didalam pasal 1 ayat (1) KUHP dikenal sebagai
azas legalitas yang mempunyai dua makna yakni :
1. Untuk kepastian hukum, bahwa undang-undang hanya
berlaku kedepan dan tidak berlaku surut (azas non
retroactive).
2. Untuk kepastian hukum, bahwa sumber hukum pidana
tiada lain dari undang-undang (ketentuan hukum umum /
lex generalis).
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP diatas dapat
dikecualikan di dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah aktu
dilakukan perubahan itu, maka dipakailah ketentuan yang
lebih meringankan bagi tersangka.
Pada pasal 1 ayat (2) KUHP ini merupakan ketentuan khusus
yang menyampingkan pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai
ketentuan umum. Dikenal sebagai asas lex specialis derogat
lex generalis.
Azas legalitas merupakan suatu jaminan dasar bagi
kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang
dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari
penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan
hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang
boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan
sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan

4
hukumannya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan
boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum
dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama
perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan
pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan
setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Begitu
pun dengan hukum Islam, berlaku asas legalitas ini,
berdasarkan hukum yang sudah tercantum dalam al-Quran
dan al-Hadits.4
B. Landasan Kaidah Azas Legalitas Dalam Pidana Islam
Azas legalitas dalam hukum islam bukan berdasarkan pada
akal manusia tetapi dari ketentuan Allah Swt. Sedangkan azas
legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam, terbukti
adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas
tersebut. Allah SWT tidak akan menjatuhkan hukuman pada
manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban
manusia sebelum adanya penjelasandan pemberitahuan dari
Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh
umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di
kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:
Al- Quran surah Al-Isra ayat 15





Artinya :dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami


mengutus seorang Rasul.
Al-Quran surah Al-Qashash ayat 59







Artinya: dan tidak adalah Tuhanmu mebinasakan kota-kota,
sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka,
Al- Quran surah Al- Anam ayat 19

4 Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar


Grafika, 2013, h. 237-238

5








Artinya: Katakanlah: Siapakah yang lebih kuat
persaksiannya? katakanlah:Allah, Dia menjadi saksi antara
aku dan kamu. Dan Al-Quran diwahyukan kepadaku supaya
dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada
orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah
sesungguhnya kamu mengakui bahwa tuhan-tuhan lain
disamping Allah? Katakanlah:Aku tidak mengakui.
Katakanlah:Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa
dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (dengan Allah).
Ayat al-Quran yang lainnya yang berbicara tentang asas
legalitas yaitu QS al-Nisa: 16, QS al-Baqarah: 286, dan QS al-
Anfal: 38. Semua ayat al-Quran ini berbicara tentang asas
legalitas. Ketentuan lafadz-lafadz ini termasuk lafadz yang
qathi, yang berarti wajib untuk diamalkan. Yang mengandung
arti bahwa tidak ada pidana sebelum ada bayan yang
disampaikan Allah SWT melalui Rasul-Nya. Selain itu, manusia
juga ditanggungi sesuai dengan kekuatannya, yang berarti
disini berlaku hukum rukhsah bagi mereka yang berada
dibawah kemampuannya.5

C. Kaidah Azas Legalitas


Salah satu kaidah yang terpenting dalam syariat islam
yaitu:




Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum perbuatan
orang-orang yang berakal sehat.
5 https://www.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-Hukum-
Pidana-Islam, diakses pada tanggal 11 April 2017, 21-22

6
Pengertian dari kaidah ini adalah bahwa perbuatan orang-
orang yang cakap (mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai
perbuatan yang dilarang selama belum ada nash (ketentuan)
yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk
melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada
nash yang melarangnya.
Adapun pengertian kaidah tersebut identik dengan kaidah
lain yang berunyi yaitu:

Pada dasarnya semua pekara diperbolehkan sehingga ada
dalil yang menunjukkan keharamannya
Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua
perbuatan dan sikap tidak berbuat dibolehkan dengan
kebolehan asli, artinya bukan kebolehan yang dinyatakan oleh
syara. Dengan demikian selama belum ada nash yang
melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua
perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut.
Yang menjadi kesimpulan dari kaidah tersebut adalah
sebagai berikut :
.
.

Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh
dianggap sebagai jarimah, kecuali karena adanya nash
(ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap
tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian
sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas
pelakunya.
Oleh karena itu, perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak
cukup dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja
melainkan harus dinyatakan dengan hukumannya maka
kesimpulan yang dapat diambil dari semua kaidah tersebut

7
adalah bahwa menurut syariat islam tidak ada jarimah dan
tidak ada hukuman kecuali dengan adanya nash.
Disamping kaidah-kaidah tersebut masih ada kaidah lain
yang berbunyi:
.


.
Menurut syara seseorang tidak dapat diberi pembebanan
(Taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif
dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara pula
seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan pekerjaan yang
mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh
mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tersebut.
Kaidah-kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang
harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai
seorang yang bertanggungjawab dan pada perbuatan yang
diperintahkan. Adapun yang menjadi syarat untuk para
mukallaf ada dua macam yaitu:
1. Pelaku sanggup memahami nash-nash syara yang berisi
hukum taklifi
2. Pelaku ialah orang yang pantas dimintai
pertanggungjawaban dan diberi hukuman
Sedangkan untuk syara perbuatan yang diperintahkan ada
tiga macam yaitu
1. Perbuatan itu mungkin dikerjakan
2. Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam
jangkauan kemampuan mukallaf baik untuk mengerjakan
maupun meninggalkanya.
3. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan
sempurna.6

D. Penerapan Azas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam

6 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,


Jakarta: Media Grafika, 2006, cet, 2, h. 29-31.

8
Azas legalitas yang diterapkan oleh syara pada semua
jarimah, akan tetapi corak dan cara penerapannya tidak sama
melainkan berbeda-beda menurut perbedaan macam-macam
jarimah, yaitu diantaranya ialah:
1. Azas legalitas pada jarimah hudud
a. Untuk jarimah zina
1) Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk. (QS. Al-Isra: 32).
2) Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera. ( QS. An-Nur: 2).
b. Untuk jarimah al-qodzaf
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya dan mereka itulah orang-orang yang
fasik. (QS. An-Nur: 4).
c. Untuk jarimah asy-syurbu
1) Hai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-Maidah:
90)
2) Tiap-tiap yang memabukkan adalah haram.
d. Untuk jarimah as-sirqah
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah
kamu potong tangannya (QS. Al-Maidah: 38).
e. Untuk jarimah al-hirabah
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka

9
dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. Al-
Maidah:3)
f. Untuk jarimah ar-riddah
1) Barang siapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85).
2) Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu dia mati dalam kekafran, maka
mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat. (QS. Al- Baqarah :217).
g. Untuk jarimah al-baghyu
Dan apabila ada dua orang golongan orang mukmin
berperang maka, damaikanlah antara keduanya. Jika
salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap
(golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang
berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali
(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh,
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-
Hujurat: 9)
2. Azas legalitas pada qishas dan diyat
a. Untuk jarimah al-qatla a-amd
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan
suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh
secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli
waris itu melampaui batas dalam membunuh.

10
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan. (QS. Al-Isra: 33)
b. Untuk jarimah al-qatl syibh al-amd
Rasulullah berkata: Ingatlah, pada pembunuhan
keliru-sengaja (semi-sengaja), yaitu pembunuhan dari
pevut, tongkat dan batu ialah seratus unta (Hadist)
c. Untuk jarimah al-qatl al-khata
Dan tidak patut bagi seorang yang beriman
membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa
membunuh seorang yang beriman karena tersalah
(hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika dia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia
orang beriman, maka hendaklah (si pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Jika dia (si terbunuh) dari kaum (kafr) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang
siapa tidak memperolehnya, maka hendaklah dia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai
tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa: 92)
d. Untuk jarimah al-jarh al-khata
Dalam jarimah ini Rasulullah menentukan batas-
batas hukum diyat, dengan dasar perhitungan apabila
pada badan hanya terdapat satu macam anggota
badan, seperti hidung, lidah, alat kelamin, maka
dikenakan satu diyat lengkap seratus unta. Apabila
yang dirusakkan adalah anggota badan yang rangkap

11
seperti mata dan telinga, maka untuk masing-
masingnya dikenakan setengah diyat, yaitu lima puluh
unta. Menghilangkan satu gigi dikenakan lima unta.
Rasulullah juga mewajibkan diyat pada penganiayaan
yang menghilangkan indera seperti pendengaran,
penglihatan dan perasaan (fikiran).
e. Untuk jarimah al-jarh al-amd
Untuk tiap-tiap perusakan atau pelukaan yang tidak
ditentukan diyatnya yang lengkap atau sebagian, maka
hal itu diserahkan pada hakim, dengan mengambil
pertimbangan orang-orang ahli. Aturan tersebut sudah
menjadi kesepakatan. (Ijma).7
3. Azas legalitas pada jarimah tazir
Penerapan asas legalitas dalam jarimah tazir berbeda
penerapan dalam jarimah hudud dan qishash. Didalam
buku Ahmad wardi muchlis bahwasanya Abdul qadir
audah membagi hukum tazir kepada tiga bagian yaitu
diantaranya:
a. Hukum tazir atas perbuatan maksiat
Para ulama sepakat bahwa hukuman tazir
diterapkan atas setiap perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan had dan tidak pula kifarat baik perbuatan
maksiat tersebut menyinggung hak Allah maupun
hak adami.
b. Hukuman tazir dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan umum.
Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini
dalam syariat islam, hukuman tazir hanya dikenakan
terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang
karena zat perbuatannya itu sendiri sebagai
penyimpangan dari aturan pokok tersebut.
c. Hukuman tazir atas perbuatan pelanggaran
(mukhalafah).

7 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan


Bintang, 1986, cet. 3, h. 61-67

12
Tazir karena Pelanggaran (mukholafah) adalah
melakukan perbuatan yang diharamkan dan
meninggalkan perbuatan yang diwajibkan. Jika
meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan
yang diharamkan merupakan maksiat.
Untuk menjatuhkan tazir atas perbuatan
mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, jadi.
Sebenarnya penjatuhan itu bukan karena
perbuatannya itu sendiri melainkan karena berulang-
ulang, sehingga perbuatan itu menjadi adat
kebiasaan.8
Dengan berpegang kepada asas legalitas seperti yang
dikemukakan di atas serta kaidah tidak ada hukuman bagi
mukallaf sebelum adanya ketentuan nash, maka perbuatan
tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung-jawaban
pidana. Ketentuan ini memberi pengertian bahwa hukum Islam
baru berlaku setelah adanya nash yang mengundangkannya.
Dengan kata lain, bahwa hukum pidana Islam tidak berlaku
surut (atsarun rajiyyun).
Sebagai gambaran riil mengenai penerapan hukum pidana
Islam yang menunjukkan tidak berlaku surut (atsarun
rajiyyun), misalnya: sebelum Islam, riba merupakan perbuatan
yang biasa dikerjakan. Kemudian dilarang oleh Islam, dengan
firman Allah: Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Barang siapa yang kembali (mengambil riba),

8 Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015,


h, 197

13
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka
kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah: 275).
Dengan adanya larangan tersebut maka riba merupakan
perbuatan jarimah, tetapi juga merupakan peristiwa perdata.
Nas-nas tersebut berisi dua ketentuan juga, yaitu aturan
pidana dan aturan perdata. Menurut aturan pidana, riba yang
terjadi sebelum diturunkannya ayat tersebut tidak dikenakan
hukuman dan hukuman hanya dikenakan terhadap riba yang
terjadi sesudahnya. Menurut aturan perdata, kreditur hanya
mempunyai tagihan atas uang pokok saja, tanpa bunga.9
E. Azas Legalitas Dalam Syara Dan Hukum Positif
Asas legalitas baru dikenal oleh hukum positif pada akhir
abad ke 18 masehi sebagai hasil revolusi Prancis. Sebelum
masa tersebut para hakim bisa bertindak sekehendak hatinya
dalam menentukan macamnya jarimah dan hukumnya.
Pendirian hukum positif sama dengan syara, bahwa
permulaan tindak pidana tidak dapat dihukum,akan tetapi
dikalangan sarjana-sarjana hukum positif terdapat perbedaan
pendapat tentang saat dimana pembuat dianggap telah mulai
melakukan jarimahnya itu.
Pertama, menurut aliran obyektif, saat tersebut ialah ketika
ia melakukan perbuatan material yang membentuk suatu
jarimah. Dengan kata lain aliran ini melihat kepada obyek atau
perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat.
Kedua, menurut aliran subyektif, aliran ini memakai niatan
dan pribadi pembuat untuk mengetahui maksud yang dituju
oleh perbuatannya itu. Denagan kata lain, aliran ini menekan
kepada subyek atau niat pembuat. Dari perbandingan syara
ternyata pendirian syara dapat menampung kedua aliran
10
tersebut.

9 Ahmad Hanafi, Op. Cit, h. 82-83

10 Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, h. 48-50

14
Akan tetapi, syara menambahkan syarat yaitu apabila
perbuatan bisa dikualifikasikan sebagai perbuatan maksiat /
perbuatan salah, baik yang bisa menyiapkan jalan untuk
jarimah yang dimaksudkan atau tidak. Meskipun pada masa
sekarang asas legalitas itu masih dipakai, namun sudah
diperlonggar, tidak seperti pada masa pertamanya yang
diterapkan secara ketat
Di Indonesia asas legalitas ini masih tetap dipakai,
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP
Pidana Indonesia yang berbunyi: tiada suatu perbuatan dapat
dipidana melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
terjadi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian makalah Kami yang bertemakan azas
legalitas dalam hukum pidana islam semoga dapat bermanfaat
dan menambah pengetahuan untuk diri kita adapun yang
kesimpulan dari asas legalitas yaitu asas yang menyatakan
bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum
ada undang-undang yang mengaturnya.

15
Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain: surat
al-Isra ayat 15, surah al-Qashash ayat 59, surat al-Anan ayat
19, surat al-Baqarah ayat 286.
Kaidah asas legalitas Sebelum ada nash (ketentuan), tidak
ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat.
Contoh penerapan asas legalitas, pada masalah
zina:Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali
dera. (QS. An-Nur: 2).
Sedangkan asas legalitas dalam hukum syara dan positif
asas legalitas ini diterapkan oleh syara pada semua jarimah
dengan cara yang berbeda baik pada jarimah, hudud, qishash,
maupun tazir

B. Saran
Kami yakin dalam makalah ini banyak sekali kekurangannya. Untuk itu
Kami mohon kepada para pembaca agar dapat memberikan saran, kritikan, atau
mungkin komentarnya demi kelancaran tugas ini

DAFTAR PUSTAKA
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014, cet. 20, h.126

16
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Teras, 2009, h. 21
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, cet. 9, h 5
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2013, h. 237-238
https://www.scribd.com/doc/146843353/Asas-Legalitas-
Hukum-Pidana-Islam, diakses pada tanggal 11 April 2017, 21-
22
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana
Islam, Jakarta: Media Grafika, 2006, cet, 2, h. 29-31.
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1986, cet. 3, h. 61-67
Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, Semarang: Karya Abadi
Jaya, 2015, h, 197

17

Anda mungkin juga menyukai