Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ASAS-ASAS BERLAKUNYA KUHP


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu:
Dr.H. Imron Rosyadi, Drs., S.H., M.H

Oleh Kelompok 3 :
Kiki Andriani (05040120116)
Lita Zen Imroatus S (05040120117)
Miftakhul Aisyah (05040120119)

KELAS D

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS HUKUM DAN SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT., karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar,
serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “ASAS-
ASAS BERLAKUNYA KUHP”

Penyusunan makalah ini digunakan untuk memenui tugas mata kuliah Hukum Pidana
yang dibimbing oleh Bapak Dr.H. Imron Rosyadi, Drs., S.H., M.H

Penulis mengaharapkan semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca,
baik kalangan Mahasiswa maupun dikalangan masyarakat nantinya. Apalagi untuk yang
belum memahami mengenai asas-asas yang terdapat didalah Hukum Pidana.

Pepatah mengatakan tidak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu kami sadar
dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, kami mohon maaf dan meminta
kepada ibu dosen, kiranya berkenan memberikan kritik untuk perbaikan selanjutnya. Sekian
dari kami semoga tugas ini sesuai dengan apa yang diharapkan dan bermanfaat bagi yang
membacanya.

Sidoarjo, 28 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB 1
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..........................................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN............................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................................2
A. Asas Legalitas...........................................................................................................2
B. Asas Teritorial...........................................................................................................4
C. Asas Personal (Nasional Aktif).................................................................................6
D. Asas Perlindugan (Nasional Pasif)............................................................................7
E. Asas Universal..........................................................................................................9
BAB III
PENUTUP...........................................................................................................................11
Kesimpulan..........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................13

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang terkenal sebagai negara penganut hukum, yang
mana di Indonesia segala sesuatunya harus didasatkan oleh hukum yang berlaku. Hukum
yang berlaku di Indonesia adalah hukum positif yang mana hukum positif ini merupakan
hukum yang disepakati oleh negara dan menganut pada beberapa sumber hukumnya.
Hukum positif di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu hukum Pidana dan Hukum perdata.
Yang akan kita bahas disini adalah mengenai hukum Pidana. Hukum Pidana merupakan
hukum yang mengatur tentang pelanggaran kejahatan yang menyangkut kepentinan,
keselamatan umum atau biasa disebut dengan hukum publik. Didalam hukum Pidana
terdapat unsur-unsur yang mengatur didalamnya, salah satunya adalah Asas-asas yang
terdapat didalam hukum pidana yang mana sudah diatur didalam Pasal 1- Pasal 5 dalam
KUHP, seperti Asas Legalitas, Asas Teritorial, Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif),
Asas Personal (Nasional Aktif), Asas Universal. Asas-asas tersebut merupakan asas yang
terdapat didalam hukum Pidana. Untuk memahami dan mengkaji satu persatu asas
tersebut, maka kami membuat makalah ini dengan tujuan memberikan pemahaman serta
mengkaji lagi mengenai asas-asas yang terdapat dalam hukum Pidana. Ini sangat penting
untuk kita kaji, apalagi kita tinggal dinegara yang sangat menganut pada hukum. Untuk
pembahasan lebih mendalam kami bahas pada sub bab pembahasan.
1.2. Rumusan Masalah
Apa saja yang termasuk asas-asas didalam huum pidana serta penjelasan dan unsur-unsur
yang ada didalamnya
1.3. Tujuan Permasalahan
Untuk mengetahui asas apa saja yang terdapat didalam hukum pidana serta memahami
satu persatu mengenai asas-asas yang terdapat didalam hukum pidana baik pengertian
maupun unsur-unsur yang ada didalamnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asas Legalitas
Asas Legalitas merupakan asas tentang dasar hukum atau sumber hukum untuk
menyatakan suatu perbuatan delik atau bukan. Hakikat dari Asas legalitas ini adalah
mengatur tentang sumber hukum, bisa dikatakan juga sebagai tiang penyangga hukum
Pidana. Asas Legalitas didalam KUHP berperan sebagai tolak ukur untuk menentukan
suatu perbuatan menjadi tindak pidana.1 Asas Legalitas ini sudah diatur dalam Pasal 1
KUHP, yang mana dirumuskan seperti :.
1. Tindak suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
2. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan,
dipakai aturan yang paling riangan bagi terdakwa.
Ketentuan Pasal 1 (1) KUHP diatas mengandung pengertian, bahwa ketentuan
pidana daam Undang-Undang hanya dapat diberlakukan terhadap suatu tindak pidana
yang terjadinya sesudah ketentuan pidana dalam undang-undang itu diberlakukan.2
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan
mana yang dapat berakibat pidana, tentu saja bukan perbuatannya yang dipidana,
melainkan orang yang melakukan perbuatan itu, yaitu:
1. Perbuatan itu harus ditentukan oeh perundang-undangan pidana sebagai perbuatan
yang pelakuknya dapat dijatuhi pidana.
2. Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Dengan perkataan lain tidak boleh ada suatu perbuatan yang semula belum
diterpapkan bahwasnnya pelakunya dipidana, karena hal ini sangat merugikan
menurut penguasa. Untuk itu dibuatkan peraturan dan pelakunya dapat dijera dengan
peraturan tersebut. hal ini pernah masuk dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia,
yaitu pada Pasal 14 (2) UUDS 1950 yang merumuskan bahwasannya tidak ada
seorang pun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena
suatu aturan hukum yang ada dan berlaku terhadapnya. Secara yuridis formal
kedudukan ketentuanyang seperti demikian disebut dengan asas legalitas, lebih kuat
daripada masa kita menggunakan UUDS 1950, karena jika kehendak mengubah harus

1
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 59
2
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Op.cit, hlm 45.

2
menubah konstitusi juga. Sedangkan secara teoretis Pasal 1 (1) KUHP yang sering
disebut sebagai pencerminan asas legalitas itu dapat disimpangi atau diubah cukup
dengan membuat undang-undang baru yang berbeda.
Asas legalitas juga bisa dikatakan bahwasannya orang yang melakukan tindak
pidana, dapat dipidana apabila orang tersebut dapat dinyatakan bersalah. Asas
legalitas juga memiliki beberapa makna, yang pertama adalah tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika perbuatan itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan hukum. Yang kedua adalah untuk menentukan adanya
tindak pidanatidak boleh digunakan analogi. Dan yang terakhir adalah unadang-
undang hukum pidana tidak berlaku mundur atau surut. Tujuan dari asas legalitas ini
adalah utuk menegakkan kepastian hukum dan mencegah kesewenang-wenangan
penguasa.
Dapat kita tarik garis besar bahwasannya asa legalitas ini merupakan perbuatan
yang diancam dengan pidana. Yang diberlakukan dalam asas legalitas ini adalah
hukum atau undang-undang yang sudah ada pada saat itu, tidak boleh dipakai undang-
undang yang akan dibuat pada saat atau sesudah perbuatan itu terjadi. Oleh karena itu
berlaku asas lex temporis delictic yang artinya adalah undang-undang pada saat delik
atau kejahatan itu terjadi. Itulah asas yang dipakai didalam Indonesia berhubungan
dengan Pasal 1 (1) KUHP tersebut.Akan tetapi perlu kita ketahui bahwasannya seiring
berjalannya waktu perubahan terhadap Undang-Undang sering dilakukan untuk
menyesuaikan kebutuhan dan zamannya.3
Contoh kasus pada asas legalitasiniadalah mengenai narkotika, dimana didalam
UU Narkotika sudah disebutkan berbagai jenis narkotika yang dapat dikenakan sanksi
apabila mengkonsumsinya. Apabila terdapat jenis narkotika yang belum dilampirkan
pada UU Narkotika, maka pelaku tindak pidana narkotika tidak dapat dituntut secara
pidana, karena sesuai dengan asas legalitas. Seperti contoh pada kasus Raffi Ahmad,
yang mana pada saat itu Raffi Ahmad menggunakan jenis narkotika baru, hal tersebut
menurut barang bukti yang ditemukan berupa zat narkoba yang diteukan belum
terdaftar dalam UU Narkotika. Untuk itu pada tanggal 27 April 2013 Raffi Ahmad
dibebaskan, karena jenis narkotika yang digunakan belum terdaftar didalam UU
Narkotika. Sehingga Raffi Ahmad tidak dapat dikenakan pidana karena peraturannya
belum tertulis, hal tersebut didasarkan pada asas legalitas Pasas 1 KUHP. Kemudian

3
Moh Khasan, Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Jurnal RechtsVinding
Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm. 23.

3
setelah hal ini jenis narkotika tersebutdimasukkan ke dalam UU Narkotika, akan
tetapi Raffi Ahmad tetap tidak terkena pidana, karena peraturan baru ada setelah
melakukan tindak pidana tersebut.

B. Asas Teritorial
Asas Teritorial ini juga biasa disebut dengan asas wilayah, karena asas teritorial
ini hanya berlaku pada negara yang bersangkutan diwilayah tersebut. Menurut asas
teritorial, berlakunya undang-undang pidana suatu negara semata-mata disandarkan
pada tempat dimana tindak pidana atau perbuata pidana dilakukan, dan tempat
tersebut harus terletak didalam wilayah negara yang bersangkutan. 4 Jadi asas teritorial
ini hanya berlaku pada wilayah yang terdapat didalam negara yang bersangkutan, jika
diluar itu maka tidak disebut dengan asas teritorial melainkan asas personal. Menurut
pendapat para ahli mengataka bahwasannya berlakunya asas teritorial ini berdasarkan
atas kedaulatan negara, sehingga setiap orang wajib dan taat kepada perundang-
undangan negara tersebut. Sebagaimana yang sudah disebutkan didalam Pasal 2
KUHP yang merumuskan bawasannya aturan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di Indonesia.
Teritor di Indonesia ini diperluas dengan Pasal 3 KUHP yang semula mengatakan
bahwasannya ketentuan pidana itu berlaku juga bagi setiap orang yang diuar
Indonesia melakukan tindak pidana didalam perahu Indonesia. Berhubung dengan
perkembangan zaman melalui UU No. 4 Tahun1976, maka Pasal 3 tersebut diubah
dan berbunyi5:
“ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air
atau pesawat udara di Indonesia.”
Pencantuman hal tersebut bukan berarti sama seperti yang dikatakan didalam
hukum internasional bahwasannya perahu adalah teritor. Akan tetapi hal tersebut
dicantumkan berdasarkan pertimbangan dalam upaya meminimalisir terjadinya tindak
pidana didlama perahu, karena jika tidak dicatumkan mungkin sekali ada seseorang
yang melakukan tindak pidana diatas perahu atau kapal berbenderakan Indonesia
lepas dari jaringan-jaringan hukum Indonesia, seperti ketika kapal tersebut berlayar
dilaut bebas. Kemudian mengenai tindak pidana dalam pesawat udara terdapat dalam

4
Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, (Yogyakarta: Medpress Digital, 2015), 24
5
Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Pidana Indonesia. Jilid 1, Armico, Bandung, 1986, hlm. 61.

4
UU No. 4 Tahun 1976 adalah perubahan dan tambahan terhadap KUHP yang
berkaitan dengan kejahatan penerbangan.6 Dengan undang-undang tersebut diubalah
Pasal 95, yang berbunyi:
“yang dimaksud perahu Indonesia adalah perahu yang mempunyai surat laut atau
pas kapal, atau surat izin sebagai penggantinya sementara, menurut aturan-aturan
umum mengenai surat laut dan pas kapal.”
Kemudian ditambahkan dengan Pasal 95 a:
1. Yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang
didaftarkan diIndonesia.
2. Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara yang disewa tanpa
awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan diIndonesia.
Contoh kasus dalam asas legalitas ini adalah mengenai tranksaksi elektronik.
Yang mana dalam kasus ini adaah seorang WNI yang melakukan cathing dengan
warga Brunei, akan tetapi WNI ini mengaku sebagai WNA bahkan dia menggunakan
foto dan identitas seorang WNA yang tinggal diluar negeri tanpa meminta izin
terlebih dahulu. Hal ini fokus pada Undang-Undnag Nomor 11 Thun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam hal ini WNI yang menggunakan identitas
WNA tanpa seizin pemiliknya dikenakan sanksi pidana karena melanggar undang-
undang yang menjelaskan mengenai elektronik. Hal tersebut disandarkan pada asas
teritorial, dimana undang-undang pidana berlaku dimana tempat melakukannya tindak
pidana. Dalam kasus ini WNI melakukan tindak pidana secara online atau bidang
elektronik dinegara Indonesia yang mana melanggar ketentuan Undang-Undang yang
sudah tertera tadi, jadidia akan dikenakan sanksi pidana sesuai perbuatan yang
dilakukannya dan didasarkan hukum yang berlaku ditempat dia melakukan tindak
pidana. Sesu ai dengan pendirian asasteritoria yang mana hukum pidana tetap berlaku
bagi WNI atau WNA yang meakukan tindak pidana di Indonesia, bisa dikatakan juga
apabila perbuatan tersebuttidakdiakukan diIndonesia akan tetapi akibatnya tetap
terjadi di Indonesia maka tetap terkena hukum pidana sesuai dengan asas teritorial.

C. Asas Personal (Nasional Aktif)


6
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Depok: Rajawali Pers, 2019), 42

5
Asas personal ini merupakan kebalikan dari asas teritorial. Asas personal
merupakan asas yang membahas tentang KUHP terhadap warga negara Indonesia
yang melakukan tindak pidana diluar negara Indonesia.7 Didalam hukum internasional
hukum ini disebut dengan asas Personalitas. Akan tetapi hukum ini tergantung dengan
perjanjian bilateral antar negara yang membolehkan untuk mengadili tindak pidana
tersebut sesuai asal negaranya. Asas personal ini sudah dijelaskan didalam Pasal 5
KUHP, yang berbunyi:
1. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga
negara yang diluar Indonesia melakukan:
1. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dalam Pasal-
Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451.
2. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan negara dimana perbuatan diakukandiancam dengan
pidana.
Dalam buku Hukum Pidana, terdapat kelanjutan megenai Pasal 5 dalam KUHP ini,
yaitu:8
1. Bab I dan II Buku Kedua KUHP, yaitu kejahatan terhadap keaanan negara dan
kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, yang terdapat dalam
Pasa 104-139.
2. Pasal 160, 161 (menghasut dimuka umum untuk menentang penguasa umum),
Pasal 240 (berkaitan dengan melakukan kewajiban sebagai warga negara seperti
wajib militer, dan sebagainya), pasal 279 (berkaitan dengan perkawinan yang
dilarang), Pasal 450-451 (yang berkaitan dengan pembajakan di laut).
3. Perbuatan yang menurut perundang-undangan diIndonesia termasuk kejahatan dan
menurut ketentuan dinegara itu dapat dipidana.
Ketentuan pada butir terakhir itu disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua
negara mengadakan pembagian antara kejahatan dan pelanggaran seperti halnya di
Indonesia sehingga ukurannya adalah yang di Indonesia tidak termasuk kejahatan
(Buku Kedua) saja, dan dinegara itu sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
Ketentuan ini juga berlaku untuk seorang yang baru menjadi Warga Negara Indonesia
seteah melakukan perbuatan tersebut. Pada Pasal 6 KUHP memberikan sedikit

7
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Depok: Rajawali Pers, 2019), 44
8
Ibid, 45

6
peunakan, yaitu tidak dijatuhi pidana mati sekiranya ketentuan perundang-undangan
dinegara lain itu mengancam dengan pidana mati. Pasal 7 KUHP mengancam
penjabat Indonesia yang ada diluar Indonesia melakukan perbuatan seperti yang
tercantum dalam Bab XXVIII Buku Kedua KUHP (menyangkut kejahatan jabatan).9
Sebagai contoh kasus asas personal ini yaitu mengenai kasusu
korupsi,penyuapan, serta pencucian uang yang diakukan oleh mantan atase tenaga
kerja KBRI di Singapura. Pelaku ini bernama Agus Ramdhany Machjumi asal Warga
Negara Indonesia, yang bekerja diSingapura. Agus ini melakukan penyuapan di
negara Singapura karena meloloskan dua perusahaan asuransi, yang mana diduga
Agys ini menerima uang penyuapan senilai ribuan dolar Singapura, kasus ini memiliki
kaitan dengan skea asuransi perlindungan pekerja migran Indonesia di Singapura.
Kausu ini diungkapkan pertama kali oleh KPK Singapura dengan adanya beberapa
bukti bahwasannya Agus ini melanggar hukum pidana di Singapura, tidak hanya itu
Negara Indonesia juga ikut menangani kasus ini sejak tanggal 1 Januari 2019 dengan
mencari bukti serta saksi dalam kasus korupsi, penyuapan serta pencucian uang ini.
Dan terbukti Agus bersalah, tidak hanya melanggar hukum pidana di Singapura akan
tetapi Agus juga melanggar hukum pidana di Indonesia. Penyelidikan ini didasarkan
pada asas personal atau nasional aktif yang mana perbuatan tersebut memang
dilakukan diluar yuridis Indonesia akan tetapi yang melakukan ini adalah seorang
WNI dan melanggar tindak pidana dalam negara lain, jadi tetap terkena hukum pidana
sesuai dengan ketentuan yang sudah dilanggar oleh terpidana.

D. Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif)


Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga Indonesia) berlaku
terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu
kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar diluar wilayah kekuasaan
itu. Asas ini tercantum dalam pasal 4 ayat (1), (2), (4) KUHP.10
Asas nasional pasif terdapat dalam pasal 4 KUHP, di mana menyatakan Pasal 4
KUHP (setelah diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun
1976):11ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan di luar Indonesia salah satu kejahatan berdasarkan 104

9
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Depok: Rajawali Pers, 2019), 45
10
Suyanto, Hukum Pidana (Yogyakarta: Deepublish, 2018), 28.
11
Djoko Sumaryo, Hukum Pidana (Surabya: Uphara Press, 2019), 34.

7
KUHP (Makar/aanslag terhadap presiden/wakil presiden), Pasal 106 KUHP
(Makar/aanslag terhadap wilayah negara lain) Pasal, 107 KUHP (Makar/aanslag
untuk menggulingkan pemerintah), Pasal 108 KUHP (memberontak negara RI) dan
Pasal 131 KUHP (menyerang presiden dan wakil presien):
Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh
negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang
diganti oleh pemerintah Indonesia.
Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang tanggungan atas tanggungan suatu
daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden
atau tanda bunga yang mengikuti surat atau menggunakan surat-surat tersebut di atas,
yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu;
Salah satu kejahatan yang disebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446
tantang pembajakan laut dan pasal 447 tantang penyerahan kendaraan air kepada
kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tetang penguasaan pesawat udara secara
melawan hukum, pasal 471 l,m,n dan o tantang kejahatan yang mengancam
keslamatan penerbangan sipil.
Ketentuan dalam pasal 4 KUHP ini adalah bentuk penegakkan hukum untuk
maksud melindungi kepentinga-kepentingan nasional dan internasional. Sehingga
disebut dengan asas perlindungan atau asas nasional pasif. Karena bentuknya adalah
perlindungan nasional maka pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional
berlaku bagi setiap orang (WNI/WNA) yang melakukan tindak pidana di luar
Indonesia dengan kejahatan antara lain:
a. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap
martabat/kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik
Indonesia (Pasal 4 ke-1).
b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indoensia atau
segel/materai merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2).12
c. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifikat-sertifikat hutang
yang diekeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (Pasal 4 ke-3)
d. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pasawat
udara indonesia (pasal 4 ke-4).13

12
Ibid.,35.
13
Ibid.,36.

8
Disini yang dilindungi bukanlah kepentingan individual Indonesia, tetapi
kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas. Jika orang Indonesia
menjadi korban delik di wilayah lain negara lain, yang dilakukan oleh orang asing,
maka hukum pidan Indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap negara
uuntuk menegakkan hukum di wilayahnya sendiri.14
Sebagai contoh penerapan asas perlindungan atau nasional pasif ini mengenai
tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang ini merupakan
tindak pidana yang serius dandapatterjadi dilebih darisatu negara. Pembentuk undang-
undang saat ini berencana untuk mengkriminalisasikan tindakan yang terjadi di luar
wilayah teritori Indonesia. Di dalam RKUHP terdapat Pasal 568 yang menyatakan
bahwa orang memberikan bantuan, kemudahan, sarana atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dan tindakan tersebut terjadi di luar
wilayah negara Republik Indonesia akan diancam dengan pidana yang sama dengan
pembuat tindak pidana. Hal tersebut masuk ke dalam kategori asas nasional pasif
yang mana memiliki tujuan untuk melindungi keamanan kepentingan hukum
terhadapgangguan dari luar wilayah Indonesia. Dan yang melakukan hal ini akan
dikenakan Pasal 3 dan Pasal 4 KUHP.

E. Asas Universal
Asas Universal ini memandang Undang-Undang Pidana dapat juga diberlakukan
terhadap perbuatan-perbuatan jahat yang bersifat merugikan keslamatan internasional
yang terjadi dalam daerah yang tidak bertuan. Jadi disini mengenai perbuatan-
perbuatan jahat yang dilakukan dalam daerah yang tidak termasuk kedaulatan suatu
negara manapun, seperti dilautan terbuka, atau di daerah kutub.
Kejahatan-kejahatan yang bersifat merugikan keselamatan internasional adalah
pembajakan di laut, pemalsuan mata uang negara manapun juga, karena disini yang
dipentingkan keselamatan internasional. Asas ini didasarkan atas pertimbangan,
seolah-olah di seluruh dunia telah ada satu ketertiban hukum.15
Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan
saja dilihat dari kepentingan Indonesia tapi kepentingan dunia secara universal
kejahatan ini dipandang perlu dicegah dan diberantas. Demikianlah, sehingga orang
jerman menamakan asas ini welrechtsprinhzip (asas hukum dunia) di sini kekuasaan

14
Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2017), 66.
15
Safitri Wikan Nawang, Hukum Pidana Dasar (t.t.: t.p., t.h.) 25.

9
kehakiman menjadi mutlak karena yuridiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada
tempat terjadinya delik/nasionalitas atau domisili terdakwa.
Selanjutnya pasal 9 KUHP menyatakan bahwa berlakunya pasal 2-7 dan 8 KUHP
dibatasi oleh pengecualian yang diakui di dalam hukum internasional. Misalnya saja
hukum Internasional mengakui adanya kekebalan atau imunitas diplomatic dan hak
eksteritorial yang dimiliki oleh kepala negara asing, duta besar dan para diplomat juga
personel angkatan perang negara asing yang berada di Indonesia atas izin pemerintah
Indonesia.16
Secara hukum internasional juga dikenal adanya perjanjian ekstredisi (penyerahan
warga negara asing yang melakukan kejahatan kepada negara asalnya), tetapi di dalm
ekstradisi itu terdapat asas bahwa suatu negara tidak akan menyerahkan warga
ngaranya sendiri diadili di negara lain. Sekiranya ia melakukan kejahatan terhadap
negara lain, maka warga negara itu akan sendiri menurut perundang-undangan sendiri
pula. Demikian juga tidak akan diserahkan mereka yang melakukan kejahatan politik
dan minta suaka politik.17
Contoh kasus untuk asas universal ini bersifat internasiona. Seperti contoh
dikemukakan suatu berita dalam media elektronik Okezone, tanggal 28 Maret 2018,
memuat berita berjudul “Perempuan WNI Dibunuh Kekasihnya Asal Amerika di
Kamboja”, di mana diberitakan tentang seorang Warga Negara Indonesia yang
dibunuh oleh seorang Warga Negara Amerika Serikat ketika berada di Kota Pnom
Penh, Kamboja. Dalam hal ini, perisiwa seperti itu perlu diteliti satu persatu Pasal 2
sampai Pasal 8 KUHP yang mengandung 4 (empat) macam asas tentang batas
berlakunya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Ini
termasuk pada asas universal, yang mana bertujuan memelihara ketertiban dunia serta
menyatakan bahwa berlakunya Pasal 2-7 dan 8 KUHP yang dibatasi dengan
pengecualian hukum internasional. Dan pastinya mengatur kepentingan negara satu
dengan negara yang lain.

BAB III

16
Suyanto, Hukum Pidana (Yogyakarta: Deepublish, 2018), 30.
17
Ibid 31

10
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum pidana merupakan salah satu hukum yang ada di Indonesia, yang mana
didalamnya terdapat beberapa asas, diataranya adalah asas legalitas, asas teritorial, asa
personal, asas perlindungan serta asas universal. Adapun asas legalitas merupakan
asas tentang dasarhukum atau sumber hukum untuk menyatakan suatu perbuatan delik
atau bukan. Hakikat dari Asas legalitas ini adalah mengatur tentang sumber hukum,
bisa dikatakan juga sebagai tiang penyangga hukum Pidana. Asas legalitas ini sudah
dijelaskan pada Pasal 1 dalam KUHP. Yang kedua adalah asas teritorial, asas ini juga
biasa disebut dengan asas wilayah, karena asas teritorial ini hanya berlaku pada
negara yang bersangkutan diwilayah tersebut. Menurut asas teritorial, berlakunya
undang-undang pidana suatu negara semata-mata disandarkan pada tempat dimana
tindak pidana atau perbuata pidana dilakukan, dan tempat tersebut harus terletak
didalam wilayah negara yang bersangkutan. Jadi asas teritorial ini hanya berlaku pada
wilayah yang terdapat didalam negara yang bersangkutan, jika diluar itu maka tidak
disebut dengan asas teritorial melainkan asas personal. Asas teritorial ini dielaskan
dalam Pasal 2 KUHP, yang kemudian dianjut Pasal 3 KUHP yang mengatakan
bahwasannya asas teritorial ini juga bisa berlakubagi setiap orang yang diluar negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara.
Yang ketiga adalah asas personal yang mana merupakan kebalikan dari asas
teritorial. Asas personal merupakan asas yang membahas tentang KUHP terhadap
warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana diluar negara Indonesia.
Didalam hukum internasional hukum ini disebut dengan asas Personalitas. Akan
tetapi hukum ini tergantung dengan perjanjian bilateral antar negara yang
membolehkan untuk mengadili tindak pidana tersebut sesuai asal negaranya. Asas
personal ini sudah dijelaskan didalam Pasal 5 KUHP. Yang keempat merupakan asas
perindungan atau biasa disebut dengan asas Nasional Pasif. Asas nasional pasif
merupakan asas yang berfungsi untuk melindungi keamanan kepentingan hukum
terhadap gangguan dari setiap orang diluar Indonesia terhadap kepentingan Hukum
diIndonesia itu. Asas ini sudah terdapat didalam Pasal 3 dan Pasal 4 KUHP , asas ini
bersifat luas dan bertujuan untuk melindungi masyarakat di wilayah Indonesia. Yang
terakhir adalah asas universal. Asas universal merupakan asas yang mengatur
ketertiban dunia, jadi segala tindak kejahatan yang bersangkutan antara megara satu
dengan negara lain maka diberlakukannya asas Universal, terasuk juga kejahatan

11
didalam air juga termasuk dalam asas universal. Asas universal ini terdapat pada Pasal
9 KUHP yang menyatakan bahwa berlakunya Pasal 2-7 dan 8 KUHP. Jadi secara
tidaklangsung asas universal ini cakupan dari asas-asas yang ada didalam huku
pidana.

DAFTAR PUSTAKA

12
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012)
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Op.cit
Moh Khasan, Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas Hukum Pidana
Islam, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 6, Nomor
1, April 2017
Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, (Yogyakarta: Medpress Digital, 2015)
Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Pidana Indonesia. Jilid 1, Armico, Bandung, 1986
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Depok: Rajawali Pers, 2019)
Suyanto, Hukum Pidana (Yogyakarta: Deepublish, 2018)
Djoko Sumaryo, Hukum Pidana (Surabya: Uphara Press, 2019)
Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2017)
Safitri Wikan Nawang, Hukum Pidana Dasar (t.t.: t.p., t.h.)

13

Anda mungkin juga menyukai