Anda di halaman 1dari 31

BAHASA KEILMUAN HUKUM

DOSEN PEMBIMBING : Reni Suryani, SH, M.Pd

Disusun Oleh :

1. ACHMAD FACHRUDIN S. (2014021034)


2. ALBERTUS RAMA PRADIPTA (2014020458)
3. ANDRIYANSAH (2014020882)
4. ANTON TRI WIBOWO (2014021064)
5. APREYTA PUTRI FERASTI (2014020694)
6. TOBY SEGAWA SUSILA (2014020679)

FAKULTAS ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PAMULANG

PAMULANG – TANGERANG SELATAN

2018
Kata Pengantar

Puji dan Syukur kami panjatkan Kepada Allah SWT. yang telah memberikan
kesempatan untuk menyelesaikan tugas ini sehingga berjalan dengan lancar. Tugas
ini berjudul “Bahasa Keilmuan Hukum”.

Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan pengantar kepada setiap orang


yang sedang belajar hukum Indonesia. Hal ini berkenan dengan banyaknya
referensi tentang pelajaran hukum sebagai pengantar yang bermateri tata hukum
saja. Sementara saja, aspek sejarahnya diuraikan tersendiri, sehingga agak sulit bagi
yang baru belajar hukum Indonesia untuk merangkai padukan dalam berpikir
sistematis. Selain itu, sejarah hukum Indonesia fungsinya sebagai pegangan dalam
studi hukum lebih lanjut, sehingga dalam pembentukan hukum nasional yang
menyeluruh dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan baik.

Makalah ini sifatnya hanya mengantar pelajaran Hukum Indonesia dalam batas-
batas tertentu. Oleh karena itu, kemungkinan terdapat kelemahan dan kekurangan
dalam penyajiannya tidak dapat dihindarkan. Kritik-kritik dan membangun untuk
perbaikan sistematika dan materi selalu akan diterima dengan besar hati.

1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................. 1

BAB I ................................................................................................................ 4

PENDAHULUAN ............................................................................................. 4

A. Latar Belakang ...................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 5

C. Tujuan Penulisan Makalah.................................................................... 5

D. Manfaat ................................................................................................. 5

BAB II ............................................................................................................... 6

PEMBAHASAN ............................................................................................... 6

A. Sejarah Singkat Bahasa Indonesia ........................................................ 6

B. Bahasa Hukum ...................................................................................... 7

1. Semantik Hukum............................................................................... 8

2. Kaidah Hukum .................................................................................. 9

3. Sistematik Hukum ............................................................................. 9

4. Konstruksi Hukum .......................................................................... 10

5. Fiksi Hukum .................................................................................... 12

6. Logika Hukum ................................................................................ 12

C. Sifat Bahasa Hukum ........................................................................... 13

D. Bahasa Hukum Indonesia dan Problematik nya ................................. 17

E. Urgensi Penerapan Bahasa Hukum..................................................... 19

F. Peranan Bahasa Hukum Dalam Perumusan Norma Perundang-


Undangan .......................................................................................................... 22

BAB III ............................................................................................................ 28

PENUTUP ....................................................................................................... 28

A. Kesimpulan ......................................................................................... 28

2
B. Saran ................................................................................................... 28

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam


Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Alasan yang mendukung pengikraran itu di
antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagai lingua franca selama
berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan Nusantara. Kedudukannya makin
kuat manakala bahasa Indonesia dijadikan bahasa negara dan bahasa resmi
negara Indonesia di dalam Pasal 36 UUD 1945 (Sugono 2009). Meskipun sudah
menjadi bahasa negara, bagi hampir sebagian orang di Indonesia bahasa
Indonesia bukan merupakan bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya
dipelajari di bangku sekolah.

Bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Melayu. Ada beberapa


alasan mengapa bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa Indonesia yakni antara
lain dikarenakan luas pemakaiannya sebagai sarana penghubung antara
masyarakat yang berbeda bahasa ibu dan kebudayaannya, antara orang Melayu,
Jawa, Bugis, Makassar, Cina, Arab, Belanda, Bali, Dayak dan suku bangsa lain,
yang sudah mengubah beberapa bahasa sehingga lahirlah bahasa Indonesia yang
berbeda dengan bahasa Melayu dan menjadi milik bersama seluruh rakyat
Indonesia dan juga karena bahasa Melayu telah lama dikenal di kalangan hampir
semua suku di Indonesia dan dalam banyak hal bahasa Melayu telah menjadi
bahasa perantara antar suku bangsa yang sudah berlaku berabad-abad.

Penggunaan bahasa Indonesia mempunyai dasar hukum pengaturannya di


dalam Konstitusi Negara kita yakni sebagaimana tercantum di dalam Pasal 36
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Bahasa Negara adalah
Bahasa Indonesia.

Oleh karena penggunaan Bahasa Indonesia tercantum di dalam UUD 1945


maka sebagai konsekuensinya Bahasa Indonesia haruslah dipergunakan sebagai
bahasa resmi dalam berkomunikasi maupun dalam bentuk yang tertuang di
dalam peraturan-peraturan perundang-undangan.

4
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di Indonesia?


2. Apa yang dimaksud dengan bahasa hukum dan ciri-cirinya?
3. Bagaimana pengaruh Bahasa Indonesia dalam hukum perundang-undangan
di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan Makalah

1. Untuk mengetahui sejarah Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di


Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengertian konsep dasar bahasa hukum.
3. Untuk mengetahui pengaruh Bahasa Indonesia dalam hukum perundang-
undangan di Indonesia.

D. Manfaat

Memberikan pengetahuan tentang peranan dan pengaruh Bahasa Indonesia


dalam hukum terutama terhadap bahasa yang digunakan dalam peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional negara Indonesia, Bahasa


Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya
konstitusi.

Bahasa Indonesia pada dasarnya berasal dari bahasa melayu, pada zaman
dahulu lebih tepatnya pada zaman kerajaan Sriwijaya bahasa melayu banyak
digunakan sebagai bahasa penghubung antar suku di pelosok nusantara. Selain
itu bahasa melayu juga di gunakan sebagai bahasa perdagangan antara pedagang
dalam nusantara maupun dari luar nusantara. Bahasa melayu menyebar ke
pelosok nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Islam, serta makin
kokoh keberadaan nya karena bahasa melayu mudah diterima oleh masyarakat
nusantara karena bahasa melayu digunakan sebagai penghubung antar suku,
antar pulau, antar pedagang, dan antar kerajaan.

Ada empat faktor yang menyebabkan bahasa Melayu diangkat menjadi


bahasa Indonesia yaitu :

1. Bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa


perhubungan dan bahasa perdagangan.
2. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa
melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3. Suku Jawa, suku Sunda dan suku-suku yang lainnya dengan sukarela
menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa
Nasional.
4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas.

Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai “Bahasa Persatuan Bangsa”


pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hal ini juga sesuai dengan

6
butir ketiga ikrar sumpah pemuda yaitu “Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Penggunaan bahasa Melayu
sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus,
sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di
Jakarta, Yamin mengatakan, “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa
yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa
diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari
dua bahasa itu, bahasa Melayu-lah yang lambat laun akan menjadi bahasa
pergaulan atau bahasa persatuan.”

Dan baru setelah kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tanggal 18 Agustus


Bahasa Indonesia diakui secara Yuridis. Secara Sosiologis kita bisa mengatakan
bahwa Bahasa Indonesia resmi diakui pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober
1928. Hal ini juga sesuai dengan butir ketiga ikrar sumpah pemuda yaitu “Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Namun secara Yuridis Bahasa Indonesia diakui pada tanggal 18 Agustus 1945
atau setelah Kemerdekaan Indonesia.

B. Bahasa Hukum

Hukum dan bahasa merupakan dua hal yang saling berhubungan erat dan
saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam masyarakat manapun, hukum
sebagai salah satu sarana untuk menciptakan keteraturan dan ketertiban sosial
selalu dirumuskan dalam bentuk bahasa, walaupun ada simbol-simbol lain yang
juga cukup penting untuk menetapkan hukum (Harkristuti Harkrisnowo,
Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Pengembangan Hukum Nasional).

Untuk membangkitkan dan memupuk kesadaran manusia dalam


menciptakan dan menegakkan hukum, diperlukan alat praktis dan efektif yang
disebut bahasa, sehingga bahasa memegang peranan yang penting demi tercipta
dan terlaksananya hukum dalam suatu masyarakat. Demikian juga sebaliknya,
hanya dengan bantuan bahasa manusia dapat dan mampu memahami serta
menegakkan dan mempertahankan hukum dalam masyarakat.

Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dan keadilan untuk mempertahankan kepentingan

7
pribadi dalam masyarakat. Bahasa hukum sebagian bagian dari bahasa
Indonesia modern maka penggunaannya harus tetap.

1. Tenang
2. Mono semantik atau kesatuan makna (jangan memberikan penafsiran
berbeda-beda)
3. Harus memenuhi syarat-syarat SP3 bahasa Indonesia yaitu:
a. Sintaktik: ilmu tentang makna kata
b. Semantik: seluk beluk
c. Pragmatik: hubungan antara konteks dan makna

Kegiatan berfikir secara hukum dengan menggunakan bahasa hukum


merupakan upaya untuk menemukan pengertian yang esensial dari hukum itu
sendiri.

Menurut Purnadi Purwacaraka dengan Soerjono Soekanto dalam buku


(Bahder Johan Nasution) judul buku bahasa hukum tahun 2001 hal 37
menyebutkan ada 4 macam arti hukum yang diberikan masyarakat yaitu.

1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang


tersusun secara sistematis berdasarkan kekuatan pemikiran.
2. Hukum sebagai suatu disiplin merupakan suatu sistem tentang ajaran
kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
3. Hukum sebagai kaidah merupakan sebagai pola atau pedoman atau petunjuk
yang harus ditaati.
4. Hukum sebagai tata hukum melihat bagaimana struktur dan proses
perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu dalam bentuk tertulis.

Dari paparan tersebut telah dilihat jelas bahwa hukum memiliki kaitan erat
dengan cara-cara berpikir hukum.

Beberapa Pengertian Mendasar Dalam Bahasa Hukum

1. Semantik Hukum

Istilah semantik berasal dari bahasa Inggris semantik atau semasiologi.


Semantik adalah pengetahuan yang menyelidiki makna atau arti kata-kata

8
dalam berbagai bahasa tertentu dan perhubungan-perhubungan antara arti
dan perubahan arti kata-kata itu dari zaman ke zaman.
Dari pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa semantik
hukum adalah ilmu pengetahuan hukum yang menyelidiki makna atau arti
kata-kata hukum, perhubungan dan perubahan arti kata-kata itu dari zaman
ke zaman menurut keadaan waktu, tempat, dan keadaan. Misalnya, istilah
“hukum perdata” terjemahan dari istilah hukum Belanda “privaatrecht”,
berasal dari bahasa Arab “hukum” dan istilah Jawa “pradata”.

2. Kaidah Hukum

Kaidah hukum lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang


menentukan bagaimana manusia itu seharusnya berperilaku, bersikap di
dalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain
terlindungi.

Kaidah hukum merupakan segala peraturan yang ada yang telah dibuat
secara resmi oleh pemegang kekuasaan, yang sifatnya mengikat setiap
orang dan pemberlakuannya merupakan paksaan yang harus ditaati dan
apabila telah terjadi pelanggaran akan dikenakan sanksi tertentu.

Kaidah hukum lahir dan hidup di lingkungan manusia sejak manusia


tersebut dilahirkan, oleh karenanya kaidah hukum juga disebut dengan sikap
lahir seseorang. Kaidah hukum tidak mempersoalkan apakah sikap batin
seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikannya adalah bagaimana
perbuatan lahiriah orang itu.

3. Sistematik Hukum

Dengan sistematik, hukum diarahkan untuk bersifat sistematis, artinya


kebulatan pengertian di mana yang satu bertautan dengan yang lain, ada
hubungan fungsi antara yang satu dengan yang lain, sehingga istilah-istilah
yang dipakai itu memberikan kesatuan pengertian yang mudah dipahami.

9
4. Konstruksi Hukum

Konstruksi hukum adalah membentuk pengertian-pengertian dari


berbagai bahan hukum dalam suatu isilah hukum, sehingga dengan istilah
hukum itu terkandung pengertian yang luas.

Ada tiga sendi konstruksi hukum, yaitu:

a. Analogi

Analogi adalah suatu cara penerapan suatu peraturan hukum


sedemikian rupa di mana peraturan hukum tersebut menyebut dengan
tegas kejadian yang diatur kemudian peraturan hukum itu dipergunakan
juga oleh hakim terhadap kejadian yang lain yang tidak disebut dalam
peraturan hukum itu, tetapi di dalam kejadian itu ada anasir yang
mengandung kesamaan dengan anasir di dalam kejadian yang secara
tegas diatur oleh peraturan hukum dimaksud.
Misalnya, Pasal 1576 KUHPerdata hanya menyebut “penjualan”
sebagai perbuatan melawan hukum yang tidak memutuskan hubungan
persewaan yang dibuat sebelumnya. Dengan analogi dari “penjualan”
ditarik asas hukumnya, yaitu “pemindahan hak milik”. Asas hukum ini
kemudian diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang lain, yaitu
memberi, menukar, dan memberi secara legat, yang mengandung anasir
yang sama dengan perbuatan “menjual”, yaitu pemindahan hak milik.
Jadi, perbuatan-perbuatan memberi, menukar, dan memberi secara
legat, sebagaimana perbuatan menjual, menurut KUPerdata, tidak
memutuskan sewa menyewa.

b. Rechtsverfijning (Penghalusan Hukum)

Rechtsverfijning adalah suatu cara penerapan peraturan hukum


terhadap suatu kejadian, di mana kejadian ini pada umumnya jelas
masuk dalam suatu peraturan hukum, tetapi karena beberapa hal,
dianggap kejadian tersebut dikecualikan dari berlakunya peraturan

10
hukum ini, selanjutnya hakim menyelesaikan kejadian itu menurut
peraturannya sendiri.
Misalnya, dalam Pasal 1365 KUHPerdata disebutkan, bahwa tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut. A pengendara mobil menabrak B
sehingga B luka-luka dan dirawat di rumah sakit dan karenanya
mengeluarkan biaya perawatan seluruhnya Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah). Akan tetapi dalam peristiwa tabrakan ini A tidak sepenuhnya
bersalah, B pun mempunyai kesalahan, yang tidak menengok ke kiri dan
ke kanan sebelum menyeberang jalan, artinya B juga kurang hati-hati.
Sekiranya B bersikap jati-hati , tabrakan itu tidak akan terjadi. Oleh
karena itu, dengan penghalusan hukum, A tidak dihukum untuk
membayar seluruh kerugian B Rp 1.000.000,00, tetapi sebagian saja.
Dengan melakukan penghalusan hukum tersebut, berarti hakim
menyempurnakan sistem hukum yang bersangkutan. Jika sistem
undang-undang (sistem formil hukum) tidak dapat menyelesaikan
secara adil atau sesuai dengan werklijkheid (kenyataan) sosial semua
perkara yang bersangkutan, hal itu berarti bahwa di dalam sistem
undang-undang tersebut ada di ruang kosong.

c. Argumentum a contrario

Argumentum a contrario adalah cara penerapan suatu peraturan


hukum dengan membuat kebalikan dari peristiwa tertentu yang diatur
secara khusus oleh suatu peraturan hukum. Jadi, peraturan hukum yang
mengatur secara khusus terhadap suatu peristiwa, tidak diberlakukan
terhadap peristiwa yang lain.
Misalnya, Pasal 34 KUHPerdata menentukan, bahwa seorang
perempuan tidak boleh kawin sebelum lewat tiga ratus hari sesudah
percerainya dengan suaminya. Asas yang menjadi dasar konstruksi
hukum di sini adalah “seorang laki-laki tidak bisa hamil”, sehingga
dengan argumentum a contrario Pasal 34 tidak berlaku lagi.

11
5. Fiksi Hukum

Fiksi hukum adalah sesuatu yang khayal yang digunakan di dalam ilmu
hukum dalam bentuk kata-kata, istilah-istilah yang berdiri sendiri atau
dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian
hukum.

Contoh, di dalam hukum perundang-undangan, misalnya, dipakai istilah


badan hukum (rechtspersoon) yang dikiaskan sebagai orang bukan manusia,
maksudnya suatu badan pendukung hak dan kewajiban yang bukan manusia.
Sehingga di dalam ilmu pengetahuan hukum terdapat pengertian orang
(persoon) yang asli, yaitu manusia dan manusia semu, yaitu badan hukum.

Pasal 2 KUHPerdata menyebutkan: “anak yang ada di dalam kandungan


seorang wanita, dianggap telah dilahirkan, jika kepentingan si anak
menghendakinya.” Jadi, apabila bapak si anak wafat, anak yang belum lahir
dari kandungan ibunya tidak akan kehilangan hak-hak kewargaannya.

6. Logika Hukum

Logika berasal dari kata Yunani Kuno logos yang berarti hasil
pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan bahasa. Dalam
bahasa Arab dikenal dengan kata mantiq yang artinya berucap atau berkata.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia)
atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk
berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Logika merupakan suatu ilmu
pengetahuan di mana objek materialnya adalah berpikir (khususnya
penalaran/proses penalaran) dan objek formal logika adalah
berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.

Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan


kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan
pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa
juga diartikan dengan masuk akal. Ilmu harus dibedakan dari pengetahuan.

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang datang dari hasil aktivitas


mengetahui, yaitu tersingkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga

12
tidak ada keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh
dari itu. Poespoprojo dalam Strategi Belajar Argumentasi Hukum
merumuskan ilmu adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang
tertentu yang merupakan satu kesatuan yang tersusun secara sistematis, serta
memberikan penjelasan yang dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan
sebab-sebabnya.

Menurut Alex Lanur, logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan


untuk berpikir lurus (tepat). Ilmu pengetahuan adalah kumpulan
pengetahuan tentang pokok yang tertentu. Kumpulan ini merupakan suatu
kesatuan yang sistematis serta memberikan penjelasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Penjelasan seperti ini terjadi dengan menunjukkan
sebab musababnya.

Jadi, logika merupakan suatu ilmu suatu ilmu tentang dasar dan metode
untuk berpikir secara benar digunakan untuk membedakan penalaran yang
betul atau salah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati menjelaskan tentang logika


hukum. Berpikir adalah objek material dari logika, berpikir di sini
merupakan suatu kegiatan dengan mengolah akal budi untuk memperoleh
kebenaran yang dilakukan dengan cara mempertimbangkan, menguraikan,
membandingkan serta menghubungkan pengertian yang satu dengan
pengertian yang lainnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa logika
hukum merupakan suatu proses pemikiran yang dilakukan dengan cara
mempertimbangkan, mengkaji, dan menganalisis fenomena-fenomena
hukum yang mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari
sistem hukum dan struktur sistem hukum.

C. Sifat Bahasa Hukum

Bahasa hukum, yang secara luas diuraikan sebagai bahasa dari profesi
hukum (legal profession), telah menjadi objek dari pelbagai studi, yang
sebagian besar dimaksudkan untuk membantu, sehingga lebih dapat dimengerti
oleh warga masyarakat biasa yang hidup dan nasibnya dapat dipengaruhi oleh
teks-teks itu. Banyak ungkapan-ungkapan buruk yang digunakan untuk

13
menggambarkan bahasa hukum, di antaranya “panjang lebar”, “tidak jelas”,
“muluk” (angkuh), dan sebagainya. Lebih spesifik lagi, literatur-literatur
bahasa hukum itu sendiri menyatakan bahwa bahasa hukum berbeda dari
ucapan-ucapan biasa/umum, di antaranya menyangkut terminologinya yang
teknis. Kenyataannya, dalam teks-teks hukum yang otoritatif tidak semuanya
mengandung gambaran sebagaimana bahasa hukum di atas. Namun, memang
sebagian besar dokumen-dokumen hukum masih menggunakan teks-teks yang
berbahasa hukum itu.

Berdasarkan hasil studi mengenai bahasa hukum, kebiasaan yang kemudian


menjadi sifat bahasa hukum itu di antaranya :

1. Kalimat-kalimat yang kompleks

Berbagai studi menunjukkan bahwa kalimat-kalimat dalam bahasa


hukum nyaris sedikit lebih panjang dibandingkan dengan pola-pola
berbahasa lainnya, dan lebih lekat, sehingga membuatnya lebih kompleks.
Terkadang terkesan ada usaha untuk menyatakan suatu prinsip peraturan
perundang-undangan dalam satu kalimat tunggal.

2. Kalimat panjang lebar dan berlebihan

Para Praktisi Hukum sangat suka menggunakan frasa-frasa yang panjang


dan cenderung berlebihan, sehingga terkadang disebut “boilerplate’. Di lain
pihak, kadang-kadang bahasa hukum tidak secara berlebihan menggunakan
kalimat panjang lebar, namun sangat padat (compact) atau penuh.

3. Mengandung beberapa frasa yang dihubungkan

Frasa ini mengandung kata-kata seperti dan/atau. Frasa-frasa seperti ini


masih sangat umum dalam bahasa hukum. Struktur kalimat seperti itu dapat
membawa pada ambiguitas, lebih-lebih dikaitkan dengan aturan interpretasi,
dimana tiap kata membutuhkan pengertian.

4. Struktur kalimat yang tidak lazim

Para praktisi hukum acap kali membuat struktur kalimat yang tidak
lazim. Sering kali struktur yang tidak lazim itu berakibat memisahkan

14
subjek dari kata kerjanya, atau memisahkan kata kerja yang kompleks,
sehingga mereduksi pemahaman terhadap kalimat tersebut.

5. Peniadaan (Negasi)

Bahasa hukum tampaknya menggunakan jumlah peniadaan (negasi)


yang banyak sekali. Penelitian mengungkapkan bahwa negasi yang
berganda khususnya, mengganggu komunikasi dan harus dihindari.

Berdasarkan gaya tulisan-tulisan hukum yang tidak berfungsi komunikatif,


sehingga mereduksi pengertian, maka kemudian muncul upaya untuk
menemukan suatu bahasa hukum yang berbeda, yakni bahasa hukum yang
dapat dikomunikasikan secara sangat tepat (precise communication). Di antara
cara-cara untuk memperkenalkan bahasa hukum yang jelas dan menciptakan
komunikasi yang ringkas/singkat (concise communication) adalah melalui
perbendaharaan kata hukum khusus (specific legal vocabulary), yang secara
terminologis sering disebut dengan “leksikon hukum”. Leksikon hukum
tersebut pada umumnya memiliki karakter :

1. Kosa kata kuno (legal archaisms);

Kritik umum terhadap perbendaharaan hukum adalah penuh dengan sisi


kuno, termasuk morfologi (ilmu mengenai bentuk kata) lama. Kosa kata
tersebut dipertahankan karena dianggap lebih tepat dibandingkan dengan
bahasa umum (ordinary language).

2. Kreativitas linguistik;

Kendati bahasa hukum sebagian sangat kuno, sebagian besar istilah-


istilah hukum lainnya satu demi satu mati, sehingga menjadi tidak terpakai.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa leksikon hukum sangat inovatif,
seperti munculnya istilah zona, korporasi. Kendati istilah-istilah tersebut
membingungkan orang-orang awam, namun dapat meningkatkan
komunikasi dalam profesi dengan tetap menyimpan kesenjangan leksikal
yang ada dalam bahasa umum. Namun, bagaimanapun juga beberapa istilah
memberi kemampuan pada hukum untuk berhubungan dengan upaya
pembangunan hukum.

15
Penilaian yang dikemukakan sehubungan dengan hal ini adalah bahwa
bahasa hukum bukan konservatif yang tanpa harapan, juga bukan sangat
inovatif. Seringkali terdapat alasan untuk tetap menggunakan kosa-kosa
kata lama atau terjadi keengganan untuk mengubah karena kekhawatiran
translasinya mempengaruhi maknanya.

3. Terminologinya formal dan ritualistis

Leksikon hukum juga mengandung kata atau frase yang ritualistis dan
formal. Salah satu fungsinya adalah untuk menegaskan bahwa bekerjanya
hukum berbeda dari kehidupan pada umumnya.

Jika distingsi kosa-kosa kata hukum itu meningkatkan komunikasi, pasti


merupakan istilah-istilah teknis (technical terms) atau “terms of art”, yang
digunakan dalam ruang profesi tertentu. Karena konsep bahwa bahasa hukum,
baik leksikonnya maupun kalimat-kalimatnya, maka kemudian memunculkan
konsep yang berbeda dalam soal interpretasi dan pemaknaan dibandingkan
dengan interpretasi atau pemaknaan dalam bahasa umum.

Sebagaimana diungkapkan oleh Peter M. Tiersma (1999) bahwa anggota


masyarakat kecewa dengan bahasa hukum yang menyebabkan problem-
problem dalam pemahaman, khususnya bagi orang-orang awam. Artinya, kosa-
kosa kata teknis, kata-kata yang kuno dan tidak lazim, konstruksi-konstruksi
yang impersonal, penegasian yang multiple, kalimat yang kompleks dan
panjang, adalah merupakan problem. Dalam konteks itulah di Inggris misalnnya
muncul usaha-usaha untuk mereformasi bahasa hukum. Hal ini bisa melalui
penyederhanaan/simplifikasi (menjadikan bahasanya para praktisi hukum itu
seperti bahasa biasa) atau melalui translasi (meninggalkan secara esensi bahasa
hukum, dengan memberi translasi yang lebih baik bagi publik dalam bentuk
bahasa biasa, ketika dibutuhkan). Dengan reformasi tersebut teks-teks hukum
menjadi dapat diakses, baik oleh profesi hukum maupun publik.

Sebagaimana di singgung di atas bahwa aspek bahasa dalam rangka


pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya menyangkut dapat-
tidaknya teks-teks itu dimengerti oleh publik, namun juga menyangkut
persoalan interpretasi. Oleh karena tulisan itu sifatnya relatif permanen, maka

16
pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menciptakan teks-teks yang
mungkin harus dapat diinterpretasikan beberapa tahun mendatang yang saat ini
tidak diketahui publik. Idealnya, minimal pembaca yang berpendidikan hukum,
dapat menginterpretasikan teks tanpa bantuan informasi lain, kendati beberapa
tahun kemudian.

D. Bahasa Hukum Indonesia dan Problematik nya

Bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa


hukum Indonesia. Menurut Mahadi, bahasa hukum Indonesia adalah bahasa
Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum.
Perhatian yang besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah
dimulai sejak diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober - 2
November 1954 di Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974,
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium
bahasa dan hukum di kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut
menghasilkan empat konstatasi berikut:

1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan


dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya mempunyai karakteristik
tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum Indonesia haruslah memenuhi
syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.
2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah, komposisi,
serta gayanya.
3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika.
4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum
yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik kata, bentuk,
dan komposisi kalimat.

Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti


terdapat dalam konstatasi keempat di atas, yang tercermin dalam penulisan
dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya. Sejarah
membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa undang-

17
undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia saat itu
banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu pada
hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung pengetahuan dari
bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan struktur bahasa
Indonesia. Di samping itu, ahli hukum pada masa itu lebih mengenal bahasa
Belanda daripada bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau Jerman) karena
bahasa Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa Indonesia tidak tercantum
di dalam kurikulum sekolah.

Menurut Mahadi, hukum mengandung aturan-aturan, konsepsi-konsepsi,


ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa pembuat hukum untuk (a)
disampaikan kepada masyarakat (b) dipahami/disadari maksudnya, dan (c)
dipatuhi. Namun, kenyataannya sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia
di dalam dokumen-dokumen hukum sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang hukum masih perlu disempurnakan.
Banyak istilah asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami maknanya
dan belum konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang dan berbelit-
belit.

Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo menambahkan bahwa kalangan


hukum cenderung

1. merumuskan atau menguraikan sesuatu dalam kalimat yang panjang dengan


anak kalimat
2. menggunakan istilah khusus hukum tanpa penjelasan
3. menggunakan istilah ganda atau samar-samar
4. menggunakan istilah asing karena sulit mencari padanannya dalam bahasa
Indonesia
5. enggan bergeser dari format yang ada (misalnya dalam akta notaris).

Hal-hal tersebut menempatkannya dalam dunia tersendiri seakan terlepas dari


dunia bahasa Indonesia umumnya. Tidak heran jika dokumen hukum, seperti
peraturan perundang-undangan, surat edaran lembaga, surat perjanjian, akta
notaris, putusan pengadilan, dan berita acara pemeriksaan, sulit dipahami
masyarakat awam.

18
Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan karakteristik
bahasa hukum dalam hal kekhususan istilah, kekhususan komposisi, dan
kekhususan gaya bahasa. Meskipun diakui bahasa hukum Indonesia memiliki
karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi, dan gaya bahasanya, bukan
berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum atau orang-orang yang
berkecimpung di dalam hukum. Bahkan, sebetulnya di kalangan praktisi hukum
sendiri masih timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum. Begitu
penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum ditekankan pula oleh
Suryomurcito. Ia mengatakan bahwa banyak layanan produk hukum yang
berbasis bahasa, seperti korespondensi dengan klien atau dengan ditjen HKI,
surat teguran/somasi, iklan peringatan, laporan polisi, gugatan, permohonan
pendaftaran (merek, hak cipta, paten, dan sebagainya), dan penerjemahan jenis
barang/jasa, draf perjanjian.

Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja masyarakat akan


dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk
mematuhi dokumen hukum yang dihasilka. Karena semua itu ditujukan untuk
dimanfaatkan dan diinformasikan kepada masyarakat umum, sudah selayaknya
penulisannya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar mendapat perhatian
besar. Putusan simposium 1974 waktu itu sudah tepat: memasukkan bahasa
Indonesia dalam kurikulum di fakultas hukum dan melibatkan ahli bahasa
Indonesia di dalam penyusunan rancangan peraturan-peraturan hukum. Dengan
kata lain, dibutuhkan penulis dokumen hukum yang memahami ketentuan
perundang-undangan yang menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki
keterampilan dan pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan
benar.

E. Urgensi Penerapan Bahasa Hukum

Bahasa hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan
umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Namun dikarenakan
bahasa hukum adalah bagian dari bahasa Indonesia yang modern, maka dalam

19
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika dan etika bahasa Indonesia.

Karakteristik bahasa hukum Indonesia terletak pada istilah-istilah,


komposisi, gaya bahasanya, dan kandungan artinya yang khusus. Bahasa
hukum yang dipergunakan sekarang masih banyak yang kurang sempurna dari
sisi semantik, bentuk dan komposisi kalimatnya. Hal tersebut dikarenakan para
sarjana hukum dimasa lalu, tidak pernah mendapatkan pelajaran bahasa hukum
yang khusus dan tidak pula memperhatikan dan mempelajari syarat-syarat dan
kaidah-kaidah bahasa Indonesia.

Kelemahan itu timbul karena bahasa hukum yang dipakai dalam seluruh
cakupan hukum, menggunakan istilah berasal dari hukum Belanda. Para
kalangan terpelajar dari Belanda yang pertama kali membuat peraturan-
peraturan di bumi pertiwi. Para ahli hukum Belanda ini tentu lebih menguasai
tata bahasa Belanda daripada tata bahasa pribumi saat itu.

Bahasa hukum Belanda lebih mewarnai hukum di Indonesia karena dalam


sejarahnya bangsa Indonesia lama dibawah kendali bangsa Belanda. Pada saat
Kongsi Perdagangan Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie atau
VOC) didirikan tahun 1602 dan berkuasa dengan didukung militer Belanda,
terbit peraturan dagang dalam menyelesaikan perkara istimewa perkara
Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di
daerah-daerah yang dikuasainya, disamping dapat memutuskan perkara perdata
dan pidana, peraturan-peraturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya
melalui plakat pada tahun 1942 plakat-plakat tersebut disusun secara sistimatis
dan diumumkan dengan nama Statuta Van Batavia (Peraturan Dasar Batavia)
dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama Niewe Batavia Statuten
(peraturan dasar Batavia yang baru). Aturan-aturan yang dibuat Belanda itupun
terus berkembang, bahkan sampai pada masa penjajahan Jepang, sebagian tetap
berlaku, selama tidak bertentangan dengan Kekaisaran Jepang.

Harus diakui, dibanding dengan bahasa asing yang kaya dengan istilah,
maka bahasa Indonesia masih miskin dalam istilah. Sehingga dalam
menerjemahkan istilah Belanda para sarjana hukum membuat istilah sendiri, hal

20
ini menyebabkan seringkali terdapat pemakaian istilah yang tidak sesuai dengan
maksud sebenarnya. Adakalanya dua atau lebih istilah hukum asing
diterjemahkan hanya dengan satu istilah atau satu istilah diterjemahkan menjadi
beberapa istilah hukum Indonesia. Untuk mengatasi kekeliruan pengertian,
maka seringkali didapati dalam kepustakaan hukum penulisnya mencantumkan
bahasa aslinya di dalam tanda kurung.

Terjemahan itu kadang-kadang menimbulkan pertanyaan bagi orang awam.


Misalnya, istilah didalam hukum adat yang disebut kawin lari, sebagai
terjemahan dari vlucthuwelijk dan wegloophuwelijk. Tentu orang awam
berpikir, tidak ada kawin lari. Yang dimaksud kawin lari adalah berlarian untuk
kawin yang dilakukan oleh bujang gadis seperti berlaku di Batak, Lampung dan
Bali. Kalau di Makassar dikenal dengan silariang.

Contoh lain didalam istilah hukum perdata, dalam istilah hukum perdata
Belanda ada dikenal verbindtenis, ada yang menerjemahkan perikatan ada yang
menerjemahkan perjanjian. Ada juga istilah hukum Belanda overeenkomst, ada
yang menerjemahkan perjanjian, ada yang menerjemahkan persetujuan. Hal itu
tentu akan membingungkan orang awam dan bagi mereka yang baru belajar
hukum. Begitupula dalam hukum pidana terdapat istilah hukum Belanda yang
disebut straafbaarfeit, ada yang menerjemahkan peristiwa pidana, ada yang
menerjemahkan perbuatan pidana, dan ada pula yang menerjemahkan tindak
pidana. Sedangkan maksud sebenarnya adalah peristiwa yang dapat dihukum.
Kemudian ada istilah yang telah mendarah daging di kalangan hukum ialah
barangsiapa, terjemahan dari kata Hij die, yang dimaksud tentunya bukan
barang kepunyaan siapa, tetapi dia yang (berbuat) atau siapapun yang berbuat.

Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan ragam bahasa hukum urgen


diaplikasikan. Pertama, untuk menyempurnakan penerjemahan dan penafsiran
teori-teori hukum yang banyak mengadopsi bangsa asing sehingga dapat
mencapai tujuan ideal dalam aplikasinya. Kedua, kekhasan teori dan praktik
hukum terkadang bertentangan dengan semantik dan tata bahasa Indonesia.
Misalnya, apabila ada kalimat yang berbunyi “Badu memukul Tatang, maka
menurut ketentuan ilmu bahasa “Badu” Badu adalah subyek, memukul adalah

21
predikat dan “Tatang” adalah obyek. Tetapi didalam kalimat ilmu hukum
“Tatang itu tidak mungkin menjadi obyek, tetapi ia adalah subyek (hukum) oleh
karena ia adalah manusia. Di dalam ilmu hukum hanyalah benda atau yang
bukan subyek hukum yang menjadi obyek hukum.”

F. Peranan Bahasa Hukum Dalam Perumusan Norma Perundang-Undangan

Peranan bahasa hukum mempunyai makna yang penting dalam perumusan


norma perundang-undangan. Ilmu hukum adalah disiplin ilmu yang bertengger
di atas kepribadian ilmunya sendiri (sui generis), oleh karenanya ilmu hukum
memiliki logikanya sendiri, yaitu logika hukum dan untuk kebutuhan,
kepentingan keberfungsian keilmuannya baik bidang akademik maupun bidang
praktis. Rumusan masalah yang hendak diteliti adalah bagaimana pembedaan
bahasa dalam perspektif ilmu hukum dan bagaimana bahasa hukum dalam
perspektif ilmu hukum. Bahwa ilmu hukum mempunyai bahasanya sendiri,
yaitu bahasa hukum. Ilmu hukum dengan segala stratifikasi keilmuannya dan
struktur atau klasifikasi hukumnya beserta segala elemen-elemen pendukung
sistemnya sarat dengan bahasa-bahasa hukum yang mengandung artikulasi
karakteristik sebagai bahasa keilmuan hukum dan praksis, sehingga untuk
memahami disiplin keilmuannya dengan baik, maka harus menggunakan
bahasanya sendiri yaitu bahasa hukum.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI


1945 (amandemen) Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Hukum sebagai suatu sistem norma untuk mencapai tujuan yang dikehendaki
secara efektif. Oleh karena itu, Dunia hukum identik dengan regulasi terhadap
suatu perilaku. Regulasi terhadap perilaku tidak bisa dibangun, diterapkan, dan
diapresiasi tanpa bahasa yang logis dan argumentatif. Muncul pandangan
bahasa hukum mempunyai kaidah bahasa sendiri. Pandangan ini dapat
menyesatkan tatkala pandangan ini mengabaikan kaidah pemakaian bahasa
Indonesia, terutama yang berkaitan dengan hal semantik, pilihan kata, dan
formulasi kalimat.

Hukum itu menggunakan bahasa sebagai medianya. Dengan demikian


antara bahasa dan hukum sangat erat kaitannya. Keeratan antara hubungan

22
keduanya selanjutnya akan melahirkan istilah bahasa hukum. Penggunaan
istilah dalam konteks ini bukanlah secara linguistik, melainkan secara
sosiologis. Alasannya adalah bahasa hukum Indonesia adalah bahasa nasional
Indonesia yang dipergunakan dalam penyusunan perundang-undangan yang
dibentuk menurut acuan sistem yang berlaku dalam bahasa Indonesia baku.

Bahasa Hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan
umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Namun dikarenakan
bahasa hukum adalah bagian dari bahasa Indonesia yang modern, maka dalam
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat
estetika bahasa Indonesia.

Bahasa hukum yang bersumber dari bahasa lokal anak bangsa Indonesia,
misalnya “Rincik” (bukti hak kepemilikan tanah menurut sistem hukum
pertanahan adat di Sulawesi Selatan), “Tesang” di bidang perjanjian bagi hasil
dalam sistem hukum perjanjian adat di Sulawesi Selatan. Di daerah-daerah lain
di luar Sulawesi Selatan ada dikenal dengan sebutan antara lain “ketitir”,
“pekulen” “girik”, dll.

Bahasa hukum yang bersumber dari bahasa asing, misalnya dalam bidang
hukum pidana antara lain delik (delictum), eksepsi (ecsepsio), tuntutan
(requisitoir), pembelaan (pledoi).

Bidang hukum perdata, misalnya perjanjian (contract), berpiutang


(credituur), siberutang (debituur). Bidang hukum acara perdata, misalnya,
kausa (causa) gugatan (fundamentum petendi), alasan gugatan (posita/positum),
tuntutan dalam gugatan (petitum), jawaban balik penggugat (repliek), jawaban
tergugat atas repliek (duplik). Putusan diluar hadirnya tergugat (Verstek),
perlawanan atas putusan verstek (verzet), perlawanan pihak ketiga atas putusan
(derden verzet), upaya hukum atas putusan pengadilan tingkat pertama
(banding/Appel), perlawanan atas putusan banding (kasasi). Hakim tingkat
pertama dan banding (judex factie), hakim tingkat kasasi (judex juris). Bidang
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, misalnya hukum dasar

23
(konstitusi/constitution), administratur negara (bestuur), jabatan (ambstdrager),
penjabat, pemangku jabatan (ambst) dll.

Memahami bahasa hukum akan memberi efisiensi dan efektifitas serta


validitas dalam mengkomunikasikan hukum dalam upaya pencapaian tujuan
dan fungsi-fungsi hukum yang dibutuhkan, baik dalam konteks yuridis-
normatif maupun dalam konteks emprisinya.

Syarat mutlak untuk memahami bahasa hukum dengan baik bagi ilmuan
hukum Indonesia, harus memahami bahasa Indonesia dengan baik sebagai
media bahasa hukum, seraya memperkaya diri dengan pemahaman terutama
bahasa- bahasa lokal anak bangsa Indonesia di Nusantara, dan bahasa asing
yang telah diserap sebagai bahasa hukum Indonesia, misalnya bahasa Belanda,
Perancis, Jerman, Inggeris dan bahasa Arab.

Perlunya bahasa hukum Indonesia dipelajari agar pesan-pesan yang


dikehendaki hukum dapat diinterpretasi oleh pengemban kewenangan
pelaksana hukum dan dapat pula dimengerti oleh yang ditujukan hukum itu.

Dalam Undang-Undang Notaris (UU No. 2 Tahun 2014, Pasal 43)


ditekankan kepada notaris untuk menggunakan bahasa yang lebih jelas
maksudnya dan tujuannya sehingga dapat menghindari permasalahan hukum
yang sama dikemudian hari. Hal ini menghindari interpretasi, sebab karena
norma hukum cenderung bersifat abstrak, sehingga perlu dibuat terang, dan
apabila di interpretasi harus tepat agar pesannya dapat dipahami sesuai dengan
tujuannya.

Bahasa Indonesia di bidang hukum masih jauh dari harapan. Hal ini tidak
memungkiri bahwa hal tersebut dilatarbelakangi sejarah panjang hukum
Indonesia yang mengadopsi hukum Belanda, yang tak lepas dari sistem hukum
Romawi. Akibatnya, muncul istilah-istilah hukum yang tidak ditemukan dalam
kosakata bahasa Indonesia. Istilah register dalam pidana kehutanan, tidak
dikenal dalam bahasa Indonesia. Demikian juga dengan kata merampas di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam bahasa Belanda,
merampas artinya merampok. Tetapi apa bisa dikatakan bahwa negara adalah
perampok saat hukum menentukan barang bukti dirampas untuk negara?

24
Belum lagi istilah bahasa asing, seperti bahasa Inggris, yang muncul
mengikuti perkembangan zaman. Istilah whistle blower yang muncul dalam
kasus mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji. ”Kalau diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, arti whistle blower adalah meniup peluit. Tetapi dalam
hukum, tidak ada istilah begitu. Apa meniup peluit bisa dipenjara? Jadi banyak
istilah hukum asing yang tidak bisa diterjemahkan langsung ke dalam bahasa
Indonesia.

Menurut Frans Hendra Winarta, penggunaan bahasa Indonesia di bidang


hukum masih harus diperbaiki dan disempurnakan lagi. Kebanyakan bahasa
hukum baku masih menggunakan istilah asing yang diambil dari bahasa
Belanda dan Inggris. Penyebabnya, istilah hukum yang menggunakan kata-kata
asing sering kali tidak ada atau sulit dicari padanan katanya dalam bahasa
Indonesia. Sementara, penggunaan kata-kata bahasa Indonesia dalam bahasa
hukum juga sering kali tidak tegas dan multitafsir. Akibatnya, dalam praktik
kerap terjadi ketidakpastian dan perbedaan penafsiran yang memunculkan
polemik hukum.

Sebagaimana diketahui bahwasanya perkembangan hukum Indonesia tidak


terlepas dari pengaruh hukum dari bahasa Belanda dan menurut Romli
Atmasasmita, perkembangan hukum Indonesia merupakan hasil adopsi hukum
termasuk sistem hukum asing (Belanda) selama masa penjajahan tiga setengah
abad yang lampau dan kentara pengaruhnya ke dalam kehidupan sosial,
ekonomi, politik masyarakat Indonesia. Pengaruh tersebut terbukti nyata karena
sampai kini baik dalam hukum perdata maupun dalam hukum pidana masih
diberlakukan sistem hukum warisan kolonial di Indonesia. (Romli
Atmasasmita:2016).

Di dalam perkembangannya bahasa hukum Indonesia selalu berkembang


dan penyempurnaan sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga menurut
Kusumadi Pudjosewojo bahwa bahasa hukum Indonesia masih mencari
gayanya sendiri. Istilah-istilahnya masih belum tetap dan sebagian besar masih
merupakan terjemahan belaka dari istilah hukum Belanda. Dengan demikian
istilah atau kalimat Indonesia itu masih mencerminkan pengertian hukum

25
Belanda dan alam pikiran hukum Belanda. Bahasa hukum berlainan daripada
bahasa sehari-hari atau bahasa kesusasteraan. Karakteristik bahasa hukum
Indonesia selain terletak pada komposisi, dan gaya bahasa yang khusus dengan
kandungan arti yang khusus, juga terletak pada istilah-istilah yang dipakai.
(Kusumadi Pudjosewojo: 1997: 52).

Di dalam hukum pidana terdapat banyak istilah-istilah yang belum


dibakukan dalam bahasa Indonesia. Misalnya penggunaan istilah
“straafbaarfeit” dalam bahasa hukum Belanda. Di dalam prakteknya istilah
tersebut diterjemahkan dengan istilah “peristiwa pidana” dan ada yang
menerjemahkan dengan “perbuatan pidana” dan ada pula yang menerjemahkan
“tindak pidana”. Meskipun penggunaan istilah-istilah tersebut merujuk kepada
pengertian yang sama yakni suatu tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum,
akan tetapi dengan berbagai istilah tersebut menunjukkan bahwa belum ada
istilah baku dalam bahasa hukum Indonesia.

Di dalam hukum perdata ditemukan pula berbagai istilah yang masih belum
dibakukan sebagai bahasa hukum Indonesia. Misalnya dalam istilah hukum
perdata Belanda kita mengenal istilah “verbintenis”. Istilah ini ada yang
menerjemahkannya dengan istilah “perikatan”. Selain itu ada pula yang
menerjemahkan dengan istilah “perjanjian”. Sedangkan di dalam istilah hukum
Belanda terdapat pula istilah yang kita kenal dengan “overeenkomst”. Istilah ini
ada yang menerjemahkan pula dengan “perjanjian” dan ada yang
menerjemahkan dengan istilah “persetujuan”.

Disamping istilah persetujuan yang berasal dari bahasa Belanda (Hukum


Eropa Kontinental) sekarang terdapat pula istilah yang berasal dari hukum
Anglo Saxon yaitu “Memorandum of Understanding” (MoU). Istilah inipun
sering disepadankan dengan istilah “perjanjian” atau “Nota Kesepahaman”

Apabila dicermati maka penggunaan yang mempersamakan antara


“Memorandum of Understanding” (MoU) dengan istilah “perjanjian” atau Nota
Kesepahaman” tidaklah begitu tepat, karena ditinjau secara keilmuan hukum
“Memorandum of Understanding” (MoU) merupakan janji untuk mengadakan

26
perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai kekuatan
mengikat layaknya perjanjian itu sendiri.

Kenyataan mengenai banyaknya penggunaan istilah yang dipergunakan


sudah tentu hal ini akan membingungkan orang awam dan atau bagi mereka
yang baru belajar hukum.

Kamus Bahasa Indonesia sendiri tidak memuat secara defenitif mengenai


pengertian istilah-istilah tersebut diatas. Akan tetapi dalam buku yang berjudul
Bahasa Hukum Indonesia yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional dapat diambil kesimpulan bahwa “istilah” merupakan satu atau
beberapa kata yang digunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep.
Mengingat istilah ini dalam konteks istilah hukum, maka konsep yang
diungkapkan tersebut merupakan sebuah konsep tentang hukum. Sehingga
dapat dikatakan bahwa istilah hukum adalah satu atau beberapa kata yang
dipergunakan untuk mengungkapkan sebuah konsep hukum.

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa


resmi kenegaraan dan juga bisa dipergunakan dalam bahasa hukum. Berbagai
istilah banyak dipergunakan dalam bahasa hukum seperti dalam Hukum Perdata
dan Hukum Pidana.

Bahasa Hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan
umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Bahasa hukum adalah
bagian dari bahasa Indonesia yang modern, maka dalam penggunaannya harus
tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi syarat estetika bahasa Indonesia.
Karakteristik bahasa hukum Indonesia terletak pada istilah-istilah, komposisi
serta gaya bahasanya yang khusus dan kandungan artinya yang khusus.

Ragam bahasa hukum memiliki beberapa ciri, yaitu memiliki gaya bahasa
yang khusus, lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan,
objektif dan menekan prasangka pribadi, memberikan definisi yang cermat
tentang nama, sifat dan kategori yang diselidiki untuk menghindari
kesimpangsiuran, dan tidak beremosi dan menjauhi tafsiran bersensasi.

Pemaknaan peristilahan hukum dalam praktik di masyarakat ternyata tidak


selalu tepat, bahkan ada beberapa istilah yang penggunaannya sama sekali tidak
tepat sehingga makna sesungguhnya menjadi hilang sama sekali.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat disampaikan adalah perlu adanya perhatian dari
pemerintah untuk meluruskan istilah yang dimaknai salah dalam praktik,
misalnya dengan membuat undang-undang sebagai pedoman. Di samping itu
peran serta masyarakat juga masih diperlukan, misalnya dari kalangan
akademisi dan profesional yang memang mengetahui makna istilah tersebut
untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat. Diharapkan kalangan praktisi
tidak turut melestarikan penggunaan istilah yang salah kaprah, hanya karena
28
dunia praktis sudah terlanjur terus menerus menggunakan suatu istilah dengan
tidak tepat.

29
DAFTAR REFERENSI

Abdurrahman, Bahasa Hukum Dalam Putusan Peradilan di Indonesia. Makalah


pada seminar Internasional “Penggunaan Bahasa Serapan Asing yang digunakan
dalam Terminologi Hukum Indonesia”. Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin, 29 April 2015.

Atmasasmita, Romli. Arah Perkembangan Hukum Pidana Indonesia. Koran


Sindo, 26 April 2016.

Hadikusuma, Hilman. Bahasa Hukum Indonesia. Alumni. Bandung. 2010.

Musaba, Zulkifli, Bahasa Indonesia Untuk Mahasiswa. Aswaja Pressindo.


Jogjakarta. 2015.

Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta:


Sinar Grafika, 1997

30

Anda mungkin juga menyukai