AZAS-AZAS LEGALITAS
Dosen Pengampu:
Drs.Ahmad Thobroni,MH
Disusun Oleh:
JURUSAN SYARIAH
2020/2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang maha penagsih lagi maha
penyayang. Yang mana berkat rahmat dan karunia-Nya serta kasih sayang yang melimpah
kepada saya sehingga masih dapat diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas
makalah ini yang diberikan kepada saya. Tak lupa salawat beriringkan salam saya haturkan
kepada nabi besar Muhammad SAW yang mana berkat beliau lah yang telah membawa kita umat
manusia dari alam kebodohan yang tidak tahu apa-apa menuju alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Dalam hal ini ,klompok saya bermaksud membuat makalah tentang Azas-azas dalam Fikih
Jinayah :Azas legalitas dan Masa berlakunya hukum pidana yang mana dalam hal makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen ,dalam cakupan kajian perkuliahan.
Saya berharap makalah ini dapat sesuai dengan apa yang di inginkan dan menjadi mamfaat bagi
yang lain baik dalam pembelajaran perkuliahan ataupun yang lainnya.Walaupun masih banyak
kekurangan didalamnya.Dan tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada keluarga dan sahabat-
sahabat saya yang telah banyak membantu walaupun tidak asecara lanagsung tapi pengertian dan
perhatian nya kepada saya.Sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
1. Latar belakang...................................................................................................................................4
2. Rumusan Masalah.............................................................................................................................5
3. Tujuan Masalah.................................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................6
BAB III........................................................................................................................................................15
PENUTUP...................................................................................................................................................15
Kesimpulan............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan yang dapat dipidana, siapa
yang dapat dipidana, dan apa macam sanksi yang dijatuhkan. Hukum pidana memiliki efek jera
bagi pelakunya. Hukum pidana ini termasuk kepada hukum publik, karena dalam
penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara pidana ini tanpa
bantuan Negara/pengadilan.
Agama Islam adalah agama yang menggunakan hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadits, karena keduanya merupakan pedoman hidup dan semua aspek hukum sudah terkandung
didalamnya, baik tindakan maupun hukumannya. Al-Qur’an yang masih bersifat global perlu
adanya penafsiran untuk menemukan segala bentuk hukum dan sanksi yang terdapat didalamnya.
Hal ini memberikan ruang kepada manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya
hukum dan sanksi itu sendiri.
Suatu tindakan dapat dikenakan sanksi apabila terpenuhi syaratnya yaitu, legalitas. Asas
legalitas bermaksud membatasi berlakunya hukum itu sendiri. Ketika pelanggaran sudah terjadi,
tetapi hukumnya belum ditetapkan, maka orang tersebut tidak dapat dikenai sanksi atau pidana
karena tidak termasuk kepada pelanggaran hukum. Didalam hukum islam juga berlaku
3. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui Asas legalitas
PEMBAHASAN
Kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex yang berarti undang-undang atau dari kata
jadian “legalis”yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Yang dimaksud
dengan asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada
hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan Alqur’an Surah
al-Isra’ ayat 15 dan Surah al-An’am ayat 19. Dalam kaitannya dengan hukum pidana Islam, asas
legalitas berarti keabsahan mengaplikasikan hukuman atas melampaui batas (hudud) yang dapat
merugikan orang lain, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Istilah asas legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Positif. Kendati demikian bukan berarti
syari’at Islam (hukum pidana Islam) tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan
bahwa hukum pidana Islam tidak mengenal asas hukum legalitas, hanyalah mereka yang belum
meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas.
Asas legalitas dengan semboyan yang tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: nullum
delictum nulla poena sine preavia lege poenali, yang artinya tidak ada tindak pidana tidak ada
hukuman, kecuali ada undang-undangnya lebih dahulu. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP yang menyatakan:
Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam
undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu. (geen feit is strafbaar dan
uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling). Terjemahan bebas “tidak ada
perbuatan pidana, apabila tidak diatur lebih dahulu dalam undang-undang”.
Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dikenal sebagai “asas legalitas” yang
mempunyai dua makna, yakni:
a. Untuk kepastian hukum, bahwa undang-undang hanya berlaku ke depan dan tidak berlaku
surut (asas non retroactive).
b. Untuk kepastian hukum, bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari undang-undang
(ketentuan hukum umum / lex generalis).
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP diatas dapat dikecualikan di dalam Pasal 1 ayat (2)
KUHP yang berbunyi:
Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah aktu dilakukan perubahan itu, maka
dipakailah ketentuan yang lebih meringankan bagi tersangka.
Pasal 1 ayat (2) KUHP ini merupakan ketentuan khusus yang menyampingkan Pasal 1 ayat
(1) KUHP sebagai ketentuan umum. Dikenal sebagai asas lex specialis derogat lex generalis.
Asas legalitas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi
batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan
kekuasaan atau kesewenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi
yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang
perbuatan-perbuatan illegal dan hukumannya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan
boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu
hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana
hanya terhadaporang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak
pidana. Begitu pun dengan hukum Islam, berlaku asas legalitas ini,berdasarkan hukum yang
sudah tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Artinya: “dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutusseorang Rasul”.
Artinya: “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Diamengutus di ibukota
itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kamikepada mereka”.
ۖ
ًةVَ َع ٱهَّلل ِ َءالِهVهَ ُدونَ أَ َّن َمV ۚ َغ أَئِنَّ ُكمۡ لَت َۡشVَ ِذ َر ُكم بِ ِهۦ َو َم ۢن بَلVي ٰهَ َذا ۡٱلقُ ۡر َءانُ أِل ُن ِ ُقُ ۡل أَيُّ َش ۡي ٍء أَ ۡكبَ ُر َش ٰهَد َٗة قُ ِل ٱهَّلل ۖ ُ َش ِهي ۢ ُد بَ ۡينِي َوبَ ۡينَ ُكمۡۚ َوأ
َّ َوح َي إِل
َ ِّم َّما تُ ۡش ِر ُكونٞيء ٓ د َوإِنَّنِي بَ ِرٞ ٰ َو ِحٞأُ ۡخ َر ٰۚى قُل ٓاَّل أَ ۡشهَ ۚ ُد قُ ۡل إِنَّ َما هُ َو إِ ٰلَه
Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara tentang asas legalitas yaitu QSal-Nisa: 16, QS al-
Baqarah: 286, dan QS al-Anfal: 38. Semua ayat al-Qur’an ini berbicara tentang asas legalitas.
Ketentuan lafadz-lafadz ini termasuk lafadz yang qath’i, yang berarti wajib untuk diamalkan.
Yang mengandung arti bahwa tidak ada pidana sebelum ada bayan yang disampaikan Allah
SWT melalui Rasul-Nya. Selain itu, manusia juga ditanggungi sesuai dengan kekuatannya, yang
berarti disini berlaku hukum rukhsah bagi mereka yang berada dibawah kemampuannya.
“Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal
sehat”.
Pengertian dari kaidah ini adalah bahwa perbuatan orang-orang yang cakap (mukallaf) tidak
dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang selama belum ada nash (ketentuan) yang
melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau
meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya.
Pengertian dari kaidah tersebut identik dengan kaidah lain yang berbunyi:
“Pada dasarnya semua perkara diperbolehkan, sehungga ada dalil yang menunjukkan
keharamannya”.
Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua perbuatan dan sikap tidak berbuat
dibolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan kebolehan yang dinyatakan oleh syara’.
Dengan demikian selama belum ada nash yang melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap
semua perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut.
ؤليّةVVترك فالمسVVل اوالVVرم الفعVVرد نصّ يحVVإذا لم يVV ف.تركVVل اوالVVرم الفعVVال يمكن اعتبار فعل او ترك جريمة اال بنص صريح يح
والعقاب على فاعل او تارك.
“Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali karena
adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut.
Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas
pelakunya”.
Oleh karena itu, perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak cukup dipandang sebagai jarimah
hanya karena dilarang saja melainkan harus dinyatakan dengan hukumannya maka kesimpulan
yang dapat diambil dari semua kaidah tersebut adalah bahwa menurut syari’at islam tidak ada
jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan adanya nash.
ومVVف معلVV والَ يُ َكلِّفُ شَرْ عا إالّ بفعل ممكن مقدور للمكل.الَ يُ َكلِّفُ شَرْ عا إالّ من كان قادرا على فهم دليل التكليف أهال لما كلف به
له علما يحمله على امتثاله.
“Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (Taklif) kecuali apabila ia mampu
memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara’ pula
seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan
disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tersebut”.
Kaidah-kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam
kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan.
Adapun syarat untuk para mukallaf ada dua macam:
b. Pelaku orang yang pantas dimintai pertanggung jawaban dan diberi hukuman.
b. Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf,
baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya.
· Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji
dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’: 32).
· Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera. ( QS. An-Nur: 2).
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh
kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya dan mereka itulah
orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur: 4).
Hai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90)
Pencuri lelaki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangannya. (QS. Al-Maidah:
38).
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar.(QS. Al-Maidah: 3).
f. Untuk jarimah ar-riddah
1) Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran: 85).
2) Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran,
maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. (QS. Al-Baqarah: 217).
Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikalah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka
perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil. (QS. Al-Hujurat: 9).
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan
dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui
batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al-
Isra’: 33)
Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa membunuh seorang yang beriman karena
tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang
beriman, maka hendaklah (si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Jika dia
(si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak memperolehnya, maka
hendaklah dia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 92)
Dalam jarimah ini Rasulullah menentukan batas-batas hukum diyat, dengan dasar
perhitungan apabila pada badan hanya terdapat satu macam anggota badan, seperti hidung, lidah,
alat kelamin, maka dikenakan satu diyat lengkap seratus unta. Apabila yang dirusakkan adalah
anggota badan yang rangkap seperti mata dan telinga, maka untuk masing-masingnya dikenakan
setengah diyat, yaitu lima puluh unta. Menghilangkan satu gigi dikenakan lima unta.
Rasulullah juga mewajibkan diyat pada penganiayaan yang menghilangkan indera-indera, seperti
pendengaran, penglihatan, dan perasaan (fikiran).
Untuk tiap-tiap perusakan atau pelukaan yang tidak ditentukan diyatnya yang lengkap atau
sebagian, maka hal itu diserahkan pada hakim, dengan mengambil pertimbangan orang-orang
ahli. Aturan tersebut sudah menjadi kesepakatan. (Ijma’).
Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam
jarimah huddud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada tiga bagian:
Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan maksiat, yang
tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak
Allah maupun hak adami.
b. Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.
Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at islam, hukuman ta’zir hanya
dikenakan terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena zat perbuatannya itu sendiri
sebagai penyimpangan dari aturan pokok tersebut.
Ta’zir karena Pelanggaran (mukholafah) adalah melakukan perbuatan yang diharamkan dan
meninggalkan perbuatan yang diwajibkan. Jika meninggalkan kewajiban dan melakukan
perbuatan yang diharamkan merupakan maksiat. Untuk menjatuhkan ta’zir atas perbuatan
mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, jadi.
Sebenarnya penjatuhan itu bukan karena perbuatannya itu sendiri melainkan karena berulang-
ulang, sehingga perbuatan itu menjadi adat kebiasaan.
Dengan berpegang kepada asas legalitas seperti yang dikemukakan di atas serta kaidah
“tidak ada hukuman bagi mukallaf sebelum adanya ketentuan nash”, maka perbuatan tersebut
tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung-jawaban pidana. Ketentuan ini memberi pengertian
bahwa hukum Islam baru berlaku setelah adanya nash yang mengundangkannya. Dengan kata
lain, bahwa hukum pidana Islam tidak berlaku surut (atsarun raj’iyyun).
Sebagai gambaran riil mengenai penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak
berlaku surut (atsarun raj’iyyun), misalnya: sebelum Islam, riba merupakan perbuatan yang biasa
dikerjakan. Kemudian dilarang oleh Islam, dengan firman Allah: Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka kekal di
dalamnya.(QS. Al-Baqarah: 275).Dengan adanya larangan tersebut maka riba merupakan
perbuatan jarimah, tetapi juga merupakan peristiwa perdata. Nas-nas tersebut berisi dua
ketentuan juga, yaitu aturan pidana dan aturan perdata. Menurut aturan pidana, riba yang terjadi
sebelum diturunkannya ayat tersebut tidak dikenakan hukuman dan hukuman hanya dikenakan
terhadap riba yang terjadi sesudahnya. Menurut aturan perdata, kreditur hanya mempunyai
tagihan atas uang pokok saja, tanpa bunga.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada
hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Dasar hukum asas legalitas dalam
Islam antara lain: surat al-Isra ayat 15, surah al-Qashash ayat 59, surat al-An’an ayat 19, surat al-
Baqarah ayat 286.
Kaidah asas legalitas “Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan
orang-orang yang berakal sehat” Contoh penerapan asas legalitas, pada masalah zina:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera”. ( QS. An-Nur: 2).
DAFTAR PUSTAKA
1.Ali, Mohammad Daud. 2014. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia). Jakarta: Rajagrafindo Persada.
2.Ali, Zainuddin. 2009.Hukum Pidana Islam.Jakarta: Sinar Grafika.
Hanafi, Ahmad. 1986. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:Bulan Bintang.
3.Munajat, Makhrus. 2009. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras.
4.Muslich, Ahmad Wardi. 2006. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Media
Grafika.
5.Rokhmadi. 2015. Hukum Pidana Islam.Semarang: Karya Abadi Jaya.
Sugiarto, Umar Said. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.