Anda di halaman 1dari 15

ASAS LEGALITAS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata

Kuliah Fiqh Jinayah Program Studi HukumKeluarga Islam

8 Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) BONE

Oleh :

NAMA : HERAWATI

NIM : 01.18.1215

NAMA : EPITASARI

NIM : 01.18.1232

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) BONE

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah swt, Tuhan pencipta alam, pemberi rahmat,
dan penguasa terbesar di alam raya ini. Atas segala berkah-Nya sehingga penulis
dapat merampungkan tugas makalah ini, dengan judul “ Asas Legalitas “

Salawat dan salam kepada rasulullah Muhammad saw. Yang telah


mengajarkan segala pedoman dalam beribah kepada Allah swt.

Terima kasih kepada Allah swt, dan kepada semua pihak yang telah
bekerja sama dalam merampungkan makalah ini, meskipun penulis menyadari
masih banyak kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini olehnya
itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya dan dengan rela hati menerima
segala kritk dan saran dari para pembaca.

Watampone, 11 April 2021

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulian 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Asas Legalitas 3
B. Makna dan Sumber Hukum Asas Legalitas 6
C. Bagaimana Penerapan Asas Legalitas 8

BAB III PENUTUP 11

A. Simpulan 11
B. Saran 11

DAFTAR RUJUKAN 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu aspek yang sangat diperhatikan dalam hukum pidana adalah asas
legalitas. Tidak seorangpun boleh dipidana apabila tidak ada peraturan tertulis
yang melandasinya. Hukum pidana pun juga tidak boleh berlaku surut (asas
nonretroaktif). Namun asas nonretroaktif tersebut dikecualikan bagi keuntungan
Terdakwa jika terdapat perubahan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar setelah terjadinya perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa (asas
transitoir). Hal tersebut diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP), yang menyatakan bahwa tidak
dapat seseorang dipidana ketika tidak ada peraturan yang mengatur.1 Dalam
penerapan asas legalitas tersebut juga terdapat problem penafsiran yang longgar
dan tidak seragam. Sebagai contoh misalnya Pasal 335 ayat (1) butir ke-1 KUHP
selama ini dikenal dengan istilah delik perbuatan tidak menyenangkan yang
termasuk dikatakan sebagai pasal karet. Namun pasal karet tersebut akhirnya
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK). MK dalam
putusan tanggal 16 Januari 2014 No. 1/PUUXI/2013 memberikan pertimbangan
diantaranya sebagai berikut : “Menimbang bahwa terhadap isu konstitusional
tersebut, menurut Mahkamah sebagai suatu rumusan delik, kualifikasi, “Sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” tidak dapat diukur
secara objektif. Seandainya pun dapat diukur maka ukuran tersebut sangatlah
subjektif dan hanya berdasarkan atas penilaian korban, para penyidik, dan
penuntut umum semata. Selain itu, hal tidak menyenangkan tersebut secara umum
merupakan dampak dari semua tindak pidana. Setiap tindak pidana jelas tidak
menyenangkan dan tidak ada dampak tindak pidana yang menyenangkan. Dengan
demikian, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang dapat membedakan secara
tegas (distinctive) dari tindak pidana yang lain”. Oleh karena itulah kemudian

1
frase atau unsur “Sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 (inkonstitusional) oleh MK. Namun dalam penerapannya,
terdapat contoh perkara (kasus) dimana Hakim tidak menilai bahwa Putusan MK
tersebut sebagai bentuk dari perubahan undang-undang. Dalam sebuah kasus yang
terjadi di Surabaya, seorang Terdakwa bernama Sutedjo Gustoro telah didakwa
melakukan perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 ayat (1) butir ke-1 KUHP).
Peristiwa pidana yang didakwakan kepada Sutedjo terjadi pada tanggal 5 Oktober
2012. Selanjutnya dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Terdakwa
Sutedjo dibacakan dimuka sidang Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 11
Desember 2013. Selanjutnya, pada tanggal 16 Januari 2014 MK mengeluarkan
putusan No. 1/PUU-XI/2013 tersebut, sehingga substansi Pasal 335 ayat (1) butir
ke-1 KUHP telah mengalami perubahan, yang seharusnya berakibat pada hak
Terdakwa untuk diterapkan ketentuan yang lebih menguntungkan baginya, sesuai
dengan prinsip Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Asas Legalitas?

2. Bagaimana Makna dan Sumber Hukum Asas Legalitas?

3. Bagaimana Penerapan Asas Legalitas?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Pengertian Asas Legalitas!

2. Untuk Mengetahui Makna dan Sumber Hukum Asas Legalitas!

3. Untuk Mengetahui Penerapan Asas Legalitas

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asas Legalitas

Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip,
sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang
berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan
sesuatu menurut undang undang”1

Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van
Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan
tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana.”

Adapun istilah legalitas dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas
sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati
demikian, bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak
yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah
mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional
menunjukkan adanya asas legalitas.

Menurut kamus umum bahasa Indonesia. Asas mempunyai beberapa arti,


salah satu diantaranya adalah kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau
berpendapat, juga berarti sebagai alas atau landasan. Jika kata itu dihubungkan
maka yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai
tumpuan berpikir atau alasan berpendapat, terutama dalam penegakan dan
pelaksanan hukum. Kegunaan asas adalah sebagai landasan dasar tentang apa-apa
yang menjadi aturan. Maksudnya adalah bahwa aturan-aturan atau segala sesuatu
yang disusun itu dapat diterapkan dan diperluas pengertiannya asal dalam hal ini
tidak bertentangan dengan asasnya. Jadi dapat diibaratkan bahwa asas adalah
pondasi dari segala aturan hukum. Hans Kelsen Mengatakan makna dari sebuah

1 Djazuli, H. A. FIQH JINAYAH (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997). h. 25.

3
Keadilan adalah legalitas, dimana suatu peraturan umum adalah adil apabila
diterapkan sesuai dengan aturan tertulis yang mengaturnya, dan sama
penerapannya pada semua kasus serupa. Asas legalitas dibangun dengan dengan
tujuan meligitimasi hukum dalam kekuasaan pemerintah agar tercipta Negara
Hukum di mana pengertiannya adalah negara berdasarkan hukum; hukum
menjamin keadilan dan perlindungan bagi semua orang yang ada dalam wilayah
negara yang bersangkutan. Segala kegiatan negara berdasarkan hukum atau dalam
konteks Negara Hukum Indonesia yaitu Negara Berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecuali.

Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat


fundanmental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk
menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap
tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan
dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan
yang telah ada tersebut dapat diperlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi.2

Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa


latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada
hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu
jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang
dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalah gunaan
kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu
dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi
peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi,
berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh
hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama

2 Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), h.
59.

4
perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap
orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak
pidana.

Asas legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang


penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat didalam pasal 1 KUHP yang
dirumuskan demikian :

a. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
b. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam
perundangundangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

Dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa “ ketentuan pidana dalam


perundang-undangan indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan
sesuatu tindak pidana di indonesia”. Berdasarkan rumusan pasal 1 ayat (1) KUHP
tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibat pidana tentu
saja bukan perbuatannya yang dipidana, tetapi orang yang melakukan perbuatan
itu, yaitu :

1. Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai


perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana.

2. Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu


dilakukan.

Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi


Menurut Lamintang dan C. Djisman Samosir merumuskan dengan terminologi
sebagai, tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan
pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu.

Menurut moeljatno menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan dapat di


pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah

5
ada, sebelum perbuatan dilakukan. Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu
mengandung tiga pengertian:3

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang.

2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan


analogi (kias).

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

B. Makna Asas Legalitas


Makna yang terkandung dalam Asas Legalitas Setelah mengetahui difinisi
tentang asas legalitas terdapat makna terkandung dalam asas legalitas. Namun
banyak perbedaan pendapat tentang makna asas legalitas oleh para ahli hukum
pidana. Menurut Sudarto mengemukakakn adanya dua hal yang terkandung dalam
asas legalitas. Pertama, bahwa suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan. Kedua, peraturan perundang-undangan ini harus
ada sebelum terjadinya tindak pidana. Sudarto kemudian menambahkan bahwa
dari makna yang pertama terdapat dua konsekuensi, yaitu perbuatan seseorang
yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana tidak
dapat dipidana dan adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu
perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagimana dirumuskan dalam undang-
undang sedangkan konsekuensi dari makna yang kedua adalah tidak boleh berlaku
surutnya hukum pidana.4
Menurut Jan Remmelink ada tiga hal sebagai makna yang terkandung
dalam asas legalitas, ketiga hal yang dikemukakakn oleh Remmelink adalah :
Pertama, konsep perundang-undangan, yang diandaikan dalam ketentuan
pasal 1. Menurutnya, tidak hanya perundang-undangan dalam arti formil saja yang
dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan tetapi menunjuk pada semua
produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa pidana akan ditetapkan

3 Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum pidana. (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 27


4 Eddy O.s Hiariej. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana.
(Jakarta. Erlangga, 2009), h. 7-8

6
secara legitimate, termasuk didalamnya adalah peraturan yang dibuat oleh
pemerintah daerah, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten atau kotamadya.
Kedua, undang-undang yang dirumuskan secara terperinci dan cermat atau
lex certa. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah bestimmtheitsgebot. Perumusan
ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan pidan
karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti
itu tidak berguna sebagi pedoman beralaku. Ketiga, perihal analogi. Pada asas
legalitas juga terkandung makna larangan untuk menetapkan ketentuan pidana
secara analogis, yang dikenal dengan adagium “nullum crimen noela poena sine
lege stricta”.
Menurut Groenhuijsen yang dikutip Komariah Emong Sapardjaja, ada
empat makna yang terkandung dalam asas ini. Dua dari yang pertama ditunjukkan
dari kepada pembuat undang-undang dan dua yang lainnya merupakan pedoman
bagi hakim, pertama, pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu
ketentuan pidan berlaku mundur. Kedua, semua perbuatan yang dilarang harus
dimuat dalam rum,usan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang
menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum
pidan dilarang menerapkan analogi.5
Menurut Moeljatno, ada tiga pengertian yang terkandung dalam asa
legalitas. Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu belum terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-
undang. Kedua, dalam menentukan adanya perbuatan pidana, tidak boleh
digunakan analogi. Ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Sesungguhnya ada tiga makna yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama,
ketentuan pidana yang berisi perbuatan pidana yang disertai ancaman pidana
harus tertulis dalam perundang-undangan,. Kedua, seseorang tidak dapat dipidana
sebelum ada ketentuan pidana terlebih dulu. Ketiga, pembentuk undang-undang
tidak boleh memberlakukan surut suatu ketentuan pidana.

5 Eddy O.s Hiariej. Op.cit.h. 24-25

7
C. Sumber Hukum Asas Legalitas

Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi
dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum
Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut.
Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta
pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari
Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia
adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang
sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:

Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15, Yang terjemahnya kurang lebih demikian:


“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya
Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat
Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang
yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”

Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59, Yang terjemahnya kurang lebih


demikian:

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia


mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali
penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.”

Kaidah Fiqh

‫النص‬
ِّ ‫ال ُحد ُْودَ الَفعَا ِل العُقالءِ قَ ْب َل ُو ُر ْو ِد‬

Artinya : Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan manusia sebelum ada aturan
hukumnya

D. Penerapan Asas Legalitas

Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-


kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti.
Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan
diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa
prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas.

Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari mesir, asas legalitas dalam
Islam yang berlaku bagi kejahatan ta’zir adalah yang paling fleksibel,
dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya.

8
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat
keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi
kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan
masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan sanksinya.Kemudian
jika berpegang pada asas legalitas seperti yang dikemukakan pada bab di atas
serta kaidah "tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf sebelum adanya
ketentuan nas"[3], maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau
pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari'at Islam
belum berlaku sebelum di undangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan
ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang
mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut yang
dalam perkembangannya melahirkan kaidah[4] :

‫في التشريع الجنائي الرجعية‬

Tidak berlaku surut pada pidana Islam

Penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku semisal:6

a. Berlakunya bekas ibu tiri dalam surat An-Nisa': 22, Yang terjemahnya
kurang lebih demikian:

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh


ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

b. Hukum riba dalam QS. Al-Baqarah: 275 Yang terjemahnya kurang lebih
demikian:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan


seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

6 Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 79.

9
Asas legalitas ini mengenal juga asas teritorial dan non teritorial;

a. Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam hanya berlaku di


wilayah di mana hukum Islam diberlakukan, yakni :

1. Negara-negara Islam;

2. Negara yang berperang dengan negara Islam;

3. Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam.

b. Asas non teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam berlaku bagi
seorang muslim tanpa terikat di mana ia berada, apakah ada di wilayah di
mana hukum pidana Islam diberlakukan (tiga negara tersebut di atas),
maupun di negara yang secara formal tidak diberlakukan hukum pidana
Islam.

10
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip,
sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang
berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan
sesuatu menurut undang undang”.
Makna yang terkandung dalam Asas Legalitas Setelah mengetahui difinisi
tentang asas legalitas terdapat makna terkandung dalam asas legalitas. Namun
banyak perbedaan pendapat tentang makna asas legalitas oleh para ahli hukum
pidana.
Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari
ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum
Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut.
Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta
pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari
Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia
adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang
sanggup di kerjakan.

Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-


kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti.
Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan
diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa
prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas.

B. Saran

Semoga setelah mempelajari dan memahami pembahasan ini kita dapat


mengambil hikmahnya bagi kalangan pemuda pemudi bangsa. Untuk itu, kita
sebagai generasi penerus bangsa harus lebih berusaha dalam menutut ilmu.
Mohon maaf jika makalah kami jauh dari kata sempurna, kami harap kritik dan
sarannya.

11
DAFTAR RUJUKAN

Djazuli, H. A. FIQH JINAYAH. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Eddy O.s Hiariej. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana.
Jakarta. Erlangga, 2009.
Hanafi,Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Mahrus Ali, S.H., M.H, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
2020.
Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

12

Anda mungkin juga menyukai