Di susun oleh
NIM:2012140100
Ahmad Rezaldi
Nim:2012140075
Rifki kurniawan
NIM:2012140071
FAKULTAS SYARIAH
2020M/1442H
MOTTO
“Sokrates berkata kehidupan yang tak terperiksa bukanlah
kehidupan yang berharga
ABSTRAK
Islam adalah agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Dari awal
kelahiran beliau sampai 1438 hijriah islam menjadi agama terbesar dunia dan
menjadi pedoman masyarakat islam dalam berprilaku. Berangkat dari, apakah ilmu
yang mendekati untuk memahami masyarakat tersebut, Ada beberapa asas perundang-
undangan yang mungkin kita ketahui,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
MOTTOi
ABSTRAKi
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian asas
B. Pendekatan Hak uji Udang-undang
SARAN
BAB I
PENDAHULUAN
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-Undangan.2
B.Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka terdapat beberapa masalah yang perlu bahas,
diantaranya:
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingan dicapai dalam pembuatan makalah ini, diantaranya:
D. MetodePenulisan
Adapun metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini yaitu dengan metode pustaka dan telusur
internet sebagai referensi yang ada kaitannya atau hubungannya dengan pembuatan makalah ini dan
disimpulkan dalam bentuk makalah
BAB II
PEMBAHASAN
A .pengertian asas-asas peraturan Perundangan-
perundangan
Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak.
Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan
tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinisip
yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak.
Maka ada beberapa asas peraturan perundang-undangan yang kita kenal, diantaranya:
Asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan yang rendah (asas hierarki), Dalam kerangka berfikir mengenai jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan, pasti tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori
Stuffen Bow karya Hans Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen dalam
Teori Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-
norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan.Yaitu
digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang diperhatikan adalah hierarkhi
peraturan perundang-undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara Peraturan
Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undang-undang
karena undang-undang lebih tinggi derajatnya.Teori Aquo semakin diperjelas dalam hukum
positif di Indonesia dalam bentuk undang-undang tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan.
tapahaturan Pemerintah;
4.Peraturan Presiden;
Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa
hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex
generalis).
*) Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56),
sebagaimana kami kutip dari artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex
specialis derogat legi generalis, yaitu:
Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang
diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis
(undang-undang dengan undang-undang);
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama
dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan..
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang
paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan
peraturan yang baru, secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi.
Biasanya dalam peraturan perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilist yang
mencerminkan asas ini. Contoh yang berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori
: dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang Sisidiknas dalam Ketentuan penutup disebutkan
bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960
tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor
155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
Asas Legalitas
Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana
yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane
wetteljke strafbepaling). asas legalitas yang mengandung tiga pengertian, yaitu:
1.Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih
dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas).
Contoh yang berkenaan dengan Asas Legalitas: Keadilan bagi korban salah tangkap. Mereka
kembali bisa menghirup kebebasan. Namun, fenomena itu lagi-lagi memperlihatkan betapa
kerdilnya kedudukan warga di hadapan kekuasaan negara. Bagaimanapun, dalam negara
demokrasi, keadilan dan kebenaran haruslah terbuka untuk setiap warga. Negara wajib
melaksanakan asas legalitas, yaitu memberi ganti rugi dan merehabilitasi nama baik warga
yang menjadi korban salah tangkap
Kekuasaan membuat hukum (law making function) dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Presiden. Hukum bentukan DPR dan Presiden disebut undang-undang. Ada
kemungkinan undang-undang ini merugikan hak-hak asasi warga negara yang dijamin oleh
konstitusi, sehingga bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi dari undang-
undang. Bila ini terjadi maka warga negara dapat menggunakan upaya hukum pengujian
undang-undang yang kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah adalah organ negara yang diberi kekuasaan untuk menjalankan undang-undang
bentukan DPR dan Presiden. Kekuasaan menjalankan undang-undang (law executing function,
bestuur) dilengkapi pula dengan kewenangan membuat hukum (law making function). Hukum
bentukan pemerintah kedudukannya sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang.
Bentuknya bisa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan
Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota dan peraturan lainnya.
Sama seperti konsep perlindungan terhadap hak asasi warga negara dari kekuasaan membuat
undang-undang. Dikenal juga konsep perlindungan hak asasi warga negara dari kekuasaan
membuat peraturan perundang-undangan. Bila terjadi pelanggaran hak asasi warga negara
ketika pemerintah menggunakan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan,
maka warga negara dapat menggunakan upaya hukum pengujian peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang. Kewenangan ini disebut hak uji materil yang dimiliki oleh
Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat erga omnes atau
mengikat secara umum bukan hanya pihak yang berperkara. Demikian juga putusan hak uji
materil bersifat erga omnes. Pihak lainnya diluar pihak dalam perkara hak uji materil terikat
dan harus mematuhi putusan hak uji materil. Disini letak perbedaan kewenangan hak uji
materil Mahkamah Agung dengan kewenangan Mahkamah Agung mengadili di tingkat kasasi
yang putusannya hanya bersifat inter partes atau berlaku bagi para pihak yang berperkara.
Hak Uji Materil atau Judisial Review
Istilah judisial review populer dimasyarakat sejak dibentuknya Mahkamah Konstitusi tahun
2003. Bahkan muncul pemahaman masyarakat awam bahwa judisial review adalah kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Sedangkan hak uji materil kurang begitu populer walaupun istilah ini sudah ada dalam praktik
dan teori hukum sebelum tahun 2003.
Hak uji materil berasal dari terjemahan kata toetsingsrecht dalam bahasa Belanda. Menurut
Prof. Jimly Ashidiqie (Jimly Ashidiqie, 2012, 1-2), istilah hak uji materil tidak sama dengan
judisial review. Hak uji materil bila dilakukan oleh hakim baru disebut judisial review. Namun
bila yang melakukan pengujian lembaga eksekutif maka disebut executive review. Sedangkan
bila yang melakukan pengujian lembaga legislatif maka disebut legislative review. Kewenangan
untuk melakukan pengujian yang dimiliki masing-masing lembaga tadi menurut Prof. Jimly
sebagai hak uji materil atau hak menguji.
Sementara itu judicial review bukan hanya terbatas hak uji materil yang dimiliki Mahkamah
Agung. Constitutional judicial review atau pengujian undang-undang terhadap undang-undang
dasar yang kewenangannya dimiliki Mahkamah Konstitusi disebut judisial review juga.
Hak uji materil (HUM) dipilih sebagai istilah dalam pembahasan ini karena disebut dalam Pasal
1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materil
(selanjutnya disebut Perma 1/2011). Bila diteliti Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman serta Undang-undang Mahkamah Agung sama sekali
tidak ada menyebut istilah hak uji materil.
Kewenangan hak uji materil Mahkamah Agung bersumber dari atribusi dari Pasal 24 A ayat (1)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).
"Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-
undang terhadap undang-undang" demikian bunyi norma undang-undang dasar yang
mengatur hak uji materil Mahkamah Agung..
Norma dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan kembali dalam Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU
Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (untuk selanjutnya disebut
UU Mahkamah Agung). Mahkamah Agung kemudian menerbitkan Perma 1/2011 sebagai
peraturan pelaksana dari norma undang-undang yang mengatur hak uji materil.
Pengaturan mengenai hak uji materil boleh dikatakan belum sempurna karena belum secara
utuh memuat norma yang mengatur hak uji materil dalam suatu naskah peraturan. UU
Kekuasaan Kehakiman hanya mengatur dalam satu pasal yaitu Pasal 20. Sementara itu UU
Mahkamah Agung hanya mengatur dalam 2 Pasal yaitu Pasal 31 dan Pasal 31 A. Pengaturan
tentang tatacara pengajuan permohonan hak uji materil diuraikan dalam Perma 1/2011.
Ketika melakukan permohonan hak uji materil ada dua hal pokok yang perlu mendapat
perhatian. Pertama dalil tentang pertentangan antara norma undang-undang dengan norma
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang. Kedua, tentang kapasitas pemohon
hak uji materil. Perhatian atas kedua hal ini fokus kepada keberkaitan satu sama lain.
ublik
Frasa "menganggap haknya dirugikan" dalam rumusan norma Pasal 31 A ayat (2) UU
Mahkamah Agung boleh dikatakan belum diikuti pengaturan secara jelas dan lengkap.
Undang-undang Mahkamah Agung maupun Perma 1/2011 tidak menyebutkan secara tersurat
jenis hak apa yang dilindungi oleh upaya hukum hak uji materil. Bila dibandingkan dengan
upaya hukum pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi,
secara jelas dinyatakan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi hak yang dilindungi melalui
pengujian konstitusionalitas adalah hak konstitusional, yaitu hak asasi warga negara yang
diatur dan dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945.
Melalui perbandingan dengan jenis hak yang dilindungi oleh kewenangan pengujian
konstitusionalitas undang-undang di Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan jenis hak yang dilindungi melalui kewenangan hak uji materil di Mahkamah Agung
adalah hak-hak warga negara yang diatur dalam undang-undang.
UU Mahkamah Agung juga tidak ada menguraikan lebih jelas mengenai apa yang dimaksud
dengan kata "dirugikan" dalam frasa "mengganggap haknya dirugikan". Untuk memahami hal
ini perlu perlu melakukan penafsiran gramatikal. Kata dirugikan bersumber dari kata dasar
"rugi". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) "rugi" berarti tidak mendapat faedah
(manfaat), tidak beroleh sesuatu yang berguna, sesuatu yang kurang baik (tidak
menguntungkan), mudarat. Kata 'dirugikan' dalam rumusan Pasal 31 ayat (2) UU Mahkamah
Agung dituliskan sebelum frasa "menganggap haknya dirugikan". Karenanya perlu ditafsirkan
pula arti kata 'mengganggap'. Kata 'menganggap' menurut KBBI diartikan 'memandang
sebagai', 'berpendapat', 'bahwa'. Dengan demikian pemohon hak uji materil wajib
menguraikan mengenai hak-haknya pemohon yang diatur dalam undang-undang yang akan
dirugikan bila peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang
berlaku.
Bentuk dan sifat dari kerugian pemohon hak uji materil memang tidak disebutkan secara
tersurat oleh UU Mahkamah Agung maupun Perma 1/2011 apakah berbentuk kerugian aktual
(sudah terjadi) atau cukup kerugian potensial (belum terjadi tetapi dapat dipastikan akan
terjadi). Bila dibandingkan dengan praktik pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi,
sudah diterima pengajuan permohonan pengujian atas dasar alasan kerugian konsitusional
yang potensial sifatnya. Pengaturan ini dibentuk melalui putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi yang mendefinisikan mengenai kerugian konstitusional Pemohon termasuk kerugian
potensial selain kerugian aktual.
Bagaimana dengan norma kerugian pemohon hak uji materil. Mahkamah Agung melalui
putusan-putusannya mengembangkan pengaturan yang menjadi tolok ukur menilai kapasitas
pemohon hak uji materil.
Putusan Nomor 70 P/HUM/2013 tanggal 25 Februari 2014. Melalui putusan ini Mahkamah
Agung menyampaikan pendiriannya mengenai kapasitas pemohon hak uji materil. Pemohon
dikatakan mempunyai kepentingan hak uji materil sehingga memiliki legal standing untuk
mempersoalkan obyek permohonan, setiap pemohon harus memenuhi lima kriteria yaitu:
Pemohon merupakan salah satu dari tiga kelompok subjek hukum yang diatur dalam Pasal 31
A ayat (2) UU Mahkamah Agung;
Terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya
obyek permohonan yang dimohonkan pengujian;
Apabila permohonan bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian yang bersangkutan tidak
lagi atau tidak akan terjadi dengan dibatalkannya peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang dimaksud.
Dalam Putusan Nomor 70 P/HUM/2013 tersebut Pemohon hak uji materil mendalilkan memiliki
hak atas peraturan perpajakan yang kondusif, berkeadilan dan jelas. Hak pemohon tersebut
dirugikan dengan berlakunya obyek hak uji materil yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001.
Obyek hak uji materil dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Mahkamah
Agung dalam perkara ini menyatakan pemohon memiliki kepentingan sehingga mempunyai
legal standing sebagai pemohon hak uji materil.
BAB III
Kesimpulan
asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,berpendapat maupun bertindak.
Ada beberapa asas perundang-undangan yang mungkin kita ketahui,
Salah satunya adalah
Asa lex superior derogat legi inferior; yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang
rendah.Kekuasaan membuat hukum dimiliki oleh DPR dan Prsiden.hukum bentukan DPR dan presiden
disebut undand-undang
Sama seperti konsep perlindungan terhadap hak asasi warga negara
Saran
Sekian dari kelompok kami mohon maaf bila ada salah kata yang disengaja maupun tidak disengaja wassalamulaikum wr.wb
DAFTAR PUSTAKA
Home
Ulasan
Ulasan Praktisi
Hak Uji Materil, Tujuan, Aturan dan 5 Kriteria Menentukan Kapasitas PemohonUlasan Praktisi
Hak Uji Materil, Tujuan, Aturan dan 5 Kriteria Menentukan Kapasitas Pemohon Hasan Lumbanraja,
S.H., M.H. Senin, 16 April 2018 07:07 WIB https://larasonline.com/
Pengertian Hirarki,https://www.google.com/amp/s/pelayananpublik.id/2020/05/01/pengertian-hirarki-sistem-
fungsi-dan-jenisnya/amp/