Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

FILSAFAT DAN
LOGIKA HUKUM
2019
NAMA : PUPUT MELATI
NIM : EAA 117 062

JENIS LOGIKA

A. Jenis Logika Dan Penerapanya Dalam Ilmu Hukum


1. Logika Deduktif
Penalaran deduktif adalah penalaran yang menggunakan informasi, premis
at au peraturan umum yang berlaku untuk mencapai suatu kesimpulan yang telah
dibuktikan. Dalam hal ini, penalaran deduktif membangun atau mengevaluasi
suatu argumen deduktif dan dinyatakan valid jika kesimpulannya berupa
konsekuensi logis dari premis-premisnya. Penalaran deduktif (logika atas-
bawah) kontras dengan penalaran induktif (logika bawah-atas), dan umumnya
dimulai dengan satu atau lebih pernyataan umum atau premis untuk mencapai
kesimpulan logis. Jika premis itu benar, kesimpulannya harus benar.
Pengambilan deduktif digunakan oleh ilmuwan dan ahli matematika untuk
membuktikan hipotesis mereka. Argumen Masuk Akal atau Tidak Masuk akal
Dengan penalaran deduktif, argumen mungkin valid atau tidak valid, masuk
akal atau tidak masuk akal. Jika logika benar, yaitu kesimpulan mengalir dari
premis, maka argumennya valid. Namun, argumen yang benar mungkin masuk
akal atau tidak masuk akal. Jika tempat yang digunakan dalam argumen yang
valid benar, maka argumennya adalah masuk akal jika tidak, itu tidak masuk
akal.
Sebagai contoh,
Semua pria memiliki sepuluh jari.
John adalah seorang pria
Maka dari itu, John memiliki sepuluh jari
Argumen ini logis dan valid. Namun, premis “Semua pria memiliki sepuluh
jari.” salah karena beberapa orang terlahir dengan 11 jari. Oleh karena itu, ini
adalah argumen yang tidak masuk akal. Perhatikan bahwa semua argumen yang
tidak valid juga tidak benar.
Kami menyimpulkan pernyataan akhir dengan menggabungkan hipotesis
pernyataan pertama dengan kesimpulan pernyataan kedua. Contoh argumen
deduktif:
Semua mahluk hidup pasti akan mati (premis mayor)
Manusia adalah mahluk hidup (premis minor)
Manusia pasti akan mati (kesimpulan)
2. Logika Deontologis
Logika ini disebut juga oleh Lorens Bagus sebagai logika Deontik. Logika
Deontik adalah logiika yang berurusan dengan konsep-konsep seperti:
kewajiban, permisibilitas dan non-permisibilitas, keharusan, kepatutan,
kelayakan, ke dalam suatu sistem koheren. Beberapa prinsip dasarnya :

“Jika suatu bersifat wajib, sesuatu itu dapat dilakukan”.


“Jika sesuatu dibolehkan, maka itu tidak wajib”.
“Jik sesuatu dibuat karena ia bersifat wajib, maka ia sendiri adalah sesuatu
yang bersifat wajib agar hendaknya dilakukan”.
“tidak benar bahwa apa yang bersifat wajib, dilakukan secara niscaya”.
“tidak benar bahwa apa yang bersifat wajib, hendaknya dilakukan”.
“adalah hal sebenarnya bahwa agar suatu hal menjadi bersifat wajib, ia
harus menjadi mungkin agar ia lakukan”.

Di dalam hukum, kewajiban, keharusan dan kelayakan melekat melalui


undang-undang. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban legis untuk
”melakukan” atau “tidak melakukan” berdasarkan perintah imperatif undang-
undang.

Sebagai contoh, Pasaal 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
“Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta
benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga
mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan wajib harus
dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Logika deontologis
menghendaki bahwa suatuu kewajiban harus dapat dilakukan. Kata “tersangka
wajib memberikan keterangan” dalam potongan kalimat di atas adalah kata yang
menunjukan bahwa proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik terhadap si
tersangka, maka apabila penyidik meminta kepada tersangka unntuk mengungkap
seluruh hartanya, maka si tersangka wajib menngungkapkan kepada penyidik.

Dalam konteks etika Deontologis, Milton D. Hunnex mengatkan bahwa,


keyakinan dasar Deontologis berkaitan dengan kewajiban moral yang benar
daripada hasil akhir atau akibat. Kewajiban moral terkait dengan tugas wajib,
keharusan, kebenaran, atau kecocokan.

Kewajiban moral menimbulkan sebuah keharusan dalam melakukan tindakan


yakni secara mutlak,

“Anda harus melakukan x.

“saya diharuskan melakukan x.”

Pertimbangan kewajiban moral menjadi lebih diprioritaskan daripada


pertimbangan nilai moral. Konsep nilai moral (seperti baik dan sebagainya) dapat
dijelaskan dalam arti kewajiban moral atau kecocokan nasional yang bersumber
dari padanya sendiri tidak dapat dianalisis.

Dalam ilmu hukum konsep kewajiban berbeda dengan kewajibban moral.


Kewajiban dapat bermakna bahwa “perbuatan dilarang”, atau ‘perbuuatan
dianjurkan” yanng disertai dengan ancaman hukuman. Adapun kewajiban moral
adalah pilihan (choice), untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan seesuatu.
Etika deontologis jelas terkait dengan “kewajiban.” Itulah sebabnya ada
anjuran dan rancangan. Dalam hukum, anjuran dan larangan diikuti dengan
ancaman hukuman. Konsep ini sama persis dengan hukum.

Dalam konteks peraturan perundang-undangan, hal ini dapat dilihat misalnya


dalam Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan. Ketentuan ini menyebutkan bahwa:

Pejabat Pemerintahan yang menyalahgunakan wewenang berupa, melampaui


wewenang, mecampuradukan wewenang dan bertindak sewenang-wenang.” Serta
Pejabat Pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dilarang
menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan. Maka apabila
mereka melanggar larangan tersebut dikenai sanksi administrasif berat.

Jenis dari sanksi administrasif berat dapat berupa: pertama; pemberhentian


tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; kedua
pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya;
ketika, pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya serta dipubliskan di media massa; atau keempat, pemberhentian tetap tanpa
memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipubliskan di media
massa.

Logika yang diterapkan dalam ketentuan peraturan perundangan-undangan di


ats adalah praktik dari logika deontologis, yang dapat dilihat sebagimana dalam
bagan diatas. Setiap rumus logika, dapat diterapkan secara praktis dalam konsep
dan ketentuan hukum. Hal ini tidak saja berlaku dalam satu undang-undang, tetapi
hampir semua undang-undang terutama padaa bab sanksi berlaku hukum logika
deontologis. Karena tertera dengan baik mengenai kewajiban dan sanksi apabila
melanggar kewajiban tersebut.

3. Logika Dialektis
Hidup manusia tidak uniform, tidak tunggal saja. Manusia yang satu berkaitan
secara sosial dengan manuusia lain. Tidak ada subjek yang tunggal, tak berkaitan
dengan yang lain. Subjek masing-masing memiliki relasi-relasi yang ter-connect
dengan sesama subjek, atau antara subjek dengan objek.
Untuk menunjukan “ketaktunggalan” subjek manusia ini, dapat dilihat dalam
hubungan kesehariannya.
“si A makan nasi”
“nasi berasal dari padi”
“padi ditanam di sawah”
“untuk menjadi beras, padi dipanen dahulu, baru digiling”
“penggilingan ini menghasilkan beras”
“beras dapat di masak menjadi nasi”

Jadi, nasi tidaklah berbentuk langsung menjadi nasi, karena ada tahapan proses
yang bermula dari sawaah yang dibajak, padi yang ditanam, padi yang dipaanen ,
padi yang digiling, hasil penggilingan menjadi beras, lalu beras dimasak dan beras
masak inilah yang disebut sebagi nasi.
Minimal ada tuga subjek dalaam alur berikir tersebut yakni: petani, penggiling,
dan konsumen. Rumus pertamaa dalam logika dialektis dalaam konteks ini adalah
bahwa manusia sebagai mahluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai
individu, manusiaa sosial, manusia memiliki kecenderungan untuk dapat bekerja
sama atau tidak dapat bekerjasama dengan manusia lain. Dari tidak dapat bekerja
sama inilah lahir apa yang disebut sebagai hubungan dialektis antarmanusia.
Hubungan antara manusia terus-menurus terjalin. Semakin kompleks suatu
hubungan dalam masyarakat, maka semakin kompleks pula permasalahan yang
dihadapi. Kompeleksitas ini menjadi salah satu benih lahirnya ketegangan-
ketegangan yang dialektis. Dari semula ide demikian Hegel menguraikan beruah
menjadi ketegangan dialektis materi demikian Karl Marx berargumen.
Oleh karena itu, lohika dialektis merupakan ajaran logika dari materielisme
dialektis. Ia merupakan ilmu tentang hukum-hukum dan benuk-bentuk refleksi
mental terhadap perkembangan dunia objeektif. Ia juga merupakan ilmu tentang
kebenaran. Dari sudut ilmu, logika dialektis timbul sebagai bagian dari filsafat
Marxis. Namun unsur-unsur logika dialektis sudah ada dalam filsafat kuno,
khususnya ajaran-ajaran dari Herakleitos, Plato, Aristoteles, dan lain-lain.
Salah satu contoh perfoma diaalektis dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan adalah sebagaimana yang ditujunjukan oleh pasal 44 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Warga masyarakat berhak melaporkan atau memberikan keterangan adanya
dugaan Konflik kepentinan pejabbat pemerintahan dalam menetapkan dan/atau
melakukan keputusan dan/atau tindakan.
Ketentuan dalam pasal di atas menunjukkan suatu gerakan dialektis
masyarakat. Meskipun kata melaporkan bukanlah kata dialektis, seperti kata secara
melawan hukum, namun ada dua subjek dalam bunyi norma di atas, yakni
masyarakat dan pejabat pemerintahan. Dalam konsep Marxis, dialektika terjadi
antara dua kelas secara permanen, yakni bourguise versus proletar. Kaum bourguise
mewakili mewakili kaum pemilik modal dan para tuan tanah, sementara kaum
proletar mewakili buruh dan para petani penggarap. Pertentangan dialektis antara
dua kelas ini terjadi secara terus-menerus.
Masyarakat dalam kalimat di atas mewakili kelas yang di kuasai, sedangkan
pejabat pemerintahan mewakili kelas penguasa. Entitas pengusaha dan yang
dikuasai adalah entitas yang dialektis, dan karenanya sama dengan rumus A vs B.
Hegel melihat logika sebagai suatu proses dan bukan sebagai suatu analisis
tentang bagaimana bentuk (formal) dapat diterapkan pada isi. Bentuk dan isi
bersatu secara tidak dapat dipisahkan di dalam suatu gerakan yang bukan saja
menggambarkan pola-pola pikiran manusia melainkan juga melukiskan tiga
keadaan yang memungkinkan peristiwa-peristiwa alam terjadi. Gerakan itu
mengandung apa saja yang sudah biasa disebut:
Tesis
Antitesis
Sintetis
Kategori-kategori atau prinsip-prinsip akal budi (gagasan-gagasan, ide-ide,
konsep-konsep) ditemukan di dalam proses gerakan ini darri tesis ke antitesis dan
terus ke kesatuuannya dalam sintesis. Prinsip-prinsip akal budi, atau kategori-
kategori, tidak dapat disebutkan secaraa berurutan lengkap sebab proses dialektis
itu sendiri belum secara penuh teraktualkan dalam realistiis.
Rumusan tesis-antitesis adalah rumusan pasti dalam logika dialektis. Tak dapat
dielakkan bahwa pertentangan-pertentangan dalam realitas adalah sesuatu yang
pasti terjadi. Tak ada harmoni tanpa gerak dialektis, dan setiap gerak dialektis,
selalu ada upaya untuk mendamaikan.
Undang-undang sebagai produk hukum aalah cerminan dari gerak dialektis itu.
Pembentukan suatu undang-undang adalah resultante dari situasi masyarakat. Jika
melihat tiga landasan, yakni:

Landasan filosofis
Landasan sosiologis
Landasan yuridis

Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, maka terlihat


dengan jelas bahwa rumusan norma undang-undang adalah rumusan yang
direproduksi dari ketegangan-ketegangan dalam masyarakat. Apabila dibaca
lampiran Unddang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan jelas sekali menghendaki adanya Kajian Teoretis dan Praktik
Empiris sebelum menetapkan suatu norma undang-undang. Munculya suatu
rancangan undang-undang dapat dimungkinkan karena adanya ketegangan antara:

Masyarakat dengan masyarakat


Masyarkat dengan negaraa
Masyarakat dengan pelaku usaha
Pelaku usaha dengan negara
Pelaku usaha dengan pelaku usaha
Dan seterusnya.

Ketegangan ini disebut oleh Marx sebagai dialektika, yakni pertentangan-


pertentangan yang terjadi dalam realitass sosial masyarakat. Pertentangan ini
bersumbber pada kepentingan yang berbeda aanntara satu entitas dengan entitas
lainnya. Salah satu jalan keluar untuk menyelesaikan pertentangan ini adalah
mengaturnya agar tercipta ketertiban. Tetapi bila suatu persoalan telah terselesaikan
melalui rumusan norma hukum. Maka akan ada persoalan lain lagi yang muncul,
maka Undang-Undang dibentuk terus-menerus untuuk menjawab dinamika dan
gerak dialektis yang terus tumbuh. Setiap tesis selalu ada antitesis, lalu munncul
sintesisnya. Sintesis ini akan mejadi tesis baru, kemudian lahirlaahh antitesinya.
Begitu terus-menerus terjadi dalam sejarah manusia, sehingga lahirlah dialektikaa
historis.

4. Logika Materiel
Kebanyakan orang berpikir bahwa logika, hanyalah logika formal, Karena
berfokus padaa bagaimana cara seseorang berpikir lurus. Logika formal berorientasi
pada struktur atau bentuk penalaran. Logika formal hanya satu bagian dari cabang
logika. Cabang lain dari studi logika disebut “logika materiel” dimana logika ini
tidak berfokus pada bentuk penalaran tetapi pada isinya. Secara singkat dapat
dipahami, bahwa logikaa formal mempelajari “bagiamana” penalaran, sedangkan
logika materi mempelajari “apa” penalaran itu.
Dalam logika formal hanya mempersoalkan bagaimana menarik kesimpulan
yang benar dari premis-premis yang sudah ada. Dalam logika materiel yang
dipersoalkan adalah bagaimana menggunakan penalaran yang valid dari logika
formal untuk keuntungan terbaik dalam mengeksplorasi problem yang dihadapi.
Karena itullah maka logika materiel mempersoalkan isi dari suatu penalaran, bukan
cara melakukann penalaran sebagaiana dalam logika formal.
Oleh, karena logika materiel berbicara mengenai isi dari penalaran, maka tentu
saja memiliki metode yang tidak gampang untuk mengungkap suatu pertanyaan.
Hal ini memerlukan penggabungan obsevasi, eksperimen,definis,pembagian, dan
penalaran dalam rangka menemukan jawaban terhadap suatu pertanyaan.
Logika materiel melihat jenis konsep untuk melakukan penilaian, tidak hanya
pada pengambilan kesimpulan. Pengambilan kesimpulan dapat dipastikan apabila
semua tahap dan semua elemen sudah digabung untuk membedah suatu pertanyaan.
Oleh sebab itu, konsep materiel adalah melahirkan ilmu pengetahuan yang valid.
Materiel logika bukan ilmu yang berbeda dari logika formal. Kkarena pada
dasarnya, logika materiel adalah merupakan penyempurnaan terhadap logika
formal. Logika materiel menjawab pertanyaan seperti: Apa itu hukum? hingga kini,
belum ada kesepakatan para ahli mengenai jawaban terhadap pertanyaan “apa itu
hukum”. Namun dari ragam jawaban terhadap pertaanyaan tersebut, memunculkan
berbagai pendapat, pandangan analisis dan konsep yang cukup luas tentang hukum.
Ahli seperti Friedmann melihat hukum dari sisi sistem, yang ia sebut sebagai sistem
hukum. Sistem hukum terpilah mennjadi tiga, yakni; legal culture, legal structure,
dan legal substance.
Berbeda dengan pertanyaan “bagaimana hukum” pertanyaan ini bermakna
teknis, karena pada ujungnya akan berbicara soal efektivitas hukum, atau berbicara
mengenai hukum acara.
Logika materiel berbicaraa mengennai “kedalaman” maka yang dikandung
oleh suatu konsep. Kedalaman makna inii ditandai dengan fokus pembahasannya
yang berbicara pada subtansi, bukan proses, bukan cara atau metode dan juga
bukan kesimpulan. Hal inilah yang membedakannya dengan logika formal, karena
bentuk penalarannya berujung pada simpulan.
Puncal dari logika materiel adalah adanya pembagian ilmu dan keterkaitan
antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Apakah hukum pidana dapat tegak
dan memiliki kekuatan keberlakuan tanpa eksistensi masyarakat? Masyarakat dapat
dipelajari dalam sosiologi. Lalu siapa yang mengatur masyarakat? Ada kekuasaan
yang mengaturnya. Siapa yang membentuk embaga peradilan. Entitas politik. Hal
ini dapat dipelajari dalam ilmu politik dan hukum tata negara. Begitulah seterusnya,
karena konsep logika materiel merupakan kombinasi yang baik dari berbagai ilmu
pengetahuan. Satu bidang ilmu tidak berdiri sendiri, tetapi saling bergantung
dengan yang lain.
Jika dilihat secara sepintas, logika materiel menghendaki agar hukum dan
politik tidak dibuatkan jarak. Hukum, dan ekonomi harus saling menyatu dan
seterusnya. Saat ini kita melihat bahwa fakultas filsafat terpisah dari hukum,
padahal filsafat dan hukum adalah dua dimensi yang saling mengisi, karenanya
harus terus digerakkan secara bersaama-sama.
Logika materiel memberi pedoman untuk mengkoordinasikan penyelidikan
ilmiah tentang realitas dengan melibatkan seluruh komponen pengetahuan, tidak
perlu dipilah dan dipisah. Karena pada akhrinya, hal ini akan membawa kita kepada
metafisika dengan meletakkkan cara pandang untuk melihat realitas secara holistik,
sehingga kita menjadi bijaksana.
Dalam konteks hukum, apabila digunakan pendekatan logika formal, maka
berbagai jenis hukum tiidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hukum piana
memiliki hubungan dengan hukum tata negara, terutama karena sama-sama dari
jenis hukum publik begitu juga dengan hukum perdata, tidak dapat dipisahkan dari
hukum pidana dan hukum tata negara.
Karena akan berttemu pada konsep, kepada siapa individu atau kolektivitas
akan berlindung, maka jawabannya akan merujuk pada “konsep negara”. Konsep
negara begitu luas, mencakup masyarakat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat
dan pengakuan dari negara lain. Setiap konsep memilik rentetan yang tidak terpisah
dengan konsep yang lain itulah hakikat cara berpikir logika materiel.

5. Logika Formal
Logika formal merupakan ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk pemikiran
(konsep, putusan, kesimpulan, dan pembuktian) berkenaan dengan sturktur
logisnya, yaitu dengan abstarksi isi konkret dari pikiran-pikiran dan menonjolkan
hanya cara-cara umum yang olehnya memungkinkan bagian-bagian dari isi itu
berhubungan.
Tugas pokok llogika formal ialah merumuskan hukum-hukum dan prinsip-
prinsip, ketaatan terhadap hulum-hukum dan prinsip-prinsip ini merupakan suatu
syarat untuk mencapai hasil-hasil yang sahih dalam mengejar pengetahuan dengan
deduksi. Itulah sebabnya logika formal memiliki hukum-hukum tersendiri.
Menurut George Novack, ada tiga hukum dasar logika formal. Yang pertama
dan terpenting adalah hukum identitas. Hukum tersebut dapat disebutkan dengan
berbagai ccara seperti: sesuatu adalah selalu sama dengan atau identik dengan
dirinya dalam aljabar; A sama dengan A”.
Menurut Novack, rumusan khusus hukum tersbut tak terlalu penting.
Pemikiran esensial dalam hukum tersbut adalah seperti berikut. Dengan
mengatakan bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya, maka dalam segala kondisi
tertnetu sesuatu itu tetap sama dan tak berubah. Keberadaanya absolut. Seperti yang
dikatakan oleh ahli fisika: “materi tidak dapat dibuat dan dihancurkan.”Materi
selaluu tetap sebagai materi.”
Novack mengatkan, jika sesuatu adalah selalu dan dalam semua kondisi sama
atau identik dengan dirinya, maka ia tidak dapat tidak sama atau bebeda dari
dirinya, kesimpulan tersebut secara logis patuh pada hukum identitas: jika A selalu
sama dengan A, maka ia tidak pernah sama dengan bukan A selalu.
Kesimpulan tersebut menurut Novack dibuat secara eksplisit dalam hukum
kedua logika formal: hukum kontradiksi. Hukum kontradiksi menyatakan bahwa A
adalah buka non-A, itu tidak lebihh dari sebuah rumusan negatif dari pernyataan
positif, yang dituntun oleh hukum pertama. Beberapa contoh: manusia tidak dapat
menjadi tidak demokratik: buruh upahan tidak dapat menjadi bukan buruh upahan.
Hukum kontardiksi menurut Novack menunjukan pemisahan perbedaan antara
esensi materi dengan pikiran. Jika A selalu sama dengan dirinya, maka ia tidak
mungkin berbeda dengan dirinya. Perbedaan dan persamaan menurut dua hukum di
atas adalah benar-benar berbeda, sepenuhnya tak berhubungan dan menunjukan
saling berbedanya antara karakter benda dengan karakter pikiran.
Dalam konteks ini, Novack mengatakan bahwa kualitas yang saling berbeda
dan terpisah dari setiap benda ditunjukan dalam hhukum ketiga logika formal,
yakni: hukum tiada jalan tengah. (the law of excluded formal). Menurut hukum
tersebut segala sesuatu hanya memiliki salah satu karakteristik tetentu. Jika A sama
dengan A, maka ia tidak dapat sama dengan Non-A . A tidak dapat menjadi bagian
dari dua kelas yang bertentangan pada wwkatu yang bersamaan. Dimana pun dua
hal yang berlawanan tersebut akan saling bertentangan. Keduanya tidak dapat
dikatakan benar atau salah. A adalah nukam B dan B adalah bukan A. Kebenaran
dari sebuah pernyataan selalu menunjukan kesalahan berdasarkan lawan
pertentangan dan sebaliknya.
Itulah sebabnya kenapa logika formal disebut juga sebagai logika minor,
karena mempelajari secara ketat asas-asas dan hukum berpikir, sehingga
kesimpulan yang diambil atas suattu penlaran yang logis tidak jatuh dalam
“kesesatan”(fallacy). Hal mana yang perlu dihindari dala setiap melakukan yang
premis mayor, premis minor, dan konklusinya saling berhubungan.
6. Logika Informal
Logika informal, mengacu pada prinsip-prinsip logika dan pemikiran logis
diluar pengaturan formal. Karena konsepnya “informal”, maka definisi yang tepat
dari “logika formal” diperselisihkan oleh beberapa ahli. Raph H. Jonnshon dan J.
Anthony Blair mendefinisikan logika informal adalah cabang logika yang tugasnya
adalah untuk mengembangkan standar nonformal, yang berkitan dengan kriteria
dari prosedur untuk melakukan analisis, interpretasi, evaluasi, kritik dan konstruksi
argumentasi. Definisi ini mencerminkan apa aja yang telah tersirat dalam praktik
dan apa yang orang lain yang dilakukan oleh banyak orang dalam teks-teks logika
informal mereka.
Logika informal terkait dengan kesalahan-kesalahan informal, berpikir kritis,
keterampilan gerakan berpikir, dan penyelidikan interdisipliner yang dikenal
sebagai teori argumentasi. Frams H. Van Emeren menulis bahwa label “logika
informal yang mencakup” koleksi pendekatan normatif untuk mempelajari
penalaran dalam bahasa yang tetap dekat dengan praktiik argumentasi dari logika
formal. Artinya, logika informal tidak terpisah sama sekali dengan logika formal,
hanya saja hukum-hukum argumentasi yang dikembangkan berbeda dengan logika
formal.
Raplh H. Johnson mendefiniskan logika informal sebagai cabang logika yang
tugasnya adalah untuk mengembangkan standar nonformal, kriteria, prosedur untuk
analisis, interpretasi, evaluasi, krritik dan kontruksi argumentasi dalam wacana
sehari-hari.
Hal ini menandakan bahwa logika informal adalah logika yang tidak begitu
terikat pada preposisi dan hukum-hukum berpikir yang rumit. Logika informal
bersandaar pada apa yang dilakukan sehari-hari atau wacana yang berkembang
sehari-hari.

7. Logika Modal
Menurut Lorens Bagus, logika modal adalah merupakan suatu sistem logika. Ia
mempelajari struktur proposisi-proposisi yang memuat modalitas-modalitas seperti:

Keniscayaan
Kenyataan
Kemungkinan
Kebetulan
Dan, negasi-negasinya.

Usaha untuuk membangun logika modal dikerjakan oleh Aristoteles, kum Stoa,
kaum Skolastik. Mereka merumuskan sejumlah definisi dan prinsipnya yang
penting. Sebagian prinsip dasarnya:
a. Jika sesuatu itu niscaya, maka ia harus menjadi mugkin.
b. Jika sesuatu itu niscaya, maka ia tidak mustahil.
c. Jika sesuatu itu mustahil, maka ia secara niscaya tidak betul (saya).
d. Jika sesuatu secara niscaya tidak betul, maka ia mustahl.
e. Jika sesuatu dinicayakan oleh sesuatu yang secara niscaya betul, maka ia
sendri betul secara niscaya.
f. Apa yang niscaya sungguhh-sungguh aktual maupun sungguh-sungguh
mungkin.

“keniscayaan” adalah sesuatu yang benar-benar terjadi atau pasti terjadi.


Karenanya ia dapat dipastikan “mungkin” terjadi. Misalnya, seorang pencuri dapat
dipastikan mungkin dihukum. Kata “ mungkin dihukum” diletakan dalam kalimat
ini karena, seorang pencuri yang belum cakap secara hukum, tidak dapat dihukum.
Meskipun ia adalah pencuri. Mengurainya akan kembali lagi dipembahasan pemula
mengenai subjek hukum. ”Siapakah subjek hukum?” jawabannya; “orang dan
badan hukum “apakah anak dibawah umur dan orang gila adalah subjek hukum?
Jika keduaanya melakukan pencuriaaan apaakah dapat dihukum.

Kenyataan berkait dengan das Sein, atau sesuatu yang menjadi peritiwa
konkret. Logika modalitas menempatkan kenyataan sebagai salah satu elemen
penting kajiannya, karena memiliki relevansi eksistensi modalitas dan prinsip
keniscayaan. Pencuri merupakan subjek nyata dari sebuah kejadian tindak pidana
pencurian. Karena ia nyata maka ia niscaya ada pencuri niscaya adanya jika terjadi
kecurian di seuah kampung atau sebuah tempat.
Begitu juga dengan kemungkinan bisa terjadi, tapi bisa juga tidak terjadi,
keehilangan barang belum tentu karena pencurian. Jika seseorang melempaar
tuduhan kepada pencuri atas kehilangan suatu barang yang ia miliki maka tuduhan
itu berada dalam dilema, yakni; “mungkin atau tidak mungkin.” Artinya,
kehilangan adalah kenicayaan yang nyata, namun apakah barang yang hilang itu
dicuri atau tidak adalah kemungkinan. Selama tidak bisa dibuktikan secara formal
melalui mekanismee hukum mengenai kehilangaan yang diakibatkan oleh pencuria,
seprti tersangka tidak ditemukan, bukti permulaan yang cukup tidak ada, atau
tanda-tanda kecurian tidak didapatkan, maka bisa saja barang itu hilang. Jika
barang itu hilang karena keteledoran di pemilik, maka yang benar adalah
kehilangan, bukan pencurian itulah sebabnya, logika infornal meletakann
kemungkinanan sebagai elemen logisnya.

Kebetulan sebagai salah satu elemen dari logika informal adalah merupakan
bagian dari sesuatu yang terkait dengann niscayaan, kenyataan dann kemungkinan,
keniscayaan. Kenyataan dan kemungkinan . semuanya menegaskan soal “das sein.”

Anda mungkin juga menyukai