Anda di halaman 1dari 4

Ketahui Jenis-Jenis Cek dan Cara Penggunaannya

Cek (cheque) adalah surat atau warkat (dokumen) yang berisi perintah tak bersyarat dari nasabah
bank agar bank tersebut membayarkan sejumlah uang yang tertera pada surat itu kepada orang atau
pembawanya. Dengan demikian, cek merupakan salah satu surat berharga yang memiliki fungsi
sebagai alat tukar seperti uang. Untuk membuat cek, terlebih dahulu pihak nasabah harus membuka
rekening giro pada bank yang bersangkutan. Berikut dasar hukum, jenis, syarat dan format cek yang
harus Anda ketahui.

1. Dasar Hukum Pengaturan Cek

Dasar hukum pengaturan cek diatur dalam Pasal 178 sampai dengan 229 KUH Dagang. Di samping
itu, ada tambahan penjelasan yang dimuat dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Dalam Pasal 178 KUH
Dagang, di mana suatu cek harus memenuhi syarat formal sebagai berikut:

1. Nama ‘Cek’ harus termuat dalam teks.

2. Perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.

3. Nama pihak yang harus membayar (tertarik).

4. Penunjukan tempat di mana pembayaran harus dilakukan.

5. Pernyataan tanggal beserta tempat Cek ditarik.

6. Tanda tangan orang yang mengeluarkan Cek (penarik).

2. Jenis-Jenis Cek yang Berlaku di Indonesia

a. Cek Atas Nama

Merupakan cek yang diterbitkan atas nama seseorang atau badan hukum tertentu yang tertulis jelas
di dalam cek tersebut. Sebagai contoh jika di dalam cek tertulis perintah bayarlah kepada: Tn.
Budiman sejumlah Rp4.000.000,- atau bayarlah kepada PT. Marindo uang sejumlah Rp2.000.000,-
maka cek inilah yang disebut dengan cek atas nama, namun dengan catatan kata “atau pembawa” di
belakang nama yang diperintahkan dicoret.

b. Cek Atas Unjuk

Cek atas unjuk adalah jenis cek yang berkebalikan dari cek atas nama. Di dalam cek atas unjuk tidak
tertulis nama seseorang atau badan hukum tertentu jadi siapa saja dapat menukarkan cek atau
dengan kata lain cek dapat diuangkan oleh si pembawa cek.

c. Cek Silang

Cek Silang atau cross cheque merupakan cek yang dipojok kiri atas diberi dua tanda silang. Cek ini
sengaja diberi silang, sehingga fungsi cek yang semula tunai berubah menjadi non tunai atau sebagai
pemindahbukuan.

d. Cek Mundur

Merupakan cek yang diberi tanggal mundur dari tanggal sekarang, misalnya Tn. Budiman menerima
cek pada tagl 10 Mei 2006, namun dalam cek tersebut tertulis tanggal 15 Mei 2006. Berarti Tn.
Budiman baru bisa mencairkan cek tersebut sesuai tanggal yang tertera di dalam cek. Jenis cek inilah
yang disebut dengan cek mundur atau cek yang belum jatuh tempo, hal ini biasanya terjadi karena
ada kesepakatan antara si pemberi cek dengan si penerima cek, misalnya karena belum memiliki
dana pada saat itu.

e. Cek Kosong

Cek kosong adalah jenis cek yang dananya tidak tersedia di dalam rekening giro. Sebagai contoh
nasabah Tn. Rahman Hakim menarik cek senilai Rp60 juta yang tertulis di dalam cek tersebut, akan
tetapi dana yang tersedia di rekening giro tersebut hanya ada 50 juta rupiah. Ini berarti kekurangan
dana sebesar 10 juta rupiah, apabila nasabah menariknya. Jadi jelas cek tersebut kurang jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah dana yang ada.

3. Syarat dan Format Penggunaan Cek?

Bank Indonesia telah menetapkan aturan normatif yang berlaku terkait penggunaan instrumen
pembayaran ini. Syarat ini berlaku bagi pengguna cek untuk mengontrol peredaran cek serta
mencegah adanya cek kosong. Di bawah ini adalah beberapa syarat formal dan cara penulisan cek:

1. Cek harus secara eksplisit ditulis dalam lembaran cek;

2. Cek adalah perintah pembayaran tidak bersyarat untuk membayar sejumlah dana atau uang;

3. Nama pihak yang membayar nominal tertera dalam cek;

4. Tempat pembayaran cek dapat dan harus dilakukan;

5. Penulisan waktu, tanggal, dan lokasi penarikan atau pencairan cek; dan

6. Tanda tangan basah pihak yang mengeluarkan atau memberikan cek.

Lalu, bagaimana jika cek tidak menuliskan tempat pembayaran?

Meski Bank Indonesia telah menentukan secara spesifik mengenai penggunaan cek, ternyata masih
banyak orang yang mengabaikan penulisan tempat pembayaran cek. Bagaimana jika hal ini terjadi
dan ditemukan? Di bawah ini adalah beberapa ketentuan menurut Bank Indonesia.

1. Jika cek tidak memuat lokasi di mana pembayaran dapat dilakukan, Anda dapat mengecek
tempat yang ditulis di samping nama penarik, ini akan dianggap sebagai lokasi pembayaran;

2. Jika tertulis beberapa tempat pencairan, maka pencairan harus dilakukan di tempat yang
ditulis pada urutan pertama; dan

3. Jika cek tidak memuat sama sekali keterangan tempat di mana cek dapat dicairkan, makan
pembayaran atau pencairan dilakukan di kantor pusat bank tertarik.

4. 6 Hal yang Harus Diperhatikan dalam Penggunaan Cek untuk Menghindari Penipuan

Penggunaan cek pada prinsipnya telah diatur pada aturan bank yang mengeluarkan cek tersebut.
Bagi Anda yang ingin menghindari penipuan dan peredaran cek kosong, di bawah ini adalah
beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Pemilik rekening giro atau penarik harus menyediakan sejumlah dana yang tertulis pada cek
pada saat pencairan atau cek ditunjukkan kepada bank tertarik. Penarik adalah pemilik
rekening giro yang diberi kuasa oleh pemilik rekening guna membayar, memindah buku atau
mentransfer dana kepada pemegang atau orang yang disebutkan dalam lembaran cek. Bank
tertarik di sini adalah bank yang menerima perintah pembayaran oleh pemilik rekening
menggunakan lembaran cek atau bilyet.
2. Kedaluwarsa lembaran cek dihitung setelah 6 bulan. Di mana, tanggal ini dihitung sejak
tanggal berakhirnya penawaran. Tenggat waktu menunjukkan cek adalah 70 hari sejak waktu
atau tanggal penarikan.

3. Jika rekening giro tidak memiliki dana mencukupi, maka cek yang diberikan adalah cek
kosong.

4. Coretan yang ada pada setiap lembar cek harus ditandatangani pemilik rekening, tanpa
tandatangan cek tidak berlaku.

5. Saat cek ditujukan kepada bank tertarik dan rekening giro tidak memiliki dana yang
mencukupi, maka cek disebut sebagai cek kosong.

6. Perbedaan antara nominal angka dan yang ditulis dalam huruf pada setiap lembaran, maka
nilai yang akan diacu adalah nominal atau nilai yang tertera ditulis dalam huruf.

Dalam dunia usaha, penggunaan cek sebagai alat pembayaran adalah hal yang sangat umum.
Biasanya, pembayaran menggunakan cek dilakukan oleh pihak klien atau rekanan bisnis untuk
penjualan produk perusahaan secara kredit yang berarti secara tidak langsung akan masuk dalam
laporan akun penerimaan kas dari piutang usaha atau sebaliknya, penggunaan cek sebagai alat
pembayaran perusahaan kepada rekanan bisnis yang nantinya akan tercatat dalam akun jurnal
pengeluaran kas.

Dalam penggunaan cek sebagai alat pembayaran dalam bidang bisnis ini, maka pihak bank akan
menjadi pihak luar yang akan dilibatkan dalam pencatatan transaksi. Karena adanya keterlibatan ini,
maka pihak perusahaaan membutuhkan data rekonsiliasi terhadap pihak bank.

Penjelasan Lebih Lanjut Dasar Hukum Cek

1. Definisi Cek, Bilyet Giro, dan Cek/Bilyet giro kosong dapat ditemui dalam Surat Edaran Bank
Indonesia No. 2/10/Dasp Tahun 2000 tentang Tata Usaha Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong
(“SEBI 2/10/2000”) yang menyatakan sebagai berikut:
a. Cek adalah surat perintah membayar sebagaimana diatur dalam Kitab UU Hukum
Dagang (“KUHD”).

Sedangkan, dijelaskan dalam situs Bank Indonesia bahwa Cek adalah surat perintah tidak
bersyarat untuk membayar sejumlah dana yang tercantum dalam cek.  Penarikan cek dapat
dilakukan baik "atas nama" maupun "atas unjuk" dan merupakan surat berharga yang dapat
diperdagangkan (negotiable paper). Pengaturan Cek dalam KUHD dapat ditemui dalam Pasal
178 sampai dengan Pasal 229.

b. Bilyet Giro adalah surat perintah pemindahbukuan sebagaimana diatur dalam Surat


Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 28/32/KEP/DIR tanggal 4 Juli 1995 tentang Bilyet
Giro.

Pada situs Bank Indonesia tersebut juga dijelaskan bahwa Bilyet Giro adalah surat perintah
dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk memindah bukukan sejumlah dana dari
rekening yang bersangkutan kepada rekening pemegang yang disebutkan namanya.

c.  Cek/Bilyet Giro kosong adalah Cek/Bilyet Giro yang diunjukkan dan ditolak Tertarik dalam
tenggang waktu adanya kewajiban penyediaan dana oleh Penarik karena saldo tidak cukup
atau Rekening telah ditutup.
 

2. Informasi yang Anda dapatkan mengenai perbedaan aspek pidana dari penarikan cek dan bilyet
giro kosong, mungkin berdasarkan pengaturan UU No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan
Penarikan Cek Kosong (“UU Cek Kosong”), yang secara khusus menyatakan bahwa tindak pidana
penarikan cek kosong adalah kejahatan (Pasal 3 UU Cek Kosong). Pengaturan UU Cek Kosong ini
menyebabkan perbedaan aspek pidana dari penarikan cek kosong dengan penarikan bilyet giro
kosong. Hal ini juga dijelaskan dalam buku Hukum Dagang yang ditulis oleh Farida Hasyim (hlm.
273). Namun perlu kami sampaikan bahwa UU Cek Kosong ini sudah dicabut oleh Peraturan
Pemerintah Pengganti UU (Perpu) Nomor 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan UU No. 17 Tahun
1964 (“Perpu No. 1 Tahun 1971”).

 Menurut artikel Sejarah Bank Indonesia: Sistem Pembayaran Periode 1966-1983 yang diterbitkan


oleh Unit Khusus Museum Bank Indonesia (hlm. 7), berdasarkan UU Cek Kosong, penarikan cek
kosong yang dianggap sebagai tindak pidana ekonomi diancam dengan sanksi pidana yang berat,
yaitu hukuman mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara 20 tahun. Ancaman pidana yang
berat itu ternyata menimbulkan keengganan masyarakat menggunakan cek dalam lalu lintas
pembayaran. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No. 1
Tahun 1971. Maka pada saat ini penarikan cek kosong bukan lagi dianggap sebagai suatu kejahatan.
Praktis tidak terdapat lagi perbedaan yang signifikan antara penarikan cek kosong dengan bilyet giro
kosong dari segi hukum pidana.

3. Cek dan Bilyet Giro sendiri merupakan alat pembayaran, sedangkan kegagalan pembayaran utang
dapat dikategorikan sebagai wanprestasi, yaitu keadaan apabila salah satu pihak di dalam satu
perjanjian tidak melaksanakan prestasi atau kewajibannya dan bukan karena keadaan memaksa
(overmacht). Hal ini dijelaskan juga dalam artikel Cek Kosong.

 Menurut Pasal 1234 Kitab UU Hukum Perdata (“KUHPer”) prestasi terbagi dalam tiga macam:

a. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam Pasal 1237 KUHPer);
b. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat
dalam Pasal 1239 KUHPer); dan
c. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat seuatu (prestasi jenis ini terdapat
dalam Pasal 1239 KUHPer).

 Jadi, pada dasarnya mengenai kegagalan pembayaran adalah termasuk ke dalam ranah hukum
perdata.

Anda mungkin juga menyukai