Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI KLAUSULA ARBITRASE DALAM

PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Klausula Arbitrase Dalam Penyelesaian

Sengketa Bisnis

2.1.1 Pengertian Arbitrase

Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage

(Belanda/Perancis), arbitration (Inggris) dan schiedspruch (Jerman), yang berarti

kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian

melalu arbiter atau wasit.26 Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1 UU AAPS,

arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa. Secara sederhana arbitrase merupakan suatu penyelesaian

sengketa yang kewenangan absolutnya ditentukan pada didasarkan atas suatu

perjanjian atau klausula arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak.

Prasyarat yang utama bagi suatu proses arbitrase yaitu kewajiban pada

para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrase

(arbitration clause atau arbitration agreement), dan kemudian menyepakati

hukum dan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri penyelesaian

sengketanya. Meningkatnya perkembangan perdagangan, keuangan dan industri

akhir-akhir ini, apakah nasional maupun internasional, dan ditambah lagi dengan

26
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, hal. 78.

25
26

persiapan-persiapan oleh masyarakat internasional menghadapi era globalisasi

pada masa-masa mendatang, telah menimbulkan suasana liberalisasi ekonomi,

industri, dan lain-lain. Dirasakan akan kebutuhan tata cara penyelesaian sengketa

perdagangan dengan cepat dan murah yang juga dapat menjaga nama baik dan

kepentingan perdagangan dari pihak-pihak yang bersengketa menetapkan

keputusan yang dilandasi oleh pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang

memuaskan para pihak yang mungkin tidak dapat diperoleh dari lembaga-

lembaga lainnya.

Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk

tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana

menyelesaiakan sengketa yang timbul, sehingga mencapai suatu hasil tertentu

yang secara hukum final dan mengikat. Adapun bebrapa pengertian mengenai

arbitrase yang diberikan oleh beberapa pakar hukum, antara lain:

a. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Works


disebutkan, bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau
simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar
perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan
pilihan mereka di mana keputusan mereka ber dasarkan dalil-dali
dalam perkara tersebut. Para pihak setu sejak semula untuk
menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.27
b. Gary Goodpaster mengemukakan sebagai berikut: "Arbitration is
the private adjudication of disputes parties, anticipating possible
disputes or experiencing an actual dispute, agree to submi their
dispute to a decision maker they in some fashion select.28
(Arbitrase adalah ajudikasi pribadi pihak sengketa, mengantisipasi
kemungkinan perselisihan atau mengalami sengketa yang
sebenarnya, setuju untuk menyerahkan sengketa mereka ke
pembuat keputusan mereka dalam beberapa mode pilihan).

27
Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Works dikutip dari buku
Suleman Batubara dan Orunton Purba, 2013, Arbitrase Internasional, Raih Aksa Sukses (Penebar
Swadaya Grup), Jakarta, Hal. 9.
28
Gary Goodpaster dikuti dalam buku Andi Julia Cakrawala, op.cit, hal. 66.
27

c. Altschul mengatakan bahwa: “Arbitration is an alternative dispute

resolution system that is agreed to by all parties to a This system

provides for private resolution of disputes in a speedy fashion.29(

Arbitrase adalah sistem penyelesaian sengketa alternatif yang

disetujui oleh semua pihak yang dimana sistem ini memberikan

resolusi pribadi sengketa secara cepat).

d. R. Subekti menyebutkan, bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau


pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau
menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim
yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.30
e. Priyatna Abdurrasid mengemukakan, bahwa arbitrase adalah suatu
proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudi sial
seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan
pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak.31
f. M. N. Purwosutjipto menyatakan, bahwa perwasitan adalah suatu
peradilan perdamaian di mana para pihak bersepakat agar
perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai
sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak,
yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat
bagi kedua belah pihak.32
g. Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut:
"Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third per-
son chosen by the parties to the dispute who agree in aduance to
abide by arbiter's award issued after hearing at which both par-
ties have and opportunity to be head. An arrangement for taking
and abiding by the judgment of selected persons in some disputed
matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, and is
intended to avoid the formalities, the delay, the expense and
taxation of ordinary ligation.33 ( Arbitrase adalah referensi dari
sengketa ke berimbang (orang ketiga yang dipilih oleh para pihak
29
Ibid.
30
Subekti, Op.Cit, hal. 1.
29
H. Priyatna Abdurrasyid, Cetakan kedua 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Jakarta: Penerbit PT. Fikahati Aneska, hal. 56-57.
32
H.M.N. Poerwosutjipto, 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan
dan Penundaan Pembayaran, Cetakan III, Djambatan, Jakarta, hlm.1.
33
Black’s Law Dictionary sebagaimana dikutip dari Joni Emirzon, 2001, Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase, PT.
Gramedia Pustama Utama, Jakarta, hal. 96-97.
28

yang bersengketa yang setuju di muka untuk mematuhi putusan


arbiter yang dikeluarkan setelah mendengar, dimana kedua belah
pihak memiliki dan kesempatan untuk menjadi kepala. Sebuah
pengaturan untuk mengambil dan mematuhi penghakiman orang
yang dipilih dalam beberapa masalah yang disengketakan,
bukannya membawa itu untuk membangun pengadilan keadilan,
dan dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya
dan perpajakan ligasi biasa).
h. Abdulkadir Muhammad memberi batasan bahwa arbitrase adalah
badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang
dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan
yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-
pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dapat dituangkan kehendak bebas para pihak. Kehendak
sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak dalam perjanjian tertulis mereka buat
sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
i. Dalam Kamus Hukum ELIPS disebutkan, bahwa arbitrase atau
perwasitan adalah metode penyelesaian snegketa di luar pengadilan
dengan menggunakan jasa wasit atas persetujuan para pihak yang
bersengketa dan keputusan wasit mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Arbiter atau wasit adalah orang yang bukan hakim yang
bertugas memeriksa dan mengadili perkara menurut tata cara
perwasitan.34

Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa unsur-unsur arbitrase

sebagai pengadilan

a. cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar atau

pengadilan;

b. atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;

c. untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang

sudah terjadi;

d. dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang

berwenang mengambil keputusan; dan

34
Kamus ELIPS dikutipm dalam buku Racmadi Usman, Op.Cit, hal. 140.
29

e. sifat putusannya final dan mengikat.

2.1.2 Sejarah Perkembangan Arbitrase

Di Indonesia, Arbitrase bukan merupakan sesuatu hal yang baru dalam dalam

penyelesaian sengketa, meskipun lembaga arrbitrase ini semulanya di peruntukan

bagi penduduk golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu.

Memang dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk

golongan Bumiputra, baik HIR maupun RBg, tidak mengatur tentang arbitrase.

Namun lewat pasal 377 HIR dan pasal 705 Rbg yang menyatakan:

“jika orang indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan

diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan

perkara yang berlaku bagi bangsa eropa”.

Jadi pada pasal tersebut jelas memberikan kemungkinan buat pihak pihak yang

bersengketa menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan. Dalam

perkembangannya Arbitrase di Eropa mempunyai bentuk yang sederhana yaitu:

1. Bahwa pada masa itu orang baru menggunakan arbitrase setelah sengketa

lahir. Jadi sebelumnya para pihak tidak dan belum menjanjikan terlebih

dahulu bahwa apabila terjadi sengketa maka arbitraselah yang menjadi

penyelesaian sengketanya.

2. Arbitrase tersebut digunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara

kerabat, tetangga atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang

berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik.


30

3. Arbitrator yang dipilihnya pun adalah mereka yang telah dikenal baik oleh

para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu.

Dalam Rv. pasal-pasal mengenai arbitrase, diatur dalam buku Ketiga tentang

Aneka Acara. Pada Bab Pertama diatur ketentuan mengenai putusan wasit

(arbitrase) melalui pasal 615 sampai dengan pasal 651 Pasal-pasal ini meliputi

lima bagian pokok, yaitu :

- Bagian Pertama (pasal 615-623) mengatur arbitrase dan pengangkatan

arbitrator atau arbiter,

- Bagian Kedua (pasal 624-630) mengatur mengenai pemeriksaan dimuka

badan arbitrase,

- Bagian Ketiga (pasal 631-640) mengatur mengenai Putusan Arbitrase,

- Bagian Keempat (pasal 641-647) mengatur mengenai upaya-upaya

terhadap putusan arbitrase,

- Bagian Kelima (pasal 647-651) mengatur mengenai berakhirnya acara-

acara arbitrase.

Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang sebagai

eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan

arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerinta Belanda, yaitu :

1. Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia;

2. Badan arbitrase tentang kebakaran;

3. Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.

Setelah itu pada masa penjajahan Jepang yang masuk menggantikan kedudukan

Belanda, mengenai berlakunya arbitrase Pemerintah Belanda pernah


31

mengeluarkan peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa

semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari

pemerintah dahulu. Pemerintahan Hindia Belanda-tetap diakui sah buat sementara

asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang. Setelah

Indonesia Merdeka untuk mencegah kevakuman hukum, maka pada masa itu

dikeluarkan peraturan yang menyatakan:

“segala badan badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai

berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945

selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja

tidak bertentangan dengan Undan-Undang Dasar tersebut”.

Maka oleh itu pada masa tersebut, untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase

tetap masih berlaku ketentuan yang ada pada HIR, RBg dan Rv. Mengenai badan

peradilannya di beberapa bagian Republik Indonesia yang dikuasai oleh Belanda

sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua

orang sebagai peradilan sehari-hari dan appelraad sebagai peradilan dalam perkara

perdata tingkat kedua. Namun waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat,

landrechter ini menjadi Pengadilan Negeri, sedangkan appelraad, menjadi

Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah-daerah yang

tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.

Selanjutnya jika kita lihat ketentuan pada UUD sementara 1950, pasal

142-nya menyatakan bahwa:

“peraturan undang undang dan ketentuan ketentuan tata usaha yang sudah
ada pada tanggal 17 agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah
32

sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama


dan sekedar peraturan peraturan dan ketentuan ketentuan ini tidak dicabut,
ditambah atau dirubah oleh undang undang dan ketentuan ketentuan tata
usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini”.

Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang

menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa

penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti

masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv. juga

tetap berlaku. Secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia

mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya Badan

Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus berlanjut

sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi Penyelesaian

Sengketa Alternatif Non Litigasi. Dan dalam perkembangannya pada zaman

sekarang sudah banyak digunakan khususnya para pelaku usaha yang lebih

memilih menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini daripada harus melalui

proses Peradilan Umum yang sangat tidak efesian serta memakan waktu dan biaya

yang besar.

2.2 Dasar Hukum Arbitrase Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam UU AAPS ini disusun untuk memenuhi kebutuhan dan

perkembangan hukum dalam masyarakat, sekaligus mengantisipasi perkembangan

dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional oleh karena

itu, peran dan penggunaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam dunia
33

usaha ditinjau dari segi hukum sangat menonjol dan dominan. Dalam setiap

kontrak bisnis para pihak yang terlibat, selalu meminta untuk dicantumkannya

klausul arbitrase dalam perjanjian pokok mereka. Bahkan tidak jarang ada pihak-

pihak yang tidak mau melakukan hubungan bisnis tanpa diikat dengan perjanjian

arbitrase. Dengan demikian, adanya pengaturan mengenai lembaga arbitrase di

Indonesia ini sangat penting, terlebih dengan keterlibatan Indonesia dalam

berbagai organisasi internasional semakin memperkuat alasan diperlukannya

pengaturan penyelesaian sengketa di luar peradilan umum melalui lembaga

arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat internasional.

Dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka kedudukan dan kewenangan arbitrase di

Indonesia sudah semakin jelas dan kuat. Adapun hal-hal yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, dapat dike- lompokkan dalam 10 bab

yang dituangkan dalam 82 pasal dan 7 bagian, yang dilengkapi dengan penjelasan

umum dan penjelasan pasal demi, adapun cakupan materi yang diatur di dalamnya

meliputi pasal.

a. Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai Pasal 5)

b. Alternatif Penyelesaian sengketa (Pasal 6)

c. Syarat arbitrase, Pengangkatan Arbiter, dan Hak Ingkar (Pasal 7 Pasal 28)

d. Hukum Acara Arbitrase Pasal 27 sampai Pasal 51)

e. Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52 sampai Pasal 58)

f. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59 sampai Pasal 72)

g. Berakhirnya Tugas Arbiter (Pasal 73 sampai Pasal 77)


34

h. Ketentuan Peralihan (Pasal 78 sampai Pasal 79)

i. Ketentuan Penutup (Pasal 80 sampai Pasal 82)

Pilihan yang dapat diselesaikan oleh para pihak melalui pilihan penyelesaian

sengketa hanyalah sengketa di bidang perdata. Penyelesaian dalam bentuk

perdamaian ini hanya akan mencapai tujuan dan sasarannya bida didasarkan pada

itikad baik di anatara pihak yang bersengketa dengan mengesampingkan

penyelesaian sengeta secara litigasi di Pengadilan Negeri.

2.3 Jenis-Jenis Arbitrase

Mengacu pada konvensi-konvensi internasional, seperti Convention of the

Settlement of Invesment Disputes Between State and National other states atuu

Convention on the Recognation and Enforcement of Foreign Arbitral Award

ataupun berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

UNCITRALArbitration Rules, maka jenis-jenis arbitrase dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:35

a. Arbitrase Ad hoc (Volunter)

Arbitrase ad hoc adalah suatu badan arbitrase yang dapat dibentuk,

baik setelah maupun sebelum timbulnya sengketa dan akan berakhir pada

saat selesainya sengketa tersebut. Pembentukan arbitrase ad hoc ini

didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Dalam arbitrase ad hoc ini formalitas-formalitas dan prosedur

pelaksanaan arbitrase, diserahkan atau ditentukan sendiri oleh para pihak

yang bersengketa. Formalitas dan prosedur yang diberikan untuk

35
Suleman Batubara dan Orinton Purba, Op.Cit, hal. 10.
35

ditentukan oleh para pihak sebelum dilaksanakannya proses arbitrase

tersebut, seperti penentuan tempat di mana arbitrase dilangsungkan,

jumlah arbiter, peraturan beracaranya, cara pemilihan arbiter, dan

bagaimana pelaksanaan dari putusan arbitrase itu sendiri nantinya.

Gunawan Wijaya memberikan definisi arbitrase ad hoc ini sebagai berikut:

Suatu arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau

memutus perselisihan sengketa tertentu, arbitrase ini bersifat

insidental dan jangka waktunya tertentu, yaitu sampai sengketa

tersebut diputuskan.36

Sumargono memberikan definisi arbitrasead hoc sebagai berikut:

Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau

memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain arbitrase ad

hoc bersifat insidentil.37

Dalam jenis arbitrase ini para pihak diberikan kebebasan untuk

menentukan sendiri bagaimana cara pemilihan arbiter dilakukan, kerangka

kerja, prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase. Oleh

karena itu, Suyud Sumargono mengatakan bahwa ciri pokok dari arbitrase

ad hoc ini adalah penunjukan arbiternya secara perorangan.

36
Gunawan Widjaja dan Yani, 2000, Hukum Arbitrase, Rajawali Press, Jakarta, Hal. 52-
53.
37
Suyud Sumargono, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis: Alternative Dispute
Resolutions (ADR), Bogor: Ghalia Indonesia, Hal. 123.
36

b. Arbitrase Institusional (Institusional Arbitration)

Dalam pasal 1 ayat 2 Konvensi New York 1958, arbitrase

institusional ini disebut dengan istilah permanent arbitral body.Hal ini

dikarenakan bentuk dan sifat dari arbitrase ini sendiri, yaitu suatu arbitrase

yang dibentuk oleh suatu organisasi tertentu dan bersifat tetap atau

permanen. Menurut Gunawan Wijaya, arbitrase institusional adalah

lembaga atau badan arbitrase yang bersifat tetap. Lembaga ini sengaja

didirikan oleh suatu organisasi tertentu dan bertujuan untuk menyelesaikan

perselisihan atau sengketa yang timbul dari suatu perjanjian.38

Sifatnya yang permanen dan menetap dari badan arbitrase

institusional ini merupakan suatu ciri pembeda yang utama dari arbitrase

ad hoc. Badan arbitrase institusional selain bersifat permanen atau tetap

pendiriannya juga tidak didasarkan pada ada tidaknya sengketa. Dengan

kata lain, badan arbitrase institusional ini sudah berdiri sebelum timbulnya

sengketa. Hal ini menjadi suatu pembeda antara badan arbitrase

institusional dan arbitrase yang bersifat ad hoc karena arbitrase yang

bersifat ad hoc ini biasanya didirikan setimbulnya sengketa.

Dari sifatnya yang sementara serta ketidaktetapan dari arbitrase

yang bersifat ad hoc ini, maka dalam praktiknya sering mengalami

hambatan, seperti kesulitan dalam melakukan negosiasi, arbiter yang dan

penetapan cara pemilihan tersebu disetujui oleh kedua belah pihak.

38
Loc.Cit.
37

Kelemahan-kelemahan tersebut secara tidak mutlak merupakan kelebihan

dari badan arbitrase institusional.

Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut di atas para pihak

yang bersengketa sering memilih badan arbitrase yang bersifat

institusional untuk penyelesaian sengketa yang mereka hadapi. Dengan

kata lain, pada praktiknya arbitrase yang bersifat institusional ini lebili

diminati karena dirasakan mempunyai keunggulan bila dibandingkan

dengan arbitrase yang bersifat ad hoc. Badan arbitrase institusional ini

apabila dilihat dari sudut ruang lingkupnya, dapat diklasifikasikan dalam

tiga kelompok, yaitu:

a) Arbitrase Institusional Nasional (National Arbitration)

Menurut Ridwan Widiastoro, arbitrase nasional adalah

penyelesaian suatu sengketa melalui badan arbitrase yang

dilakukan di dalam satu atau negara di mana unsur-unsur yang

terdapat di dalamnya memiliki nasionalitas yang sama. Pengertian

nasionalitas yang sama menurut beliau dalam hal ini, seperti

adanya persamaan kewarganegaraan di antara para pihak, domisili

yang sama, sistem, dan budaya hukum yang sama. Sementara itu,

menurut Gunawan Wijaya, arbitrase nasional merupakan arbitrase

yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi

kawasan negara yang bersangkutan.ari ian tadi, dapat ditarik

kesimpulan bahwa suatu arbitrase dapat dikatakan bersifat nasional

apabila:
38

1. Unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian

arbitrasenya hanya bersifat nasional.

2. Arbitrase tersebut hanya berskala nasional bila dilihat

dari kawasan atau teritorialnya.

Beberapa contoh arbitrase institusional nasional antara

lain:

a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia, merupakan

badan arbitrase nasional Negara Indonesia yang

didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri

Indonesia (KADIN)

b. The Netherlands Arbitration Institute, yaitu pusat

arbitrase nasional negara Belanda.

c. The Japanese commercial Arbitration Association,

sebagai pusat arbitrase nasional Jepang dalam

lingkungan KADIN Jepang.39

b) Arbitrase Institusional Internasional (International

Arbitration)

Arbitrase internasional ini menurut Riwan Widiastoro

adalah kebalikan dari arbitrase nasional, yaitu penyelesaian

sengketa melalui badan arbitrase yang dapat dilakukan di luar

ataupun di dalam suatu negara salah satu pihak yang

bersengketa di mana unsur-unsur yang terdapat di dalamnya

39
Op.Cit, hal 12.
39

memiliki nasionalitas yang berbeda satu sama lain foreign

element). Menurut Sudargo Gautama yang dimaksud dengan

unsur asing foreign element dalam suatu perjanjian arbitrase

sebagai berikut: “Pertama, para pihak yang membuat klausula

atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu

mempunyai tempat usaha (place of busines) mereka di negara-

negara yang berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang

ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di luar negara

tempat para pihak mempunyai usaha mereka. Ketiga, jika suatu

tempat di mana bagian terpenting kewajiban atau hubungan

dagang para pihak harus dilaksanakan atau tempat di mana

objek sengketa paling erat hubungannya (most closely

connected) letaknya di luar negara tempat para pihak. Keempat

usaha menyetujui bahwa pabila para pihak secara tegas telah

berhubungan objek perjanjian arbitrase mereka ini dengan lebih

dari satu negara”.

Dari uraian tersebut terlihat jelas perbedaan antara arbitrase

nasional dengan arbitrase internasional. Perbedaan kedua jenis arbitrase ini

terletak pada unsur-unsur yang terdapat di dalam perianjian arbitrase itu

sendiri. Seperti telah diuraikan, suatu arbitrase dikatakan bersifat nasional

apabila unsur-unsur yang terdapat di dalam pejanjian arbitrase tersebut

hanya mengandung unsur-unsur yang bersifat nasional, sedangkan


40

arbitrase internasional adalah suatu arbitrase yang di dalam perianjian

arbitrasenya terdapat unsur-unsur asing.

Adapun contoh-contoh dari lembaga arbitrase ini antara lain:

1. Court of Arbitration of the International Chamber

Commerce pusat arbitrase internasional yang

didirikan di Paris pada 1919.

2. The International Center For Settlement of In stment

Dispates (CSID). Arbitrase ini adalah badan

arbitrase bersifat internasio- nal yang mengatur

sengketa investasi berskala internasional.

3. United Nation Commission on International Trade

Lato (UNCITRAL).

c) Arbitrase Institusional Regional (Regional Arbitration)

Arbitrase institusional regional adalah suatu lembaga arbitrase

yang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya berwawasan

regional, seperti Regional Center for Arbitration yang didirikan

oleh Asia-Afrika Legal Consultative Committee (AAALC).

2.4 Klausula Arbitrase

Klausula arbitrase adalah suatu klausula dalam perjanjian antara para

pihak yang mencantumkan adanya kesepakatan untuk menyelesaiakan

sengketa yang timbul antara para pihak melalui proses arbitrase. Klausula

arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf, dijelaskannya

sebagai berikut: “penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat


41

dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan

kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir. Alternatif lainnya, atau melalui

pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelu sengketanya

lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause)”.40 Dalam Pasal 7-11 UU

AAPS maupun dalam konvensi internasional, dikenal dua bentuk klausula

arbitrase, yaitu:

1. Pactum de compromittendo

Pactum de compromittendo adalah suatau klausula arbitrase yang

dibuat sebelum timbulonya sengketa. Jadi, sejak awal klausula

arbitrase ini telah dibuat oleh para pihak sebagai bentuk kesepakatan

mereka untuk menyelesaiakan sengketa tersebut melalui lembaga

arbitrase dan bukan melalui lemabaga pengadilan. Pactum de

compromittendo dibiuat secara bersamaan dengan perjanjian pokok.

Bentuk klausula yang disebut “pactum de compromittendo”, dimana

bentuk klausula ini semula diatur dalam Pasal 615 ayat 3 Rv. dan

diadopsi/diatur dalam Pasal 7 UU AAPS dan diatur juga dalam Pasal II

Konvensi New York 1958. Hal yang penting dalam ketentuan Pasal ini

antara lain, membolehkan untuk membuat persetujuan di antara para

pihak yang membuat persetujuan, untuk menyerahkan penyelesaian

perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari akan diselesaikan

dan diputus oleh arbitrase. Kesepakatan inilah yang dimaksud dengan

40
Huala Adolf, Op.Cit, hal 208.
42

“klausula arbitrase”.41 Dalam klausula arbitrase yang berbentuk

pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan

menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul melalui forum

arbitrase. Pada saat mereka mengikat dan menyetujui klausula

arbitrase, sama sekali belum terjadi perselisihan. Seolah-olah klausula

arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang

mungkin timbul di masa yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi

perselisihan yang nyata, para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan

perselisihan yang terjadi pada arbitrase. Mengenai cara pembuatan

klausula pactum de compromittendo ini tidak tegas diatur dalam Pasal

615 ayat 3 Rv. maupun dalam Pasal II Konvensi New York 1958.

Namun dari segi pendekatan penafsiran dan dalam praktik dijumpai

dua cara yang dibenarkan, yaitu:

1. Mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam

perjanjian pokok. Ini cara yang paling lazim. Klausula arbitrase

langsung digabungkan dan dicantumkan dalam perjanjian pokok.

Perjanjian pokok menjadi satu kesatuan dengan klausula arbitrase,

yang satu dengan yang lain tidak terpisah dokumennya. Dalam

perjanjian pokok, langsung dimuat persetujuan arbitrase yang

berisi kesepakatan, bahwa para pihak setuju akan menyelesaikan

perselisihan (dispute atau defference) yang timbul di kemudian hari

melalui forum arbitrase.

41
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, Hal. 107.
43

2. Pactum de compromittendo yang dibuat dalam akta tersendiri. Di

samping apa yang telah dijelaskan di atas, pactum de

compromittendo dapat dibuat tersendiri. Perjanjian arbitrase dalam

hal ini tidak langsung digabung menjadi satu dengan perjanjian

pokok, tetapi dibuat terpisah dalam akta tersendiri. Akta perjanjian

pokok merupakan dokumen tersendiri, begitu juga perjanjian

arbitrasenya. Dengan demikian, ada dua dokumen, yakni akta

perjanjian pokok dan akta pembuatan rupa akta yang terpisah

Apabila pactumde compromittendo berupa akta yang terpisah dari

perjanjian pokok, waktu pembuatan perjanjian arbitrase harus tetap

berpegang pada ketentuan, yaitu bahwa akta persetujuan arbitrase

harus sudah dibuat “sebelum” perselisihan terjadi. Hal itu sesuai

dengan syarta formil keabsahan pactumde compromittendo yang

harus dibuat sebelum perselisihan timbul. Boleh dibuat beberapa

saat setelah pembuatan perjanjian pokok, atau dibuat beberapa

lama setelah pembuatan perjanjian pokok, asalkan dibuat sebelum

terjadi perselisihan.

2. Acte compromis

Adalah klausula arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa setelah timbulnya sengketa. Jadi apabila

Pactum de compromittendo dibuat sebelum timbulnya sengketa,

akte kompromis sebaliknya, yaitu dibuat setelah adanya sengketa.

Perbedaan yang esensil di anatar kedua klausula tersebut adalah


44

terletak pada saat pembuatnnya. Pactum de compromittendo dibuat

pada saat belum ada sengketa, sedangkan akte compromis setelah

ada sengketa.42

Jadi dari uraian diatas baik Pactum de compromittendo

maupun akte kompromis adalah sama klausula arbitrase

(perjanjian). Dengan kata lain kedua klausula arbitrase tersebut

adalah sama dasar hukum dan filsafah bagi semua pihak untuk

menyelesaikan sengketanya melalui lembaga arbitrase. Bentuk

perjanjian arbitrase disebut acte compromis(akta kompromis) ini

diatur dalam Pasal 9 UU AAPS:

“Ayat (1): Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa


melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan
mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu
perjanjian tertulis yang di tandatangani oleh para pihak.
Ayat (2): Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani
perjanjian tertulis sebagaim dimaksud dalam ayat (1),
perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk
akta notaris”.

Ketentuan tersebut sama dengan yang semula diatur dalam

Pasal 618 Rv:

1. Persetujuan arbitrase harus diadakan secara tertulis dan


ditandatangani kedua belah pihak, jika para pihak tidak
mampu menanda tangani, maka persetujuan harus
dibuat di muka notaris.
2. Persetujuan harus memuat masalah yang menjadi
sengketa, nama dan tempat tinggal para pihak, dan juga
nama serta tempat tinggal arbiter atau anggota para
arbiter yang selalu harus dalam jumlah diri. ganjil.

42
Suleman Batubara dan Orinton Purba, Op.Cit, hal. 20-21.
45

Dari bunyi Pasal 9 UU AAPS atau Pasal 618 Rv. dapat dilihat, akta

kompromis sebagai perjanjian arbitrase dibuat peranjian pokok

berjalan dan kemudian timbul perselisihan antara para pihak.

Adapun sebelumnya, baik dalam perjanjian maupun dengan akta

tersendiri, tidak diadakan persetujuan arbitrase. Dalam kasus yang

seperti ini, apabila para pihak menghendaki agar perselisihan

diselesaikan melalui forum arbitrase, mereka dapat membuat

perjanjian untuk itu. Jadi, akta kompromis merupakan kebalikan

dari pactum de compromittendo. Dalam pactum de

compromittendo, perjanjian penyelesaian perselisihan melalui

arbitrase telah disepakati sejak semula sebelum perselisih terjadi.

Pada akta kompromis perjaniian penyelesaian perselisihan melalui

arbitrase baru diikat dan disepakati setelah terjadi perselisihan.

Namun dalam praktik perjanjian arbitrase yang dibuat setelah

terjadi sengketa jarang terjadi dan sulit dilaksanakan. Karena para

pihak yang sudah berada dalam suatu perselisihan, tidak dapat

dibawa dalam suatu permufakatan untuk menyelesaikan sengketa

mereka melalui jalur arbitrase. Keuntungan menggunakan akta

kompromis ini yaitu penunjukan siapa arbiter yang akan

menangani perselisihan sudah jelas. Ada kelemahannya yaitu bila

terjadi perselisihan belum tentu bisa diselesaikan melalui arbitrase.

Oleh karena itu, penerapan atau syarat-syarat sahnya akta


46

kompromis yang diatur dalam Pasal 9 UU AAPS dapat diperinci

sebagai berikut:

“(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui


arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal
tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut
harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memuat :
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis
arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil
keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk
penyelesaian sengketa melalui arbitrase”.

Persyaratan yang perinci tersebut berkenaan dengan kehendak dari pihak-

pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase

setelah terbit sengketa. Persyaratan yang mendetail itu tidak diperlukan jika

perjanjian dibuat sebelum timbul sengketa. Persyaratan yang mendetail

sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) UU AAPS merupakan syarat mutlak,

karena adanya sanksi tersebut dalam ayat (4) yang menyatakan: “perjanjian

tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud di atas batal demi hukum”.
47

2.4.1 Macam-Macam Klausula Arbitrase

1. Klausula Arbitrase Umum

Klausula arbitrase apabila dilihat dari sudut isinya, dapat

diklasifikasikan dalam dua klasifikasi, yaitu klausula arbitrase yang

bersifat umum (general) dan khusus. Suatu klausula arbitrase

dikatakan bersifat umum apabila di dalam klausula arbitrase

tersebut secara jelas dan nyata dikatakan bahwa semua (all)

sengketa yang timbul dalam pelaksanaan suatu perjanjian akan

diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Jadi, adanya kata semua

(all) dalam klausula arbitrase memberikan pengertian bahwa

kalusula arbitrase tersebut bersifat umum (general).43 Klausula

arbitrase dikatakan umum apabila sengketa yang akan diselesaikan

melalui lembaga arbitrase adalah bersifat umum atau keselurahan

tentunya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui

lembaga arbitrase. Adapun contoh kalusula arbitrase tersebut

bersifat umum (general) dalam lembaga arbitrase BANI: “semua

sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan

diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut

peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya

mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan

dalam tingkat pertama dan terakhir”. Seperti telah dijelaskan diatas

bahwa adanya kata “semua” tersebut dengan sendirinya

43
Ibid.
48

memberikan pengertian bahwa objek sengketa yang arbitrase

adalah semua yang tentunya termasuk dalam ruang lingkup

arbitrase.jadi, klausula arbitrase yang bersifat umum atau general

ini adalah suatu klausula arbitrase yang di dalamnya dicantumkan

secara jelas dan nyata bahwa yang menjadi objek sengketa

arbitrase adalah semua jenis sengketa yang dapat diselesaikan

melalui lembaga arbitrase.44

2. Klausula Arbitrase yang Bersifat Khusus

Klausula arbitrase yang bersifat khusus ini adalah klausula arbitrase

yang di dalamnya ditentukan secara spesifik atau jelas tentang apa-apa

yang menjadi objek sengketa arbitrase.dengan kata lain, tidak semua

sengketa yang akan timbul nantinya dari suatu perjanjian akan

diselesaikan melalui lembaga arbitrase. ciri dari klausula arbitrase

yang bersifat khusus ini adalah terdapatnya kata “sebagian” (any)

dalam klausula arbitrase itu sendiri, seperti contoh klausula arbitrase

UNCITRAL:

“Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this


contract, or the breach, termination or invalidity there of, shall be
settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL
Arbitration Rules as at present in force”. "sebagian perselisihan,
perselisihan atau gugatan yang timbul dari atau berhubungan
dengan kontrak ini, atau pelanggaran, penghentian atau
ketidakabsahan daripadanya, harus diselesaikan melalui arbitrase
sesuai dengan Peraturan Arbitrase UNCITRAL seperti saat ini
berlaku".
Dari klausula arbitrase UNCITRAL tersebut di atas, terlihat jelas

bahwa dalam klausula arbitrase tersebut tercantum kata “any” yang


44
Op.Cit, hal 22.
49

memiliki arti bahwa objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui

lembaga arbitrase terkait dengan suatu perjanjian hanyalah sengketa-

sengketa yang telah ditentukan sebelumnya oleh para pihak. Dari

uraian diatas dapat dikatakan bahwa klausula arbitrase yang bersifat

khusus adalah suatu klausula arbitrase yang objek sengketanya

terbatas, yaitu sesuai dengan kesepakatan para pihak.

2.5 Pengertian Perjanjian Secara Umum

2.5.1 Perikatan dan Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda)

atau contract (Inggris). Perjanjian sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal

1313 KUHPerdata menyatakan “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk

mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian

itu. Perjanjian memberikan kepastian bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian

ditujukan untuk memperjelas hubungan hukum.

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak berarti para pihak yang bersepakat

memiliki suatu hubungan hukum untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-

masing. Hubungan hukum ini sering disebut sebagai perikatan. Perikatan

didefinisikan sebagai suatu hubungan hukum yang mengikat antara orang yang

satudan orang yang lain berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut
50

sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk

memenuhi tuntutan itu.45

Perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan selain undang-

undang makayang menjadi kaitan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa

perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian itu berupa rangkaian perkataan

yang mengandung janji-janji atau sanggupan yang diucapkan atau ditulis.46

Perjanjian dapat dilakukan secara lisan dan secara tertulis. Perjanjian lisan

biasanya dilakukan oleh masyarakat adat untuk ikatan hukum yang sederhana.

Sedangkan perjanjian tertulis biasanya dilakukan oleh masyarakat yang modern,

berkaitan dnegan bisnis yang hubungan hukumnya kompleks. Perjanjian tertulis

ini yang hubungan hukumnya kompleks disebut dengan kontrak. Namun tidak

semua perjanjian tertulis diberikan judul kontrak, tergantung kepada kesepakatan

para pihak, sifat, materi perjanjian dan kelaziman dalam penggunaan istilah untuk

perjanjian itu.47 Adapun beberapa pandangan para Sarjana mengenai perjanjian

adalah:

Rutten menyatakan bahwa:

“perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-


formalitas dari peraturan-peraturan yang ada, tergantung dari persesuaian
kehendak dua orang atau lebih orang-orang yang ditunjukkan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban
pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak
secara timbal balik”.48
45
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.229
46
R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1
47
Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, 2014, Implementasi Ketentuan-
Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press,
Denpasar, h. 28.
48
Purwahid Patrik, 1984, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, h.46.
51

J.Van Dunne menyatakan bahwa: “perjanjian dapat ditafsirkan sebagai

suatu hubungan hukum penawaran dari satu pihak dan perbuatan hukum

penerimaan dari pihak lain.”49

Subekti menyatakan bahwa: “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di

mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.”50

2.5.2 Sumber-sumber Hukum Perjanjian

A. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

a. Pasal 1338 KUHPer tentang asas kebebasan berkontrak (a) membuat,

tidak membuat perjanjian (b) mengadakan perjanjian dengan siapapun (c)

menentukan isi, persyaratan dan pelaksanaan perjanjian (d) menentukan

bentuk perjanjian.

b. Pasal 1233-psl 1312 KUHPer tentang Perikatan pada umumnya.

c. Pasal. 1313-1351 KUHPer tentang perikatan yang lahir dari peranjian.

d. Pasal 1381-1456 KUHPer tentang hapusnya perikatan.

e. Pasal 1457-1540 KUHPer tentang jual beli.

f. Pasal 1541-1546 KUHPer tentang tukar menukar.

g. Pasal 1548-1600 KUHPer tentang sewa menyewa.

h. Pasal 1601-1617 KUHPer tentang persetujuan untuk melakukan

pekerjaan.

49
Ibid.
50
R. Subekti, loc.cit.
52

i. Pasal 1618-1652 KUHPer tentang Persekutuan.

j. Pasal 1666-1693 KUHPer tentang Hibah.

k. Pasal 1694-1739 KUHPer tentang Penitipan barang.

l. Pasal 1740-1753 KUHPer tentang Pinjam pakai.

m. Pasal 1754-1769 KUHPer tentang Pinjam meminjam.

n. Pasal 1792-1819 KUHPer tentang Pemberian kuasa.

o. Pasal 1820-1850 KUHPer tentang Penanggungan utang.

p. Pasal 1851-1864 KUHPer tentang Perdamaian.

q. Pasal 1865-1894 KUHPer pasal-pasal yang berkaitan dengan bukti

tulisan.

B. Perundang-Undangan Terkait

a. Undang-undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi khususnya:

1. Pasal 1 ayat 5 tentang Definisi Kontrak Kerja Kontruksi

2. Pasal 22 tentang Kerangka Kontrak Konstruksi.

b. Undang-undang No. 4 tahun 1986 tentang Hak Tanggungan atas Tanah

Serta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, khususnya:

1. Pasal 10 ayat 2 mengatur tentang pembuatan akta hak pemberian

tanggungan.

2. Pasal 11- pasal 17 hal-hal dicartu sal dalam akta Pemberian Hak

Tanggungan

c. Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, khususnya:

1. Pasal 5 mengatur tentang Pembebanan Jaminan Fidusia yang

harus dibuat dengan akta Notaris.


53

2. Pasal 6 tentang struktur/Kerangka akta Jaminan Fidusia.

d. Undang-undang No.30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris khususnya:

Pasal 38 tentang Struktur Kerangka Akta Notaris

e. Undang-undang 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

khususnya:

1. Pasal 17 tentang larangan memproduksi iklan yang isinya

menyesatkan.

2. Pasal 18 tentang aturan dalam mencantumkan klausula baku dan

setiap perjanjian.

f. Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

2.5.3 Mengikatnya Perjanjian

Sebagaimana ditentukan dalam pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian yang

dibuat mengikat orang yang membuat. Para pihak harus mentaati apa yang

diperjanjikannya itu, keharusan itu lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkuatan

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338

KUHPerdata). Berkaitan dengan hal ini, maka suatu perjanjian yang sah harus

terpenuhi empat syarat yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung arti bahwa antara

para pihak dalam perjanjian telah ada persesuaian kehendak masing-

masing. Kesepakatan ini tidak sah apabila disebabkan oleh kekhilafan,

paksaan, ataupun penipuan (Pasal 1321, Pasal 1322, dan Pasal 1328
54

KUHPerdata) persetujuan dapat dinyatakan secara tegas maupun secara

diam-diam. Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya betul-betul

atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari

pihak manapun. Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak

mengadakan perundingan (negotiation), yaitu pihak yang satu

memberitahukan kepada pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya

sehingga tercapai persetujuan yang mantap.51

Sepakat merupakan salah satu syarat yang amat penting dalam

sahnya suatu perjanjian. Sepakat ditandai dengan adanya penawaran dan

penerimaan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan simbol-simbol

tertentu. Kesepakatan dengan cara tertulis dapat dilakukan dengan akta

otentik maupun akta dibawah tangan.

Kesepakatan secara lisan banyak terjadi dalam pergaulan

masyarakat sederhana. Misalnya saat berbelanja di pasar. Kesepakatan

secara diam-diam juga banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari

saat berbelanja di swalayan dengan mengambil barang menyerahkan

kepada kasir dan membayar barangnya kesepakatan menggunakan simbol

juga banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari yaitu saat kita berbelanja

di warung untuk membeli rokok maka dengan menempel dua jari di mulut

merupakan simbol untuk membeli rokok.52

Kesepakatan sesungguhnya merupakan inti dari perjanjian. Kapan

kesepakatan itu terjadi merupakan pertanyaan yang sangat penting. Karena


51
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.89
52
Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.52.
55

kapan kesepakatan itu terjadi sebagai saat lahirnya perjanjian, ada berbagai

teori untuk kapan lahirnya perjanjian, yaitu:

1. Teori Kehendak

Menurut teori ini, pada hakekatnya yang menyebabkan terjadinya

perjanjian adalah kehendak. Suatu penerapan konsekuan dari teori ini

adalah bahwa kalau terjadi perbedaan atau pertentangan antara

pernyataan dengan kehendaknya maka tidak terjadi perjanjian. Teori

ini akan menghadapi kesulitan apabila tidak ada persesuaian antara

kehendak dan pernyataan.

2. Teori Keterangan

Menurut teori ini yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah

semata-mata keterangan atau pernyataan yang dikemukakan. Jika

terjadi pertentangan antara kehendak dengan pernyataan, maka

perjanjian dianggap terjadi seperti yang dituangkan dalam keterangan

atau pernyataan.

3. Teori Kepercayaan

Menurut teori ini tidak semua keterangan atau pernyataan yang

menyebabkan terjadinya perjanjian, tetapi hanyalah keterangan atau

pernyataan yang menimbulkan kepercayaan bahwa hal itu memang

sungguh-sungguh dikehendaki.53

53
H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, h.26.
56

b. Kecakapan untuk membuat perikatan

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan

masalah kewenangan bertindak dalam hukum karena kecakapan bertindak

dapat melahirkan perjanjian yang sah. Orang yang membuat suatu

perjanjian harus cakap menurut hukum, dalam KUHPerdata Pasal 1330

disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian.

1. Orang yang belum dewasa, yang ditentukan dalam Pasal 330

KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berumur 21

tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

2. Mereka yang masih di bawah pengampuan, sesuai ketentuan

Pasal 433 KUHPerdata adalah orang yang dungu, sakit otak,

mata gelap, dan boros.

3. Orang Perempuan dalam hal tertentu dalam hal yang ditetapkan

oleh undang-undang.54 orang perempuan/isteri dalam hal telah

ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang membuat persetujuan-

persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUHPerdata

disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk

mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin

(kuasa tertulis) dari suaminya.

54
Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.57.
57

Akan tetapi hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang

menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup

bersama dalam masyarakat.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu adalah pokok perjanjian karena merupakan objek

perjanjian dan prestasi yang harus dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau

setidaknya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus jelas,

ditentukan jenisnya ataupun jumlahnya. Keharusan mengenai suatu hal

tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban

dari kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.55

d. Suatu sebab/kausa yang halal

Kausa yang halal dalam perjanjian yaitu isi dari perjanjian itu

sendiri. Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan defenisi

dengan jelas tentang causa yang halal. Dalam KUHPerdata dijelaskan

bahwa sebab yang halal adalah :

1. Bukan tanpa sebab

2. Bukan sebab yang palsu

3. Bukan sebab yang terlarang

Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa

suatu sebab terlarang apabila dilarang oleh Undang-undang atau apabila

55
R. Subekti, op.cit, h.19.
58

berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Rumusan Pasal 1337

sesungguhnya tidak memberikan batasan yang pasti tentang makna sebab

terlarang maka apabila tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian

itu batal demi hukum. Hal ini berarti dari semula dianggap tidak pernah

ada perjanjian dilakukan dan tujuan para pihak tersebut dalam melahirkan

persetujuan adalah gagal. Hal suatu syarat subtyektif, jadi syarat ini tidak

terpenuhi maka perjanjian ini dapat dibatalkan. Jadi, perjanjian yang telah

dibuat akan tetap berlaku selama tidak ada pembatalan dari para pihak.56

Pada hakikatnya, perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang

membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 yo. 1917

KUHPer). Namun demikian, ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata

memberikan pengecualian, yaitu perjanjian yang dibuat oleh si berutang

yang merugikan kepentingan si berpiutang, maka si berpiutang dapat

mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja (actio Pauliana).

2.5.4 Asas-Asas Dalam Perjanjian

Menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki

oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang

mengikat bagi para pihak, dalam KUHPer memberikan berbagai asas

umum yang merupakan pedoman atau patokan serta menjadi batas atau

rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat,

sehingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak

yang dapat dipaksakan pelaksanaanya atau pemenuhannya. Berikut asas-

56
R. Subekti, loc.cit.
59

asas umum hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata, yang menyatakan: “semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan

berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para

pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian


2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
3. Menentukan isi perjanjia, pelaksanaan, dan persyaratannya,
dan
4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan.57

Asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan

mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat

kesepakan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama

dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu

yang dilarang.

b. Asas Konsensualitas

Asas konsensualitas memperlihatkan kepada kita semua, bahwa

pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua

orang atau lebih telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan

kewajiban bagi salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, segara

setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan tersebut telah

57
H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, h.2
60

tercapai secara lisan semata karena perjanjian tidak harus memerlukan

formalitas. Ketentuan tentang asas konsensualitas dapat ditemui juga

dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu syarat-

syarat perjanjian yang salah satunya kesepakatan mereka yang

mengikatkan dirinya.58

c. Asas Personalitas

Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315

Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan: “Pada

umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri

atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang

dalam kapasitasnya sebagai individu, subjek hukum pribadi, hanya

akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri”.Dari rumusan

tersebut pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh subjek hukum

pribadi hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.59

d. Asas Pacta Sunt Servada

Asas Pacta Sunt Servada disebut juga dengan asas kepastian

hukum, asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta

Sunt Servada dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUHPerdata yang menyatakan “perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang”.60

58
Ketut Artadi Dan Dewa Nyoman Rai Asmara, op.cit, h.48.
59
Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjadja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, PT. Raja Grafindo Perdasa, Jakarta. h.14.
60
H. Salim, H.Abdullah, Dan Wiwiek Wahyuningsih, loc.cit.

Anda mungkin juga menyukai